Anda di halaman 1dari 9

SENI SASTRA PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Pada Jurusan Bahasa Dan Sastra Arab
Fakultas Adab Dan Humaniora
UIN Alauddin Makassar

Oleh:

KELOMPOK 3
AHMAD RIDHO AL-MUNAJJID : 40100123066
MUH. SAYYID QUTB : 40100123071
ROIHAN IBRAHIM : 40100123074

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR


2024
PENDAHULUAN
Dalam karya seni sastra, seringkali kita menemukan refleksi dari nilai-nilai spiritual
dan kebijaksanaan yang terkandung dalam berbagai tradisi keagamaan. Salah satu contoh yang
menonjol adalah pengaruh Al-Quran, kitab suci umat Islam, terhadap seni sastra. Al-Quran
bukan hanya merupakan sumber inspirasi spiritual bagi umat Islam, tetapi juga menjadi sumber
kekayaan bahasa dan pengajaran moral yang mendalam bagi banyak pengarang dan penyair .

Salah satu bagian dari Al-Quran yang menjadi fokus perhatian dalam kajian seni sastra
adalah Surah Asy-Syu'ara', terutama ayat 224-227. Ayat-ayat ini memuat pesan-pesan yang
menggugah pemikiran, membangkitkan perasaan, dan mengajak manusia untuk merenungkan
makna kehidupan dan kebenaran. Dalam konteks seni sastra, ayat-ayat ini menjadi sumber
inspirasi yang tak terhingga bagi para pengarang dan penyair Muslim .

Dalam makalah ini, kita akan menelusuri seni sastra dari perspektif Al-Quran,
khususnya dalam ayat-ayat yang terdapat dalam Surah Asy-Syu'ara': 224-227. Kita akan
mengamati bagaimana para penyair dan pengarang menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai
bahan bakar untuk menciptakan karya-karya sastra yang memukau dan memikat hati pembaca.
Kita akan menjelajahi tema-tema utama yang diangkat, gaya bahasa yang digunakan, serta
pesan-pesan moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya .

Dengan menggali lebih dalam tentang seni sastra perspektif Al-Quran dalam Surah
Asy-Syu'ara', kita dapat memahami bagaimana pengaruh Al-Quran telah membentuk dan
memperkaya dunia sastra Islam. Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana seni sastra
menjadi sarana yang efektif untuk memperdalam pemahaman kita akan pesan-pesan Al-Quran,
serta bagaimana hal tersebut dapat memperkaya pengalaman spiritual dan intelektual kita
sebagai pembaca dan penikmat karya-karya sastra.
PEMBAHASAN
A. Ayat Bahasan
Allah berfirman dalam QS. Asy-Syu’ara: 224-227

٢٢٤ ۗ َ‫ش َع َر ۤا ُء َيت َّ ِب ُع ُه ُم ا ْلغ َٗاون‬ ُّ ‫َوال‬


٢٢٥ ۙ َ‫اَلَ ْم ت ََر اَنَّ ُه ْم فِ ْي كُ ِل َوا ٍد يَّ ِه ْي ُم ْون‬
٢٢٦ ۙ َ‫َواَنَّ ُه ْم يَقُ ْولُ ْونَ َما ََل يَ ْفعَلُ ْون‬
‫س َي ْعلَ ُم‬ ْ ْۢ ‫ص ُر ْوا‬
َ ‫مِن َب ْع ِد َما ظُ ِل ُم ْوا َۗو‬ َ ّٰ ‫ت َوذَك َُروا‬
َ َ‫ّٰللا َكثِي ًْرا َّوا ْنت‬ ّٰ ‫عمِ لُوا ال‬
ِ ٰ‫ص ِلح‬ َ ‫ا ََِّل الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َو‬
ٍ َ‫ي ُم ْنقَل‬
٢٢٧ ࣖ َ‫ب يَّ ْنقَ ِلب ُْون‬ َ َ‫الَّ ِذيْن‬
َّ َ‫ظلَ ُم ْْٓوا ا‬

