Anda di halaman 1dari 18

FUTURE PROJECT FOR SOLID WASTE MANAGEMENT DI INDONESIA

“ Refuse - Derived Fuel (RDF)”

Dosen Pengampu: Dr. Dra. Nur Endah Wahyuningsih, MS

Disusun Oleh:

Bela Amalia Nur A. 25000121130096


David Juan Situmorang 25000121140177
Hanifah Khoirunnisa D 25000121130163
Hikmatun Nazillah 25000121120052
Miftha Fani Rizky 25000121140205
Novia Salsabila Heon 25000121120020
Roudhotun Nur Wahab 25000121130098
Tania Putri Afriyanto 25000121140327

Kelompok 4

KELAS 5 – KESEHATAN LINGKUNGAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Future Project
for Solid Waste Management di Indonesia ‘Refuse - Derived Fuel (RDF)'”. Ucapan terima
kasih disampaikan kepada Dr. Dra. Nur Endah Wahyuningsih, MS selaku dosen mata kuliah
Pengolahan Sampah. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat membuat makalah ini menjadi
lebih baik serta bermanfaat bagi penyusun dan pembaca.

Semarang, 25 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................................... 1
B. Tujuan....................................................................................................................................1
C. Manfaat..................................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
A. Pengertian Sampah................................................................................................................3
B. Pengertian Waste to Energy (WTE)...................................................................................... 3
C. Karakteristik Wilayah Kota Cirebon..................................................................................... 5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................... 7
A. Kondisi Demografi Kota Cirebon......................................................................................... 7
1. Jumlah Penduduk............................................................................................................. 7
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia..........................................................................7
3. Kepadatan Penduduk....................................................................................................... 8
B. Permasalahan Sampah di Kota Cirebon................................................................................ 8
C. Pengertian Refuse - Derived Fuel (RDF)..............................................................................8
D. Proses Refuse - Derived Fuel (RDF) pada PT. Indocement................................................. 9
E. Kelebihan dan Kelemahan Metode RDF.............................................................................12
1. Kelebihan....................................................................................................................... 12
2. Kelemahan..................................................................................................................... 13
BAB IV..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk secara berkala mendorong peningkatan kebutuhan manusia
untuk mencukupi keinginan dan kebutuhan mereka yang beragam. Adanya peningkatan
kebutuhan ini sejalan dengan meningkatnya volume sampah yang dihasilkan tiap harinya.
Sampah didefinisikan sebagai bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan baik skala
industri, rumah tangga, dan instansi yang dilakukan oleh manusia. Menurut data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020 timbulan
sampah di Indonesia sudah mencapai 72 juta ton per tahun. Tingginya angka timbulan
sampah ini dapat berdampak buruk bagi lingkungan baik pencemaran tanah, air, dan udara
dan mengganggu spesies dalam ekosistem serta berpengaruh pada kesehatan manusia.
Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah penanganan untuk mengatasi dampak buruk
tersebut.
Kota Cirebon merupakan kota yang termasuk ke dalam kategori kota sedang dengan
jumlah penduduk pada tahun 2022 sebanyak 346.438 jiwa. Menurut Status Lingkungan
Hidup Daerah (SLHD), pada tahun 2022 jumlah sampah yang dihasilkan penduduk Kota
Cirebon setiap harinya mencapai 1,319 m³/hari, sedangkan sampah yang dapat diangkut ke
TPA hanya 813m³/hari dengan komposisi sampah terdiri dari sampah non-organik sebesar
70% dan sampah organik sebesar 30%. Salah satu pengolahan sampah yang dapat
dilakukan adalah dengan mengubah sampah yang belum dikelola tersebut dan
mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif menjadi Refuse Derived Fuel (RDF). Dengan
dilakukannya pengolahan ini, diharapkan dapat mengatasi dampak buruk yang dapat
ditimbulkan dari adanya sampah terhadap lingkungan dan kesehatan.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui rencana yang akan dilakukan untuk mencegah penumpukan
sampah di masa depan.
2. Untuk menentukan metode yang cocok untuk permasalahan sampah di Kota
Cirebon.
C. Manfaat

