Anda di halaman 1dari 31

Rizky Arsena Putra

1302623049
Pend.Fisika (A)/2023
Strategi Pembelajaran Sains

1. Discovery Learning. (Pembelajaran Penemuan)


Di era teknologi seperti saat ini, guru harus mampu menyesuaikan diri dengan
kemajuan teknologi yang sangat canggih yang dimaksudkan untuk membuat pembelajaran
lebih mudah bagi siswa. Pembelajaran Discovery adalah proses pembelajaran yang tidak
memberikan secara keseluruhan, tetapi melibatkan siswa untuk menyusun, meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mengatasi berbagai masalah. Menurut Hamalik,
model Discovery Learning adalah model belajar dua arah di mana siswa menjawab
pertanyaan guru mereka dan guru membimbing mereka ke arah yang benar dan tepat.
Markaban mengatakan bahwa model ini melibatkan diskusi atau interaksi antara siswa dan
guru mereka yang melakukan Discovery.

Discovery Learning adalah model pembelajaran di mana siswa mencari informasi


sendiri atau ide-ide yang akan dipelajari, dan guru tidak memberikan informasi secara
menyeluruh kepada siswa tentang ide-ide atau materi yang akan dipelajari. Menurut Sari et
al. dalam, model Discovery Learning adalah kerangka pembelajaran konseptual dengan
prinsip materi dan bahan ajar yang harus dicapai oleh peserta didik tidak disampaikan secara
utuh melainkan siswa dituntut untuk dapat mengidentifikasi apa yang ingin diketahui,
mencari informasi dan materi secara mandiri, serta mengorganisasikan apa yang telah
diketahui menjadi suatu bentuk akhir.

Discovery Learning adalah model pembelajaran yang dapat memecahkan masalah


yang akan bermanfaat bagi anak didik dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang.
Rozhana dan Harnanik mengemukakan bahwa model discovery learning adalah model
pembelajaran yang mengedepankan pengembangan berpikir peserta didik dalam
memecahkan suatu masalah dan juga menekankan pada kemampuan peserta didik dalam
mencari ide-ide baru dalam kegiatan pembelajaran.

Oleh karena itu, model pembelajaran Discovery Learning pada dasarnya adalah model
pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat berpikir kritis dalam memecahkan masalah,
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran, mandiri dalam mencari atau menemukan
informasi, dan meningkatkan kretivitas mereka. Dengan kata lain, guru hanya berfungsi
sebagai fasilitator, bukan sebagai pusat pembelajaran. Tujuan dari model pembelajaran
Discovery Learning adalah agar siswa dapat menemukan apa yang mereka butuhkan untuk
mengetahui dengan mencari informasi sendiri. Kemudian, siswa harus mengorganisasi atau
membentuk apa yang sudah mereka ketahui dan pahami ke dalam bentuk akhir.
Sebagai komponen penting dalam bidang pendidikan, guru harus memiliki
kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam peran profesional mereka dan memenuhi
tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa model pembelajaran
discovery akan memerlukan beberapa langkah yang harus dilewati agar dapat digunakan
dengan baik dan efektif. Menurut Sinambela, langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran
Discovery learning yaitu :
1. Stimulation (pemberian rangsangan). Siswa diberikan permasalahan di awal sehinga
bingung yang kemudian menimbulkan keinginan untuk menyelidiki hal tersebut. Pada
saat itu guru sebagai fasilitator dengan memberikan pertanyaan, arahan membaca
teks, dan kegiatan belajar terkait discovery.
2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah). Tahap kedua dari pembelajaran
ini adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin kejadian-kejadian dari masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah)
3. Data collection (Pengumpulan Data), berfungsi untuk membuktikan terkait
pernyataan yang ada sehingga siswa berkesempatan mengumpulkan berbagai
informasi yang sesuai, membaca sumber belajar yang sesuai, mengamati objek terkait
masalah, wawancara dengan narasumber terkait masalah, melakukan uji coba mandiri.
4. Data processing (Pengolahan Data), merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang sebelumnya telah didapat oleh siswa. Semua informai yang didapatkan
semuanya diolah pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verification (Pembuktian) yaitu kegiatan untuk membuktikan benar atau tidaknya
pernyataan yang sudah ada sebelumnya. yang sudah diketahui, dan dihubungkan
dengan hasil data yang sudah ada.
6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi). Tahap ini adalah menarik
kesimpulan dimana proses tersebut menarik sebuah kesimpulan yang akan dijadikan
prinsip umum untuk semua masalah yang sama Berdasarkan hasil maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.

Model pembelajaran Discovery Learning dalam penerapannya tentu memiliki


kelebihan yang membawa pengaruh positif terhadap kegiatan pembelajaran. Menurut Susanti,
dkk. Terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki model Discovery Learning dalam kegiatan
pembelajaran. Kelebihan itu diantaranya adalah :
1. Membuat peserta didik mendapatkan kenyamanan dan suasanya yang menyenangkan
dalam proses pembelajaran.
2. Peserta didik merasa lebih percaya diri dan merasa memiliki kemampuan untuk
menemukan sesuatu yang baru.
3. Membuat peserta didik lebih santai dan mengurangi ketegangan dalam proses
pembelajaran.
4. Peserta didik dapat berinteraksi satu sama lain dan bekerja sama dalam menyelesaikan
suatu hal dengan peserta didik lainnya.

Selain kelebihan, juga terdapat beberapa kelemahan model discovery learning yang
ditemukan oleh peneliti. Kelemahan tersebut tampak dalam beberapa penelitian. Kelemahan
tersebut diantaranya Siswa yang kurang bersungguhsungguh dalam pembelajaran, siswa
masih bingung dengan pembelajaran menemukan, guru kurang memahami langkah-langkah
model tersebut, serta membutuhkan waktu yang lama dalam pembelajaran.Namun, beberapa
kelemahan tersebut dapat hilang atau dapat tidak dirasakan oleh siswa maupun guru jika
model tersebut dipergunakan dengan tepat dan dengan memaksimalkan penggunaan langkah-
langkah model discovery learning.