B. Terjemah Kosakata

‫ش َع َر ۤا ُء‬ ُّ ‫ َوال‬: Orang-orang yang bisa mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kalimat
َ‫ يَتَّبِعُ ُه ُم ا ْلغ َٗاون‬: Orang-orang yang menyelisihi jalan benar mengikuti mereka
‫ اَلَ ْم ت ََر اَنَّ ُه ْم‬: Tidakkah kamu melihat dengan penglihatan hatimu bahwa mereka
‫ فِ ْي كُ ِل َوا ٍد‬: di setiap dataran rendah atau lembah
َ‫ يَّ ِه ْي ُم ْون‬: Mereka pergi tanpa ada tujuan atau mengembara
َ‫ َواَنَّ ُه ْم َيقُ ْولُ ْون‬: dan bahwa mereka mengatakan dengan ucapan yang teratur
َ‫ َما ََل يَ ْفعَلُ ْون‬: apa yang tidak mereka lakukan sesuai kebiasaan maupun bukan
kebiasaannya
‫ ا ََِّل الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا‬: Kecuali orang-orang yang membenarkan dengan hatinya, dengan
lisannya, dan dengan perbuatannya
‫عمِ لُوا‬
َ ‫ َو‬: dan orang-orang yang mengerahkan usaha dan pikirannya dalam berbuat
‫ت‬ ِ ٰ‫ص ِلح‬ ّٰ ‫ ال‬: perbuatan yang baik dan benar
‫ َوذَك َُروا‬: dan orang-orang yang selalu menjaga sesuatu dan mengingatnya
‫ّٰللا‬
َ ّٰ : Allah, Lafazh al-Jalalah
‫ َكثِي ًْرا‬: selalu dan bertambah
‫ص ُر ْوا‬ َ َ‫ َّوا ْنت‬: dan mendapat kemenangan dan pertolongan
‫مِن بَ ْع ِد‬ ْ ْۢ : dari waktu setelah
‫ َما ظُ ِل ُم ْوا‬: mereka mendapatkan penistaan dan kezaliman
‫سيَ ْعلَ ُم‬ َ ‫ َو‬: dan akan mengetahui dengan benar dan jelas
‫ظلَ ُم ْْٓوا‬ َ َ‫ الَّ ِذيْن‬: orang-orang yang berpaling dari kebenaran dan berbuat kezaliman
‫ب‬ ٍ َ‫ي ُم ْنقَل‬ َّ َ‫ ا‬: ke tempat mana dikembalikan dan dipalingkan
َ‫ يَّ ْنقَ ِلب ُْون‬: mereka dikembalikan dan dipalingkan

C. Pengertian Judul
Makalah ini berjudul “Seni Sastra Perspektif Al-Qur’an” yang dalam bahasa
Arab diartikan ‫ الفن األدبي من منظور القرآن‬. Kata ‫ الفن‬sendiri diartikan sebagai al-Darbu bi al-
Syai’i (permisalan dari sesuatu). ‫ األدبي‬merupakan kata sifat bagi ‫ الفن‬yang berasal dari
kata ‫ األدب‬yang berarti al-Da’watu (seruan, panggilan). ‫ منظور‬sesuatu dipandang dan
dilihat dengan indera mata yang jelas. Dari pengertian inilah yakni “permisalan sesuatu
yang bersifat seruan dipandang dengan jelas oleh Al-Qur’an” dapat diartikan contoh-
contoh yang ditiru dan dipakai untuk pengembangan budaya dianalisis dalam
pandangan Al-Qur’an, diatur dan dipakai untuk keberlanjutan kesusastraan.

D. Syarah Kosakata

ۗ َ‫شعَ َر ۤا ُء يَتَّبِعُ ُه ُم ا ْلغ َٗاون‬


ُّ ‫َوال‬
Kata ‫ الشُّعَ َر ۤا ُء‬disini bermakna orang-orang yang bisa mengungkapkan isi hati, berupa
pemikiran dan perasaan dalam bentuk kalimat yang indah dan bersajak. Biasanya
diistilahkan dengan para penyair. Mereka memiliki bakat dalam menyampaikan kalimat
demi kalimat dengan bentuk yang indah. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi
bangsa Arab kala itu, yang mana apabila seseorang bisa berpuisi maka dia adalah orang
yang istimewa dari yang lainnya.
Kata ( َ‫ ) الْغ َٗاون‬al-ghawun terambil dari kata (‫ )الغي‬al-ghay yang biasa diartikan kesesatan
yang sangat jauh. Para penyair zaman Jahiliah, sering kali mengungkap dalam syair-
syairnya kemolekan wanita, menampilkan kelezatan minuman keras sehingga mengalihkan
manusia dari mengingat Allah. Mereka juga sering kali memuji dan menyanjung kaum
yang tindakannya seharusnya dikecam, sebaliknya pun demikian. Semua itu dengan jalan
mempermainkan kata-kata, mengundang tepuk tangan dan decak kagum pendengar, dan
yang akhirnya mengantar mereka kepada kesesatan. Karena itu, para pengagum tersebut,
dinamai al-ghawun/orang-orang yang sangat jauh kesesatannya. Dan kalau pengikutnya
telah menyandang sifat itu, tentu lebih-lebih lagi yang mereka ikuti yakni para penyair itu.

