Anda di halaman 1dari 8

1.

Sejarah Perkembangan Antropologi

Antropologi merupakan sebuah ilmu yang mengalami tahapan- tahapan dalam


perkembangannya.Koentjaraninggrat menyusun secara detail perkembangan yang
terdapat pada ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

a. Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Fase ini juga, manusia beserta kebudayaannya, sebagai bahan kajian


Antropologi.Perkiraan abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba
untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, dan Australia. Dalam
proses penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak
menjumpai suku-suku yang asing menurut mereka. Kisah-kisah yang di dapat pada
saat petualangan dan penemuan, mereka mencatatnya di buku harian ataupun bisa di
jurnal perjalanan.

Mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Ciri-ciri
fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku itu sendiri. Bahan-
bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan
bahan etnografi ataupun deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi sangat menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa.

Pada awal abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan etnografi dari suku luar
Eropa terdapat sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena, timbul rasa
usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

b. FaseKedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi bentuk
karangan-karangan. berdasarkan pola pikir evolusi masyarakat pada saat itu.
Kemudian masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam
jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai
primitive yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi
kebudayaannya.
Berikutnya Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang
tingkatan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

c. Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Fase ini, negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lainnya.


Seperti di benua Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam upaya membangun
koloni-koloni, muncul bermacam macam masalah seperti serangan dari bangsa asli,
yang memperotes cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan
lainnya. Dalam menghadapi, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-
cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Maka dari itulah mereka
mulai perlahan mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar
Eropa, mencermati kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah
kolonial itu sendiri.

d. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

Pada fase ini, Antropologi meningkat secara pesat. Kebudayaan suku bangsa asli
yang di jajah oleh bangsa Eropa, mulai memudar bahkan sudah hilang akibat
terpengaruh kebudayaan yang dibawa bangsa Eropa.

Pada masa ini juga, terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini
berdampak banyak sekali perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa
sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran tersebut
menghasilkan kemiskina, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak ada
ujungnya. Namun pada saat itu, muncul semangat nasionalisme dari bangsa-bangsa
yang dijajah oleh Eropa untuk keluar dan meloloskan diri dari belenggu penjajahan.
Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil lolos melarikan diri. Namun banyak
sekali masyarakat yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah
menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses tahapan perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak


lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi bisa juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti yang terdapat dari suku bangsa Soami,
Flam dan Lapp.

2. Definisi Antropologi Kesehatan

Antropologi kesehatan mempelajari tentang kegiatan kebiasaan masyarakat, cara


pandang masyarakat terhadap suatu penyakit, cara menanggulangi penyakit, penyebaran
penyakit hingga sampai hubungan penyakit dengan masyarakat. Antropologi menjadi
salah satu pendekatan alternatif untuk mengungkap masalah-masalah medis yang tidak
bisa terdefinisi oleh ilmu kesehatan. Contohnya, pada masyarakat di Papua Nugini, ada
salah satu penyakit muncul di tengah masyarakat tersebut yang dinamakan dengan
penyakit kuru. Penelitian di bidang kesehatan yang berusaha untuk mengungkap pada
akhirnya belum tau pasti penyebab penyakit kuru yang menyebar di tengah masyarakat.
Kemudian, pada pendekatan Antropologi digunakan untuk mengkaji apa penyebab utama
dari munculnya penyakit kuru tersebut. Pendekatan Antropologi masuk dan mengkaji
kebiasaan yang beredar di tengah masyarakat yang dapat memungkinkan penyebab
terciptanya penyakit kuru. Alhasil, pendekatan Antropologi dapat mengungkap penyebab
utama terjadinya penyakit kuru. Penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat Papua Nugini
yang kerap memakan otak saudara mereka yang telah meninggal dunia. Berdasarkan
contoh tersebut, maka sudah bisa disimpulkan bahwa Antropologi juga bisa digunakan
dalam mengkaji masalah kesehatan yang ada dalam masyarakat tertentu.

