Antropologi Turnitin
Antropologi Turnitin
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi bentuk karangan-
karangan. berdasarkan pola pikir evolusi masyarakat pada saat itu. Kemudian masyarakat
dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama.
Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai primitive yang tertinggal, dan
menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Berikutnya Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkatan
sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain.
seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni
tersebut, muncul berbagai masalah seperti serangan dari bangsa asli, yang memberontak
cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lainnya. Dalam
menghadapi, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku
asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan
etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan
kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
d. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi meningkat secara pesat. Kebudayaan suku bangsa asli yang di
jajah oleh bangsa Eropa, mulai memudar bahkan sudah hilang akibat terpengaruh
kebudayaan yang dibawa bangsa Eropa.
Pada masa ini juga, terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini
berdampak membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa
sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran tersebut
menghasilkan kemiskina, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak ada ujungnya.
Namun pada saat itu, muncul semangat nasionalisme dari bangsa-bangsa yang dijajah oleh
Eropa untuk keluar dan meloloskan diri dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-
bangsa tersebut berhasil lolos melarikan diri. Namun banyak sekali masyarakat yang masih
memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-
tahun.
Proses tahapan perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi
ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi bisa juga kepada suku bangsa di
daerah pedalaman Eropa seperti yang terdapat dari suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan, pastilah memiliki kajian dan ruang lingkup di
dalamnya. Kajian dan ruang lingkup yang terdapat dalam Antropologi Kesehatan meliputi
konsep sakit dan konsep sembuh dalam masyarakat, etnomedisin, etnopsikiatri, sistem-sistem
medis non barat, rumah sakit dalam pandangan dari ilmu dan perilaku serta masih banyak lagi
lainnya . Berbicara mengenai kesehatan, konsep sakit itu sendiri dapat bisa didefinisikan secara
medis dan kultural. Konsep sakit secara medis juga diartikan sebagai adanya gangguan patologis,
gangguan metabolisme tubuh, serangan virus atau bakteri (infeksi). Sedangkan konsep sakit
secara budaya didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalani fungsi dan
peranan sosial karena adanya gangguan fisik dan psikis.
Dalam kajian Antropologi kesehatan, ada tiga istilah yang sangat penting sering juga
digunakan. Ketiga istilah tersebut berkaitan erat dengan konsep sakit dalam masyarakat, yaitu
sickness, illnes dan disease. Sickness adalah konsep sakit jika bisa dilihat dari segi sosial,
sedangkan illnes adalah konsep sakit yang dilihat dari segi psikologis, yang dimaksud dengan
disease adalah konsep sakit dilihat dari segi medis. Disease merupakan sakit dalam perpektif
medis dimana terdapat ganggun fungsi atau adaptasi biologis tertentu. Sedangkan yang dapat
dimaksud dengan illnes adalah sakit dalam perspektif kultural, emosional, psikologis dan
spiritual. Illnes biasanya bisa didasarkan pada persepsi diri sendiri atau orang lain dan
masyarakat. Illnes biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, usia, gender, dll.
Pemaknaan dari sakit dan penyakit pada masyarakat tradisional jelas berbeda dengan
masyarakat modern. Pada masyarakat tradisional, sakit dimaknai sebagai gangguan fungsional
terhadap pada peran sosiokultural. Sakit juga bisa berfungsi menggerakkan solidaritas
kelompok. Selain itu, penyakit dimakan sebagai gangguan fisik dan non fisik yang dianggap
sebagai peringatan dari Tuhan dan sebagai sanksi, hukuman maupun bisa kutukan sehingga
dianggap sebagai penanda munculnya masa krisis dalam kehidupan bermasyarakat.