َ‫اَلَ ْم ت ََر اَنَّ ُه ْم فِ ْي كُ ِل َوا ٍد يَّ ِه ْي ُم ْون‬


Kata ٍ‫ َواد‬di sini bermakna tempat atau majelis pembicaraan atau majelis sastra, yang
dijadikan para penyair sebagai tempat kumpul untuk saling membahas sesuatu, kadang
pembahasan itu berupa pujian dan kadang berupa celaan. Kata ) َ‫ (يَّ ِهيْ ُم ْون‬mengembara terambil
dari kata (‫ )هيام‬hiyam yang bisa digunakan untuk menggambarkan keadaan unta yang
menderita penyakit sehingga berkeliaran dan meninggalkan pemiliknya. Bila ia menyifati
manusia, maka ia berarti perjalanan seseorang ke arah yang tidak menentu, terserah ke
mana kakinya melangkah atau imajinasinya melayang. Inilah yang terjadi pada Arab
dahulu, mereka (para penyair) pergi ke suatu tempat perkumpulannya hanya untuk
membahas hal yang sia-sia saja, sehingga mereka pergi tanpa tujuan yang jelas dan kembali
hanya membawa keburukan semata.

َ‫َواَنَّ ُه ْم يَقُ ْولُ ْونَ َما ََل يَ ْف َعلُ ْون‬


Dalam ayat ini jelas mengungkapkan karakteristik dari para penyair kala itu. Mereka sering
mengucapkan apa yang tidak dikerjakannya. Artinya mereka hanya mengucapkan
kebohongan saja. Perkataan mereka hanya menyelisihi perbuatannya. Mereka berlebihan
dalam memuji ahlul batil, begitupula mereka berlebihan dalam mencela ahlul haq.
Terkadang mereka memuji sesuatu yang pernah mereka cela, terkadang pula mencela
sesuatu yang pernah mereka puji. Mereka juga terkadang mengakui sesuatu yang pernah
mereka ingkari kebenarannya. Artinya juga mereka hanya mencari pembenaran bukan
kebenaran. Sehingga perkataan mereka hanya tanpa tujuan yang jelas dan kembali
mencelakakan diri mereka sendiri.

َ َ‫سيَ ْعلَ ُم الَّ ِذيْن‬


‫ظلَ ُم ْْٓوا‬ ْ ْۢ ‫ص ُر ْوا‬
َ ‫مِن بَ ْع ِد َما ظُ ِل ُم ْوا َۗو‬ َ ّٰ ‫ت َوذَك َُروا‬
َ َ‫ّٰللا َكثِي ًْرا َّوا ْنت‬ ّٰ ‫عمِ لُوا ال‬
ِ ٰ‫ص ِلح‬ َ ‫ا ََِّل الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َو‬
ٍ َ‫ي ُم ْنقَل‬
ࣖ َ‫ب يَّ ْنقَ ِلب ُْون‬ َّ َ‫ا‬
Pada ayat ini menjelaskan tentang pengecualian para penyair yang telah disebutkan pada
ayat sebelumnya, di mana ayat sebelumnya merupakan fakta dan kecaman bagi para
penyair yang salah mempergunakan keistimewaannya. Dalam ayat 224-226 disebutkan
kata para penyair secara umum yang menjadikan para penyair dari kaum muslimin merasa
tersinggung dengan ayat tersebut dan membuat mereka takut. Pada akhirnya turunlah ayat
ini sebagai pengecualian bagi mereka yang beriman yakni membenarkan apa yang haq dan
menyalahkan apa yang batil, mengerjakan amal saleh yakni mereka selalu menggunakan
keistimewaan berpuisi untuk perbuatan yang baik dan benar serta berpengaruh kebaikannya
terhadap orang lain, mengingat selalu akan Allah yakni mereka ketika bersyair selalu ingat
Allah akan balasannya, mendapat kemenangan setelah dizalimi yakni mereka
menggunakan syair untuk membalas dan memerangi para penyair yang sesat dan
menyesatkan serta suka mencela kaum muslimin sehingga mereka memenangkan perang
adu mulut tersebut dengan menampakkan yang haq dan memupus yang batil.
Kata (‫ )منقلب‬munqalab terambil dari kata (‫ )قلب‬qalaba yakni membalik. Sesuatu yang
dibalik adalah sesuatu yang dikembalikan kepada keadaannya semula. Dari sini kata
tersebut serupa maknanya dengan kata (‫ )مرجع‬marji’ yang berarti tempat kembali. Hanya
saja kata munqalab digunakan untuk pengembalian atau perpindahan ke arah yang bertolak
belakang dengan sebelumnya. Para pendurhaka hidup berfoya-foya, bebas dari segala
ikatan, dan merasa bahagia dengan keadaannya masa kini. Nah, pada satu saat mereka akan
dikembalikan kepada satu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan mereka
sekarang. Ketika itu mereka hidup terikat, tidak memiliki kebebasan bergerak dan berada
dalam suasana mencekam lagi tersiksa. Pada akhirnya orang-orang yang zalim akan sadar
suatu saat mengenai tempat mereka kembali yang tidak menyisakan hal kecil maupun besar
kecuali pasti akan dihisab oleh Allah swt.
E. Asbabun Nuzul

