Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

RADISI DESA PENARUKAN

NAMA: KADEK ARTAWAN


NO: 14
KLS: XII IPB4
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang


H y a n g W i d h i W a s a . Sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ini dengan baik. Semoga karya tulis
i n i b e r m a n f a a t b a g i pembacanya.T u j u a n p e n u l i s
dalam pembuatan karya tulis ini antara lainm e
menuhi tugas memenuhi tugas guru mata p
e l a j a r a n a g a m a d a n memberi informasi yang berkaitan
dengan tradisi munjung. Makalah ini secara umum berisi
tentang asal mula tradisi Munjung dan apa yang disebut
tradisi Munjung.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari semp
u r n a . B a n y a k kekurangan dan kesalahan dalam
karyatulis ini. Maka dari itu kritik dansaran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini
sangat penulis harapkan.
DAFTAR ISI

Kata pengantar…………………………………………………….i

Daftar isi………………………………………………………………ii

Isi………………………………………………………………………..1

Penutup………………………………………………………………5
ii

Tradisi ”Munjung” ke Setra di


Buleleng Masih Ajeg
made tirthayasa Breaking News, Upacara,
Buleleng, Dewata News.com - Umat Hindu di Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali

mengunjungi sejumlah "setra" atau kuburan setempat untuk menggelar tradisi "munjung" atau

mengunjungi kuburan dengan membawa sesajen seusai melaksanakan persembahyangan di

beberapa pura pada Hari Raya Galungan, Rabu.(15/07).

1
"Kepercayaan umat Hindu, jasad yang belum diaben arwahnya masih berada di kuburan. Oleh

karena itu, saat merayakan hari raya besar seperti Galungan, umat Hindu menggelar tradisi

`munjung` untuk mengunjungi kuburan sanak keluarga dengan membawa sesajen," kata Kelian

Desa Adat Pakraman Buleleng I Nyoman Sutrisna di Singaraja.

Sejumlah kuburan di Singaraja seperti di Desa Pakraman Buleleng yang terletak di Jalan

Gajah Mada, Setra Banjar Adat Banjar Tegal, Setra Desa Adat Pakraman Banyumala, Setra

Banyuning di Jalan Gempol, dan Setra Desa Pakraman Penarukan, sejumlah umat Hindu

menghaturkan sesajen yang disebut "punjung" berupa buah dilengkapi hiasan bunga serta janur.

"Punjung" yang dibawa, dikhususkan bagi orang yang telah meninggal dan
diletakkan di atas gundukan tanah kuburan. Selain mengunjungi kuburan dengan
membawa sesajen, mereka juga mendoakan sanak keluarganya yang masih dikubur
agar tenang di alam baka.
Menurut dia, selain membawa sesajen, biasanya sanak keluarga juga membawa
makanan kesukaan almarhum yang dihaturkan secara simbolis di atas gundukan
tanah.

Jro Nyoman Sutrisna yang Kadiskanla Kabupaten Buleleng ini menjelaskan, bahwa
tradisi "munjung" tersebut disebutkan pula di dalam Lontar Medang Kemulan dan
Usana Dewa sebagai salah satu kewajiban umat Hindu yang masih hidup untuk
mengunjungi sanak keluarga yang masih dikubur dan belum menjalani ritual ngaben.

2
Menurut Sutrisna, di setra Buleleng hanya wewidangan Kaliuntu dan Kampung
Baru, Petak, wewidangan Delodpeken, Paketan, Penataran dan Peguyangan serta
Baleagung hanya 3 gumuk, Liligundi 5 gumuk.

Klian Adat Desa Pakraman Buleleng Nyoman Sutrisna menerangkan, tradisi


Munjung di Buleleng diperingati bertepatan dengan hari besar keagamaan Hindu.
Dikatakan, tradisi Munjung dilakukan turun temurun sejak zaman Mpu Kuturan, yang
maknanya sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi dan dipersembahkan kepada
orangtua atau kerabat yang meninggal.

“Bersama keluarga, sesaji banten memunjung dipersembahan kepada keluarga atau


kerabat yang sudah dikubur di setra. Setelah selesai sembahyang, sesaji lalu dinikmati
atau dimakan bersama keluarga,” terangnya.
Setelah persembahyangan, pantauan Dewata News lebih menarik, karena mereka
itu makan beramai-ramai surudan sajen yang dihaturkan. Bahkan, pengalaman tempo
doeloe, karena sajen yang dihaturkan sedikit, sehingga membawa makanan lain, baik
itu tum siap, tum kebo maupun jukut rambanan.

