Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/358976686

EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UU CIPTA KERJA DALAM PENGELOLAAN


LIMBAH B3

Article · March 2022

CITATIONS READS

0 1,828

4 authors:

Sri Ratu Nurulnisa Arisaputri Siti Nur Kholifah


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Nazla Haditya Halima Carera Deva Yosivatama


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sri Ratu Nurulnisa Arisaputri on 03 March 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UU CIPTA KERJA
DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3

Nasrullah¹, Sri Ratu Nurulnisa Arisaputri², Siti Nur Kholifah³,


Nazla Haditya Halima⁴, Carera Deva Yosivatama⁵

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jln. Brawijaya, Geblagan,


Tamantirto, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55183.

E-mail: nasrullah@umy.ac.id, sri.ratu.law20@mail.umy.ac.id,


siti.nur.law20@mail.umy.ac.id, nazla.haditya.20@mail.umy.ac.id,
carera.deva.law20@mail.umy.ac.id

Abstract

Humans since birth have had or have had the right to a good and healthy environment, in
accordance with the mandate of Article 28 H paragraph 1 of the 1945 Constitution. However, the
facts that are currently happening show that many environmental problems are actually caused by
humans. In its activities it destroys the environment which without realizing it actually impacts and
affects the lives of others, for example B3 waste originating from industrial companies. This study
aims to find out how effective the implementation of the Job Creation Law is in the management
of B3 waste, and to find out the obstacles that occur as a result of the implementation of the Job
Creation Act. The results of the research are seen in the following description: (1) Law Number 11
of 2020 concerning the Law on Job Creation in Waste Management (B3), there are changes related
to 'environmental management permits' to 'technical approvals for B3 waste management' which
have been integrated into in environmental approvals. (2) The abolition of criminal sanctions
against environmental crimes that are replaced with administrative sanctions signals the weakening
of environmental law enforcement, which becomes an obstacle or obstacle in the management of
B3 waste. The normative legal research method was used to compose this paper. Secondary data
consists of primary legal materials, namely: laws and regulations in the field of environmental
protection and management, and laws and regulations regarding the Job Creation Law for serious
handling of B3 waste management. Secondary legal materials consist of literature, legal journals
and legal articles relevant to this writing. Primary and secondary legal materials were analyzed
qualitatively normatively. In the management of B3 waste, it can be dangerous and toxic to the
environment and humans if its use is not restricted, or even its use needs to be reduced.

Keywords: B3 Waste, Omnibus Law, Environment

Abstrak
Manusia sejak dilahirkannya telah menyandang atau memiliki hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat, sesuai dengan amanat pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, fakta yang terjadi saat ini menunjukkan banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang
justru diakibatkan oleh manusia. Dalam kegiatannya merusak lingkungan yang tanpa disadari
justru malah berdampak dan mempengaruhi kehidupan orang lain, misalnya limbah B3 yang
berasal dari perusahaan Industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas
pemberlakuan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan limbah B3, dan mengetahui kendala yang terjadi
akibat pemberlakuan UU Cipta Kerja. Hasil dari penelitian dilihat pada penjabaran berikut : (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja dalam Pengelolahan Limbah
(B3), terdapat perubahan terkait „izin pengelolahan lingkungan‟ menjadi „persetujuan teknis
pengelolahan limbah B3‟ yang mana sudah diintegrasikan ke dalam persetujuan lingkungan. (2)
Penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana Lingkungan Hidup yang diganti dengan
sanksi administrasi memberikan sinyal semakin melemahnya penegakan hukum lingkungan hidup,
yang mana menjadi suatu kendala atau hambatan dalam pengelolaan limbah B3. Metode penelitian
hukum normatif digunakan untuk menyusun penulisan ini. Data sekunder terdiri dari bahan hukum
primer ialah: peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dan peraturan perundang-undangan mengenai UU Cipta Kerja penanganan serius dalam
pengelolahan limbah B3. Bahan hukum sekunder terdiri dari literatur, jurnal hukum dan artikel
hukum yang relevan dengan penulisan ini. Bahan hukum primer dan sekunder dianalisis secara
normatif kualitatif. Dalam pengelolahan limbah B3 dapat berbahaya dan beracun bagi lingkungan
dan manusia jika penggunaannya tidak dibatasi, atau bahkan penggunannya perlu dikurangi .

