Anda di halaman 1dari 20

PERILAKU WAJIB PAJAK BADAN DALAM MEMENUHI KEWAJIBAN

PERPAJAKAN : PERSPEKTIF TEORI HUMANISTIK

Doni Budiono
taxinside@yahoo.co.id

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT

The purpose of this research is to describe the personal factors underlying taxpayer compliance
behavior as well as Tax Consultant role as mediator in revealing the personal factors taxpayer. This
study uses qualitative research with descriptive design that uses a pkehomenological approaach. This
study shows that personal factors can trigger the corporate tax payer to comply their tax obligation.
Those factors are : the comprehension of self assessment systems, service quality, educational
background, income level, tax payer perception on tax sanctions, going concern, and business comfort.
Personal factors are influenced by humanistic theory to comply the tax payer obligation. Tax
consultant could be a mediator to arise personal factors of corporate tax payers that is giving education
and informations. Tax consultant could be as tax agent in supporting corporate tax payers in
complying his tax obligation.

Key words: Taxpayer entity, Taxpayer Compliance, Tax Consultant, Taxation Obligation

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan faktor-faktor personal yang mendasari


perilaku kepatuhan Wajib Pajak Badan serta peran konsultan pajak sebagai mediator dalam
memunculkan faktor-faktor personal Wajib Pajak Badan. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif yang menggunakan pendekatan
fenomenologis. Adapun hasil penelitian ini adalah faktor-faktor personal dapat mendorong
perilaku Wajib Pajak Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya. Faktor-faktor
personal itu diantaranya: pemahaman terhadap sistem self assessment, kualitas pelayanan,
tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, persepsi Wajib Pajak terhadap sanksi perpajakan,
kelangsungan usaha (going concern), dan kenyamanan dalam berusaha. Faktor-faktor
personal tersebut dipengaruhi oleh teori humanistik yang membantu Wajib Pajak Badan
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsultan pajak dapat menjadi mediator
munculnya faktor-faktor personal Wajib Pajak Badan yaitu memberikan edukasi dan
informasi serta berperan sebagai tax agent (mitra) dalam membantu Wajib Pajak Badan
memenuhi kewajiban perpajakannya.

Kata kunci: Wajib Pajak Badan, Kepatuhan Wajib Pajak, Konsultan Pajak, Kewajiban
Perpajakan

PENDAHULUAN
Kelangsungan suatu negara dalam menjalankan sistem pemerintahan dan
perekonomian demi mewujudkan kelangsungan hidup bermasyarakat untuk mencapai
tujuan negara, maka dibutuhkan penerimaan pajak. Penerimaan pajak merupakan potensi
yang luar biasa dan merupakan penyumbang nomor satu untuk komposisi pendapatan
nasional. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan bahwa sektor

1
perpajakan memberikan kontribusi terbesar bagi penerimaan negara. Mengingat sektor
perpajakan memiliki peran yang besar dalam APBN, maka tugas Direktorat Jenderal Pajak
untuk senantiasa melakukan usaha guna meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Pada
dasarnya penerimaan pajak secara keseluruhan dapat ditingkatkan melalui dua cara, yaitu
meningkatkan tax coverage ratio dan tax compliance ratio. Tax coverage ratio, dengan
meningkatkan jumlah Wajib Pajak dan dengan meningkatkan rasio kepatuhan (tax
compliance ratio). Upaya peningkatan penerimaan pajak dilakukan terhadap berbagai macam
jenis pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan berbagai jenis pajak lainnya.
Besarnya jumlah penerimaan pajak membutuhkan peran serta Wajib Pajak dan
konsultan pajak dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak. Penggunaan Self Assessment
System dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia memberi kepercayaan kepada Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya, di antaranya adalah
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya melalui Surat Pemberitahuan
(SPT). Hal tersebut menyebabkan kebenaran pembayaran pajak tergantung pada kejujuran
dan perilaku Wajib Pajak itu sendiri dalam melaporkan kewajiban perpajakannya.
Pada kenyataannya tidak dapat dihindari bahwa peran serta Wajib Pajak Badan dalam
sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana penerimaan pajak.
Meskipun jumlah Wajib Pajak dari tahun ke tahun semakin bertambah namun terdapat
kendala yang dapat menghambat upaya peningkatan tax ratio, kendala tersebut adalah
kepatuhan Wajib Pajak. Besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak
(tax compliance). Oleh sebab itu, kepatuhan Wajib Pajak merupakan faktor utama yang
mempengaruhi realisasi penerimaan pajak (Dewi, 2011: 2).
Dari sisi Wajib Pajak Badan, mengharapkan kewajiban perpajakan yang harus
dibayarnya seminimal mungkin karena Wajib Pajak Badan ingin memaksimalkan
pendapatan yang mereka peroleh dari usaha mereka. Selain itu dari sisi fiskus,
mengharapkan pemasukan negara yang semaksimal mungkin terutama dari sektor pajak
untuk memenuhi kebutuhan dan belanja negara. Dari hal tersebut dapat dilihat, terdapat
perbedaan sikap dan tujuan antara Wajib Pajak dan fiskus dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam bidang perpajakan.
Perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya ditentukan oleh
banyak faktor diantaranya, faktor kesadaran dari Wajib Pajak sebagai warga negara yang
baik dengan melakukan self assesment dengan benar, faktor informasi dari konsultan
pajaknya mengenai segala resiko bila melakukan self assesment tidak benar, faktor kasus-
kasus pajak di media dan faktor lainnya. Kepatuhan pajak adalah terkait dengan bagaimana
melaporkan semua informasi yang diperlukan tepat pada waktunya, mengisi secara benar
jumlah pajak terutang, dan membayar pajak pada waktunya.
Tabel 1 menunjukkan kondisi empiris jumlah Wajib Pajak Badan dan realisasi SPT
tahun 2009 – 2013 yang menunjukkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan.

Tabel 1
Jumlah Wajib Pajak Badan dan Realisasi SPT Tahunan PPh Tahun 2009 – 2013

Keterangan 2009 2010 2011 2012 2013

Jumlah Wajib 1.608.337 1.760.108 1.929.507 2.136.014 2.218.573


Pajak Badan
Realisasi SPT 559.791 501.348 520.375 456.662 459.798
Tahunan PPh

(sumber : Direktorat Jenderal Pajak)

2
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan tidak mencapai
50% (lima puluh persen) dari total SPT (Surat Pemberitahuan) tahun 2009-2013 yang
dilaporkan. Direktorat Jenderal Pajak (2013) menunjukkan bahwa total pendapatan negara
tahun 2000-2012 menunjukkan kontribusi perpajakan meningkat dari 56,5% (lima puluh
enam koma lima persen) menjadi 78,8% (tujuh puluh delapan koma delapan persen).
Namun berdasarkan data yang ada di Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa
kondisi empiris kepatuhan perpajakan tahun 2012 dari 21,8 juta (dua puluh satu koma
delapan juta) baik orang pribadi maupun badan usaha yang terdaftar. Dari jumlah tersebut
hanya 9,32 juta (sembilan koma tiga puluh dua juta) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya.
Rustiyaningsih (2011: 53) menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan antara
lain: pemahaman terhadap self assessment system, kualitas pelayanan, tingkat pendidikan,
tingkat penghasilan, serta persepsi Wajib Pajak terhadap sanksi perpajakan. Berdasarkan
hasil penelitian terdahulu, dalam penelitian ini akan membahas perilaku kepatuhan Wajib
Pajak khususnya Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang
terdapat beberapa faktor personal seperti yang telah diungkapkan oleh Rustiyaningsih.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa pengembangan subjek penelitian yaitu konsultan
pajak dan fiskus serta definisi kepatuhan menurut konsultan pajak dan fiskus.
Pada dasarnya dari berbagai hal tersebut yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak
Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, hal yang paling utama adalah faktor
motivasi Wajib Pajak Badan serta berkaitan erat dengan teori humanistik yang baik secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tax ratio dan tax compliance sehingga
menimbulkan tax gap. Selain itu, adanya suatu kesenjangan Wajib Pajak Badan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengatasi faktor personal yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak Badan dan upaya
yang dibutuhkan agar Wajib Pajak secara sadar dan sukarela bersedia membayar kewajiban
perpajakannya.
Penelitian tentang perilaku Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban
perpajakan: perspektif teori humanistik ini, bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor
personal yang mendasari/melatarbelakangi perilaku kepatuhan Wajib Pajak Badan serta
menganalisa peranan konsultan pajak sebagai mediator dalam memunculkan faktor-faktor
personal Wajib Pajak Badan untuk patuh membayar pajak.