1
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu:

1. Penulisan ini mampu memberikan pengetahuan dan wawasan bagi para generasi
muda agar bisa lebih peduli lagi dengan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
2. Penulisan ini dapat dijadikan acuan untuk realisasi program yang dirancang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sampah
Sampah menurut WHO (World Health Organization), sampah merupakan suatu materi
yang tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang
berasal dari kegiatan manusia. Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2008 sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat. Sampah dapat digolongkan kedalam dua jenis yaitu sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari proses industri
dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diperbaharui oleh alam. Dikarenakan
memerlukan waktu yang relatif lama, sampah anorganik semakin lama akan semakin
menumpuk dan dapat mengganggu keberlangsungan makhluk hidup Ditinjau dari
sumbernya, sampah berasal dari beberapa tempat, yakni:
1. Sampah dari pemukiman penduduk pada suatu pemukiman biasanya sampah
dihasilkan oleh suatu keluarga yang tinggal di suatu bangunan atau asrama. Jenis
sampah yang dihasilkan biasanya organik, seperti sisa makanan atau sampah yang
bersifat basah, kering, abu plastik dan lainnya.
2. Sampah dari tempat-tempat umum dan perdagangan tempat tempat umum adalah
tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul dan melakukan kegiatan.
Tempat-tempat tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam memproduksi
sampah termasuk tempat perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang
dihasilkan umumnya berupa sisa-sisa makanan, sayuran dan buah busuk, sampah
kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng-kaleng serta sampah lainnya.

B. Pengertian Waste to Energy (WTE)


Teknologi mengubah limbah atau sampah menjadi energi (Waste to Energy
Technology/ WTE-T) adalah teknologi yang sangat menjanjikan bagi negara
berkembang untuk mengubah limbah menjadi bentuk energi yang dapat digunakan. Di
negara maju, pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan merupakan rangkaian dari
Integrated Waste Management System (ISWMS) yang dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan sampah. WTE-T tidak hanya memberikan solusi untuk permasalahan

3
pengolahan sampah menjadi energi yang dapat digunakan, di luar dari itu, WTE-T juga
berkontribusi terhadap pengendalian pemanasan global dan perubahan iklim.
Di beberapa negara di dunia, WTE-T berperan penting dalam pengelolaan sampah
berkelanjutan dan pengurangan masalah lingkungan yang ditimbulkan dari sampah.
Teknologi yang umum digunakan untuk pengolahan sampah dalam bentuk WTE-T adalah
pengolahan secara biologis dan perlakuan termal. Pendekatan waste-to-energy (WTE)
dengan menggunakan prinsip biologi seringkali melibatkan proses fermentasi atau
dekomposisi mikroba untuk menghasilkan gas metana, yang dapat digunakan sebagai
sumber energi.
Contoh penerapan WTE secara biologis:
1. Fermentasi: Metode ini menghasilkan perubahan kimiawi pada substansi organik
melalui enzim dalam keadaan tidak ada oksigen.
2. Anaerobic digestion: Menggunakan mikroorganisme untuk menghancurkan substansi
yang bisa terbiodegradasi. Metode ini digunakan baik di tingkat domestik maupun
tingkat komersial untuk menangkap pelepasan energi yang dihasilkan saat prosesnya.
Waste-to-Energy (WTE) secara termal mencakup berbagai teknologi yang
menggunakan panas yang dihasilkan dari pembakaran atau reaksi termal untuk
menghasilkan energi, seperti listrik atau panas. Beberapa contoh teknologi WTE termal
melibatkan pembakaran sampah untuk menghasilkan panas yang kemudian digunakan
untuk menggerakkan turbin atau menghasilkan uap yang menggerakkan turbin listrik.
Contoh penerapan WTE dengan perlakuan termal:
1. Depolymerization/Hydrous Pyrolysis: Sebuah metode yang memanfaatkan
dekomposisi termal, dimana dengan adanya air, komponen organik dipanaskan dalam
temperatur tinggi.
2. Gasification: Mengkonversi substansi yang mengandung karbon menjadi karbon
dioksida, karbon monoksida, serta hidrogen. Proses ini, layaknya insinerasi,
menggunakan temperatur tinggi. Perbedaannya adalah tidak ada pembakaran.
3. Pyrolysis: Mirip dengan hydrous pyrolysis, tetapi bedanya tidak menggunakan
oksigen. Metode pyrolysis menggunakan sampah dari agrikultur atau sampah organik
dari industri.