Kata Kunci: Limbah B3, UU Cipta Kerja, Lingkungan Hidup

A. Latar Belakang Masalah


Setiap Warga Negara Indonesia dari sejak dilahirkannya telah
menyandang atau memiliki hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Oleh karena itu, lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala benda
dan makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang
dapat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan antara manusia dengan
lingkungan di sekitarnya. Dalam hal ini, lingkungan hidup sebagai suatu hal yang
berkaitan erat dengan hajat hidup banyak orang.
Berdasarkan pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, dapat
diketahui bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat itu juga dibutuhkan oleh manusia demi
kehidupan yang sejahtera. Namun, fakta yang terjadi saat ini menunjukkan
banyaknya permasalahan lingkungan hidup seringkali disebabkan oleh manusia
itu sendiri. Dimana, ditemukannya manusia yang dalam kegiatannya merusak
lingkungan yang tanpa disadari justru malah berdampak dan mempengaruhi
kehidupan orang lain, yang mengekploitasi alam secara berlebihan seperti
perusakan hutan, penebangan pohon secara liar, pencemaran air, udara, tanah
akibat aktifitas perusahaan yang ada disekitarnya dan lain sebagainya.1
Negara yang memiliki sumber kekayaan alam terbaik di dunia, dengan
melimpahnya berbagai sumber kekayaaan alam maka banyak pula ekspoitasi yang
di lakukan untuk dapat memperoleh kekayaan yang nantinya dapat memberikan
1
Gatot Supramono, 2015, Penyelesaian Sengketa lingkungan Hidup Di Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, hal 6.
kesejahteraan yang berkelanjutan, namun jika tidak di kelola secara benar akan
berdampak pada lingkungan dan masyarakat, kerusakan lingkungan akan terjadi
sehingga dapat menimbulkan penderitaan kepada seluruh masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Setiap industri menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
atau disebut toxic and hazardous waste. Jenis limbah B3 yang dihasilkan oleh
industri diantaranya logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak,
pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya.2 Tanpa pengelolaan yang memadai,
limbah ini memiliki daya rusak lingkungan yang jauh lebih berat dibandingkan
dengan jenis limbah yang lain. Misalnya, pembuangan limbah ke lingkungan akan
menimbulkan masalah yang merata dan menyebar di lingkungan yang luas.
Limbah gas terbawa angin dari satu tempat ke tempat lain. Limbah cair atau padat
yang dibuang ke sungai, dihanyutkan dari hulu sampai ke hilir, melampaui batas-
batas wilayah akhirnya bermuara dilaut atau danau, seolah-olah laut atau danau
menjadi tempat pembuangan sampah.
Semakin banyak perusahaan yang didirikan semakin berpotensi terhadap
dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan seperti pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Sadar atau tidak bahwa manusia dikelilingi oleh berbagai
macam senyawa kimia yang banyak berasal dari industri.3 Kegiatan pembangunan
yang semakin meningkat juga ditandai dengan berkembangnya industri.
Selain dampak positif berkembangnya industri juga membawa dampak
negatif, yaitu dari pencemaran yang disebabkan oleh limbah-limbah yang
dihasilkan dari kegiatan industri dari suatu perusahaan yang kemudian dibuang ke
sungai atau tempat aliran air sehingga menyebabkan air tercemar.4 Hal tersebut
tentunya memberikan dampak yang cukup besar bagi kesejahteraan hidup
masyarakat. diantaranya adalah dihasilkannya limbah buangan termasuk limbah
B3. Semakin beraneka ragam produk yang dihasilkan semakin bervariasi pula
limbah B3 yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah dan jenis limbah B3 yang

2
Prigi Arisandi, 2018, Jejak Beracun, Gresik: Ecoton-Detox.
3
N.H.T, Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakart: Erlangga, hal 29.
4
Samsul Wahidin, 2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 107.
dihasilkan semakin tinggi pula potensi kerusakan dan pencemaran yang
berdampak buruk terhadap kehidupan.5
Masyarakat yang berada atau tinggal dekat dengan kawasan perusahaan
sudah merasakan lingkungan hidup disekitar mereka perlahan mulai mengalami
perubahan, seperti air yang tercemar mengakibatkan gatal-gatal, tidak lagi
mengkonsumsi air sungai secara langsung untuk keperluan minum maupun
masak, mencuci, begitu pula ekosistem yang ada di sungai seperti ikan yang
selama ini menjadi mata pencarian mereka sudah mulai dirasakan berkurang.
Melihat begitu besarnya pengaruh atau dampak yang diakibatkan oleh
pencemaran lingkungan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang bersih
dan sehat, maka perlu adanya pengendalian terhadap dampak lingkungan hidup
sehingga resiko pencemaran lingkungan hidup dapat diminimalisir. Salah satu
bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dalam menanggulangi dampak
lingkungan hidup ialah dengan keluarkannya Undang- Undang No. 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat
dijadikan pedoman dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat
ini.
Keberadaan limbah B3 yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi
membutuhkan perhatian khusus, karena kerugian yang akan ditimbulkannya
apabila limbah tersebut tidak dikelola dan tidak diolah dengan baik. Setiap orang
yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan tehadap limbah B3
yang dihasilkannya.6
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai upaya
melindungi lingkungan hidup yang terfokus kepada masyarakat.7 Salah satu yang
menjadi poin penting dalam perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam

5
B.Kurniawan, 2019, Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di
Indonesia dan Tantangannya, Jurnal Dinamika Governance, Vol 9, No 1, 39-49.
6
Nisa Nurhidayanti, dan Cici Arinih, 2019, “Kajian pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3)”, Jurnal Ilmiah Informatika, Arsitektur dan Lungkungan, Vol 14, No 2, 93-102.
7
Aidhya Diory, “Perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait Prinsip Strict Liability”,
https://www.pphbi.com/perubahan-pasal-88-uu-lingkungan-hidup-terkait-prinsip-strict-liability/,
diakses tanggal 18 November 2021 jam 07.12 WIB.
UU PLH adalah perencanaan penggunaan lingkungan. Hal ini dilakukan agar
setiap kegiatan, baik pribadi maupun usaha, yang nantinya akan berdampak pada
lingkungan dapat dilakukan perencanaan, pengawasan, dan pengendalian.
Terkait tanggung jawab atas perusakan lingkungan, UU PPLH
memberlakukan prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak sebagaimana
yang diatur dalam pasal 88 UU PPLH, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah
B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan”.
Namun, saat ini dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang mana telah dilakukan revisi
terhadap beberapa pasal dalam UU PPLH, yang menjadi banyak kontroversi di
dalamnya. Salah satunya termasuk pasal 88 terkait prinsip strict liability atau
tanggung jawab mutlak. Perubahan pasal 88 UU PPLH yang baru berbunyi,
“setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannnya menggunakan
B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau
kegiatannya”. Serta beberapa pasal lainnya yang justru hanya memberikan suatu
kesengsaran ataupun kerugian kepada masyarakat, sedangkan memberikan
keuntungan bagi pihak pengusaha ataupun kelompok tertentu.
Banyaknya bentuk pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan limbah B3
mengindikasikan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah belum
berjalan dengan optimal. Pengelolaan limbah B3 selama ini memberikan kesan
belum sepenuhnya terkendali. Kondisi ini memungkinkan akan membawa dampak
negatif bagi lingkungan dan masyarakat yang tidak terprediksi bahkan tidak
diketahui meskipun telah terjadi. Bahkan, hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja
juga semakin menambah persoalan baru untuk ancaman kerusakan lingkungan
hidup, yang dapat menganggu keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas pemberlakuan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan
limbah B3
2. Apakah kendala yang terjadi akibat pemberlakuan UU Cipta Kerja dalam
pengelolaan limbah B3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas pemberlakuan UU Cipta Kerja
dalam pengelolaan limbah B3.
2. Untuk mengetahui kendala yang terjadi akibat pemberlakuan UU Cipta
Kerja dalam pengelolaan limbah B3.

D. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menyusun penulisan
ini. Data sekunder yang digunakan diperoleh melalui studi kepustakaan. Data
sekunder terdiri dari bahan hukum primer ialah: peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan peraturan perundang-
undangan mengenai UU Cipta Kerja. Bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-
literatur, jurnal hukum dan artikel hukum yang relevan dengan penulisan ini.
Bahan hukum primer dan sekunder dianalisis secara normatif kualitatif.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam UU No. 11 Tahun 2020 telah menghapuskan sanksi pidana
terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup diganti dengan sanksi administrasi.8
Ketetuan tersebut dalam Pasal 23 angka 37 yang merubah Pasal 102 didalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang mana dalam spektrum penegakan hukum lingkungan,
pidana dianggap sebagai upaya pengendalian pencemaran dan perusakan
lingkungan.

8
Alfikri, 2021, “Kebijakan penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja”, Jurnal Eksekusi, Vol 3, No 1, 1-17.
Substansi pemidanaan merupakan reaksi atas delik lingkungan yang
mengandung suatu tujuan ideal dalam tataran filosofis untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap suatu ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam
UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan
ancaman sanksi pidana.9 Tetapi pemidanan di sini bukan semata-mata karena telah
terjadinya suatu delik, tetapi lebih dari itu agar perbuatan atau tindak pidana
tersebut tidak dilakukan lagi. Perubahan Pasal 82 B dalam Undang-Undang Cipta
Kerja hanya berupa sanksi administrasi dan tidak mencantumkan jenis sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan.
Tentunya hal ini, membawa angin segar bagi para pengusaha atau
kelompok tertentu dalam menggunakan atau melakukan suatu kegiatan yang
berhubungan langsung dengan lingkungan tanpa memperhatikan dampak yang
mungkin akan terjadi terhadap masyarakat disekitarnya, serta menandakan
semakin melemahnya penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
1. Efektivitas Pemberlakuan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan limbah
B3
Di indoensia dapat dikatakan kondisi lingkungan hidup semkain
mengkhaatirkan dari waktu kewaktu. Dengan adanya peningkatan sektor industri
skala rumah tangga maupun berbadan hukum besar, yang dapat meningkatkan
ketergantungan lingkungan dari limbah b3 yang dihasilkan, baik pada proses
produksi maupun dalam penggunaan barang hasil produksi.10
Suatu limbah dapat digolongkan sebagai limbah B3 jika mengandung
bahan berbahaya yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung, dapat merusak
atau mencemarkan lingkungan hidup ataupun membahayakan kesehatan manusia.
Untuk itu, penting adanya aturan yang harus diterapkan dalam dunia industri agar
kegiatan yang menggunakan bahan B3 dapat dikurangi karena dapat mencemari
dan merusak lingkungan.