TINJAUAN TEORETIS
Pengertian Perilaku
Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat
bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Perilaku secara luas tertentu tidak hanya
dapat ditinjau dalam kaitannya dengan sikap manusia. Kartono (2006: 53) menyatakan
bahwa perilaku adalah suatu perbuatan, aktifitas atau segala macam respon baik itu reaksi,
tanggapan, jawaban, atau itu balasan yang dilakukan oleh suatu organisme. Secara khusus
pengertian perilaku adalah bagian dari satu kesatuan pola reaksi.
Walgito (2003: 168) menyatakan bahwa perilaku adalah suatu aktifitas yang
mengalami perubahan dalam diri individu. Perubahan ini diperoleh dalam segi kognitif,
afektif, dan dalam segi psikomotorik. Perilaku adalah hasil proses belajar mengajar yang
terjadi akibat dari interaksi dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang diakibatkan oleh
pengalaman-pengalaman pribadi”, (Notoatmodjo, 2007: 133).
Azwar (2002: 11) menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu
(motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dll) dan lingkungan, faktor lingkungan memiliki
kekuatan besar dalam menentukan perilaku, terkadang kekuatannya lebih besar daripada
karakteristik individu sehingga menjadikan prediksi perilaku lebih komplek. Jadi, perilaku

3
manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan
kekuatan-kekuatan penahan.
Menurut Jarvis (2000: 23) menyatakan bahwa perilaku dapat dibedakan menjadi dua
jenis perilaku, yaitu:
1. Perilaku yang dituntut (respondent behavior) yang didasarkan pada refleks dan tidak perlu
dipelajari.
2. Perilaku operan, merupakan perilaku hasil belajar dan dilakukan secara spontan terhadap
suatu situasi, bukan respons otomatis.
Berdasarkan dua perilaku tersebut, Skinner (1938) seperti dikutip Jarvis (2000:23)
dalam kebanyakan perilaku manusia bersifat operan yang dipelajari lewat penguatan positif
atau negatif. Perilaku yang mendapat penguatan karena perilaku tersebut membawa
konsekuensi yang menyenangkan disebut penguatan positif (positive reinforcement). Perilaku
yang mendapat penguat karena menyingkirkan sesuatu yang tidak menyenangkan disebut
penguatan negatif (negative reinforcement) (Jarvis, 2000: 25).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku adalah
segala tindakan atau reaksi manusia yang disebabkan oleh dorongan organisme kongkret
yang terlihat dari kebiasaan, motif, nilai-nilai, kekuatan pendorong dan kekuatan penahan
sebagai reaksi atau respon seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses
pembelajaran dan rangsangan dari lingkungannya.

Teori Perilaku
Teori-teori psikologi yang mempelajari perilaku manusia di antaranya: teori
psikoanalisis, teori behaviorisme, teori humanistik, dan teori kognitif. Berdasarkan teori-
teori psikologi tersebut, terdapat salah satu teori yang mempengaruhi perilaku Wajib Pajak
di dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yaitu teori humanistik. Lundin (1996) dan
Merry (1998) dalam Jarvis (2000: 85) menyatakan bahwa prinsip penting dalam psikologi
humanistik adalah:
1. Manusia dimotivasi oleh adanya keinginan untuk berkembang dan memenuhi
potensinya.
2. Manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya.
3. Kita dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap diri sendiri, yang berasal dari cara
orang lain memperlakukan kita.
4. Tujuan psikologi humanistik adalah membantu manusia memutuskan apa yang
dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya.
Teori humanistik adalah teori yang menjelaskan bahwa manusia termotivasi oleh
adanya keinginan untuk berkembang dan untuk memenuhi potensinya. Manusia ingin
menjadi seperti apa yang ia inginkan dan tahu apa yang terbaik untuknya yang dipengaruhi
oleh cara pandang orang lain dalam memperlakukannya. Psikologi humanistik muncul
lewat karya Rogers dan Maslow yang berusaha mencari kekuatan ketiga dalam psikologi
untuk melepaskan diri dari batasan-batasan psikologi perilaku dan psikodinamika.
Keduanya mengusulkan psikologi sederhana dan optimis dengan sedikit mungkin teori
yang akan menerangkan apa yang digambarkan orang sebagai pengalaman penting (Jarvis,
2000: 105-106).
Peneliti mengunakan teori Carl Rogers dalam penelitian ini karena Wajib Pajak
(manusia) melambangkan organisme yang mempunyai motivasi dan kontrol akan perilaku
dirinya. Wajib Pajak memiliki kehendak untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi
Wajib Pajak yang patuh baik karena keinginan dirinya sendiri maupun dari pengaruh
significant person yaitu konsultan pajak dan fiskus yang memberikan pengetahuan dan
pelayanan kepada Wajib Pajak.

4
Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi dan badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Orang pribadi merupakan subjek
pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
Sedangkan badan merupakan sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya semua Wajib Pajak
adalah subjek pajak. Subjek pajak adalah mereka (orang atau badan) yang memenuhi syarat
subjektif, yaitu syarat yang melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh undang-undang (Waluyo dan Ilyas, 2001: 2).
Retnowati dan Setjoatmadja (2010: 5) menunjukkan bahwa Wajib Pajak adalah mereka
(orang atau badan) yang selain memenuhi syarat subjektif, juga harus memenuhi syarat
objektif misalnya, memiliki penghasilan atau memiliki bumi bangunan yang memenuhi
syarat untuk dikenai pajak dan sebagainya.

Perilaku Wajib Pajak


Perilaku pajak yang terkait dengan kepatuhan atau ketidakpatuhan antara lain adalah
tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan, tidak melaporkan pendapatan dalam
surat pemberitahuan tahunan, keterlibatan dalam shadow economy, atau tidak melaporkan
biaya sesungguhnya. Cara pandang atau evaluasi Wajib Pajak terhadap fiskus tampak dalam
lima postur motivasi yang diidentifikasikan dalam penelitian tersebut adalah 1) commitment,
2) capitulation, 3) resistance, 4) disengagement dan 5) game playing. (Mangoting dan Sadjiarto,
2013: 107).
Commitment adalah tingkatan ketika Wajib Pajak secara sadar berkeinginan atas
kehendaknya sendiri untuk merasa terlibat dengan misi otoritas pajak sebagai regulator.
Capitulation menggambarkan individu yang menerima berbagai aturan yang diterapkan
kepadanya oleh otoritas pajak tanpa harus merasa terlibat dengan otoritas pajak. Resistance
adalah suatu perlawanan terbuka terhadap otoritas pajak. Disengagement menunjukkan
keterpisahan psikologis Wajib Pajak dari otoritas pajak dan game playing mewakili perilaku
dan praktek untuk menghindar dari ketentuan dengan cara “memainkan aturan”. Dalam
penelitian ini postur motivasi tersebut mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan Wajib
Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Teori Kepatuhan (Compliance Theory)


Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Teori kepatuhan telah
diteliti pada ilmu-ilmu sosial khususnya di bidang psikologis dan sosiologi yang lebih
menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam mempengaruhi perilaku kepatuhan
seorang individu (Ardani, 2010: 50).
Kepatuhan (Compliance) juga dikenal sebagai ketaatan (adeherence), adalah suatu derajat
untuk mengikuti suatu anjuran atau aturan yang berlaku. Compliance atau kepatuhan adalah
usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam permintaan.
Kepatuhan merupakan suatu bentuk pengaruh sosial dimana seseorang hanya perlu
memerintahkan satu orang lain atau lebih untuk melakukan satu atau beberapa tindakan.
Dalam kaitannya dengan Wajib Pajak, kepatuhan dapat didefinisikan sebagai perilaku
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang

5
berlaku. Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh motivasi. Biasanya motivasi akan
berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa motivasi, dan apatis), dan
kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif, tidak efektif) (Budiatmanto, 1999: 48).
Mangoting dan Arja (2013: 108) menunjukkan bahwa kepatuhan pajak adalah keadaan
saat Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya. Lebih lanjut kepatuhan pajak dibagi menjadi dua, yaitu: 1) kepatuhan pajak
formal, dan 2) kepatuhan pajak materiil. Kepatuhan pajak formal adalah kepatuhan yang
diatur sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan, misalnya memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi yang sudah memiliki penghasilan, tidak terlambat
melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa maupun tahunan sebelum batas waktu, tidak
terlambat melunasi utang pajak sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan. Sedangkan
kepatuhan pajak materiil adalah suatu keadaan saat Wajib Pajak secara substantif memenuhi
semua ketentuan materiil perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Contohnya Wajib Pajak yang telah mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya.
Beberapa doktrin kepatuhan tentang mengapa seseorang patuh melaksanakan
kewajiban perpajakannya (Gunadi, 2004), yaitu adanya:
1. Economic models (keputusan untuk patuh di dasarkan atas evaluasi biaya dan manfaat
(cost-benefit analysis);
2. Uncertainty model (keputusan untuk patuh di dasarkan atas pertimbangan resiko
terdeteksi);
3. Norms of compliance (kepatuhan tergantung pada social value atas sesuatu yang bersifat
normative apakah sesuatu perilaku yang menyimpang dari ketentuan itu dapat
dibenarkan atau tidak); dan
4. The inertia method (kepatuhan sesuai dengan praktik/kebiasaan sehari-hari.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang
Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu
dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, disebutkan bahwa
ditetapkan sebagai Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
3. laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut; dan
4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak


Rustiyaningsih (2011: 49) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan Wajib Pajak adalah :
1. Pemahaman terhadap sistem self assessment
Sistem self assessment yang diterapkan dalam perpajakan di Indonesia memberikan
kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem ini akan efektif apabila Wajib Pajak memiliki
kesadaran pajak, kejujuran dan kedisiplinan dan dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Rendahnya pemahaman self assessment
system akan berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak yang berkaitan erat dengan

6
adanya motivasi dari Wajib Pajak yang dipengaruhi oleh teori humanistik yang
memunculkan keinginan untuk berkembang dan memenuhi potensinya.
2. Kualitas Pelayanan
Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan,
kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan yang baik kepada Wajib
Pajak akan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya yang berkaitan erat dengan teori humanistik, dipengaruhi oleh cara pandang
kita terhadap diri sendiri, yang berasal dari cara orang lain memperlakukan kita dalam hal
ini adalah pelayanan yang diberikan oleh fiskus dalam melayani Wajib Pajak berpengaruh
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi akan menyebabkan masyarakat
lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang berlaku. Tingkat pendidikan yang masih rendah juga akan tercermin dari
masih banyaknya Wajib Pajak yang tidak melakukan pembukuan atau yang masih
melakukan pembukuan ganda untuk kepentingan pajak. Tingkat pendidikan Wajib Pajak
berkaitan erat dengan teori humanistik karena pada dasarnya tujuan psikologi humanistik
adalah membantu manusia memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu
memenuhi potensinya. Wajib Pajak yang tidak meniliki tingkat pendidikan yang baik akan
berusaha untuk berkembang dan memenuhi potensinya sendiri dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya.
4. Tingkat Penghasilan
Penghasilan Wajib Pajak sebagai objek pajak penghasilan sangat terkait dengan
besarnya pajak terutang. Di samping itu tingkat penghasilan juga akan mempengaruhi
kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak tepat pada waktunya. Tingkat penghasilan
Wajib Pajak berkaitan erat dengan teori humanistik, Wajib Pajak yang memiliki penghasilan
tinggi maupun rendah bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik
bagi dirinya dan membantu memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu
memenuhi potensinya sendiri.
5. Persepsi Wajib Pajak terhadap sanksi perpajakan
Sanksi perpajakan dalam undang-undang perpajakan berupa sanksi administratif
(dapat berupa bunga, denda dan kenaikan) serta sanksi pidana. Sanksi perpajakan diberikan
kepada Wajib Pajak agar Wajib Pajak mempunyai kesadaran dan patuh terhadap kewajiban
pajak. Sanksi perpajakan yang di kenakan kepada Wajib Pajak berkaitan erat dengan prinsip
teori humanistik, Wajib Pajak dipengaruhi oleh motivasi Wajib Pajak yang ingin untuk
berkembang dan memenuhi potensinya. Wajib Pajak bisa memilih ingin menjadi seperti apa,
dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya dan mengetahui sanksi perpajakan yang akan ia
dapat apabila tidak patuh memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga membuat perilaku
Wajib Pajak menjadi patuh dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, kepatuhan Wajib Pajak juga dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, penegakan
hukum perpajakan, pemeriksaan pajak dan tarif pajak, kelangsungan usaha (going concern),
serta kenyamanan dalam berusaha. Beberapa faktor tersebut perlu mendapat perhatian dan
perbaikan secara berkesinambungan agar tercapainya peningkatan dalam hal kepatuhan
Wajib Pajak.

Konsultan Pajak
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak, yang dimaksud konsultan pajak adalah orang
yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka

7
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Organisasi konsultan pajak yaitu Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merupakan
wadah organisasi bagi konsultan pajak untuk mengatur segala perilaku konsultan pajak
dalam menjalankan profesinya. Setiap anggota IKPI wajib menjaga citra martabat profesi
dengan senantiasa berpegang pada Kode Etik IKPI dan Anggaran Dasar serta Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) IKPI. Kode Etik IKPI yang digunakan mencakup masalah
hubungan dengan Wajib Pajak yaitu mengenai integritas, martabat dan kehormatan
konsultan pajak dalam menjalankan profesinya serta bagaimana konsultan harus bersikap
secara profesional dalam berkerja (Kurniawan dan Sadjiarto, 2013: 55).
Dalam menjalankan profesinya, konsultan pajak memiliki standar profesi IKPI yang
merupakan aturan dan pedoman tingkah laku bagi konsultan pajak. Standar profesi IKPI
merupakan rujukan perilaku profesional setiap anggota yang akan mengakibatkan setiap
anggota dikenakan sanksi disiplin oleh IKPI apabila terdapat anggota yang melakukan
pelanggaran. Berdasarkan standar profesi IKPI, konsultan pajak memiliki ciri khas
profesionalisme yang memiliki integritas, kompetensi, jujur, bebas dan mandiri, dan tidak
berpihak kepada siapapun dalam menjaalankan tugasnya.
Pada umumnya jasa yang diberikan oleh konsultan pajak meliputi dua hal yakni: tax
consulting dan attorney at tax law. Tax consulting, konsultan pajak bertindak sebagai penerima
kuasa untuk kepentingan mewakili dan atau mendampingi Wajib Pajak apabila terjadi
pemeriksaan pajak. Attorney at tax law, konsultan pajak bertindak sebagai kuasa hukum
pajak untuk kepentingan mewakili atau mendampingi Wajib Pajak di pengadilan pajak. Di
samping itu ada pekerjaan lain yang lebih bersifat administratif dilakukan oleh konsultan
pajak, yaitu: pertama, tax compliance yakni menyiapkan laporan pajak serta melaporkannya
ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kedua, tax publication yakni menyampaikan informasi
tentang peraturan pajak kepada Wajib Pajak (Supeno,2011: 22).

Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak


Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah
karena sejak tahun fiskal 1984 pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan
menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem
pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self assessment
memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, Wajib Pajak
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem self assessment menuntut adanya
peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran
dan kepatuhan yang tinggi dari Wajib Pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan
sistem tersebut. Selain itu, peran konsultan pajak sebagai mitra yang professional antara
Wajib Pajak dan fiskus sangat dibutuhkan dalam memberikan edukasi dan informasi kepada
Wajib Pajak agar dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Gambaran dari Objek Penelitian
Dalam menjelaskan perilaku Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban
perpajakan maka diperlukan suatu penelitian yang sesuai. Permasalahan yang dikaji oleh
peneliti merupakan masalah yang bersifat sosial dan dinamis. Peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif untuk mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil
penelitian tersebut. Penelitian kualitatif ini digunakan untuk memahami interaksi sosial
Wajib Pajak Badan dengan konsultan pajak dan petugas pajak, yang dilakukan dengan

8
wawancara secara mendalam sehingga akan ditemukan faktor-faktor personal perilaku
kepatuhan Wajib Pajak Badan secara lebih jelas.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif yang
menggunakan pendekatan fenomenologis, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara
cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi.
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2013:
14-17). Hasil dari penelitian kemudian ditarik sebuah kesimpulan untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini. Objek penelitian ini adalah faktor personal dapat mendorong
perilaku Wajib Pajak Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya dan peran
konsultan pajak sebagai mediator munculnya faktor-faktor personal Wajib Pajak Badan
untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya.

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian menggunakan wawancara mendalam dan
dokumentasi. Peneliti harus memberitahu apa tujuan dan proses wawancara kepada
partisipan di awal (Sarosa, 2012: 23). Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Wawancara mendalam (in-
depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, peneliti dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Rahmat, 2009: 6-7).
Berdasarkan hasil dari wawancara tersebut ditemukan beberapa indikator dan tema
wawancara yang ditentukan oleh peneliti untuk menjadi panduan selama proses
wawancara. Peneliti melakukan face-to-face interview dengan informan, wawancara ini
memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan
bersifat terbuka (open-ended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari
informan. Dalam wawancara yang telah dilakukan, peneliti bertanya secara langsung
kepada dua Wajib Pajak Badan yaitu Wajib Pajak Badan patuh dan tidak patuh, satu
konsultan pajak dan satu petugas pajak.
Peneliti menggunakan protokol wawancara dalam mengajukan pertanyaan dan
merekam jawaban-jawaban selama wawancara kualitatif. Protokol mencakup komponen-
komponen seperti:
1. judul (tanggal, lokasi, pewawancara/peneliti, yang diwawancarai/partisipan);
2. intruksi-instruksi yang harus diikuti oleh partisipan agar prosedur-prosedur wawancara
dapat berjalan lancar;
3. pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan untuk informan kunci;
4. proses penjajakan/pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan untuk meminta
informan menjelaskan gagasan-gagasan secara lebih rinci atau untuk menguraikannya
tentang apa yang dikatakannya;
5. waktu tunda selama wawancara untuk merekam/mencatat respon-respon dari informan.
Dalam proses wawancara, semua informan tidak berkeberatan memberikan informasi
dan waktu bagi peneliti untuk merekam dan mencatat semua informasi yang di sampaikan
oleh informan.

Satuan Kajian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian bersifat internal atau subjektif, yaitu
penelitian itu sendiri tanpa menggunakan tes angket atau eksperimen. Maka dapat
disimpulkan atas satuan kajian dari penelitian yang diteliti oleh peneliti adalah mengenai
faktor personal dapat mendorong perilaku Wajib Pajak Badan untuk patuh memenuhi

9
kewajiban perpajakan dan peran konsultan pajak sebagai mediator munculnya faktor-faktor
personal Wajib Pajak Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya.

Teknik Analisis Data


1. Peneliti menganalisis data yang dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses
penelitian dilaksanakan.
2. Data yang diperoleh, kemudian dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Mulai dari
pembuatan daftar pertanyaan untuk wawancara subjek penelitian yang dirangkum
dengan proses Verbatim.
3. Melakukan wawancara, yaitu bertanya secara langsung kepada Wajib Pajak Badan patuh
dan tidak patuh, satu konsultan pajak dan satu petugas pajak.
4. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara yang telah dilakukan diklasifikasikan
dalam proses Verbatim untuk melakukan pengecekan kesesuaian hasil wawancara
dengan tema wawancara yang dibuat, sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat
ditemukan indikator-indikator yang mempengaruhi perilaku dan faktor personal Wajib
Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
5. Berdasarkan informasi dari proses Verbatim tersebut data kualitatif disajikan dalam
bentuk teks naratif.
6. Data yang telah disajikan tersebut kemudian ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan
analisis data yang ada dan dijelaskan serta dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk
mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan untuk menjawab rumusan masalah.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Faktor Personal Pendorong Perilaku Wajib Pajak Badan Dalam Memenuhi Kewajiban
Perpajakan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap subjek penelitian yaitu:
A&G (Wajib Pajak Badan tidak patuh), EL (Wajib Pajak patuh), DH (petugas pajak) dan ZA
(konsultan pajak), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi Wajib Pajak Badan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya (Rustiyaningsih,2011, 49), yaitu:
1. Pemahaman Terhadap Sistem Self Assessment
Menurut subjek penelitian dalam hal ini DH sebagai wakil dari Direktorat Jenderal
Pajak, menyatakan bahwa:
Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak patuh berdasarkan Pasal 2 PMK
74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak
Badan Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tepat waktu
menyampaikan SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, laporan keuangan diaudit
oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah, dan tidak
pernah dipidana karena tindak pidana perpajakan.
Sedangkan menurut subjek penelitian yang dalam hal ini ZA sebagai wakil dari
konsultan pajak menyatakan bahwa:
Kepatuhan tidak hanya terbatas pada aturan normatif saja seperti yang ditetapkan oleh
fiskus berdasarkan Pasal 2 PMK 74/PMK.03/2012 yaitu: tepat waktu menyampaikan
SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, laporan keuangan diaudit oleh akuntan
publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah, tidak pernah dipidana karena
tindak pidana perpajakan tetapi juga termasuk cara-cara lain yang digunakan seperti
membuat laporan keuangan yang isinya sesuai dengan sebenarnya, melaporkan SPT
yang benar, lengkap dan jelas serta tidak melakukan tax evasion seperti merekayasa
laporan keuangan atau membuat dua pembukuan yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian, kepatuhan dan ketidak patuhan Wajib Pajak Badan
dalam subjek penelitian ini dikarenakan beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi ada