4
4. Plasma Arc Gasification: Obor plasma digunakan untuk mengionisasi gas sehingga
akan diperoleh gas sintesis. Proses ini menghasilkan listrik sembari mengompresi
sampah.

C. Karakteristik Wilayah Kota Cirebon

Kota Cirebon terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat dan berada pada jalur utama
lintas pantura. Secara geografis Kota Cirebon berada pada posisi 6,41º Lintang Selatan dan
108,33º Bujur Timur pada Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Bentuk wilayah Kota
Cirebon memanjang dari Barat ke Timur sekitar 8 kilometer dan dari Utara ke Selatan
sekitar 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut ±5 meter. Batas-batas wilayah
Kota Cirebon yaitu:
a) Bagian Utara: Sungai Kedung Pane
b) Bagian Barat: Sungai Banjir Kanal/Kabupaten Cirebon
c) Bagian Selatan: Sungai Kalijaga
d) Bagian Timur: Laut Jawa
Kota Cirebon memiliki luas wilayah administrasi sekitar 37,358 km² atau sekitar 3.736
hektar yang terbagi ke dalam lima kecamatan, yaitu Harjamukti, Lemahwungkuk,
Pekalipan, Kejaksan dan Kesambi. Wilayah Kota Cirebon merupakan dataran rendah

5
dengan ketinggian bervariasi antara 0-200 meter di atas permukaan laut. Peningkatan
ketinggian mulai dari daerah pantai menuju ke arah Selatan dengan ketinggian maksimal
200 meter, yaitu di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti.
Sesuai dengan lokasi wilayah yang berada di tepi laut, Kota Cirebon termasuk daerah
bertemperatur udara cukup tinggi dengan suhu udara minimum rata-rata tahun 2017
sebesar 24,13º C dan maksimum rata-rata 31,18º C serta banyaknya curah hujan 2.323,1
mm per tahun. Jenis tanah yang terbentuk di Kota Cirebon dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok yaitu jenis tanah alluvial dengan luas lahan 2.509,27 Ha, tanah latosol dengan
luas 322,84 Ha dan jenis tanah grumosol dengan luas lahan 1.106,91 Ha.

6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Demografi Kota Cirebon


1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kota Cirebon pada tahun 2022 adalah sebanyak 346.438 jiwa.
Jumlah ini mengalami peningkatan dari 5 tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2018
jumlah penduduknya sebesar 337.586 jiwa dengan kenaikan sebesar 8.852 jiwa.
Berdasarkan proporsi jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki hampir sebanding
dengan penduduk perempuan, yaitu 50,16% laki-laki atau 173.756 jiwa dan 49,84%
perempuan atau 172.682 jiwa.
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia

Penduduk Kota Cirebon lebih didominasi oleh kelompok usia produktif (15-64
tahun), yaitu sebanyak 238.387 jiwa atau 68.81% dan kelompok umur yang tergolong
tidak produktif sebanyak 108.051 jiwa atau 31,19% dari total jumlah penduduk.
Dengan adanya bonus demografis ini, Kota Cirebon diuntungkan dengan memiliki

7
peluang untuk dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas masyarakatnya. Bonus
demografis diartikan sebagai peluang (window of opportunity) yang dimiliki suatu
wilayah sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif.
3. Kepadatan Penduduk
Berdasarkan luas wilayah dibandingkan populasi penduduk, kepadatan penduduk
Kota Cirebon rata-rata sekitar 8.784 orang/km2. Kepadatan penduduk di Kota Cirebon
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terus meningkat. Berdasarkan tingkat kepadatan
penduduk, kepadatan tertinggi berada di Kelurahan Jagasatru sebesar 30.266 jiwa/km2
dan yang terendah ada di kelurahan Argasunya sebesar 3.747 jiwa/km2.