Pendidikan yang baik sangat penting untuk menumbuhkan siswa yang mandiri,
kreatif, dan kritis. Oleh karena itu, pembelajaran yang berkualitas tinggi diperlukan untuk
membantu siswa menjadi lebih mandiri, aktif, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dan
berpikir kritis. Fakta bahwa siswa Indonesia di sekolah memiliki kecenderungan malas dan
kurangnya kemampuan berpikir kritis. Hal ini terjadi karena siswa tidak memiliki motivasi
belajar yang kuat dan model pembelajaran yang digunakan tidak cocok dengan siswa. Oleh
karena itu, model pembelajaran yang cocok dengan siswa di era modern seperti saat ini
diperlukan.
Dengan adanya model pembelajaran Discovery Learning tentunya membantu
pendidikan di Indonesia perlahan lebih membaik dan mengalami peningkatan dari
sebelumnya. Terbukti dari beberapa artikel-artikel yang penulis telusuri, model Discovery
Learning banyak membawa pengaruh baik kepada peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran. Banyak pengaruh positif yang didapat siswa dari kalangan SD, SMP, hingga
SMA dalam menggunakan model pembelajaran tersebut. Siswa merasa lebih cocok
menggunakan model ini karena siswa dapat mengekspresikan kemampuannya sendiri secara
mandiri dalam berbagai hal sehingga menumbuhkan kreativitas dan kemandirian dalam
dirinya. Itulah mengapa model pembelajaran Discovery Learning membawa pengaruh positif
terhadap siswa yang mana dengan model ini siswa dapat berpikir lebih kritis, dapat aktif
dalam pembelajaran, kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, dan juga mandiri dalam
mengerjakan segala hal yang berhubungan dengan pendidikan.
2. Inquiry Learning. (Pembelajaran Penyelidikan)
Model Inquiry merupakan strategi pembelajaran yang merangsang, mengajarkan, dan
mengajak siswa untuk berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam rangka menemukan
jawaban secara mandiri dari berbagai permasalahan yang. Model pembelajaran Inquiry
bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan intelektual dan keterampilan
lainnya seperti mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban. Model inkuiri terbimbing
(Guided Inquiry) adalah model pembelajaran dengan kegiatan ilmiah seperti peserta didik
menyampaikan opini sebelum topik dijelaskan, peserta didik melakukan penyelidikan
terhadap suatu permasalahan berupa gejala atau fenomena, peserta didik menemukan fakta-
fakta dan dapat menjelaskan serta membandigkan dengan teori secara saintifik.

Model inkuiri memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar aktif dalam
merumuskan masalah, menganalisis hasil serta mengambil kesimpulan. Pembelajaran Guided
Inquiry dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan sikap ilmiah dan keterampilan
proses sains siswa. Pembelajaran inkuiri terdiri atas empat macam yaitu inkuiri konfirmasi,
inkuiri terstruktur, inkuiri terbimbing, dan inkuiri terbuka. Penerapannya dalam pembelajaran
disesuaikan dengan beberapa pertimbangan salah satunya adalah karakteristik peserta didik.
Peran guru dalam model pembelajaran inquiry ini hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa
sebagai subjek belajar atau memiliki peran utama untuk mengajukan pertanyaan atau
mengeksplorasi gagasan mereka dari berbagai sudut pandang peserta didik mengenai materi
pelajaran. Dalam model pembelajaran Inkuiri ini, dapat menggunakan berbagai cara
pendekatan, mulai dari kegiatan diskusi dengan membuat kelompok kecil sampai dengan
pembelajaran terpadu.

Akan lebih baik jika dibandingkan para peserta didik hanya disuruh menghafalkan
materi dan fakta. Dengan system tersebut dapat memungkinkan peserta didik untuk bisa
membangun pengetahuan mereka dengan cara mengekslorasi gagasan mereka, berdiskusi
dengan teman mereka, dan atau mengalami pengalaman langsung. Dan juga model
pembelajaran inkuiri ini dirancang agar peserta didik bisa melaksanakan segala percobaan
secara mandiri sehingga pengalaman mereka perihal ilmu pengetahuan dapat semakin
terbuka, yang mendorong mereka untuk selalu penasaran mengutarakan pertanyaan dan
mencari jawabannya sendiri.
Berikut adalah beberapa pendapat lain menurut para ahli tentang pengertian
pembelajaran inkuiri atau inquiry based learning model.
 W.Gulo : Pembelajaran inquiry berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
 Coffman : Inquiry learning adalah model pembelajaran yang secara langsung
melibatkan siswa untuk berpikir, mengajukan pertanyaan, melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksperimen sehingga siswa mampu menyajikan solusi atau ide yang
bersifat logis dan ilmiah.
 Hanafiah dan Sudjana : Model pembelajaran inquiry merupakan metode
pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat menemukan sendiri pengetahuan,
sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan perilaku.
 Abidin : Model pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran yang dikembangkan
agar peserta didik menemukan dan menggunakan berbagai sumber informasi dan ide-
ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah, topik, dan isu tertentu.

Model pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang


menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan
sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Pembelajaran inkuiri dibangun
dengan asumsi bahwa sejak lahir manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri
pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekililingnya tersebut merupakan
kodrat sejak ia lahir ke dunia, melalui indra penglihatan, indra pendengaran, dan indraindra
yang lainnya. Keingintahuan manusia terus menerus berkembang hingga dewasa dengan
menggunakan otak dan pikirannya.Pengetahuan yang dimilikinya akan menjadi bermakna
manakala didasari oleh keingintahuan tersebut Model pembelajaran Inquiry membantu siswa
untuk dapat mengembangkan didisiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu
mereka.

Pengaruh modelan pembelajaran terhadap keterampilan proses sains siswa sekolah


dasar. Siswa yang belajar menggunakan model Inquiry mendapatkan keterampilan proses
sains lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model Problem
solving. Adanya interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kemampuan berpikir
kritis terhadap keterampilan proses sains siswa sekolah dasar menunjukan adanya pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan berpikir kritis berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya keterampilan proses sains siswa sekolah dasar. Siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis tinggi akan berpengaruh lebih baik terhadap keterampilan sains
siswa apabila siswa diajarkan menggunakan model inquiry.

Agar dapat menyusun strategi yang terstruktur dan sistematis, penting untuk memerhatikan
kondisi yang memungkinkan peserta didik dapat berinkuiri secara maksimal. Joyce mengemukakan
kondisi-kondisi umum yang menjadi syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu:
 Aspek sosial di dalam kelas dan suasana kelas yang terbuka yang memungkinkan
siswa berbicara satu sama lain Hal ini berarti bahwa suasana kelas harus bebas,
atau permisif, di mana semua siswa dapat berbicara dengan bebas dan tidak
terhalang. Faktor-faktor yang menghambat suasana bebas di kelas termasuk rasa
takut, rendah diri, atau malu, baik terhadap guru maupun teman kelas. Batas-batas
disiplin harus selalu memungkinkan kebebasan berbicara dan menghormati
pendapat yang berbeda, meskipun tidak relevan.
 Inkuiri berfokus pada hipotesis, Siswa harus menyadari bahwa semua
pengetahuan pada dasarnya tentative; tidak ada kebenaran yang mutlak, dan
kebenaran selalu sementara. Konsep tentang pengetahuan jenis ini harus diubah.
Oleh karena itu, penyelesaian hipotesis adalah titik fokus strategi inkuiri. Dalam
kasus di mana pengetahuan dianggap sebagai hipotesis, kegiatan belajar berkisar
pada pengujian hipotesis menggunakan berbagai informasi yang relevan. Sudut
pandang yang berbeda di antara siswa memungkinkan berbagai cara penyelesaian
masalah. Akibatnya, inkuiri bersifat terbuka jika ada beberapa kesimpulan yang
berbeda dari siswa masing-masing dengan argumen yang benar sebagai hasil dari
proses inkuiri.
 Penggunaan fakta sebagai evidensi. Di dalam kelas dibicarakan validitas dan
rehabilitas tentang fakta sebgaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada
umumnya
Tentunya, sebagai salah satu model pembelajaran yang merupakan alternatif dari
model lain, inquiry learning memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri pula. Keunggulan
strategi pembelajaran inquiry menurut Roestiyah dikemukakan sebagai berikut.
1. Dapat membentuk dan mengembangkan (self-concept) pada diri siswa, sehingga
siswa dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide pokok dengan lebih baik.
2. Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang
baru.
3. Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersikap
objektif, jujur dan terbuka.
4. Mendorong siswa untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesanya sendiri.
5. Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
6. Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
7. Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8. Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
9. Dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar yang tradisional.
10. Dapat memberikan waktu pada siswa secukupnya sehingga mereka dapat
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.