9
Erwin Susanto, 2019, “Penerapan sanksi pidana terhadap tanggung jwab usaha yang membuang
bahan berbahaya dan beracun (B3) menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”, Jurnal Lex Crimen, Vol 8, No 6, 38.
10
Achmad Faishal, 2016, Hukum Lingkungan Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm 39.
Dalam rangka menangani permasalahan melimpahnya produksi limbah
B3, pemerintah dalam hal ini adalah KLHK berupaya meningkatkan kualitas
layanan perizinan pengelolan limbah B3. Kualitas layanan yang baik akan
mendorong pihak swasta melakukan pengelolaan limbah tersebut. Upaya ini
penting untuk dilakukan terus-menerus karena dalam beberapa kasus pihak swasta
mengaku pelayanan izin terlalu berbelit.11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap
pengaturan pengelolaan limbah B3 bagi entitas bisnis.12 Ketentuan pengelolaan
limbah B3 pada Pasal 39 PP Nomor 5 Tahun 2021. Dalam aturan tersebut terdapat
empat kategori pengelolaan limbah B3 yaitu pengumpulan, pemanfaatan,
pengolahan dan penimbunan. Untuk penghasil limbah B3 wajib hukumnya untuk
bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah tersebut. Bagi entitas yang tidak
mampu mengelolanya maka dikirim ke pihak ketiga untuk dapat dikelola. Bidang
usaha pengelolaan limbah B3 termasuk dalam resiko tingkat tinggi. Dengan
begitu harus ada penanganan serius dalam pengelolaan limbah B3, hal ini didasari
karena pengelolaan limbah B3 dapat berbahaya dan beracun bagi lingkungan dan
manusia jika penggunaannya tidak dibatasi.
Secara teknis pengelolaan limbah B3 tercantum dalam Peraturan Menteri
LHK No.3/2021 dan Permen LHK No.6/2021. Kemudian, terdapat juga
perubahan peraturan soal limbah B3 yang sebelumnya terdapat pada PP 101/2014
tentang Pengelolaan Limbah B3 menjadi PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perubahan pengelolaan limbah B3 salah satunya mengenai perizinan.
Setelah berlakunya UU Cipta Kerja serta aturan turunannya maka izin usaha
pengelolaan limbah berubah menjadi persetujuan teknis. Sehubungan dengan
penyimpanan limbah B3 maka tidak perlu persetujuan teknis, namun
diintegrasikan dengan persetujuan lingkungan. Setelah mendapatkan persetujuan
teknis maka diterbitkan surat kelayakan operasi (SLO). Dalam hal ini, apabila

11
Yudi Suyudi, 2014, “Rawannya Pelanggaran dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3)”, Jurnal Lingkar Widyaiswara, Vol 1, No 4, 41-46.
Pengelolaan limbah industri B3 secara terintegrasi dapat menjadi tonggak penting
dalam mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.13
Pada dasarnya bentuk-bentuk pemanfaatan Limbah B3 adalah reuse,
recycle dan recovery.14 Perizinan yang diperlukan dalam pemanfaatan limbah B3
berubah dari waktu ke waktu, dan terakhir perubahan mendasar terjadi pasca-
berlakunya UU Cipta Kerja. Setelah berlakunya UU Cipta Kerja, perizinan
kegiatan terkait Lingkungan Hidup tidak hanya berada di bawah Undang-Undang
atau Peraturan dalam bidang Lingkungan Hidup, namun juga dilengkapi peraturan
mengenai perizinan berusaha.
Perizinan di sini memiliki peran penting dalam melindungi dan menjaga
kelestarian masyarakat dari kegiatan pengelolaan serta dampaknya terhadap
lingkungan harus mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik sebagai standar bagi pemerintah. Dengan adanya penghapusa perizinan
kegiatan usaha lingkungan dalam UU Cipta Kerja sangat berdampak pada
lingkungan hidup, hal ini dikarena ada kewenangan pemerintah yang hilang
Penghapusan izin usaha ini juga dapat melemahkan fungsi pemerintah dalam
melaksanakan jaminan akan perlindungan lingkungan.
Dengan melemahnya fungsi pemerintah muncul bahaya yang senantiasa
mengancam kelestarian lingkungan mengingat dengan adanya penghapusan izin
usaha maka pemerintah tidak memiliki legalitas yang kuat untuk menghentikan
usaha tersebut di karenakan tidak adanya izin usaha. Pengelolaan lingkungan yang
berkepanjangan dengan metode pelaksanaanyang tidak sesuai itulah yang sangat
berdampak pada ekosistem dari suatu lingkungan terganggu kelestariannya oleh
karena pencemaran dan perusakan lingkungan.
Dalam pengelolaan limbah B3 juga , tanggung jawab mutlak dari pelaku
usaha yang melakukan pencemaran dengan limbah B3 dilemahkan. Frasa
“kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” yang terdapat di
Pasal 88 UU PPLH diubah menjadi “kerugian dari usaha atau kegiatannya”.
Dengan perubahan itu, pertanggungjawaban pelaku usaha atas pencemaran
13
SA Fajriyah, dan Eka Wardhani, 2020, Evaluasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) di PT. X, Jurnal Serambi Engineering, Vol 5, No 1, 711-719.
14
Riyanto, 2013, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3), Yogyakarta: Deepublish
lingkungan akibat B3 baru dapat dituntut setelah terlebih dahulu dilakukan
pembuktian untuk melihat ada atau tidaknya unsur kesalahan.15
Jadi, dapat dikatakan bahwa pemberlakuan UU Cipta Kerja justru
mempermudah perizinan dalam penggunaan ataupun pengelolaan limbah B3 yang
semestinya perizinan berusaha tersebut harus lebih difokuskan lagi, mengingat
kandungan limbah B3 itu mengandung zat yang sangat berbahaya yang tentunya
akan mencemari dan merusak lingkungan, serta berbahaya bagi masyarakat jika
penggunannya tidak dibatasi secara maksimal. Sementara persyaratan dan tata
cara pembuangan limbah B3 ke media lingkungan hidup (sungai, tanah, laut, dan
udara) tidak diatur secara rinci dalam UU Cipta kerja.