Termasuk suatu ilmu pengetahuan, pasti memiliki kajian dan ruang lingkup di
dalamnya. Kajian dan ruang lingkup yang terdapat dalam Antropologi Kesehatan
meliputi konsep sakit dan konsep sembuh dalam masyarakat, etnomedisin, etnopsikiatri,
sistem-sistem medis non barat, rumah sakit dalam pandangan dari ilmu dan perilaku serta
masih banyak lagi lainnya . Berbicara mengenai kesehatan, konsep sakit itu sendiri dapat
bisa didefinisikan secara medis dan kultural. Konsep sakit secara medis juga diartikan
sebagai adanya gangguan patologis, gangguan metabolisme tubuh, serangan virus atau
bakteri (infeksi). Sedangkan konsep sakit menurut budaya didefinisikan sebagai keadaan
dimana seseorang tidak bisa menjalani fungsi dan peran sosial karena adanya gangguan
fisik dan psikis.
Dalam kajian Antropologi kesehatan, ada beberapa istilah yang sangat penting
dan sering juga digunakan. Ketiga istilah tersebut berkaitan erat dengan konsep sakit
dalam masyarakat, yaitu sickness, illnes dan disease. Sickness adalah konsep sakit jika
bisa dilihat dari segi sosial, sedangkan illnes adalah konsep sakit yang dilihat dari segi
psikologis, yang dimaksud dengan disease adalah konsep sakit dilihat dari segi medis.
Disease merupakan sakit dalam perpektif medis dimana terdapat ganggun fungsi atau
adaptasi biologis tertentu. Sedangkan yang dapat dimaksud dengan illnes adalah sakit
dalam perspektif kultural, emosional, psikologis dan spiritual. Illnes biasanya bisa juga
didasari pada persepsi diri sendiri ataupun orang lain dan masyarakat. Illnes biasanya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, usia, gender, dll. Pemaknaan dari
sakit dan penyakit pada masyarakat tradisional jelas berbeda dengan masyarakat modern.
Pada masyarakat tradisional, sakit dimaknai sebagai gangguan fungsional terhadap pada
peran sosiokultural. Sakit juga bisa berfungsi menggerakkan solidaritas kelompok. Selain
itu, penyakit dimakan sebagai gangguan fisik dan non fisik yang dianggap sebagai
peringatan dari Tuhan dan sebagai sanksi, hukuman maupun bisa kutukan sehingga
dianggap sebagai penanda munculnya masa krisis dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Konsep Dasar Individu dan Masyarakat

A. Konsep Dasar Individu

Kata individu berasal dari bahasa latin "Indivuduum" yang memiliki arti yang tak
terbagi, dan juga menjadi kesatuan yang tak terbatas. Bahwa manusia merupakan satu
kesatuan jiwa raga yang tak dapat dipisah satu sama lain (Allport:T.T). Setiap manusia
yang lahir ke dunia dengan membawa potensi diri masing-masing yang dapat bisa
dikembangkan, melalui proses balajar ataupun berpendidikan. Contohnya: seseorang
yang sedang menulis, hal tersebut merupakan perintah, baik jiwa atau psikisnya untuk
menyuruh fisiknya untuk menulis sesuatu tulisan dengan pulpen , kertas dan lainnya.
Setiap individu memiliki karakteristik dan ciri-ciri khas yang melekat di dalam dirinya
(built in), sehingga bisa memberikan identitas khusus unik, yang bisa disebut
kepribadian. Tidak seperti segerombolan bebek, ternyata masyarakat juga dapat disebut
sebagai kerumunan atau kelompok manusia, menuntut masing – masing individu untuk :

a) Memiliki sebuah kedudukan dan peranan tertentu dalam lingkungannya sendiri.


b) Memiliki tingkah laku yang khas tidak sama individu yang lain dengan yang lainnya
(tidak seperti bebek).
c) Memiliki kepribadian sendiri.