٢٢٦ ۙ َ‫ َواَنَّ ُه ْم يَقُ ْولُ ْونَ َما ََل يَ ْف َع ُل ْون‬٢٢٥ ۙ َ‫اَلَ ْم ت ََر اَنَّ ُه ْم فِ ْي كُ ِل َوا ٍد يَّ ِه ْي ُم ْون‬٢٢٤ ۗ َ‫ش َع َر ۤا ُء يَت َّ ِبعُ ُه ُم ا ْلغ َٗاون‬
ُّ ‫َوال‬
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur al-‘Aufi dari Ibnu Abbas
bahwa pada masa Rasulullah terdapat dua orang yang satu dari kaum Anshar
sedangkan yang kedua dari kaum yang lain. Masing-masing punya pengikut sesat
dari kaumnya, yaitu orang-orang yang bodoh. Maka Allah menurunkan ayat, “Dan
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (224) Tidakkah engkau
melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan (225) dan bahwa mereka
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(-nya)? (226)”
َ َ‫سيَ ْعلَ ُم الَّ ِذيْن‬
‫ظلَ ُم ْْٓوا‬ ْ ْۢ ‫ص ُر ْوا‬
َ ‫مِن بَ ْع ِد َما ظُ ِل ُم ْوا َۗو‬ َ ّٰ ‫ت َوذَك َُروا‬
َ َ‫ّٰللا َكثِي ًْرا َّوا ْنت‬ َ ‫ا ََِّل الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َو‬
ّٰ ‫عمِ لُوا ال‬
ِ ٰ‫ص ِلح‬
ٍ َ‫ي ُم ْنقَل‬
٢٢٧ ࣖ َ‫ب يَّ ْنقَ ِلب ُْون‬ َّ َ‫ا‬
Ibnu Jarir dan al-Hakim meriwayatkan dari Abul Hasan al-Barrad bahwa ketika
turun ayat, “Dan penyair-penyair itu, “ “Abdullah bin Rawaahah, Ka’ab bin Malik,
dan Hassan bin Tsabit datang menghadap dan berkata, “Wahai Rasulullah, Allah
menurunkan ayat ini sementara Dia tahu bahwa kami adalah penyair. Kami celaka!”
Maka Allah menurunkan ayat, “ “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang
beriman dan berbuat kebajikan…” Rasulullah memanggil mereka dan membacakan
ayat itu kepada mereka.”