Selain memiliki keunggulan model pembelajaran inquiry juga memiliki beberapa


kelemahan. Menurut Suherti dan Rohimah kelemahan model pembelajaran inquiry adalah
sebagai berikut :
1. Kesulitan pengontrolan kegiatan dan keberhasilan peserta didik.
2. Model pembelajaran inkuiri sulit dilaksanakan karena terbentur dengan kebiasaan
peserta didik dalam belajar.
3. Terkadang dalam implementasinya memerlukan waktu yang panjang sehingga sering
pendidik sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan peserta menguasai
materi pelajaran, maka model pembelajaran ini akan sulit diimplementasikan oleh
setiap pendidik.
Kemampuan Kterampilan Proses Siswa Yang Memiliki Kemampuan Berpikir Kritis
Tinggi dan Rendah Yang Diberikan Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran
Inquiry Dengan Model Pembelajaran Problem Solving.
Tinggi :
Pengujian menggunakan uji Tukey tentang perbedaan keterampilan proses sains siswa yang
memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi yang diberikan pembelajaran menggunakan model
pembelajaran Inquiry dengan siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi
menggunakan model pembelajaran problem solving menunjukan bahwa Qhitung = 9,07 dan
Qtabel = 4,02, maka H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan signifikan keterampilan proses
sains pada model pembelajaran Inquiry dengan model pembelajaran problem solving pada
kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi Dengan demikian.

Dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains siswa yang memiliki kemampuan
berpikir kritis tinggi menggunakan model pembelajaran Inquiry lebih tinggi dibandingkan
siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi yang menggunakan model
pembelajaran problem solving

Rendah :
Pengujian menggunakan uji Tukey tentang perbedaan keterampilan proses sains siswa yang
memiliki kemampuan berpikir kritis rendah yang diberikan pembelajaran menggunakan
model pembelajaran Inquiry dengan siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah
menggunakan model pembelajaran problem solving menunjukan bahwa Qhitung = 4,75 dan
Qtabel = 4,02, maka H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan signifikan keterampilan proses
sains pada model pembelajaran Inquiry dengan model pembelajaran problem solving pada
kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis rendah yang menggunakan model Inquiry lebih rendah
dibandingkan siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah yang menggunakan
model problem solving.
3. Problem Based Learning. (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Problem Based Learning adalah seper- angkat model mengajar yang menggunakan
masalah sebagai fokus untuk mengembang- kan keterampilan pemecahan masalah, materi,
dan pengaturan-diri. PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensial dari materi pelajaran, PBL merupakan pembelajaran berdasarkan
teori kognitif yang didalamnya termasuk teori belajar konstruktivisme. Menurut teori
konstruktivisme, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah dapat dikembangkan jika
peserta didik melakukan sendiri, menemukan, dan memindahkan kekomplekan pengetahuan
yang ada.

Beberapa definisi tentang Problem Based Learning (PBL) :


 Menurut Duch, Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok
untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk
mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.
 Menurut Arends, Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan
pembelajaran di mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga
diharapkan mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan
keterampilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan
kepercayaan dirinya.
 Menurut Glazer, mengemukakan Problem Based Learning merupakan suatu strategi
pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam
situasi yang nyata.

Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning dapat


disimpulkan bahwa Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran
dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi
belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning adalah pengembangan kurikulum dan
proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa
mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan
masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan
masalah atau tantangan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan model Problem Based Learning terdiri dari 5 tahap proses, yaitu :
 Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini
guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan,
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan
mengajukan masalah.
 Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta
didik kedalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
 Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini
guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan,
melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
 Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru
membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi,
atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
 Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.
Pada tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap proses dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan

Scriven & Paul (2008) mengungkapkan bahwa dalam berpikir kritis terdapat
keterampilan mengaplikasikan, menganalisa, mensintesa, mengevaluasi informasi yang
diperoleh dan mengeneralisasi hasil yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi,
penalaran, atau komunikasi. Berpikir kritis tidak serta merta melekat pada seseorang sejak
lahir. Akan tetapi, berpikir kritis merupakan keterampilan yang dapat dikembangkan melalui
pengalaman langsung siswa dalam menghadapi permasalahan. Sehingga, jika siswa terbiasa
menggunakan keterampilan diatas maka keterampilan berpikir kritis akan dapat berkembang.
Model Problem Based Learning bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata
sebagai suatu yang harus dipelajari siswa. Dengan model Problem Based Learning
diharapkan siswa mendapatkan lebih banyak kecakapan daripada pengetahuan yang dihafal.
Mulai dari kecakapan memecahkan masalah, kecakapan berpikir kritis, kecakapan bekerja
dalam kelompok, kecakapan interpersonal dan komunikasi, serta kecakapan pencarian dan
pengolahan informasi.

Ciri yang paling utama dari model pembelajaran Problem Based Learning yaitu
dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Menurut Arends, berbagai
pengembangan pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu
memiliki karakteristik sebagai berikut :
 Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada
berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
 Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah
baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
 Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan harusnya mudah dipahami siswa dan
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
 Luas dan sesuai tujuan pembelajaran. Luas artinya masalah tersebut harus mencakup
seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber
yang tersedia.
 Bermanfaat, yaitu masalah tersebut bermanfaat bagi siswa sebagai pemecah masalah
dan guru sebagai pembuat masalah.
 Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu Masalah yang diajukan hendaknya
melibatkan berbagai disiplin ilmu.
Adapun beberapa karakteristik proses Problem based learning menurut Tan, diantaranya :
 Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran.
 Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara
mengambang.
 Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa
menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa ilmu yang sebelumnya telah
diajarkan atau lintas ilmu ke bidang lainnya.
 Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah
pembelajaran yang baru.
 Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).
 Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja.
 Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam
kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan
presentasi.

Sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya :
1. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa.
2. Meningkatakan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
3. Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah
dunia nyata.
4. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, PBM dapat
mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun
proses belajarnya.
5. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
6. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka miliki dalam dunia nyata.
7. Mengembangkan minat siswa untuk secaraterus menerus belajar sekalipun belajar
pada pendidikan formal telah berakhir.
8. Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna
memecahkan masalah dunia.