10
dua yaitu dari internal dan eksternal Wajib Pajak. Salah satu faktor tersebut adalah
ketidakpahaman terhadap sistem self assessment. Ketidakpahaman terhadap sistem self
assessment tersebut dialami oleh subjek penelitian yaitu A&G. Pada dasarnya A&G sebagai
Wajib Pajak Badan ingin memenuhi kewajiban perpajakannya, seperti yang diungkapkan
oleh A&G:
Prinsipnya kita intinya hak-hak yang untuk dilaporkan, dibayarkan ke pemerintah itu
kita bayar.
Pada dasarnya A&G tidak mengetahui dan tidak memahami kewajiban perpajakan
yang harus dipenuhi sesuai dengan sistem self assessment yang menyebabkan A&G diberikan
himbauan dan diperiksa oleh kantor pajak. Hal ini yang membuat A&G menjadi tidak
patuh. A&G yang membuka usaha dengan modal hutang, berusaha untuk menghemat biaya
dengan melakukan self assesment sendiri tanpa bantuan profesional konsultan pajak maupun
akuntan publik. A&G menjalankan usaha dengan jujur dan benar, namun terjadi kesalahan
dalam pencatatan laporan keuangan. A&G menunggu ada Pajak Masukan (PM) sehingga
ada dana untuk membayar pajak, hal ini menyebabkan A&G menunda pemenuhan
kewajiban perpajakannya untuk beberapa bulan. Pemahaman A&G terhadap peraturan
perpajakan yang minim membuat A&G menerapakan sesuai pemahamannya.
Kesalahan penerapan pemahaman ini menyebabkan A&G diperiksa oleh kantor pajak.
Dalam proses pemeriksaan, A&G kooperatif menyerahkan data yang dibutuhkan oleh
Account Representatif (AR) serta mendengarkan masukan dari AR untuk melakukan
pembetulan. Dalam melakukan pembetulan A&G tidak mengetahui adanya kadaluwarsa
dalam penyampaian pelaporan pajak. Akibatnya ketika dilakukan pembetulan, sistem di
kantor pajak tidak dapat menerima. Atas keadaan tersebut, A&G merasa seharusnya AR
memberikan informasi yang jelas mengenai solusi permasalahannya, namun ketika subjek
mencari pemahaman mengenai suatu peraturan perpajakan kepada beberapa petugas pajak,
jawaban yang didapat tidak sama. Keadaan ini membuat subjek yang ingin patuh memenuhi
kewajiban perpajakannya menjadi bingung dan menyelesaikan self assesmentnya sendiri.
Keadaan tersebut menyebabkan A&G merasa keberatan dengan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) yang dikeluarkan oleh kantor pajak, sehingga membawanya untuk mendapatkan
keadilan melalui pengajuan keberatan. Akan tetapi, keberatan A&G ditolak oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Sesuai prosedur bila keberatan ditolak maka upaya yang dapat dilakukan
oleh Wajib Pajak adalah mengajukan banding ke pengadilan pajak. Sampai saat ini A&G
sedang mengajukan banding untuk mendapatkan keadilan. Menurut A&G kesalahan yang
dilakukan A&G ini tidak akan terjadi apabila AR memberikan sosialisasi dan arahan kepada
A&G saat awal membuka usaha, seperti yang disampaikan oleh A&G:
Ketika awal saat membuka usaha mungkin dari kantor pajak ini sebaiknya pemiliknya
atau yang dipercaya diinterview tentang pajak sebelum kejadian, jadi bukan karena
orangnya nakal dan harus diberikan pemahaman dan harus punya konsultan untuk
mendampingi.
Sebagaimana yang terjadi pada A&G, karena ketidakmampuannya mengikuti
perkembangan peraturan perpajakan terbaru serta dukungan kualitas pelayanan yang
kurang dari fiskus, membuatnya mempunyai utang pajak. A&G bahkan harus menutup
usahanya karena besarnya utang pajak tersebut. Secara pribadi yang dialami oleh Wajib
Pajak A&G tersebut ingin patuh, namun karena beberapa faktor yaitu usaha yang dari
modal utang membuatnya tidak mampu menggunakan jasa konsultan pajak demi
menghemat biaya.
Kristaji (hasil wawancara, 13 April 2016):
Kepatuhan hanya bisa terjadi apabila peran otoritas pajak maksimal seperti, adanya
law enforcement yang maksimal tetapi mayoritas di negara berkembang seharusnya
11
lebih memperioritaskan pada Wajib Pajak yang besar, selain itu juga pengaruh
kesukarelaan Wajib Pajak.
Seharusnya terdapat prioritas untuk mendapatkan atau memeriksa Wajib Pajak yang
besar bukan Wajib Pajak yang kecil. Hal seperti ini yang disadari oleh Wajib Pajak patuh
yang kemudian menghindarinya dengan meminimalkan kesalahan.
2. Kualitas Pelayanan
Menurut subjek penelitian EL merasakan manfaat dari edukasi dan update informasi
peraturan perpajakan dari konsultan pajak, sehingga walaupun terjadi kesalahan maka tidak
fatal. EL pernah melakukan kesalahan namun karena kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan selama ini membuat fiskus yaitu AR memberikan kualitas pelayanan berbeda
terhadap EL. Secara eksternal, EL mendapatkan dukungan untuk terus melakukan
kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya karena AR memberikan apresiasi
yang berbeda. EL merasakan adanya perbedaan pelayanan yang diberikan oleh AR terhadap
dirinya karena umumnya AR ramah kepada Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya. Kualitas pelayanan AR membuat EL merasa nyaman dan semakin yakin
harus melakukan self assesment dengan benar, lengkap dan jelas serta selalu tepat waktu
dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
Namun sebaliknya, perlakuan AR terhadap Wajib Pajak Badan yang tidak patuh
cenderung di biarkan. Hal tersebut seperti yang telah dialami oleh A&G,, A&Gini tidak
mendapat edukasi atau sosialisasi dari AR terkait dengan kewajiban perpajakannya. AR
hanya memberikan himbauan atau pemberitahuan hanya saat Wajib Pajak Badan melakukan
kesalahan tanpa memberitahukan atau memberikan edukasi dan informasi sebelum
kesalahan dari Wajib Pajak Badan tersebut terjadi.
Perilaku A&G tersebut dipengaruhi oleh kualitas pelayanan fiskus yang diberikan oleh
AR yang membuat A&G berperilaku sesuai yang dikehendakinya. Azwar (2002: 11)
menunjukkan bahwa, perilaku adalah fungsi karakteristik individu (motif, nilai-nilai, sifat
kepribadian, dan sebagainya) dan lingkungan, faktor lingkungan memiliki kekuatan besar
dalam menentukan perilaku, terkadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik
individu sehingga menjadikan prediksi perilaku lebih komplek. Teori perilaku yang
diungkapkan oleh Azwar membuktikan bahwa faktor pelayanan yang diterima dalam suatu
lingkungan mempengaruhi perilaku Wajib Pajak A&G dan EL dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya.
3. Tingkat Penghasilan
A&G yang membuka usaha dengan modal hutang berusaha untuk menghemat biaya
dengan melakukan self assesment sendiri tanpa bantuan profesional dari konsultan pajak
maupun akuntan publik. Pada saat membuka usaha A&G ingin menggunakan jasa
profesional konsultan pajak dan akuntan publik. Namun, A&G tidak mampu menggunakan
jasa konsultan pajak dan akuntan publik dikarenakan biaya konsultan pajak dan akuntan
publik yang cukup besar. Oleh karena itu, A&G memutuskan untuk lebih memilih
memaksimalkan karyawannya sendiri untuk mengerjakan segala laporan keuangan
termasuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, seperti yang diungkapkan oleh A&G:
Biaya konsultan pajak besar tiap bulannya, karena kita usaha distribusi untungnya
kecil tapi omzetnya besar dan konsultan melihat bukan dari keuntungannya tapi dari
omzetnya.
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan A&G untuk menggunakan jasa konsultan
pajak dan akuntan publik menyebabkan A&G memilih memaksimalkan karyawannya. Akan
tetapi karena hal itu, mengakibatkan A&G mendapat himbauan dan pemeriksaan dari
kantor pajak, seperti diungkapkan oleh A&G:

12
Karena kita perusahaan baru dan juga karena biayanya juga terbatas jadi kita
memaksimalkan orang-orang yang ada di internal.
Hal ini berbeda dengan subjek penelitian EL, EL adalah perusahaan yang telah lama
berdiri dan sudah memiliki penghasilan yang besar. Dalam menjalankan usahanya, EL
selalu menggunakan jasa konsultan pajak dan akuntan publik dalam memeriksa laporan
keuangan serta untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsultan pajak dan akuntan
publik sangat dibutuhkan oleh EL karena selain untuk mengambil suatu pertimbangan
usaha untuk waktu yang akan datang, juga merupakan syarat mutlak untuk melakukan
tender.
4. Tingkat Pendidikan
A&G yang baru memulai membuka usaha dan belum mempunyai pengalaman
berusaha serta minimnya pendidikan atas pengetahuan perpajakan menyebabkan A&G
kurang memahami sistem perpajakan yang berlaku. Di samping itu tidak adanya edukasi
dan pembinaan dari AR serta konsultan pajak karena membutuhkan biaya yang tinggi
membuat A&G tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara maksimal. Tingkat
pendidikan atas tata cara dan sistem perpajakan A&G memberikan pengaruh terhadap
kepatuhan A&G dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, seperti yang diungkapkan
oleh A&G:
Ketika awal saat membuka usaha mungkin dari kantor pajak sebaiknya pemiliknya
atau yang dipercaya diinterview tentang pajak sebelum kejadian, jadi bukan karena
orangnya nakal dan harus diberikan pemahaman serta mempunyai konsultan untuk
mendampingi dan sebaiknya dipanggil terlebih dahulu untuk diberikan pemahaman.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh
dalam kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. A&G
berharap agar fiskus dalam hal ini kantor pajak memberikan sosialisasi atau pembinaan
kepada Wajib Pajak yang baru membuka usahanya agar mengetahui hak dan kewajiban
perpajakannya sehingga meminimalkan kesalahan yang akan terjadi.
5. Persepsi Wajib Pajak Terhadap Sanksi Perpajakan
EL patuh memenuhi kewajiban perpajakannya karena faktor internal yaitu keinginan
untuk mengikuti peraturan perpajakan sehingga terhindar dari sanksi. Kepatuhannya dalam
memenuhi kewajibannya merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan mitra
usahanya, karena dalam menjalankan usahanya salah satu syarat yang harus dipenuhi
adalah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Secara tidak langsung persyaratan harus
PKP tersebut membuat EL harus membuat self assestment dengan benar, lengkap dan jelas.
Self assesment yang benar, lengkap dan jelas ini dapat dicapai dengan menggunakan jasa
konsultan pajak untuk memberikan informasi dan masukan mengenai pencatatan laporan
keuangan yang benar. Kontrol pertama atas internal perusahaan harus di awasi oleh
konsultan pajak. EL menginginkan usahanya aman sesuai dengan peraturan perpajakan dan
standar sehingga pengawasan lapis kedua pun dilakukan dengan mengaudit laporan
keuangannya yang dilakukan oleh akuntan publik.
Pada dasarnya, ELsudah menyadari dari awal akan pentingnya memenuhi kewajiban
perpajakan. EL tidak pernah terlambat dalam melaporkan SPT, tidak mempunyai tunggakan
pajak, laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik, dan tidak pernah dipidana
dibidang perpajakan. EL selalu memenuhi kewajiban perpajakannya karena takut terkena
sanksi. EL merasa apabila terkena sanksi merupakan hal yang tidak wajar terutama bila
disebabkan atas kesalahannya sendiri, seperti yang diungkapkan oleh EL:
Kita tidak ingin ada denda dan teguran bahwa kita terkena sanksi dan merupakan hal
yang tidak wajar.

13
EL selalu menggunakan akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangannya setiap
tahunnya karena untuk ketertiban dan koreksi laporan keuangan intern serta untuk
mengambil kebijakan usaha selanjutnya. EL tidak pernah merasa keberatan untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya karena semua hal yang dilakukan EL telah sesuai
dengan peraturan yang berlaku. EL selalu tepat waktu dalam menyampaikan SPT dan tidak
pernah menunggak tagihan pajak dikarenakan takut terkena sanksi.
Perilaku yang ditunjukan oleh EL dalam usahanya untuk selalu patuh dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya berhubungan dengan proses Compliance
(Mertokusumo,1991). Kepatuhan EL di dasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan
usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan kepadanya,
sehingga membuat EL selalu patuh untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selain dari faktor-faktor yang mempengaruhi Wajib Pajak Badan dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya seperti yang dikemukakan oleh Rustiyaningsih di atas, dari hasil
penelitian terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi Wajib Pajak Badan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, yaitu:
6. Kelangsungan Usaha (Going Concern)
Kelangsungan usaha (Going Concern) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Menurut EL, kelangsungan usaha perusahaannya sangat penting terutama untuk
memperkirakan suatu bisnis yang akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Penggunaan jasa konsultan pajak dan akuntan publik dalam memberikan jasa perpajakan
dan jasa pemeriksaan laporan keuangan pada perusahaan EL sangat dibutuhkan dalam
rangka mengambil suatu kebijakan usaha yang akan dilakukan oleh perusahaan, seperti
yang diungkapkan oleh EL:
Sebenarnya dari intern perusahaan kita tetap harus di lakukan audit untuk dapat
koreksi untuk ke depan, kita juga pakai konsultan, kita diarahkan di mana dan nanti
kalau ada hal-hal yang belum kita paham karena aturan pajak sering berubah jadi kita
lebih terarah dalam perpajakan kita sendiri supaya benar dan tidak menyimpang.
Dari hal tersebut terlihat bahwa peran konsultan pajak dan akuntan publik sangat
membantu EL dalam kelangsungan usahanya (Going Concern), sehingga pemenuhan
kewajiban perpajakan menjadi lebih baik dan terarah.
7. Kenyamanan Dalam Berusaha
Kenyamanan dalam berusaha dapat membantu Wajib Pajak untuk patuh dan dengan
sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini yang dirasakan oleh EL. EL dengan
sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya karena telah sesuai peraturan perpajakan
yang berlaku. Dari sisi konsultan pajak juga turut serta dalam memotivasi EL dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, seperti yang diungkapkan oleh EL:
Selama ini sejak kerjasama dengan konsultan justru kita merasa nyaman, mereka
memotivasi kita untuk berdiri sendiri dan belajar, selain itu kita nyaman karena sesuai
aturan.
Perilaku yang ditunjukan oleh EL dalam usahanya untuk selalu patuh dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya berhubungan dengan proses Internalization
(Mertokusumo,1991), bahwa Wajib Pajak Badan selalu tepat waktu dalam menyampaikan
SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, membuat laporan keuangan yang diaudit oleh
akuntan publik, dan tidak pernah dipidana karena tindak pidana perpajakan merupakan
wujud yang ingin diharapkan oleh EL agar dapat menjalankan usaha dengan nyaman.
Dari semua faktor personal yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Pada dasarnya faktor personal adalah faktor yang
mendorong perilaku Wajib Pajak Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya

14
yang didasari oleh pendekatan humanistik, yaitu: adanya motivasi oleh Wajib Pajak Badan
dan keinginan untuk berkembang dan memenuhi potensinya, Wajib Pajak Badan dapat
memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya yang dipengaruhi
oleh cara pandang Wajib Pajak Badan terhadap diri sendiri yang berasal dari cara fiskus
memperlakukan Wajib Pajak Badan. Tujuan psikologi humanistik adalah membantu Wajib
Pajak Badan memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya.
Berdasarkan faktor-faktor personal yang telah dijelaskan di atas, pemahaman terhadap
sistem self assessment, kualitas pelayanan, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, persepsi
Wajib Pajak terhadap sanksi perpajakan, kelangsungan usaha (going concern), dan
kenyamanan dalam berusaha dipengaruhi oleh pendekatan humanistik. Pendekatan
humanistik sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Dalam
pendekatan humanistik, setiap orang memiliki potensi untuk berkembang mencapai
aktualisasi diri. Hal ini sesuai dengan prinsip humanistik yang dikemukakan oleh Lundin
(1996) dan Merry (1998) seperti didalam, Jarvis (2000: 85) dan Merry yang telah dijelaskan
diatas.

Konsultan Pajak Sebagai Mediator Munculnya Faktor-Faktor Personal Wajib Pajak Badan
Dalam Memenuhi Kewajiban Perpajakan
1. Peran Konsultan Pajak Dalam Melaporkan Kewajiban Perpajakan
Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya melibatkan
peran konsultan pajak untuk menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
Badan. Selain hal tersebut, konsultan pajak memberikan review dan tax planning untuk
membantu Wajib Pajak Badan dalam mematuhi dan memenuhi kewajiban perpajakannya,
seperti yang diungkapkan oleh ZA:
Konsultan memberikan reviewer (evaluasi) dan tax planning (perencanaan pajak) untuk
membantu Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Menurut ZA, saat memberikan review konsultan pajak harus memiliki dasar hukum
dan apabila ada area yang dapat menimbulkan risiko kita selalu ada dasarnya dalam
memberikan opsi yang terbaik kepada Wajib Pajak Badan sehingga dapat memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Di samping itu ada pekerjaan
lain yang lebih bersifat administratif dilakukan oleh konsultan pajak, yaitu: pertama, tax
compliance yakni menyiapkan laporan pajak serta melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Kedua, tax publication yakni menyampaikan informasi tentang peraturan pajak
kepada Wajib Pajak (Supeno,2011: 22).
2. Peran Konsultan Pajak Dalam Memberikan Edukasi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak, kepatuhan Wajib
Pajak Badan masih rendah, berdasarkan tahun 2015 jumlah Wajib Pajak Badan terdaftar
adalah 2.472.632 (dua juta empat ratus tujuh puluh dua ribu enam ratus tiga puluh dua),
Wajib Pajak Badan wajib SPT adalah 1.184.816 (satu juta seratus delapan puluh empat ribu
delapan ratus enam belas) dan 676.405 (enam ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus lima)
Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT tahunan namun hanya 374.878 (tiga ratus tujuh
puluh empat ribu delapan ratus tujuh puluh delapan) Wajib Pajak Badan yang melakukan
pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2). Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan Wajib Pajak Badan masih rendah.
Mangoting dan Arja (2013: 108) menunjukkan bahwa kepatuhan pajak adalah keadaan
saat Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya. Kepatuhan pajak dibagi menjadi dua, yaitu: kepatuhan pajak formal dan
kepatuhan pajak materiil. Kepatuhan pajak formal adalah kepatuhan yang diatur sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan pajak materiil
adalah suatu keadaan saat Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan

15
materiil perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh ZA. Selain ketentuan formal untuk dikatakan patuh juga harus
memenuhi ketentuan materiil yaitu Wajib Pajak yang telah mengisi SPT dengan benar,
lengakap dan jelas sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Dalam menjalankan profesinya
sebagai konsultan pajak, ZA sangat mengedepankan profesionalisme yang telah diatur
dalam PMK serta peraturan IKPI.
Pengaturan tentang tugas dan kewajiban konsultan pajak diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak.
Berdasarkan Pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak, konsultan pajak berhak untuk memberikan jasa
konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahliannya. Selanjutnya
dalam Pasal 23 disebutkan bahwa konsultan pajak wajib:
a. memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. mematuhi kode etik konsultan pajak dan berpedoman pada standar profesi konsultan
pajak yang diterbitkan oleh asosiasi konsultan pajak;
c. mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau
diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan
profesional berkelanjutan;
d. menyampaikan laporan tahunan konsultan pajak; dan
e. memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan
kantor dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud.
Dalam menjalankan tugasnya konsultan pajak selain memberikan tax consulting dan
Attorney at tax law. Selain itu, konsultan pajak juga memberikan arahan yang bersifat baik
kepada Wajib Pajak Badan seperti memberikan beberapa pilihan (opsi) yang akan diambil
oleh Wajib Pajak Badan beserta resiko yang mungkin akan terjadi serta memberikan review
juga disertai dasar aturannya dan bila ada area abu-abu konsultan pajak selalu ada dasarnya
dalam memberikan opsi, seperti yang diungkapkan oleh ZA:
Saat kita memberikan review kita harus ada dasar aturannya dan bila ada area abu-abu
kita selalu ada dasarnya dalam memberikan opsi.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yaitu EL, bahwa:
Konsultan selalu mengarahkan dimana dan nanti kalau ada hal-hal yang belum kita
paham karena aturan pajak sering berubah jadi kita lebih terarah dalam perpajakan
kita sendiri supaya benar dan tidak menyimpang.
3. Peran Konsultan Pajak Dalam Memberikan Informasi
Kesenjangan informasi dari pembuat peraturan dan pelaksana peraturan membuat
hubungan konsultan pajak dan Direktorat Jenderal Pajak tidak harmonis. Keberadaaan
keduanya seharusnya saling melengkapi sebagai mitra, sehingga peraturan yang dibuat
dapat diterapkan. Selain itu, dengan adanya kerjasama yang baik akan meminimalkan
ketidaksesuaian peraturan dengan pelaksanaannya yang terjadi pada subjek penelitian
dalam hal ini A&G. Ketika A&G mencari penjelasan atas peraturan yang sama, namun
mendapatkan penjelasan yang berbeda dari fiskus dan konsultan pajak. Konsultan pajak
sangat dibutuhkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya terutama
dalam memberikan informasi tentang peraturan perpajakan, seperti yang diungkapkan oleh
EL:
Konsultan tetap masih dibutuhkan, bila tidak ada konsultan kita merasa ada informasi
yang diperlukan.

16
Menurut EL, informasi atas peraturan perpajakan lebih banyak disampaikan oleh
konsultan pajak bila dibandingkan dengan AR.
4. Biaya Konsultan Pajak
Pada dasarnya A&G ingin menggunakan jasa konsultan pajak tetapi dikarenakan
biaya untuk menggunakan jasa konsultan pajak yang cukup besar yang melihat berdasarkan
omzet Wajib Pajak Badan oleh karena itu A&G tidak menggunakan jasa konsultan pajak dan
lebih memilih menggunakan jasa dari intern perusahaan, seperti yang diungkapkan A&G:
Biaya konsultan pajak besar tiap bulannya, karena kita usaha distribusi untungnya
kecil tapi omzetnya besar dan konsultan melihat bukan dari keuntungannya tapi dari
omzetnya.
Hal ini tidak akan terjadi apabila konsultan pajak dapat menyesuaikan biaya jasanya
dan tidak mengacu pada omzet dari Wajib Pajak Badan. Dari sisi subjek penelitian EL,
menunjukkan bahwa kesesuaian yang tinggi atas persepsi Wajib Pajak Badan dengan jasa
dan pelayanan yang diberikan konsultan pajak menyebabkan EL menggunakan jasa
konsultan pajak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
jasa edukasi dan pemberian informasi dapat meningkatkan sikap Wajib Pajak Badan
terhadap hasil produk (jasa) yang diberikan sehingga dapat mengontrol faktor personal
Wajib Pajak Badan.
5. Konsultan Pajak Sebagai Tax Agent
Hubungan antara konsultan pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak belum ada sinergi
dan interaksi yang baik. Dari sisi Direktorat Jenderal Pajak, menganggap konsultan pajak
sebagai penghambat penerimaan negara tetapi dari sisi konsultan pajak menganggap
konsultan pajak bukanlah penghambat penerimaan negara melainkan membantu Wajib
Pajak Badan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai kemampuan dan keadaan
Wajib Pajak Badan. Ketidaksepahaman antara konsultan pajak dan Direktorat Jenderal Pajak
menyebabkan tidak adanya kerjasama yang baik antara konsultan pajak dan Direktorat
Jenderal Pajak, sehingga menyebabkan Wajib Pajak Badan menjadi dirugikan. Sebagai
contoh: fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak di dalam membuat dan menyusun
peraturan perpajakan tidak pernah melibatkan konsultan pajak untuk memberikan masukan
dan saran kepada fiskus sehingga peraturan yang ditetapkan menjadi tidak maksimal dan
sering diubah-ubah yang merugikan bagi Wajib Pajak Badan. Menurut DH sebagai wakil
dari Direktorat Jenderal Pajak, seharusnya hubungan antara konsultan pajak dan Direktorat
Jenderal Pajak adalah sebagai mitra, seperti yang diungkapkan oleh DH:
Konsultan pajak merupakan mitra yang sangat penting bagi DJP dalam meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Konsultan pajak memberikan bimbingan kepada Wajib Pajak
dalam memahami peraturan perpajakan sehingga Wajib Pajak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Darussalam (hasil wawancara, 13 April 2016):
Peran konsultan yang ideal adalah seperti “tax agent” untuk membuat Wajib Pajak
menjadi patuh dan sebagai mitra yang setara dengan otoritas pajak.
Menurut ZA, profesi ideal konsultan pajak harus memiliki independensi,
profesionalisme, dan integritas dalam menjalankan profesinya. Seharusnya Direktorat
Jenderal Pajak dapat meningkatkan peran konsultan pajak dengan menaikkan derajat
hubungan konsultan pajak sebagai bagian dari masyarakat bisnis kepada Direktorat Jenderal
Pajak sebagai government. Selain itu, peran konsultan pajak harus ditingkatkan menjadi
sumber data dan informasi perpajakan sekaligus sebagai tax agent untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Konsultan pajak juga berperan dalam penggalian potensi