F. Munasabah Ayat
Pada ayat 224-226 terdapat munasabah yang sangat jelas mengenai karakteristik
para penyair yang sesat dan diikuti oleh orang-orang yang sesat. Setelah Allah swt.
menyebutkan mengenai para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (ayat 224),
Ia pun langsung menjelaskan dalam ayat 225-226 bahwa karakteristik mereka ialah
yang selalu pergi ke suatu tempat perkumpulan dengan sia-sia, tanpa tujuan yang jelas,
hanya pergi untuk menampakkan kehebatan mereka dalam bersyair, dengan berisikan
kebatilan semata. Mereka juga selalu berkata bohong dalam syair mereka. Syairnya
bertolak belakang dengan kenyataan. Hal ini tidaklah diajarkan oleh Al-Qur’an dan
sangat bertolak belakang dengan fitrah hati nurani dan akal yang sehat.
Olehnya itu Allah swt. langsung menjelaskan kriteria para penyair yang sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an dan hati nurani serta akal yang sehat di dalam ayat 227
sekaligus sebagai bentuk pengecualian dari ayat sebelumnya. Di mana seorang penyair
atau yang pandai dalam berseni harus bentuk syair atau seninya itu selalu menambah
keimanan dan amal saleh, selalu mengingatkan dirinya akan Allah swt. dan
dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai tuntunan ajaran Al-Quran dan sejalan
dengan hati nurani dan akal sehatnya. Dan digunakan juga untuk memerangi para
penyair yang sesat dan jelas dalam menyesatkan manusia supaya kebatilan itu hancur
dan yang haq itu nampak.

G. Nilai Pelajaran dan Hikmah


1. Penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan
sen susastra, tidak akan mengubah, apalagi mempengaruhi secara negatif status teks
Ilahi. Sebaliknya, ilmu tersebut harus menjadi pintu masuk terhadap teks
keagamaan yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya, secara
saintifik, dalam perspektif historis, telah berubah. Ada tiga hal yang perlu
direnungkan: 1) pendekatan seni susastra terhadap teks agama bisa dilakukan
dengan menggunakan teori yang berkembang dalam dunia teori dan kritik sastra
modern; 2) benih-benih pemikiran seni susastra sudah ada dalam karya-karya tafsir
klasik; 3) salah satu urgensi pemikiran seni sastra Al-Quran adalah bisa diresepsi
dengan baik oleh kalangan non muslim dalam keterlibatannya melakukan kajian
terhadap aspek susastra kitab suci.
2. Al-Quran semakin membuktikan kemukjizatannya baik dari segi bahasa dan
kandungannya. Dari segi bahasa, Al-Quran adalah Kitab al-Arabiyah al-Akbar
(Kitab Suci yang Mengandung Nilai Sastra Terbesar). Dari segi kandungannya, Al-
Quran adalah kitab suci yang mengandung nilai seni yang tinggi, yang dapat
didekati dengan pendekatan tekstual dan pendekatan susastra (al-Manhaj Al-
Adabi).
3. Eksistensi seni dalam Al-Quran dapat dilihat pada bentuk-bentuknya, di antaranya:
seni lukis, seni suara, seni sastra. Karya seni sastra pada garis besarnya dapat dibagi
atas dua kelompok besar yaitu: 1) puisi; dan 2) prosa. Salah satu bagian yang masuk
dalam kelompok prosa yaitu kisah yang juga sering disebut dengan riwayat atau
cerita.
4. Para penyair terdahulu mereka selalu mengucapkan atau melantunkan syairnya
tidak berdasarkan pada kebenaran dan tidak lain hanyalah berupa kebohongan
semata. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Al-Quran yang mana seharusnya
seorang penyair atau yang ahli dalam kesenian itu harus berlandaskan pada ajaran
Al-Quran yakni berupa kebenaran dan sesuai dengan hati nurani dan akal sehat.
5. Merupakan faedah yang penting adalah bagi seseorang yang ahli dalam seni, baik
seni lukis, seni suara, maupun seni sastra untuk selalu melandaskan keseniannya
dalam kebaikan dan kebenaran, tidak boleh bertolak belakang dari dua hal tersebut
karena akan membuatnya masuk dalam golongan yang disebutkan oleh Allah swt.
dalam ayat 224-225.
6. Perlu dipahami bahwa dalam agama Islam, patung-patung maupun hasil seni ukir
lainnya sempat dilarang. Hal ini dikarenakan kebiasaan orang-orang Arab terdahulu
yang telah mendarah daging yakni mereka menjadikannya sebagai sesembahan
selain Alla swt. dan hal ini merupakan bentuk kesyirikan. Oleh karena itu, dari sini
kita memahami bahwa jika hasil seni ukir tersebut bertolak belakang dengan Al-
Quran maka tidak boleh dilakukan .Justru apabila ia menjadikan hasil seni ukir
tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah swt. maka hal itu sunnah dan
tidak ditentang dikarenakan ada unsur kebaikan di dalamnya.
7. Nilai seni atau estetika Al-Quran terhadap muslim awal dipilah menjadi dua
kelompok: (a) berita-berita yang merekam masuknya Islam para pendekar sastra
Arab; (b) riwayat-riwayat yang memuat kesyahduan dan kekhusyukan generasi
awal dalam mendengar Al-Quran. Misalnya seorang maestro penyair bernama
Labid bin Rabiah masuk Islam karena tertarik membaca potongan-potongan ayat
yang digantung sahabat Nabi saw. di sekitar Ka'bah.
8. Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang seni adalah bagian dari Al-Quran yang
mutlak kebenarannya. Oleh karena itu, seni sastra dalam Al-Quran yang berisi kisah
atau cerita tentang para nabi dan rasul Allah, umat-umat terdahulu, serta hari
akhirat, merupakan peristiwa yang benar-benar pernah dan akan terjadi, serta
mutlak kebenarannya.
9. Kisah dalam Al-Quran seperti juga kisah rekaan. Ia memiliki unsur-unsur yang
merupakan pembangun cerita. Unsur-unsur yang disepakati pada kisah dalam Al-
Quran minimal terdiri atas: peristiwa, tokoh, dan catatan.
10. Tema dan amanat kisah dalam Al-Quran adalah tema dan amanat keagamaan yang
tujuan akhirnya adalah mendorong umat manusia untuk selalu berbuat sesuatu
dengan yang dikehendaki oleh pencipta Al-Quran itu.
H. Hadits-Hadits Terkait