Disamping kelebihan di atas, Problem based learning juga memiliki kelemahan, diantaranya:

 Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa
masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan
untuk mencobanya.

 Untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengapa mereka harus berusaha untuk
memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang
mereka ingin pelajari

Dapat disimpulkan bahwa dari beberapa kelebihan dan kelemahan model


pembelajaran problem based learning ini di peroleh beberapa nilai pokok yang harus
dikembangkan oleh guru dalam menghidupkan suasana pembelajaran ,disini guru tidak hanya
berperan sebagai subjek utama dalam pembelajaran tapi disisi lain guru harus melibatkan
siswa agar kemampuan berfikir kritis siswa dapat berkembang walaupun masih saja dapat di
nilai tidak semua materi pelajaran dapat di sajikan dalam bentuk permasalahn untuk
memperoleh penyelesaian tapi setidaknya dengan bekerja sama dapat menumbuh
kembnagkan minat dan bakat peserta didik secara tidak langsung.

Menurut Arends (2012:398-399) menjelaskan bahwa karakteristik dari model pembelajaran


berbasis masalah adalah sebagai berikut :
 Masalah yang diajukan berupa permasalahan pada kehidupan dunia nyata sehingga
peserta didik dapat membuat pertanyaan terkait masalah dan menemukan berbagai
solusi dalam menyelesaikan permasalahan.
 Pembelajaran memiliki keterkaitan antardisiplin sehingga peserta didik dapat
menyelesaikan permasalahan dari berbagai sudut pandang mata pelajaran.
 Pembelajaran yang dilakukan peserta didik bersifat penyelidikan autentik dan sesuai
dengan metode ilmiah.
 Produk yang dihasilkan dapat berupa karya nyata atau peragaan dari masalah yang
dipecahkan untuk dipubliksaikan oleh peserta didik.
 Peserta didik bekerjasama dan saling memberi motivasi terkait masalah yang
dipecahkan sehingga dapat mengembangkan keterampilan sosial peserta didik.
4. Project Based Learning. (Pembelajaran Berbasis Proyek)
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas peserta didik
dalam memecahkan masalah yaitu model pembelajaran problem based learning. Sani (2014:
172) mengatakan project based learning dapat didefinisikan sebagai sebuah pembelajaran
dengan aktifitas jangka panjang yang melibatkan siswa dalam merancang, membuat dan
menampilkan produk untuk mengatasi permasalahan dunia nyata. Dengan demikian model
pembelajaran project based learning dapat digunakan sebagai sebuah model pembelajaran
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam membuat perencanaan,
berkomunikasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan yang tepat dari masalah
yang dihadapi. Menurut Kosasih (2014: 96) project based learning adalah model
pembelajaran yang menggunakan proyek atau kegiatan sebagai tujuannnya. Pembelajaran
difokuskan dalam pemecahan masalah yang menjadi tujuan utama dari proses belajar
sehingga dapat memberikan pembelajaran yang lebih bermakna karena dalam belajar tidak
hanya mengerti apa yang dipelajari tetapi membuat peserta didik menjadi tahu apa manfaat
dari pembelajaran tersebut untuk lingkungan sekitarnya.

Pada hakikatnya model pembelajaran project based learning dirancang untuk


digunakan pada permasalahan yang kompleks yang diperlukan pelajaran dalam melakukan
investigasi dan memahaminya. Dengan mengkelompokkan peserta didik dalam memecahkan
suatu proyek atau tugas maka akan melatih keterampilan peserta didik dalam merencanakan,
mengorganisasi, negoisasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan
dikerjakan, siapa yang bertanggung jawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan
dikumpulkan dan disajikan.

Melalui pembelajaran berbasis proyek ini tentunya siswa diarahkan untuk


menghasilkan suatu proyek dalam pembelajaran. Proyek tersebutlah yang perlu dikaitkan
dengan lingkungan sekitar anak. Hal ini menjadikan pembelajaran akan diingat lama dan
tersimpan dalam memori jangka panjang anak. Pembelajaran dengan berbasis proyek juga
mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis (critical thinking) dan
kreativitas (creativity) karena harus membuat suatu proyek yang baik sesuai arahan guru.
Selain itu kemampuan bekerjasama (collaboration) siswa dalam pengerjaan proyek juga
diasah dalam pembelajaran. Begitu juga dengan kemampuan berkomunikasi
(communication) siswa akan diasah ketika ia menyampaikan hasil proyek yang telah dibuat
bersama anggota kelompoknya.

Dalam belajar project based learning memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
 Mengambil keputusan sendiri dalam kerangka kerja yang telah ditentukan
sebelumnya
 Siswa berusaha memecahkan sebuah masalah atau tantangan yang tidak memiliki
suatu jawaban yang pasti.
 Siswa ikut merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi.
 Siswa didorong untuk berfikir kritis, memecahkan masalah, berkolaborasi, serta
mencoba berbagai macam bentuk komunikasi.
 Siswa bertanggung jawab mencari dan mengelola sendiri informasi yang mereka
kumpulkan.

Model PjBL memiliki kelebihan, antara lain:


 Melatih siswa dalam memperluas pemikirannya mengenai masalah dalam kehidupan
yang harus diterima.
 Memberikan pelatihan langsung kepada siswa dengan cara mengasah serta
membiasakan mereka melakukan berpikir kritis serta keahlian dalam kehidupan
sehari-hari.
 Penyesuaian dengan prinsip modern yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan
mengasah keahlian siswa, baik melalui praktek, teori serta pengaplikasiannya.

Selain kelebihan yang dimiliki model tersebut juga memiliki kekurangan, antara lain:
 Sikap aktif peserta didik dapat menimbulkan situasi kelas yang kurang kondusif, oleh
karena itu memberikan peluang beberapa menit diperlukan untuk membebaskan siswa
berdiskusi. Jika dirasa waktu diskusi mereka sudah cukup maka proses analisa dapat
dilakukan dengan tenang.
 Penerapan alokasi waktu untuk siswa telah diterapkan namun tetap membuat situasi
pengajaran tidak kondusif. Maka pendidik berhak memberikan waktu tambahan
secara bergantian pada tiap kelompok.

Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan aktifitas interaksi antara guru dan
siswa dimana mereka terlibat dalam interaksi yang membutuhkan timbal balik untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman dari penyampaian materi. Dengan kata lain proses
pembelajaran tidak hanya dilakukan satu arah sebagaimana guru yang selalu aktif
menyampaikan materi siswa harus ikut berperan aktif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
aktif diartikan sebagai giat berusaha dan bekerja. Kegiatan berusaha dan bekerja dalam
proses pembelajaran yang dapat dilakukan oleh siswa yaitu aktif merespon penyampaian
materi oleh guru. Menurut (Sardiman, 2001:98) aktifitas adalah suatu kegiatan yang memiliki
sifat mental maupaun fisik dengan berfikir dan berbuat sesuatu sebagai struktur yang tidak
dapat dipisahkan.