B. Permasalahan Sampah di Kota Cirebon


Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon Tahun 2021, jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan di Kota Cirebon per hari yaitu 229.750 kg/hari, volume
sampah yang terangkut ke TPA di Kota Cirebon sebesar 562 m3/hari. Persentase sampah
yang diangkut ke TPA sebesar 63%, sehingga sampah yang tidak terangkut sebesar 37%.
Sampah Kota Cirebon terdiri dari sampah non-organik sebesar 70% dan sampah organik
sebesar 30%.
Sistem pengelolaan sampah di TPA Kopiluhur Kota Cirebon masih menggunakan
sistem open dumping. TPA Kopi Luhur memiliki luas tanah sebesar 14 hektar. Dari 14
hektar, 7-8 hektar terpakai sebagai tempat pengelolaan sampah yang terbagi menjadi 5
zona. Dengan jumlah angkutan dan volume sampah yang ada, daya tampung TPA
Kopiluhur diperkirakan akan mencapai volume maksimal hingga 3 tahun mendatang

C. Pengertian Refuse - Derived Fuel (RDF)


Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan bahan bakar alternatif yang berasal dari proses
mekanis dengan bahan baku sampah perkotaan yang tercampur dimana sampah yang
non-combustible disisihkan untuk menghasilkan campuran yang homogen. Secara umum
sistem RDF memiliki dua fungsi yaitu produksi dan pembakaran. Pada proses produksi,
sampah yang dapat didaur ulang seperti kaca dan besi disisihkan terlebih dulu sehingga
tidak masuk ke tahapan produksi RDF. Sedangkan sampah jenis lain seperti sampah
organik, kertas, dan plastik dapat digunakan sebagai bahan baku dan dicacah untuk
mereduksi ukuran yang selanjutnya diolah untuk menghasilkan produk RDF seperti fluff

8
atau pellet. Sampah yang paling tepat untuk produksi RDF yaitu memiliki kandungan
karbon tinggi setelah dipisahkan dari sampah yang dapat didaur ulang. Sistem RDF dibagi
menjadi dua yaitu Shred and burn system dan Simplified process system.

D. Proses Refuse - Derived Fuel (RDF) pada PT. Indocement


Proses RDF di PT Indocement melibatkan penerimaan RDF dari fasilitas pengolahan
sampah, yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan
bahan bakar fosil, terutama batubara, dalam proses produksi semen. Pendekatan ini tidak
hanya membantu mengurangi penggunaan batu bara, tetapi juga mengatasi masalah
pengelolaan sampah perkotaan secara efisien, sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah
kaca dan CO2.
1. Penyiapan Sampah sebagai Proses Pengolahan Awal Sampah
Langkah awal penyiapan sampah yaitu dengan cara memisahkan material besar
yang dapat menyebabkan masalah terhadap peralatan pengolahan. Teknik penyiapan
sampah selanjutnya secara mekanik bertujuan untuk menyiapkan sampah untuk tahap
berikutnya. Tujuan dari teknik ini adalah mencacah dan menyeragamkan sampah
menjadi partikel yang lebih kecil dengan ukuran yang sesuai untuk berbagai proses
pemisahan atau pengolahan biologis berikutnya. Adapun pilihan teknologi untuk
menyiapkan sampah diantaranya teknik hammer mill, shredder, rotating drum, ball
mill, wet rotating drum with knives. Jenis proses yang digunakan dalam pengolahan
selanjutnya menentukan seberapa jauh pengolahan mekanis perlu dilakukan. Proses
yang dilakukan diantaranya pencacahan dan homogenisasi, pemisahan fraksi kasar dan
halus, pemisahan logam besi dan logam non besi, pengolahan fraksi berkalori tinggi,
dan penghilangan pengotor dan bahan bahan yang dapat didaur ulang dengan
menggunakan sensor.
2. Pemisahan Sampah
Aspek umum dari teknologi Mechanical Biological Treatment dalam pengolahan
sampah adalah pemilahan sampah campuran menjadi fraksi yang berbeda
menggunakan cara mekanis. Apabila proses MBT bertujuan untuk stabilisasi residu
sampah sebelum dibuang di TPA, maka proses pemilahan tidak dibutuhkan. Memilah
sampah memungkinkan proses MBT untuk memisahkan bahan yang berbeda yang
cocok untuk keperluan akhir yang berbeda. Potensi penggunaan akhir termasuk daur