3
”Bersama keluarga sesaji banten memunjung di persembahkan kepada keluarga atau
kerabat yang ada di setra. Setelah selesai sembahyang, sesaji lalu dinikmati
makanannya bersama keluarga,” jelas Jro.Nyoman Sutrisna.

Sementara itu, sejak pagi di hari Buda Kliwon Dungulan sebagai perayaan
Galungan, warga masyarakat umat Hindu sudah tampak mendatangi sanggah merajan,
maupun dadia hingga Pura Kahyangan Tiga di desa adat masing-masing. Warga
masyarakat umat Hindu di Bali, khususnya merayakan upacara Galungan setiap enam
bulan menurut kalender Bali.

Klian Adat Desa Pakraman Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna mengimbau kepada
warga krama agar tetap menghayati tradisi dan nilai-nilai dalam hari raya suci
Galungan ini, dengan perbuatan, pikiran, dan perkataan wajib berlandaskan niat baik
serta tulus ikhlas. “Melalui pengamalan Tri Kaya Parisudha, Galungan kali ini harus
terus bisa dikumandangkan, sehingga bisa selalu memunculkan vibrasi yang sangat
positif,” tandasnya

PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian
penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
5

TUGAS MAKALAH
TRADISI DESA MUNDUK
Nama: Putu Riko Yogi Riawan
No: 29
KELAS: XII IPB3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami
juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami


yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………ii

ISI…………………………………………………………………………………………………1

PENUTUP……………………………………………………………………………………..4
Melihat tradisi Nyakan
Diwang, masak di pinggir
jalan Buleleng
Kamis, 10 Maret 2016 10:24Reporter : Dede Rosyadi

Ilustrasi tradisi masyarakat Bali. ©AFP PHOTO/Sonny Tumbelaka

"Tradisi ini sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat di


Desa Gobleg, Umejero, Munduk, Gesing dan beberapa desa lain di
wilayah Kecamatan Banjar," ujar I Nyoman Arya Sidarta, seorang
tokoh masyarakat asal Desa Umejero, Kamis (10/3).

Arya mememaparkan, secara filosofis tradisi Nyakan Diwang


memiliki arti sebagai rasa wujud syukur, karena sehari sebelumnya
dapat melaksanakan catur brata penyepian (empat larangan)
dengan baik dan lancar.
Empat larangan dalam Nyepi itu kata dia yakni Amati Geni (tidak
menyalakan api). Amati Lelanguan (tidak boleh melaksanakan
kegiatan yang berfoya-foya atau bersenang-senang). Amati
Lelungan (tidak boleh berpergian, harus tetap diam di rumah).
Amati Karya (tidak boleh melakukan pekerjaan).

Lebih jauh Arya mengungkapkan, makna lebih mendalam dari


tradisi Nyakan Diwang adalah wujud menyama braya atau menjalin
hubungan persaudaraan antarsesama karena ketika memasak di
jalan terjalin rasa harmonis antartetangga dan masyarakat satu
desa.

"Ketika bersama-sama memasak di pinggir jalan akan muncul


suasana kebersamaan, di mana antara satu orang dengan lain
saling tegur sapa setelah sehari sebelumnya melakukan brata
(pertapaan di rumah masing-masing)," beber Arya.

Seperti diberitakan Antara, masyarakat yang melakukan tradisi


Nyakan Diwang bangun pada subuh (Ngembak Geni), sekitar pukul
02.00 WITA. Mereka mulai menyiapkan tungku api berbahan batu-
bata atau batako di depan rumah, tepat di pinggir jalan raya.

"Setelah sudah siap, warga mulai memasak berbagai kebutuhan,


mulai dari nasi, lauk pauk dan lain-lainnya sambil bertegur sapa dan
bercengkrama dengan warga lainnya," sambung Arya.

Arya mengungkapkan, salah satu tradisi tua ini sudah dilakukan


sejak zaman nenek moyang masyarakat Buleleng, dan terus
dilanjutkan hingga saat ini.

"Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil dan tetap ajeg hingga saat
ini. Pihak desa pakraman (adat) pun terus berupaya
melestarikannya dengan mewajibkan krama (warga adat) membuat
tungku masak tiap rumah," pungkasnya
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian
penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.

Anda mungkin juga menyukai