Adapun keaktifan siswa dapat dilihat dari:


1) Siswa terlibat dalam mengerjakan tugas.
2) Ikut dalam memecahkan sutu permasalahan.
3) Bertanya kepada guru maupun murid yang lain tentang persoalan yang belum di pahami.
4) Ikut serta mencari informasi guna pemecahan permasalahan.
5) Melaksanakan diskusi sesuai arahan guru.
6) Menjadi penilaian atas kemampuan dirinya.
7) Mau melatih diri guna memecahkan masalah atau persoalan yang serupa,
8) Mencoba menerapkan ilmu yang telah didapat dalam proses pemecahan masalah.

Adapaun aktifitas siswa dapat dibagi menjadi dua, yaitu aktifitas secara fisik dan aktifitas
secara psikis. Aktifitas secara fisik adalah gerak tubuh guna menciptakan suatu gerakan,
bermain, bahkan bekerja dalam kelas maupun lingkungan sekolah, sedangkan aktivitas yang
dilakukan dengan jiwa sebanyak-banyaknya, seperti berpikir dalam rangka pembelajaran.
Pembelajaran yang dinilai berhasil dan berkualitas jika seluruh atau sebagian besar siswa
dapat ikut serta secara aktif baik fisik maupun psikisnya.
5. Production Based Training.
Model Pembelajaran PBT merupakan proses pendidikan dan pelatihan yang menyatu
pada proses produksi, dimana peserta didik diberikan pengalaman belajar pada situasi yang
kontekstual mengikuti aliran kerja industri mulai dari perencanaan berdasarkan pesanan,
pelaksanaan dan evaluasi produk/kendali mutu produk, hingga langkah pelayanan pasca
produksi. Pelaksanaan model pembelajaran PBTdifokuskan pada potensi peserta didik, dan
kebutuhan wilayah untuk menghasilkan tamatan yang profesional, serta mempunyai relevansi
yang tinggi, dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Sasaran utama
pengunaaan model pembelajaran PBT adalah agar lulusan (output) dapat berperan dalam
meningkatkan pemberdayaan potensi wilayah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Tujuan penggunaan model pembelajaran production based training adalah untuk


menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi kerja yang berkaitan dengan kompetensi
teknis serta kemampuan kerjasama sesuai tuntutan organisasi kerja. Penerapan model
pembelajaran modified production based training ini memberi pengalaman langsung suasana
industri di sekolah dengan terciptanya iklim industri yang memanfaatkan proses
pembelajaran di kelas dan praktikum sebagai mini industry bagi peserta didik.

Model pembelajaran Modified Production Based Training telah dirancang oleh


Handayani, dkk. (2016), merupakan pembelajaran praktikum di SMK yang mengakomodasi
kegiatan produksi yang sesuai dengan Kompetensi Dasar sekaligus juga sesuai dengan
kegiatan produksi di industri pangan. Kegiatan praktikum ini dirancang seperti dunia kerja
khususnya pada industri pangan. Melalui model pembelajaran ini diharapkan peserta didik
mampu mengembangkan bakat, keterampilan Pelaksanaan model pembelajaran Modified
Production Based Training yang dilakukan merupakan proses pendidikan dan pelatihan yang
menyatu pada proses produksi, dimana peserta didik diberikan pengalaman belajar pada
situasi yang kontekstual mengikuti aliran kerja industri mulai dari perencanaan berdasarkan
pesanan atau kebutuhan konsumen, pelaksanaan dan evaluasi produk/kendali mutu produk,
hingga langkah pelayanan pasca produksi yaitu pemasaran.

Pelaksanaan model pembelajaran PBT mengacu pada produk unggulan


sekolah/daerah, dan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki lapangan
kerja dan berusaha mandiri di berbagai bidang yang relevan. Pengembangan model
pembelajaran inijuga memperhatikan optimalisasi, efisiensi, kelestarian/ sustanibility agar
mampu menggambarkan suatu pola agribisnis yang terpadu, mengedepankan nilainilai
kependidikan, dan bisnis. Selain komponen-komponen di atas, faktor yang juga harus
dipertimbangkan agar program dapat berdaya guna dan berhasil guna adalah:
a) Berorientasi dan menyesuaikan dengan lingkungan hidup yang meliputi: lingkungan
biologis, lingkungan geografis termasuk kedekatan dengan kegiatan ekonomi,
lingkungan sosial dan ekologis.
b) Mempertimbangkan kebutuhan masa yang akan datang (perkembangan IPTEK,
kelestarian lingkungan/sustainability dan kesejahteraan masyarakat).
c) Mempertimbangkan aspek ekonomi, bahwa program yang dikembangkan harus
mampu mendorong tumbuhnya perekonomian daerah, dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekolah.

Adapun sintaks atau tahapan model pembe-lajaran Production Based Trainning meliputi:
a) Merencanakan produk, membuat perencanaan produk dapat berupa benda hasil
produksi/ layanan jasa / perencanaan pertunjukan yang dapat dilakukan dari mulai
menggambar detail/membuat pamflet, perhitungan kebutuhan bahan/kostum,
peralatan, dan teknik pengerjaan serta alur kerja/koordinasi kerja.
b) Melaksanakan proses produksi, pada sintak ini peserta didik diajak melakukan
tahapan produksi berdasarkan rencana produk benda/layanan jasa/perencanaan
pertunjukan, alur kerja/koordinasi kerja serta memonitor proses produksi.
c) Mengevaluasi produk (melakukan kendali mutu), pada langkah ini peserta didik
diajak untuk memeriksa hasil produk melalui membandingkan dengan tuntutan pada
perencanaan teknis.
d) Mengembangkan rencana pemasaran, peserta didik diajak mempersiapkan rancangan
pemasaran baik dalam jejaring (daring) maupun luar jejaring (luring) berbentuk
brosur/pamflet dan mempresentasikannya.
Kelebihan dari Production Based Training :
a) Membuat peeserta didik lebih paham dengan pembuatan suatu produk
b) Memberikan pengalaman kerja yang sesuai yang diamati oleh peserta didik.
c) Peserta didik menciptakan suatu produk yang bermutu.
d) Proses Pembelajaran ditinjau secara dari lingkungan belajar sekitar peserta didik.
e) Meningkatkan kognitif peserta didik.

Adapun kekurangan yang terdapat dalam model pembelajaran Production Based Training,
sebagai berikut :
a) Tidak dapt diterapkan dalam untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru yang
berperan aktif dalm menyajikan materi lebih cocok untuk pembelajaran yang
menuntut kemampuan tertentu yamg kaitan dengan pemecahan masalah.
b) Dalam satu kelas yang memiliki tingkat keragaman peserta didik yang tinggi akan
terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.