2. Kendala akibat pemberlakuan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan


limbah B3
Penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana Lingkungan Hidup
yang diganti dengan sanksi administrasi memberikan sinyal semakin
melemahnya penegakan hukum terhadap lingkungan hidup.16Sementara masalah
lingkungan hidup semakin lama semakin serius.
Persoalannya bukan hanya bersifat lokal atau translokal saja, tetapi sudah
bersifat regional, nasional, transnasional, dan global. Sanksi pidana masih
dianggap sebagai sanksi yang paling ampuh dan pamungkas dalam
menanggulangi suatu kejahatan apalagi tingkat kejahatan tersebut memberikan
kerugian yang sangat besar.17Terkait hal tersebut, menimbulkan berbagai macam
kendala dalam pengelolaan B3 yang semakin tidak terkendali, diakibatkan
banyaknya aturan yang bahkan mempermudah proses perizinan penggunaan zat
bahan berbahaya dan beracun tersebut.

16
Nila Amania, 2020, “Problematika Undang-Undang Cipta Kerja sektor lingkungan hidup”,
Jurnal Syariati, Vol 4, No 2, 214.
17
Mochammad Januar Rizki, “Mengenal Aturan dan Proses Pengelolaan Limbah B3 Era UU
Cipta Kerja”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt614190b13b43b/mengenal-aturan-dan-
proses-pengelolaan-limbah-b3-era-uu-cipta-kerja/?page=1, diakses tanggal 19 November 2021 jam
15.30 WIB.
Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam UUPPLH dimaksudkan
untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi
pidana. Dalam spektrum penegakan hukum lingkungan, pidana dianggap sebagai
upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan, dan memberikan
perlindungan hukum terhadap kualitas lingkungan bagi masyarakat. Dalam hal
ini, bahwa pemidanaan bukan semata-mata karena telah terjadinya suatu
delik, tetapi lebih dari itu agar jangan diperbuat lagi delik itu. Sehingga
dengan penghapusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja, akan semakin melemahkan penegakan lingkungan
hidup.18
Pengaturan klaster lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terutama penghapusan sanksi pidana sangat tidak
tepat. Hal ini karena, dalam ketentuan penghapusan sanksi pidana tidak
memberikan pilihan yang dimungkinkan.
Penerapan instrumen hukum administrasi bertujuan agar perbuatan atau
pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti
atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh
karena itu, fokus dari penerapan sanksi administratif adalah perbuatannya,
sedangkan sanksi dari hukum pidana adalah orangnya. Sementara penerapan
sanksi administrasi adalah merupakan konsekuensi lanjutan dari tindakan
pengawasan pengelolaan lingkungan hidup.
Salah satu obyek pengaturan pemerintah dalam lingkungan hidup adalah
pengelolahan limbah B3 yang merupakan hasil sisa dari penemuan-penemuan
bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi yang mana digunakan oleh sektor-
sektor militer, kesehatan, industri, dan energi di banyak negara, termasuk
indonesia. Namun, aktivitas itu dipandang sebagai sumber resiko lingkungan,
karena dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan adanya akibat serius
seperti timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, tumor, kematian, adanya