B. Konsep Dasar Masyarakat

Istilah masyarakat merupakan terjemahan dari kata (community atau komunitas).


Secara konsep definitif dapat didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang terdiri dari
sejumlah keluarga yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu baik desa, dusun,
pelosok maupun di kota yang sudah terjadi interaksi sosial antar sesama anggotanya
ataupun adanya hubungan sosial (social relationship) yang memilki sebuah norma dan
nilai tertentu yang wajib dipatuhi oleh seluruh anggotanya dan memiliki tujuan tertentu.
Menurut Selo. Soemarjan (1962) mengemukakan bahwa: "Masyarakat merupakan suatu
wilayah kehidupan sosial yang di beri tanda oleh suatu derajat hubungan tertentu".
Adapun unsur-unsur dari masyarakat, Mac Iver dan Page mengemukakan sebagai berikut
ini:
1. Seperasaan.
2. Sepenanggungan
3. Saling memerlukan

Disamping itu ada beberapa tipe - tipe masyarakat setempat menurut Davis (1960:313)
sebagai berikut:

1. sejumlah penduduk
2. Luas, kekayaan dan kepadatan penduduk
3. Memilki fungsi khusus dari masyarakat setempat terhadap organisasi masyarakat
tertentu yang bersangkutan.

4.Manusia dan Kebudayaan

Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus


dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya dan sebuah
rencana untuk melakukan kegiatan tertentu (Leinenger, 1991)

Manusia dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.


Dalam hal ini juga, keduanya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan
lahir dari proses kehidupan manusia yang memiliki hasil dari interaksi antara manusia
satu dengan manusia lain ataupun bisa dari alam. Maka dari itu, manusia sebagai subjek
yang menghasilkan kebudayaan itu sendiri, Tanpa adanya campur tangan manusia,
kebudayaan tidak akan pernah ada.

Antara manusia dan kebudayaan terjalin suatu hubungan yang sangat erat,
sebagaimana juga diucapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia
merupakan hasil dari kebudayaan. Hampir seluruh tindakan manusia itu merupakan
kebudayaan. Selanjutnya hubungan antar manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat
dari sebuah kedudukan, kekuasaan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia
mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan itu sendiri, sebagai:
1. penganut kebudayaaan
2. Membawa kebudayaan
3. manipulator kebudayaan
4. pencipta kebudayaan

5. Hubungan Manusia dan Sosial

Yang telah dikemukakan aristoteles (Yunani, 384-322 SM), bahwa manusia itu
adalah ZOON POLITICON yang artinya manusia itu sebagai seorang makhluk pada
dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, menjadi
makhluk yang suka bermasyarakat, bermusyawarah, tolong menolong. Oleh karena itu
sifatnya suka bergaul satu sama lain, maka dari itu manusia disebut makhluk sosial.

Manusia bisa dikenal sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya. Makhluk
sosial memiliki arti bahwa sanya kita tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan
manusia lain. Sebagai makhluk budaya menandakan. Bahwa manusia memiliki akal budi
yang bisa membedakan dengan makhluk hidup lain dibumi ini.

Maka dari itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa alasan tertentu,
yaitu:

a) Manusia tunduk pada peraturan, norma sosial.


b) Perilaku manusia bisa diharapkan suatu penilain dari orang lain.
c) Manusia itu memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
d) Potensi manusia akan berkembang pesat bila ia hidup berdampingan di tengah-tengah
manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar


Antropologi Agama. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada

Anderson, F. 2009. Antropologi kesehatan. Jakarta : UI Press.

Daeng, Hans J. 2000, Manusia, Kebudayaan dan lingkungan Tinjauan Antropologis,


Yogyakarta : Pustaka Belajar

Achmad, Yusdi, 2006, Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial :
Batam : Makalah lokakarya Dosen ISBD, Dikti Depdiknas

Anda mungkin juga menyukai