Pelatihan berbasis produksi berbeda dari jenis pelatihan lainnya, seperti pelatihan
berbasis ruang kelas. Pelatihan ini memiliki beberapa ciri khas, termasuk yang berikut ini:
a) Pelatihan ini berbasis tugas, bukan berbasis teori Peserta didik belajar dengan
melakukan, bukan dengan mendengarkan teori saja.
b) Bersifat langsung murid dapat mulai mempraktikkan keterampilan yang mereka
kuasai.
c) Berorientasi pada tujuan peserta didik diberikan tujuan spesifik untuk dicapai, dan
mereka dievaluasi berdasarkan kemampuan yang nantinya apakah sesuai dengan
tujuan atau tidak.
d) Waktu pelaksanaannya terbatas, dalam menyelesaikan semua tugas-tugas yang
diberikan, peserta didik harus memperhatikan tenggat waktu yang diberikan, maka
dari itu manajemen waktu yang tepat.
e) Berbasis kinerja, Peserta didik nantinya dievaluasi berdasarkan kemampuan mereka
untuk memenuhi tujuan tertentu.
6. Teaching Factory. (Pembelajaran Berbasis Industry)
Pengertian model pembelajaran dalam konteks learning factory merupakan landasan
praktik pem-belajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang
dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulumdan
implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas atau laboratorium. Ditinjau dari konsep
modelmengajar era klasik seperti dikemukakan oleh Joyce dan Well (2000), model
mengajar dikelompokkan menjadi empat rumpun, yaitu model pemrosesan infor-masi
(processing information model), model pribadi (personal model), model interaksi sosial
(social model), dan model perilaku (behavior model).

Ditinjau dari konsep model era baru yang didorong oleh per-kembangan teori
psikologi belajar yang sebelum ber-tolak dari asumsi kurva normal bergeser kepada asumsi
multi kecerdasan (modalitas) yang dipelopori Gardner (1992), adanya koreksi dari
taksonomi Bloom (An-derson, 1999), dan kurikulum materi berorientasi pada kompetensi;
model belajar menjadi tiga kelompok, yakni

(1) Behaviorisme;

(2) Cognitivisme,

(3) Con-structivisme.

Bertolak dari kajian tersebut, learning factory cenderung titik beratnya ke arah
konstruktivisme, de-ngan tidak mengurangi model behaviorisme dan kog-nitivisme. Apabila
ditinjau dari pendekatannya, learning factory merupakan seting yang terkait langsung
dengan lingkungan atau disebut learning contextual. Implikasinya bagi pengajar dalam
melaksanakan tu-gasnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, harus benar-
benar memahami proses produk-si sesungguhnya sehingga dalam menyusun rencana dan
pelaksanaan pengajaran dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
Tujuan utama dari teaching factory, yaitu: memberikan pengalaman langsung kepada
siswa tentang pembuatan produk secara langsung dan siswa diharapkan dapat lebih siap saat
setelah lulus dari sekolah sudah memiliki pengalaman langsung tentang membuat produk.
Sehingga ilmu yang didapatkan bukan hanya ilmu yang sebatas teori namun juga praktik.
Secara umum model pembelajaran teaching fac-tory ini bertujuan untuk melatih siswa dalam
mencapai ketepatan waktu, kualitas yang dituntut oleh industri, mempersiapkan siswa sesuai
dengan kompetensi keah-liannya, menanamkan mental kerja dengan beradap-tasi secara
langsung dengan kondisi dan situasi in-dustri, dan menguasai kemampuan manajerial dan
mampu menghasilkan produk jadi yang mempunyai standar mutu industri.

Hal ini sesuai dengan pendapat Kuswantoro (2014:25) yang menjelaskan bahwa
terdapat elemenelemen dari teaching factory, yaitu:

a) Standar Kompetensi, standar kompetensi merupakan standar sejauh mana


kompetensi yang harus dicapai oleh masing-masing peserta didik saat masuk ke
dunia industri.
b) Peserta didik, Peserta didik menjadi bagian penting di dalam teaching factory
karena menjadi bagian sumber daya manusia di dalam pengimplementasian
teaching factory.
c) Media pembelajaran, Proses produksi menjadi media yang digunakan di dalam
pembelajaran saat pelaksanaan teaching factory.
d) Penggunaan perlengkapan, Perlengkapan dapat menjadi fasilitas yang
memberikan banyak manfaat di dalam mengembangkan kompetensi peserta didik
sekaligus sebagai sarana menyelesaikan produksi dengan hasil yang berkualitas.
e) Guru atau tenaga pendidik, Guru atau tenaga pendidik yang ada di dalam teaching
factory haruslah orang yang memiliki kualifikasi akademik dan juga pengalaman
yang baik di dunia industri.
f) Penilaian, teaching factory harus bisa menilai siswa apakah sudah mencapai
kompetensi yang diharapkan dari produk yang telah dibuat.

Dengan begitu, model pengelolaan teaching factory di sekolah menengah kejuruan


akan berpengaruh terhadap kreativitas, kompetensi dan inovasi siswa SMK sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha dan industri, dan dalam pengelolaannya menggunakan teaching
factory yang telah dirumuskan dan diuji coba secara efektif dan efisien.

Metode pembelajaran Teaching Factory memiliki beberapa kelebihan antara lain:

 Memberikan pengalaman nyata kepada siswa dalam melakukan kegiatan industri.


 Meningkatkan keterampilan teknis dan non-teknis siswa sesuai dengan kebutuhan
dunia kerja.
 Mendorong motivasi siswa untuk belajar dan berprestasi.
 Melatih siswa dalam bekerja sebagai tim dan berkolaborasi dengan pihak industri.

Selain memiliki kelebihan Teacher Factory memiliki beberapa kekuarangan, Yaitu :

 Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola kegiatan teaching factory
 Kurang aktifnya peserta didik dalam mengikuti kegiatan praktik.
 Lemahnya pengawasan serta dukungan sekolah terhadap kegiatan teaching factory.
 Tumpang tindihnya tugas dan tanggung jawab pengelola.
 Rendahnya kompetensi yang dicapai peserta didik yang makin memperlebar
kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki peserta didik dengan yang dibutuhkan di
dunia industri.
 Lemahnya koordinasi antar instansi ketika pelaksanaan kegiatan teaching factory.
 Sarana-prasana (peralatan) yang tidak mengakomodir tuntutan produki baik dari segi
kualitas maupun kuantitas.
 Kegiatan teaching factory di SMK ini masih memeiliki kekurangan dalam hal tata
kelola/manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan)
pelaksanaannya.

Beberapa pengembang model TEFA yang dapat dijadikan rujukan sebagai berikut:

Dadang Hidayat (2011) dengan model Tf6m adapun tujuan dari pengembangan model
tersebut yaitu meningkatkan kompetensi siswa dalam mata pelajaran produktif sekolah
menengah kejuruan. Tahapannya pengembangannya sebagai berikut:
a) Mengidenifikasi kondisi pembelajaran produktif,
b) Menemukan desain model pembelajaran yang dapat memberikan siswa pengalaman
langsung dalam suasana industri disekolah,
c) Menemukan model implementasinya,
d) Mengidentifikasi factor pendukung dan penghambatnya,
e) Memperoleh data empiris tentang efektivitas model.