17
penerimaan pajak serta sebagai mediator dalam memunculkan faktor-faktor personal Wajib
Pajak Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakan.
Namun walaupun konsultan pajak berperan sebagai mediator dalam membantu Wajib
Pajak Badan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, tidak dapat dipungkiri bahwa masih
terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh konsultan pajak yang tidak terdaftar maupun
yang telah terdaftar. Salah satu contoh pelanggaran konsultan pajak adalah mengikuti
kehendak klien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
memberikan saran dan masukan kepada Wajib Pajak Badan yang bertentangan dengan
standar profesi IKPI. Salah satu contoh kasus yang dialami konsultan pajak di Indonesia
adalah mengenai kasus konsultan pajak PT. Ditax Management Resolusindo (Hendro
Tirtawijaya) yang ditahan oleh tim penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Agung sebagai
tersangka baru kasus dugaan korupsi pajak dan pencucian uang Dhana Widyamitka
(Tjongari dan Widuri: 2014: 2). Dalam kasus tersebut konsultan pajak Hendro Tirtawijaya
dan Dhana Widyamitka telah melanggar Kode Etik, AD/ART serta standar profesi IKPI
karena tidak menunjukkan profesionalisme dalam menjalankan profesinya sehingga atas
pelanggaran tersebut konsultan pajak (HT) akan dikenakan sanksi profesi IKPI.
Faktor-faktor personal dalam kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sangat dipengaruhi oleh peran Direktorat Jenderal Pajak dan
konsultan pajak. Konsultan pajak berperan dalam memberikan edukasi dan pembinaan serta
informasi kepada Wajib Pajak Badan terhadap sistem perpajakan dan peraturan perpajakan.
Berdasarkan hasil pemaparan diatas, menunjukkan bahwa konsultan pajak dapat
menjadi mediator munculnya faktor-faktor personal Wajib Pajak Badan untuk patuh
memenuhi kewajiban perpajakannya. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara Wajib Pajak, konsultan pajak dan fiskus. Menurut subjek penelitian A&G
dan EL sama-sama menganggap peran dari konsultan pajak masih sangat dibutuhkan untuk
membantu pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban
perpajakan, memberikan edukasi dan informasi yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak.
Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konsultan pajak merupakan mitra
fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu fiskus dalam rangka
penerimaan negara. Sedangkan hubungan fiskus dengan Wajib Pajak adalah untuk
menghimpun penerimaan negara yang berasal dari pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak untuk digunakan dalam rangka pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat.

SIMPULAN DAN KETERBATASAN


Simpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan diatas, maka dapat simpulkan bahwa :
1. Faktor-faktor personal dapat mendorong perilaku Wajib Pajak Badan untuk patuh
memenuhi kewajiban perpajakannya dan pada dasarnya Wajib Pajak Badan berkeinginan
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya tetapi terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan Wajib Pajak Badan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, diantaranya
disebabkan oleh: pemahaman terhadap sistem self assessment, kualitas pelayanan, tingkat
penghasilan, persepsi Wajib Pajak terhadap sanksi perpajakan. Selain faktor-faktor
tersebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak,
diantaranya: adanya motivasi oleh Wajib Pajak Badan dan keinginan untuk berkembang
dan memenuhi potensinya, Wajib Pajak Badan bisa memilih ingin menjadi seperti apa,
dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya, pengaruh oleh cara pandang Wajib Pajak Badan
terhadap diri sendiri, yang berasal dari cara fiskus memperlakukan Wajib Pajak Badan,
dan tujuan psikologi humanistik adalah membantu Wajib Pajak Badan memutuskan apa
yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya. Faktor-faktor tersebut
menunjukkan bahwa teori psikologi humanistik sangat mempengaruhi perilaku Wajib
Pajak Badan. Pada prinsipnya kepatuhan menurut fiskus dan konsultan pajak adalah

18
sama bila dilihat pada sistem self assessment. Selain itu untuk mengatasi ketidaktahuan
Wajib Pajak Badan, seharusnya fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
memberikan sosialisasi kepada Wajib Pajak Badan disaat awal membuka usaha sehingga
diharapkan tidak ada lagi ketidakpatuhan Wajib Pajak Badan yang disebabkan karena
ketidaktahuan Wajib Pajak Badan atas peraturan perpajakan dan informasi terbaru.
2. Konsultan pajak dapat menjadi mediator munculnya faktor-faktor personal Wajib Pajak
Badan untuk patuh memenuhi kewajiban perpajakannya. Peran konsultan pajak sangat
dibutuhkan oleh Wajib Pajak Badan untuk memotivasi Wajib Pajak Badan yang
merupakan faktor personal agar memenuhi kewajiban perpajakannya secara mandiri.
Konsultan pajak juga berperan dalam memberikan edukasi, informasi dan pembinaan
kepada Wajib Pajak Badan terhadap sistem perpajakan dan peraturan perpajakan. Peran
konsultan yang ideal adalah seperti “tax agent” untuk membuat Wajib Pajak menjadi
patuh dan sebagai mitra yang setara dengan otoritas pajak. Dalam penelitian ini juga
menunjukkan bahwa hubungan antara Wajib Pajak Badan, konsultan pajak dan fiskus
memiliki peran masing-masing untuk tujuan penerimaan negara. Ketiga subjek tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi peran
masing-masing subjek dalam rangka penerimaan negara dalam hal ini penerimaan dari
sektor pajak.

Keterbatasan
Keterbatasan penelitian ini adalah perilaku Wajib Pajak Badan dalam memenuhi
kewajiban perpajakan dengan menggunakan teknik wawancara dengan melibatkan
beberapa subjek penelitian yaitu dua orang pengurus Wajib Pajak Badan yang diwakili oleh
Wajib Pajak Badan patuh dan tidak patuh, satu orang konsultan pajak dan satu orang
petugas pajak (fiskus).

DAFTAR PUSTAKA
Ardani, N. 2010. Pengaruh Kewajiban Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi
Kasus di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I Surabaya). Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Azwar, S. 2002. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Budiatmanto, A. 1999. Study Evaluasi Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah
Reformasi Perpajakan Tahun 1983 Studi Kasus pada Kantor Wilayah VIII Direktorat
Jenderal Pajak Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2013. Kondisi Empiris Pajak 2013. 3 Desember 2013: 1-20.
Gunadi. 2004. Reformasi Administrasi Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi Menuju Good
Governance. Makalah Orasi Ilmiah. Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar Biasa
Dalam Bidang Perpajakan Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia. 13 Maret 2004. Depok.
Jarvis, M. 2000. Theoretical Approaches in Psychology. Routledge. London. Terjemahan SPA-
Teamwork. 2010. Teori-Teori Psikologi. Nusa Media. Bndung.
Kartono. 2006. Perilaku Manusia. Rineka Cipta. Jakarta.
Kurniawan, C. dan A. Sadjiarto. 2013. Pemahaman Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak
Mengenai Hubungan dengan Wajib Pajak oleh Konsultan Pajak di Surabaya. Jurnal Tax &
Accounting Review 1 (1):55-62.
Mangoting, Y. dan A. Sadjiarto. 2013. Pengaruh Postur Motivasi Terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak Orang Pribadi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan 15 (2):106-116.
Mertokusumo, S. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Edisi Ketiga. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.

19
Moleong, L. J. 2013. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Cetakan Ketiga Puluh Satu. Rosda.
Bandung.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Tata Cara
Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 15 Mei 2012. Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 526. Jakarta.
_______. Nomor 111/PMK.03/2014 Konsultan Pajak. 9 Juni 2014. Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 761. Jakarta.
Rahmat, P. S. 2009. Penelitian Kualitatif, Jurnal Equilibrium 5 (9):1-8.
Rustiyaningsih, S. 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Badan.
Jurnal Widya Warta 35 (2):44-54.
Sarosa, S. 2012. Penelitian Kualitatif. Cetakan Kesatu. Indeks. Jakarta Barat.
Supeno, H. 2011. Dampak Kesesuaian Persepsi Klien Terhadap Jasa Pelayanan Konsultan
Pajak Pengaruhnya Terhadap Kinerja Konsultan Pajak. Juranl Media Mahardhika 10 (1):22-
40.
Walgito, B. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Edisi Keempat. Andi Offset. Yogyakarta.
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. 2001. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat. Jakarta.

•••

20

Anda mungkin juga menyukai