18
Sri Sufiyati dan, Munsyarif Abdul Chalim, 2017, “Kebijakan Hukum Pidana dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum Khaira Ummah , Vol 12, No 3,
463.
perubahan genetika, dan lahirnya bayi-bayi dalam keadaan cacat.19 Sehingga
keberadaan limbah B3 banyak menimbulkan rentan kerugian bagi kualitas
lingkungan, kesehatan dan keselamatan makhluk hidup lainnya.
Hingga saat ini produksi limbah B3 di indonesia selalu meningkat dengan
tingginya tingkat industrialisasi.20 Dalam PP No. 101 Tahun 2014 tentang
pengelolahan limbah bahan berbahaya dan beracun. Peraturan tersebut mengatur
tentang kegiatan pengelolahan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri,
gubernur, atau walikota/bupati sesuai dengan kewenangannya. Kegiatan yang
dimaksud adalah (1) penyimpangan (2) pengumpulan (3) pengangkutan (4)
pemanfaatan (5) pengelolahan dan (6) penimbunan.
Hampir setiap industri menghasilan limbah B3 yang mana berupa logam
berat, cat dan zat warna, peptisida, sianida, pelarut, minyak, dan zat kimia yang
lainnya.21 Tanpa adanya pengelolahan yang baik serta memadai, dapat
mengakibatkan banyak efek samping yang sangat buruk bagi kesehatan manusia.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat, harus disertai juga
pengelolahan limbah B3 yang baik dan memadai.
Selain itu juga, banyak pihak termasuk pemerintah belum menyadari
dampak dan bahaya dari limbah yang dihasilkan.22 Hal ini menjadi masalah yang
sangat serius karena jumlah industri kecil di Indonesia cukup besar. Banyaknya
pihak pengelola yang tidak memiliki izin akan makin mempersulit pemerintah
untuk melakukan pengendalian. Oleh karena itu persoalan perizinan ini juga
menjadi hal penting untuk diperhatikan untuk mendukung fungsi pengawasan
yang lebih baik lagi.23

19
Amania, N. (2020). Problematika Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Lingkungan
Hidup. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum, 6(02), 209-220.
20
Umboh, M. N. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat dari Dampak Pencemaran
Lingkungan yang Dilakukan oleh Perusahaan. Lex Et Societatis, 8(1).
21
Harjono, D. K. (2021). Hukum Bisnis Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomer 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja
22
Yulinah Trihadiningrum, 2016, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3),
Yogyakarta: Teknosain.
23
Siregar, F. Y. D. (2020). Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha di Bidang
Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 7(2),
184-192.
Maka dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan hidup perlu
diberlakukan sanksi pidana secara primum remidium, tindak pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup perlu disikapi dengan tegas melalui penerapan
sanksi-sanksi pidana. Namun dilain sisi pemidanaan juga dimaksudkan untuk
memperbaiki keadaan juga mencegah orang lain melakukan tindak pidana yang
serupa.Secara garis besar, Undang-undang cipta kerja itu mengahapus, mengubah
dan menetapkan aturan baru terkait dengan perizinan berusaha yang diatur dalam
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup.
Kemudian dalam Undang-Undang Cipta Kerja pasal yang dianggap
bermasalah itu terdapat dalam pasal 88, setiap orang yang tindakannya, usahanya
dan atau kegiatannya menggunakan B3 dan atau menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.24 Maksud dari isi pasal 88 itu berarti
penghilangan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” Tertuju pada konsep
strict liability atau asas tanggung jawab mutlak. Seperti ketika ada sesorang
melakukan kesalahan yang sangat berbahaya maka dia wajib memikul segala
kerugian yang ditimbulkan walaupun dia bertindak sudah sangat hati-hati untuk
mencegah bahaya atau kerugian walaupun dilakukan juga tanpa kesengajaan.
Dalam gugatan pencemaran seringkali keterkaitan antara zat kimia dengan
kerugian yang diderita penggugat menjadi perdebatan sebab kemungkinan adanya
penyebab ganda, bukan hanya dari zat pencemar. Karena masalah tersebut konsep
pertanggungjawaban mutlak dikembangkan (strict liability).25 Penghilangan
frasa“tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” merupakan sebuah kemunduran di
bidang penegakan hukum lingkungan, kembali kepada doktrin tradisional berupa
pertanggungjawaban berdasar kesalahan yang sulit mengatasi kendala gugatan
lingkungan.