Adapun maksud Enam langkah dari satu siklus model ini, yaitu menerima pemberi
order, menganalisis order, menyatakan kesiapan mengerjakan order, mengerjakan order,
melakukan quality control, dan menyerahkan order. Sebelum siklus model dilaksanakan,
siswa dengan guru melakukan kesepakatan menciptakan iklim industri di sekolah, melakukan
latihan berkomunikasi, dan berlatih menganalisis order. Model dilakukan dalam blok waktu
enam minggu pada semester empat, enam minggu pada semester lima dan dilanjutkan dengan
uji kompetensi.

Secara garis besar proses pembelajara praktik menggunakan model TEFA terdiri atas
3 (tiga) proses yaitu proses persiapan, proses pembelajaran, dan proses evaluasi. Proses
persiapan, proses persiapan yang dilakukan meliputi Pengelolaan Sarana dan Prasarana (Alat-
alat dan Mesin) dan Pengelolaan Ruangan. Proses pembelajaran, proses pembelajaran yang
dilakukan dalam pengembangan model yang di rencanakan berupa proses pembelajaran
praktik kegiatan pembelajaran praktik dilaksanakan di bengkel sekolah dan melibatkan unit
produksi didalam proses pelaksanaan program.

Proses praktikum melibatkan siswa secara penuh mulai dari proses persiapan, proses
praktikum, dan proses akhir kegiatan praktik. Jenis kegiatan praktik yang dilaksanakan tidak
lagi menggunakan sistem training obyek melainkan melaksanakan praktik langsung pada
sebuah benda real. Semua proses pembelajaran praktik yang dilakukan dilaksanakan
berdasarkan konsep tentang pelaksanaan teaching factory. Proses evaluasi, dalam proses
evaluasi yang dilakukan yaitu observasi langsung terhadap proses serta hasil kerja yang
dilakukan siswa dengan menggunakan lembar observasi dan evaluasi berdasarkan pedoman
uji kompetensi keahlian (UKK) SMK yang disajikan dalam bentuk ujian praktik.
7. Model Blended Learning.
Blended learning merupakan istilah Bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu
blended dan learning. Blended sendiri berasal dari kata blend yang artinya campuran,
gabungan, perpaduan, atau kombinasi yang baik untuk meningkatkan kualitas. Sedangkan
learning berasal dari kata learn yang berarti belajar atau pembelajaran (Trisniawati, 2021).
Berdasarkan kedua istilah tersebut, secara etimologi blended learning berarti pembelajaran
campuran atau pembelajaran yang mengkombinasikan dua atau lebih model pembelajaran
untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Banyak ahli yang memberikan definisinya tentang
blended learning. Menurut Bielawski dan Metcalf, blended learning merupakan suatu model
pembelajaran yang menggabungkan antara dua model pembelajaran yaitu pembelajaran tatap
muka (face to face) dengan pembelajaran e-learning (online) yang termasuk sebagai salah
satu konsep baru dimana proses penyampaian materi dilakukan dengan dua cara yaitu di
kelas dan secara online. Menurut Semler, blended learning merupakan penggabungan antara
keunggulan e-learning, keunggulan face to face dan praktiknya.

Secara umum, pembelajaran blended learning bertujuan untuk memandirikan siswa


dalam belajar serta mengurangi jumlah waktu tatap muka yang dilakukan di kelas
(Trisniawati, 2021). Adanya blended learning bukan berarti pembelajaran tatap muka
ditiadakan atau dihilangkan, namun hanya dikurangi alokasi waktunya dan diganti dengan
adanya kegiatan tatap maya dengan memanfaatkan teknologi yang ada sehingga dapat
memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa serta menambah pengalaman
belajar dengan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, pembelajaran
blended learning juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar secara mandiri,
berkelanjutan dan sepanjang hayat untuk menjadikan belajar lebih efektif, efisien, menarik
dan menyenangkan sesuai dengan karakteristik masing-masing individu. Inti dari tujuan
pembelajaran blended learning adalah memperoleh pembelajaran yang "paling baik" diantara
metode pembelajaran lain dengan menggabungkan berbagai keunggulan dari masing-masing
komponen sehingga memungkinkan terciptanya pembelajaran yang maksimal, interaktif dan
menyenangkan tanpa adanya batasan ruang dan waktu.

Adapun karakteristik pembelajaran blended learning yaitu;

a) Memadukan berbagai cara penyampaian ilmu, gaya mengajar, model pembelajaran


serta media berbasis teknologi yang digunakan dalam proses belajar mengajar;
b) Mengkombinasikan pembelajaran secara langsung, mandiri dan pembelajaran daring;
c) Didukung oleh cara mengajar dan model pembelajaran yang efektif;
d) Guru berperan penting sebagai fasilitator dan orang tua berperan sebagai pendukung
proses pembelajaran.

Pada awalnya istilah Blended learning juga dikenal dengan konsep pembelajaran
hiprida yang memadukan pembelajaran tatap muka, online dan offline namun akhir ini
berubah menjadi blended learning. Blended artinya campuran atau kombinasi sedangkan
learning adalah pembelajaran. Pendapat pula dinyatakan oleh Graham bahwasannya blended
learning merupakan perpaduan atau kombinasi dari berbagai pembelajaran yaitu
mengkombinasikan pembelajaran tatap muka (face to face) dengan konsep pembelajaran
tradisional yang sering dilakukan oleh praktisi pendidikan dengan melalui penyampaian
materi langsung pada siswa dengan pembelajaran online dan offline yang menekankan pada
pemanfaatan teknologi.

Menurut Musa blended learning adalah mengkombinasikan pembelajaran yakni


pembelajaran E- learning atau online dengan pembelajaran tatap muka (face to face). Dengan
pembelajaran online yang mana memanfaatkan jaringan internet yang di dalamnya terdiri
pembelajaran berbasis web. Blended learning ini merupakan perpaduan dari pengembangan
teknologi berbasis multimedia, CD ROM, video streaming, email, voice mail dll dengan
menggabungkan pembelajaran tatap muka dikelas. Pembelajaran tatap muka memberi
kesempatan pada siswa untuk menanyakan hal ataupun permasalahan yang berkaitan materi
yang diajarkan oleh guru.
Pembelajaran blended learning merupakan pembelajaran yang sangat efektif, efisien
untuk meningkatkan kemampuan siswa menjadi menyenangkan, minat belajar siswa lebih
besar dengan lingkungan belajar yang beragam. blended learning menawarkan pembelajaran
yang lebih baik, baik terpisah atau kelompok serta waktu yang sama atau berbeda.

Pada tahun 2002, Driscoll mengidentifikasi empat konsep pembelajaran blended learning
yaitu
a) Menggabungkan atau mencampur mode teknologi yang berbasis web misalnya kelas
virtual langsung, pembelajaran kolaboratif, streaming video, audio dan teks.
b) Menggabungkan pendekatn pedagogis misalnya kognitivisme, konstruktivisme,
behaviorisme, untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal dengan atau tanpa
penggunaan teknologi.
c) Menggabungkan segala bentuk te knologi pembelajaran misalnya video tape,
CDROM, pelatihan berbasis web,film dengan dipimpin instruktur tatap muka.
d) Mencampur atau mengadukkan teknologi pembelajaran yang sebenarnya untuk
menciptakan efek pembelajaran dan kerja yang harmonis.

Pembelajaran blended learning mengkombinasikan atau mencapur antara


pembelajaran face to face dengan bantuan Information And Communication Technology ICT
dengan mempunyai kelebihan-kelebihan yaitu :

a) Dapat digunakan untuk menyampaikan pembelajaran kapan saja dan dimana saja.
b) Pembelajaran terjadi secara mandiri dan konvensional, yang keduanya memiliki
kelebihan yang dapat saling melengkapi.
c) Pembelajaran lebih efektif dan efisien
d) Meningkatkan aksesbilitas. Dengan adanya Blended Learning maka pembelajar
semakin mudah dalam mengakses materi pembelajaran.
e) Pembelajaran menjadi lebih luwes dan tidak kaku.

Kekurangan Blended Learning :


a) Media yang dibutuhkan sangat beragam, sehingga sulit diterapkan apabila sarana dan
prasarana tidak mendukung.
b) Tidak meratanya fasilitas yang dimiliki pebelajar, seperti komputer dan akses Internet.
Padahal dalam Blended Learning diperlukan akses Internet yang memadai, apabila
jaringan kurang memadai akan menyulitkan peserta dalam mengikuti pembelajaran
mandiri via online.
c) Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan teknologi
d) Tidak meratanya fasilitas yang dimiliki pelajar, seperti komputer dan akses Internet
e) Membutuhkan strategi pembelajaran yang tepat untuk dapat memaksimalkan potensi
dari Blended Learning.
Ana, N. Y. (2019). Penggunaan Model Pembelajaran Discovery Learning Dalam Peningkatan
Hasil Belajaran Siswa Di Sekolah Dasar. Pedagogi: Jurnal Ilmu Pendidikan, 18(2),
56.
Cintia, N. I., Kristin, F., & Anugraheni, I. (2018). Penerapan Model Pembelajaran Discovery
Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Hasil Belajar
Siswa. Perspektif Ilmu Pendidikan, 32(1), 67–75.
Prilliza, M. D., Lestari, N., Merta, I. W., & Artayasa, I. P. (2020). Efektivitas Penerapan
Model Discovery Learning Terhadap Hasil Belajar IPA. Jurnal Pijar Mipa, 15(2), 130.
Juhri, S. (2020). Penerapan Model Discovery Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Kelas Ix Pada Pembelajaran Ipa. BIO EDUCATIO : (The Journal of Science
and Biology Education), 5(2), 371–380.
Putri, I. S., Juliani, R., & Lestari, I. N. (2017). Pengaruh Model Pembelajaran Discovery
Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Dan Aktivitas Siswa. Jurnal Pendidikan
Fisika, 6(2), 91–94.
Murnaka, N. P., & Dewi, S. R. (2018). Penerapan metode pembelajaran Guided Inquiry
untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematis. Journal of Medives:
Journal of Mathematics Education IKIP Veteran Semarang, 2(2), 163- 171.
Siagian, R. E. F., & Nurfitriyanti, M. (2015). Metode pembelajaran inquiry dan pengaruhnya
terhadap hasil belajar matematika ditinjau dari kreativitas belajar. Formatif: Jurnal
Ilmiah Pendidikan MIPA, 2(1).
Bahri, S., Syamsuri, I., & Mahanal, S. (2016). Pengembangan Modul Keanekaragaman
Hayati dan Virus Berbasis Model Inkuiri Terbimbing untuk Siswa Kelas X MAN 1
Malang. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 1(2), 127 – 136.
Dewi, A. C. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Berbantuan Media Animasi
terhadap Kompetensi Pengetahuan IPA. Journal for Lesson and Learning Studies,
1(3), 154–161.
Efendi, D. R., & Wardani, K. W. (2021). Komparasi Model Pembelajaran Problem Based
Learning dan Inquiry Learning Ditinjau dari Keterampilan Berfikir Kritis Siswa pada
Mata Pelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 5(3), 1277–1285.
Resti, A., Eko S., & Endang S. (2021). Problem-based Learning: Apa dan Bagaimana.
Journal for Physics Education and Applied Physics, 3(1).
Husnul, H. (2020). Penerapan Metode Pembelajaran Problem Based Learning Dalam
Meningkatkan Kemampuan Bercerita Pada Siswa Sekolah Dasar. JURNAL
EDUKASI 2020, VII (3): 5-11.
Yunin, N. N., & Wardan, S. (2014). PENERAPAN MODEL PROBLEM-BASED
LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
DAN HASIL BELAJAR SISWA. Jurnal Pendidikan Vokasi, 4(1).
Handayani, dkk. (2016). Production Based Training on Agro Industry Expertise Course to
Improve Student’s Competencies in Food Diversivication based on Local Resources.
INVOTEC Vol. XII, Number 1. Bandung: UPI.
Kusumah, S. H. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Produksi pada Standar
Kompetensi Dasar Pengolahan Hasil Pertanian di SMKN 1 Kuningan. Skripsi.
Bandung: Pendidikan Teknologi Agroindustri FPTK UPI.
Pardjono dan Murdianto, A. (2011). Pembelajaran Berbasis Produksi Untuk Peningkatan
Kompetensi Membuat Gambar Kerja Teknik Mesin Siswa SMK. Jurnal Pendidikan
Vokasi, Vol. 1, No. 1.
Dadang Hidayat M. (2011). Model pembelajaran teaching factory untuk meningkatkan
kompetensi siswa dalam mata pelajaran produktif. Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 17,
No 4.
Andra, B. D., K, A., A, Y., & Abadi, Z. (2022). Pengaruh Model Pembelajaran Teaching
Factory Dan Kesiapan Guru Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Teknik Pemesinan CNC Di SMK Negeri 6 Batam. VOMEK: Jurnal Vokasi
Mekanika, 4(1), 119–124.
Asriati, N. (,2019). Pengembangan Model Pembelajaran Teaching Factory 6M Menghadapi
Revolusi Industri Keempat Di Smk Negeri 6 Pontianak. JURKAMI: Jurnal
Pendidikan Ekonomi, 3(2), 70–86
Graham, Charles R. 2004. Blended Learning Systems: Definition, Current Trends, and Future
Directions. Dalam Bonk, C.J. & Graham, CR.Eds. Impress Handbook Of Blended
Learning:Global Persepektives, local designs. San Fransisco CA: Pfeiffer Publishing
Basalamah, I. (2020). Implementasi Blended Learning Di Masa Pandemi COVID-19 Pada
STIE Wira Bhakti Makassar. AkMen Jurnal Ilmiah, 17(4), 529-538
Motteram, G., & Sharma, P. (2009). Blending learning in a web 2.0 world. Australian Journal
of Emerging Technologies and Society, 7(2), 83–96.

Anda mungkin juga menyukai