9
ulang material, pengolahan biologis, pemulihan energi melalui produksi RDF, dan
penimbunan di TPA. Teknologi pemisahan memanfaatkan perbedaan sifat
komponen-komponen sampah. Sifat yang dimaksud meliputi ukuran dan bentuk,
kepadatan, berat, sifat magnetis, dan konduktivitas listrik. Adapun pilihan teknologi
pemisahan sampah diantaranya trommel dan screen, pemisahan manual, pemisahan
magnetik, pemisahan balistik, wet separation technology.
Pada pemisahan magnetik, teknik elektro-magnetik yang dapat diaktifkan atau
dimatikan dapat digunakan untuk memisahkan logam. Namun, tidak semua logam
dapat dihilangkan dengan magnet. Stainless steel dan tembaga misalnya, memiliki
sifat magnetis yang lemah atau sama sekali tidak bersifat magnetis. Keterbatasan lain
dari teknik ini adalah bahan-bahan yang memiliki sifat magnetis lemah tidak akan
mampu tertarik jika berada di dalam bahan non-magnetis, dan barang-barang yang
memiliki sifat magnetis yang lebih besar dapat menarik material yang tidak diinginkan
seperti kertas, plastik, dan sampah makanan secara bersamaan.
3. Pengolahan Biologi
Melalui dekomposisi terkontrol dari zat organik, pengolahan sampah secara MBT
dapat mengurangi emisi ke udara dan air dibandingkan apabila sampah tersebut
langsung dibuang ke TPA. Selain itu, proses MBT pun dapat menurunkan volume
sampah yang harus dibuang ke TPA. Metode MBT paling sesuai diterapkan pada
sampah dengan kandungan material organik mudah terurai (biodegradable) yang
tinggi. Pada dasarnya, ada tiga metode dari dekomposisi secara biologi di fasilitas
MBT:
a. Biostabilisasi secara aerobik
Target utama dari pendekatan ini adalah untuk menstabilkan sampah sehingga
akan mengurangi jumlah komponen mudah terurai yang akan dibuang ke TPA
tanpa pemisahan apapun. Setelah tahap stabilisasi selesai, bahan lain seperti RDF
atau agregat dapat dipisahkan dari Compost Like Output (CLO) melalui tahap
pemurnian kompos.
b. Anaerobic Digestion
Anaerobic Digestion adalah proses biokimia yang berlangsung dalam tangki
tanpa oksigen dan menghasilkan produk utama CO, dan CH, yang dikenal sebagai

10
biogas. Anaerobic Digestion dalam konteks ini akan digunakan sebagai tahap
pertama dari pengolahan biologis yang berfokus pada komponen sampah yang
paling mudah didegradasi secara anaerob. Biogas yang dihasilkan selama proses
ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik dan panas.
c. Bio Drying
Bio-drying adalah variasi dari dekomposisi aerobik untuk mengeringkan dan
menstabilkan sebagian residu sampah. Bio-drying dapat menghasilkan RDF
kualitas tinggi, dengan kandungan biomassa yang tinggi. Tujuan utama dari proses
bio-drying adalah untuk menghasilkan panas yang menguapkan kandungan air
dari sampah, sehingga penanganan sampah lebih mudah dan lebih efisien. Udara
dialirkan ke dalam tumpukan sampah agar tercipta kondisi optimum untuk
aktivitas mikrobiologi yang menghasilkan panas. Panas tersebut digunakan untuk
penguapan kandungan air sampah sehingga terjadi pengeringan sampah. Karena
aktivitas mikrobiologi bergantung pada keberadaan air, maka proses ini melambat
apabila kadar air sampah berkurang hingga tinggal 15 sampai 20 persen. Dengan
pengeringan, nilai kalor sampah akan meningkat.
Parameter untuk memilih proses biodrying meliputi waktu tinggal untuk
pengeringan, biaya instalasi dan biaya operasi, homogenitas sampah yang sudah
kering, lahan yang dibutuhkan, bau, manajemen lindi, dan tingkat automatisasi.
Umumnya proses biodrying diklasifikasikan menurut tipe peralatannya yaitu
Rotary Drum Reactor, Tunnel Box, In-Hall Type, dan Covered Windrows Type.
Dekomposisi aerobik menghasilkan karbon dioksida, uap air, dan panas sehingga
meninggalkan sisa massa organik. Jika pasokan oksigen terganggu, maka proses
berubah menjadi anaerobik, dan fermentasi akan menghasilkan gas metana.
Pengolahan biologis juga dapat menggunakan sistem yang semi-otomatis di dalam
ruangan yang dioptimalkan secara teknis, yang dilengkapi sistem pengendalian
emisi dengan pendekatan intensif. Contoh sistem-sistem tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sistem Windrow
Sistem Windrow dibagi atas dasar metode aerasi substrat menjadi "turned
Windrow" dan "forced air Windrow atau static pile". Windrows dapat dalam