24
Lihat Pasal 88 PPLH
25
Siregar, T. M. N., & Fernando, Z. J. (2021). Strict Liability Yang Tersembunyi: Lingkungan
Hidup Dan Kejahatan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, 2(2), 1-13.
Dalam hal ini, tentunya akan menimbulkan berbagai Pelanggaran dalam
pengelolaan limbah B3 karena apabila pengusaha menggunakan B3 secara
berlebihan atau tanpa izin itu hanya dikenakan dikenakan sanksi administratif.26
Selain itu, kegiatan usaha juga dapat mengganggu dan menghancurkan
fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Pada berbagai bencana lingkungan seperti
banjir, pencemaran lingkungan yang menjadi bencana yang harus di derita oleh
rakyat dari tahun ke tahun dan sebagian besar bencana di akibatkan oleh pola-pola
pembangunan yang tidak memperdulikan tuntutan keseimbangan ekologis dan
tidak konsistenya penegakan hukum, serta di perlukannya kebijakan
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang harus lebih
diperhatikan lagi.
Namun, pengelola limbah B3 tidak secara langsung mendapatkan sanksi
administratif. Pemerintah perlu untuk melakukan pembinaan terlebih dahulu bagi
pihak pengelola. Penerapan pengawasan ini tidak selalu berjalan lancar, seringkali
menghadapi berbagai tantangan yakni kurangnya jumlah dan kemampuan
pengawas, keterbatasan sarana pemeriksaan, minimnya pengetahuan masyarakat,
banyaknya pengelola limbah B3 yang tidak berizin, dan jenis instrumen memiliki
kelemahan-kelemahan.

D. KESIMPULAN
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai upaya melindungi
lingkungan hidup yang terfokus kepada masyarakat, salah satu yang menjadi poin
penting dalam perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam UU PLH adalah
perencanaan penggunaan lingkungan.
Setelah adanya pengesahan UU No. 11 tentang Cipta Kerja banyak
perubahan dan tidak sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2009. Sehingga
menimbulkan berbagain kontroversi dari salah satunya dalam pengelolahan
Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Setelah berlakunya UU Cipta Kerja
serta aturan turunannya maka izin usaha pengelolaan limbah berubah menjadi
26
Enri Damanhuri, 2010, Pengelolaan Bahan berbahaya dan Beracun (B3), Bandung: Institut
Teknologi Bandung, Diktat Kuliah.
persetujuan teknis Perubahan terkait „izin pengelolahan lingkungan‟ menjadi
„persetujuan teknis pengelolahan limbah B3” yang mana sudah diintegrasikan ke
dalam persetujuan lingkungan. Selain itu, adanya penghapusan sanksi pidana
terhadap tindak pidana Lingkungan Hidup yang diganti dengan sanksi
administrasi. Hal tersebut memberikan sinyal semakin melemahnya penegakan
hukum terhadap lingkungan hidup
Efektivitas pemberlakukan UU No Cipta Kerja dalam pengelolahan
limbah B3 (Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya) yang sesuai aturan dan benar
sebagai hal penting yang harus diterapkan dalam dunia industri agar kegiatan
usahanya tidak mencemari dan merusak lingkungan. Sesuai dengan pasal 28H
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, dapat diketahui bahwa setiap orang berhak
atas lingkungan yang baik dan sehat.
Dengan begitu, harus ada penanganan serius dalam pengelolahan limbah
B3, hal ini didasari karena pengelolahan limbah B3 dapat berbahaya dan beracun
bagi lingkungan dan manusia jika penggunaannya tidak dibatasi, atau bahkan
penggunannya perlu dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arisandi, P. (2018). Jejak Beracun. Gresik: Ecoton-Detox.

Damanhuri, E. (2010). Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) .


Bandung: Instut Teknologi Bandung, Diktat Kuliah.

Harjono, D. K. (2021). Hukum Bisnis Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomer


11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Manik, K. E. S. (2018). Pengelolaan lingkungan hidup. Kencana.

Riyanto. (2013). Limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3).


Yogyakarta: Deepublish.
Siahaan, N. (2004). Hukum Lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta:
Erlangga.

Supramono, G. (2015). penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia.


Jakarta: Rineka Cipta.

Supramono, G. (2015). penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia.


Jakarta: Rineka Cipta.

Syaprillah, A. (2018). Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan. Deepublish.

Trihadiningrum, Y. (2016). Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun


(B3). Yogyakarta: Teknosain.

Wahidin, S. (2014). Dimensi Hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyuni, E. T. (2014). Optimalisasi Pengelolaan Sampah Melalui Partisipasi


Masyarakat dan Kajian Extended Producer Responsibility (EPR) di
KabupatenMagetan (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret
University).

Jurnal

Amania, N. (2020). Problematika Undang-Undang Cipta Kerja sektor lingkungan


hidup. Jurnal Syariati, 4(2), 214.

Alfikri. (2021). Kebijakan penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana


lingkungan dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta
kerja. Jurnal Eksekusi, 3(1), 1-17.

Ali, M. F. (2021). Efektivitas Omnibuslaw dalam Pembangunan Investasi (Studi


Kasus Perusahaan Tesla. Inc). Jurnal Syntax Transformation, 2(10), 1447-
1464.