َّ ‫ َع إن َع إب ِد‬،‫الز إه ِر ِي‬
‫الر إْحَ ِن بإ ِن‬ ُّ ‫ َع ِن‬،‫ َحدَّثَنَا َم إع َمر‬،‫اق‬ ِ ‫الرَّز‬
َّ ‫ َحدَّثَنَا َع إب ُد‬:‫َْحَ ُد‬ ‫اْل َمامُ أ إ‬ ِ‫ال إ‬ َ َ‫ق‬
َّ ‫ إِ إن‬:‫اَّللُ َعلَ إي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ قَ إد أَنإ َز َل‬،‫ َع َّز َو َج َّل‬،َ‫اَّلل‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّب‬ِ ِ‫ال لِلن‬
َ َ‫ َع إن أَبِ ِيه أَنَّهُ ق‬،‫ك‬ ٍ ِ‫ب بإ ِن َمال‬ ِ ‫َك إع‬
َّ ‫ لَ َكأ‬،ِ‫ َوالَّ ِذي نَ إف ِسي بِيَ ِده‬،‫سانِِه‬
‫َن‬ ِ ِ ِ ِ‫اه ُد ب‬ ِ ‫ "إِ َّن الإم إؤِمن ُُي‬:‫ال‬ َ ‫ فَ َق‬،‫الش إع ِر َما أَنإ َز َل‬ ِ ‫ِِف‬
َ ‫س إيفه َول‬ َ َ َ ُ
"‫النبل‬‫ضح إ‬ ‫وَنُ إم بِ ِه نَ إ‬
َ ‫َما تَ إرُم‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ibnu
Malik, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi
Saw., "Sesungguhnya Allah Swt. telah menurunkan di dalam surat Asy-Syu'ara' ayat-
ayat yang menyangkut mereka (mengecam mereka)." Maka Rasulullah Saw.
menjawab: “Sesungguhnya orang mukmin itu berjihad dengan pedang dan lisannya.
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh apa
yang kamu lontarkan melalui syairmu kepada mereka seakan-akan seperti lemparan
anak panah.”

‫ب اإهلَِِنءُ [رواه‬ ِ َّ ‫اسع و اإجلار‬


ِ ِ َّ ُ‫ اإملَرأَة‬:ِ‫ادة‬ َّ ‫أ إربَ ٌع ِم َن‬
ُ ‫ح َو اإملَإرَك‬
ُ ‫الصال‬ ُ َ َ ُ ‫الصاِلَةُ َو اإملَ إس َك ُن اإ َلو‬ ‫الس َع َ إ‬
‫ابن حبان ِف صحيحه‬
Artinya: “Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang
shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang
menyenangkan.” [HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Riyadh.
Dar Taibah.
Jalal al-Din al-Sayuti. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. Beirut. Muassasah al-Kutub Al-
Tsaqafiyah.
Jalal al-Din Muhammad Bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Sayuti. Tafsir al-Jalalain.
Kairo. Dar al-Hadits.
Mardan. Pena Ramadhan Di Tengah Pandemi COVID-19. Gowa. Alauddin University Press.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta. Penerbit Lentera Hati.

Anda mungkin juga menyukai