11
beratap maupun tidak beratap. Dalam proses pengomposan Windrow,
campuran untuk kompos ditumpuk membentuk baris paralel panjang.
Penampang Windrows biasanya berbentuk trapesium atau segitiga, tergantung
pada karakteristik dari peralatan yang digunakan untuk agitasi atau aerasi
tumpukan. Dalam forced air Windrow atau sistem pengomposan statis, udara
dihembuskan melalui bagian atas massa sampah atau ditarik melalui bagian
bawah sampah.
b. Sistem In-Vessel
Dalam sistem in-vessel, proses pengomposan terjadi dalam sebuah tangki
tertutup, sehingga memungkinkan operator untuk melakukan pengendalian
proses lebih baik dibandingkan dengan metode pengomposan lainnya. Sistem
ini dirancang untuk meminimalkan bau, misalnya dengan aplikasi bio-filter.
Sistem ini pun meminimalkan waktu proses dengan mengendalikan kondisi
lingkungan seperti aliran udara, suhu, dan konsentrasi oksigen. Tujuan utama
dari desain sistem in vessel adalah untuk memberikan kondisi lingkungan
terbaik, terutama aerasi, suhu, dan kelembaban.
Setelah semua tahapan pemilahan dan pengurangan ukuran selesai, produk RDF dapat
dibentuk seperti bata atau pellet atau dibiarkan sebagai cacahan (fluf). Setiap bentuk terjadi
karena pemisahan material pada tahap tertentu di dalam proses. Potongan besar yang
berasal dari tahap penyaringan dan bahan yang ringan seperti kantong plastik yang terpisah
pada saat pemisahan dengan udara dapat dipadatkan bersama menjadi balok (brick) RDF.
Cacahan RDF berasal dari hammer/lail mill dan partikel berukuran menengah yang
tertahan di trommels.

E. Kelebihan dan Kelemahan Metode RDF


1. Kelebihan

Refuse Derived Fuel (RDF) memiliki beberapa keunggulan sebagai bahan bakar,
termasuk nilai kalor yang tinggi, komposisi fisik-kimia yang seragam, kemudahan
penyimpanan, penanganan, dan transportasi, emisi polutan yang lebih rendah, dan
pengurangan kebutuhan udara untuk proses pembakaran. Meskipun begitu, produksi RDF
dengan nilai kalor tinggi memerlukan proses produksi yang rumit, yang dapat

12
mengurangi efisiensi massa. Kelebihan lainnya termasuk nilai kalori yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Municipal Solid Waste (MSW), kandungan material
non-combustible yang lebih rendah, dan karakteristik pembakaran yang lebih konsisten,
sehingga proses pembakaran dapat lebih terkendali.

2. Kelemahan

Kelemahan utama dari pembakaran Refuse Derived Fuel (RDF) adalah korosi pada
permukaan penukar panas dalam boiler yang disebabkan oleh adanya gas seperti HCl.
Selain itu, keberadaan HCl juga dapat merangsang pembentukan dioksin.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sampah merupakan suatu materi yang tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi,
atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia. Masalah sampah menjadi
masalah yang hampir dialami oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia. Salah satu
cara penanggulangan sampah adalah pengolahan sampah menjadi sesuatu yang dapat
dimanfaatkan lagi seperti penerapan teknologi Waste to Energy (WTE). Teknologi yang
umum digunakan untuk pengolahan sampah dalam bentuk WTE-T adalah pengolahan
secara biologis dan perlakuan termal.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon Tahun 2021, jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan di Kota Cirebon per hari yaitu 229.750 kg/hari, volume
sampah yang terangkut ke TPA di Kota Cirebon sebesar 562 m3/hari. Persentase sampah
yang diangkut ke TPA sebesar 63%, sehingga sampah yang tidak terangkut sebesar 37%.
Sampah Kota Cirebon terdiri dari sampah non-organik sebesar 70% dan sampah organik
sebesar 30%. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah penerapan
teknologi waste to energy dengan Refuse - Derived Fuel (RDF).
Refuse-Derived Fuel (RDF) adalah bahan bakar yang dihasilkan dari sampah domestik
atau sampah komersial, yang telah melalui proses sortir dan pemrosesan untuk
memisahkan bahan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dari residu yang tidak dapat
digunakan. RDF biasanya dihasilkan dari sampah padat perkotaan, termasuk kertas, karton,
plastik, kain, kayu, dan bahan organik lainnya. RDF digunakan sebagai sumber energi
alternatif, terutama di fasilitas pembangkit listrik yang dapat menggunakan bahan bakar
tersebut untuk menghasilkan listrik. Penggunaan RDF dapat membantu mengurangi jumlah
sampah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir, mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar fosil, dan memberikan solusi yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan
sampah

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Aulia DC, Situmorang HK, Prasetya AF, Fadilla A, Nisa AS, Khoirunnisa A, Farhan D,
Nindya DN, Purwantari H, Jasmi IO, Akbar JA. Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran
Masyarakat tentang Pengelolaan Sampah dengan Pesan Jepapah. Jurnal Pengabdian
Kesehatan Masyarakat (Pengmaskesmas). 2021 Apr 30;1(1).
2. Chaerul M, Wardhani AW. Refuse Derived Fuel (RDF) dari Sampah Perkotaan dengan
Proses Biodrying: Review. Jurnal Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik
Lingkungan (Jurnal Presipitasi). 2020;17(1):62-74
3. Dinas Lingkungan Hidup Kulon Progo. Kajian Timbulan Sampah Harian Permukiman
Kulon Progo [Internet]. Cited 22 November 2023. Available from:
https://dlh.kulonprogokab.go.id/files/Bab%202_%20Permukiman%20-%20Akhir.pdf
4. Novianawati N, Sutisno AN. Pendampingan Pengolahan Sampah Domestik Melalui Tong
Sampah Tanam. Dimasejati: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 2022 Jun
29;4(1):38-47.
5. Pemerintah Kota Cirebon. Geografis Kota Cirebon. Cited 25 November 2023. Available
from: https://cirebonkota.go.id/tentang-cirebon/geografis/
6. Taufiqurrohman, M., & Yusuf, M. Pemanfaatan energi terbarukan dalam pengolahan daur
ulang limbah. Jurnal MENTARI: Manajemen, Pendidikan dan Teknologi Informasi.
2022;1(1): 46-57.
7. Zuraidah, Lulu, Rosyidah N, Zulfi R. Edukasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah
Organik di MI Al Munir Desa Gadungan Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Jurnal
Budimas. 2022; 4(2)
8. Nurhaliza N. STUDI KELAYAKAN DAUR ULANG SAMPAH DI TPA TAMANGAPA
MENJADI MATERIAL RDF (REFUSE DERIVED FUEL)= FEASIBILITY STUDY ON
RECYCLING AT TPA TAMANGAPA INTO RDF (REFUSE DERIVED FUEL) MATERIAL
(Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

15

Anda mungkin juga menyukai