Baihaki, M. R. (2021). Persetujuan Lingkungan Sebagai Objectum Litis Hak


Tanggung Gugat Di Peradilan Tata Usaha Negara (Telaah Kritis
Pergeseran Nomenklatur Izin Lingkungan Menjadi Persetujuan
Lingkungan Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja). Majalah Hukum Nasional, 51(1), 1-20.

Bangsawan, M. I., Budiono, A., & Damayanti, F. N. (2021). Penyuluhan dan


Sosialisasi Uji Materi Undang-Undang Cipta Kerja Bidang
Lingkungan. Jurnal Altifani Penelitian

Devara, E., Priyanta, M., & Adharani, Y. (2021). Inovasi Pendekatan Berbasis
Risiko Dalam Persetujuan Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang
Cipta Kerja. Litra: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan
Agraria, 1(1), 101-116.

Fajriyah, S. A. (2020). Evaluasi Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan


beracun (B3) di PT.X. Jurnal Serambi Engineering, 5(1), 711-719.

Harahap, M. S. (2021). Perspektif RUU Cipta Kerja Ditinjau Berdasarkan UUD


1945. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 6(1), 59-73.

Jeumpa, I. K. (2010). Perumusan Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 12(3), 656-679.

Kalangi, K. (2018). Kedudukan AMDAL Tentang Eksploitasi Pertambangan


Menurut Undang-Undang Nomer. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolahan Lingkungan Hidup. Lex Privatum, 6(1).

Kurniawan, B. (2019). Pengawasan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan


beracun (B3) Di Indonesia dan tantangannya. Jurnal Dinamika
Governance, 9(1), 1-13.

Kurniawan, B. (2019). Pengawasan Pengelolaan limbah Bahan berbahaya dan


beracun (B3) di Indonesia dan tantangannya. Jurnal Din Gov, 9(1), 39-49.
LUBIS, A. L. (2021). Kebijakan Penghapusan Sanksi Pidana Terhadap Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja. Ekseklusif 3(1), 1-17.

Luhukay, R. S. (2021). Penghapusan Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Dalam


Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Jurnal Meta-Yuridis, 4(1).

Mardhatillah, S. R. (2016). Urgensi Dan Efektifitas Sanksi Administrasi Dalam


Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, 23(3), 486-502.

Maulana, A. (2020). Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan


Yang Melakukan Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3). Lex Administratum, 8(5).

Maulana, A. (2020). Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan


Yang Melakukan Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3). Lex Administratum, 8(5).

Pambudhi, H. D., & Ramadayanti, E. (2021). Menilai Kembali Politik Hukum


Perlindungan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja untuk Mendukung
Keberlanjutan Ekologis. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 7(2), 297-
322.

Nurhidayanti, N., & Arinih, C. (2019). Kajian pengelolaan limbah bahan


berbahaya dan beracun (B3). Jurnal Informatika, Arsitektur, dan
Lingkungan, 14(2), 93-102.

Sufiyati, S., & Chalim, M. A. (2017). Kebijakan hukum pidana dalam


menanggulangi tindak pidana lingkungan hidup. Jurnal hukum Khaira
Ummah, 12(3), 463.

Susanto, E. (2019). Penerapan sanksi pidana terhadap tanggung jawab usaha yang
membuang bahan berbahaya dan beracun (B3) menurut Undang-Undang
No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Jurnal Lex Crimen, 8(6), 38.

Suyudi, Y. (2014). Rawannya Pelanngaran dalam pengelolaan limbah bahan


berbahaya dan beracun (B3). Jurnal Lingkar Widyaiswara, 1(4), 41-46.

Siregar, F. Y. D. (2020). Aspek Hukum Penyederhanaan Perizinan Badan Usaha


di Bidang Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta
Kerja. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 7(2), 184-192.

Suryani, A. S. (2014). Peran bank sampah dalam efektivitas pengelolaan sampah


(studi kasus bank sampah Malang). Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah
Sosial, 5(1), 71-84.

Siregar, T. M. N., & Fernando, Z. J. (2021). Strict Liability Yang Tersembunyi:


Lingkungan Hidup Dan Kejahatan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum
Pidana dan Kriminologi, 2(2), 1-13.

Umboh, M. N. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat dari Dampak


Pencemaran Lingkungan yang Dilakukan oleh Perusahaan. Lex Et
Societatis, 8(1).

Internet

Aidhya Diory, “Perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait Prinsip Strict


Liability”, https://www.pphbi.com/perubahan-pasal-88-uu-lingkungan-
hidup-terkait-prinsip-strict-liability/, diakses tanggal 18 November 2021
jam 07.12 WIB.

Mochammad Januar Rizki, “Mengenal Aturan dan Proses Pengelolaan Limbah B3

Era UU Cipta Kerja”,


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt614190b13b43b/mengenal-
aturan-dan-proses-pengelolaan-limbah-b3-era-uu-cipta-kerja/?page=1,
diakses tanggal 19 November 2021 jam 15.30 WIB.
Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 3 Tahun 2021


tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021


tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan


Berusaha Berbasis Risiko.

Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai