Anda di halaman 1dari 15

Sumber: http://ustadzkholid.

com/Iiqih/status-anak-zina/comment-page-1/#comment-153
Diakses pada: 19/11/2011 pukul 08.00
Status Anak Zina
Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kata
zina` mulai disamarkan dengan istilah yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita
Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis
Pendamping dan yang sejenisnya yang mengesankan permasalahan ini mulai dianggap
ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini.
Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan khususnya
hukuman bagi para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung tersebarnya penyakit ini
dilingkungan kaum muslimin. Padahal semaraknya perzinaan membuahkan banyak
permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan
tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian
muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial
lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syari`at Islam yang sempurna dan
cocok untuk semua zaman. Tinggal kita melihat kembali bagaimana Iikih Islam
memandang status anak zina dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan
mendesak dengan banyaknya realita status mereka yang masih banyak dipertanyakan
masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan penjelasan Iikih islam walaupun dalam
bentuk yang ringkas, agar masyarakat menyadari implikasi buruk zina dan tidak salah
dalam menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.
Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah dari sebagian
masyarakat dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya sebagian kaum lelaki
yang mengingkari janin yang dikandung istrinya atau anak yang lahir dari istrinya itu
adalah hasil hubungan dengannya. Atau juga sengaja menikahi wanita hamil di luar
nikah, kemudian untuk menutupi aib keluarga dan menasabkan anak tersebut sebagai
anaknya.
Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mulaanah
dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi
bapaknya |lihat Al Mughni 9/123|. Nabi Shallallahualaihi Wasallam menyatakan
tentang anak zina:
??????? ??????? ???? ???????
Artinya: 'Untuk keluarga ibunya yang masih ada. |HR. Abu Dawud, kitab Ath-
Thalaq, Bab Fi Iddia` Walad A:-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shohih Sunan Abu Dawud no. 1983|
uga menasabkan anak dari ula`anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu
Umar #adhiallahuanhuma dalam penuturannya:
??????? ??????? ???? ???????
????? ?????????? ??? ???? ?????? ?????? ????????????? ? ?????????? ????
????????? ? ????????? ??????????? ? ?????????? ????????? ?????????????
Artinya: 'Nabi Shallallahualaihi Wasallam mengadakan mulaanah antara seorang
dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi
Shallallahualaihi Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut
kepada ibunya. |HR. Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah
lihat Fathu al Baari 9/460|
Inilah salah satu konsekuensi mulaanah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan
konsekuensi mulaanah menyatakan: 'Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab
anak dari sisi sang bapak, karena Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menetapkan
untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah
pendapat mayoritas ulama. |Zaad al-Maad 5/357|
Syaikh MusthaIa Al`Adawi Hafi:hahullah menyatakan: 'Inilah pendapat mayoritas
ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh
Shallallahu`alaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah
pendapat yang benar. |Jaami Ahkaam an-Nisaa` 4/232|
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin #ahimahullah menyatakan:
'Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada
seorangpun baik kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut
apabila ia bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syar`i. |Syarhu al-Mumti,
Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255|
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka
dapat dikategorikan menjadi dua :
Berstatus istri seorang suami
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka
tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai
anaknya
Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak
mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada
orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah
sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam dalam hadits A`isyah
#adhiallahuanha :
???????? ??????????? ? ????????????? ?????????
Artinya: 'Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pe:inanya
dihukum |HR Al-Bukhari kitab Al-Faraaid, Bab Man iddaa Akhanat au Ibna
Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 |
Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri
atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah #adhiallahuanhu yang menyatakan bahwa Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam pernah bersabda:
????????? ????????? ??????????
Artinya: 'Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami) |HR al-
Bukhori dalam itab al-Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au
Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 |
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di #ahimahullah menyatakan: 'Kapan
saja seorang wanita telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita,
lalu lahirlah darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy |al-
Fatawa as-Sadiyah hal. 552|. Beliaupun menambahkan: 'Dengan Firasy ini
maka tidak dianggap keserupaan Iisik atau pengakuan seorang dan tidak juga
yang lainnya |al-Fatawa as-Sadiyah hal. 553|.
b. Sang suami mengingkarinya
Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri)
berada dalam satu dari dua keadaan:
4 Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan
persaksian yang sesuai syari`at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya
adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan
kepada ibunya.
4 Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan
suami istri itu saling melaknat (mulaanah) lalu dipisahkan dan digagalkan
ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak
mulaanah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada
ibunya.
Tidak menjadi istri seseorang
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu
melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:
O Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut
dinasabkan kepadanya, maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan
dinasabkan kepada ibunya.
O Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut
adalah anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua
pendapat:
Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arbaah (imam empat madzhab) |Lihat Ikhtiyaraat
Ibnu Taimiyah, Ahmad al-MuuIi 2/828| dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab
Zhahiriyah |Lihat al-Muhalla 10/323|. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-
Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
a. Sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam:
???????? ??????????? ? ????????????? ?????????
Artinya: 'Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pe:inanya
dihukum. |HR Bukhari|
Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahualaihi Wasallam tidak menjadikan
anak tersebut dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina
tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
b. Hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:
????? ?????? ??????? ??? ???????? ????? ????? ???????? ???????
????????? ????????? ???? ??????????????? ??????? ???????? ?????
?????? ????? ???????? ????????? ??? ???????? ??? ???????????? ??????
?????? ??????????????? ????????? ??????????? ?????????????
?????????.
Artinya: 'Seorang berdiri seraya berkata. Wahai #asulullah' Sungguh si Fulan
ini adalah anak saya, saya dulu di :aman Jahiliyah men:inahi ibunya. Maka
#asululloh Shallallahualaihi Wasallam menfawab. Tidak ada pengakuan anak
dalam islam, telah hilang urusan fahiliyah. Anak adalah milik suami wanita (al-
Firaasy) dan pe:ina dihukum.|HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-
Walad Lil Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu
Dawud dan Shahih al-jaami` no. 2493|
c. Sabda Nabi Shallallahualaihi Wasallam :
??? ?????????? ??? ??????????? ???? ?????? ??? ??????????????? ??????
?????? ???????????? ?????? ??????? ??????? ???? ?????? ???????? ?????
?????? ????? ???????
Artinya: 'Tidak ada per:inaan dalam islam, siapa yang ber:ina di :aman
fahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa
yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.
|HR. Abu Dawud no. 2264 dan di-dhoif-kan Al-Albani dalam Dhoif al-Jaami
dan Syuaib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Maad 5/382|
d. Hadits Abdullah bin Amru #adhiallahuanhu yang berbunyi :
????? ?????????? -??? ???? ???? ????- ????? ????? ????? ????????????
??????????? ?????? ??????? ??????? ??????? ???? ????????? ??????????
??????? ????? ????? ???? ????? ???? ?????? ??????????? ??????
?????????? ?????? ?????? ?????? ????????????? ???????? ???? ??????
?????? ???????? ???? ??????????? ?????? ????? ???????? ???? ????????
???? ???????? ?????? ????????? ????? ???????? ????? ????? ???????
??????? ??????? ???? ?????????? ?????? ????? ???? ?????? ????
??????????? ???? ???? ??????? ??????? ????? ????????? ??? ????????
???? ????? ?????? ?????? ????? ??????? ??????? ???? ???? ?????????
?????? ?????? ???????? ???? ??????? ????? ???? ??????.
Artinya: 'Sungguh Nabi Shallallahualaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa
setiap anak yang dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan
kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa
semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang mafikan) pada waktu
digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta
penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan
dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan
maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila
bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak
dimilikinya atau dari wanita merdeka yang di:inainya, maka anak tersebut tidak
dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan
tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak :ina baik dari wanita merdeka atau
budak sahaya. |HR Abu daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syuaib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-
Maad 5/383|
Ibnu al-Qayyim menyatakan: 'Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang
sepakat dengannya. |Zaad al-Maad 5/384|
e. Sabda Nabi Shallallahualaihi Wasallam :
???????? ?????? ??????? ????????? ???? ?????? ??????????? ??????
????? ? ??? ?????? ????? ????????
Artinya: 'Siapa safa yang men:inahi wanita merdeka atau budak sahaya maka
anaknya adalah anak :ina, tidak mewarisi dan mewariskan. |HR At-Tirmidzi,
kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan At-
tirmid:i dan Shohih al-Jaami no. 2723|
I. Ibnu Qudamah #ahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak
dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga
menunjukkan anak itu tidak dianggap anak secara syar`I sehingga tidak dapat
dinasabkan kepadanya sama sekali. |Al-Mughni 7/129-130 dinukil dari
Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah 2/828|
Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta
penasabannya. Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin
Yasaar dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah menyatakan: 'Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina meminta
anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahi tersebut tidaklah
bersuami. Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda:
???????? ??????????? ? ????????????? ?????????
Artinya: 'Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pe:inanya dihukum.
Nabi Shallallahualaihi Wasallam menjadikan anak tersebut miliki suami (al-Firaasy)
tidak kepada pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy) maka tidak masuk
dalam hadits ini. |Mafmu Fatawa 32/112-113|
Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan KhaliIah Umar bin Al-Khathab
sebagaimana diriwayatkan imam Malik dalam al-Muwaththa dengan laIadz:
????? ?????? ???? ??????????? ????? ???????? ????????? ???????????????
?????? ??????????? ??? ??????????? .
Artinya: 'Umar bin al-Khaththab #adhiallahuanhu dahulu menasabkan anak-anak
fahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam. |Al-Muwaththa
2/740|
Demikian juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu
pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta
adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan
lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat
padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan
anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas
murni |Zaad al-Maad 5/381|.
Yang rajih, Wallahu Alam, adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua dan
keempat yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat jumhur.
Ibnu al-Qayyim setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan
menyampaikan hadits keempat dari dalil pendapat pertama, menyatakan: 'Apabila hadits
ini shohih maka wajib berpendapat dengan isi kandungannya dan mengambilnya. Apabila
tidak (shahih) maka pendapat (yang rojih) adalah pendapat Ishaaq dan yang bersamanya.
|Zaad al-Maad 5/381|
Anak Zina dan Warisan
Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris
anak mula`anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak |Lihat al-Mughni
9/122|. Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab
pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar`I
kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan
demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan
juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
2. Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama
seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam
keumuman Iirman Allah Taala :
` + - -`' -' ~ - -- `-`' = = .` ~ ~ ~` ' - - - = ' ~ ' ` -'
~ ' = ' ~ ~ ~ ~' '~ +- ~ , ~ =' . - ` -- -' ' + ~ =' ` ~ -
~ ~ ~' ~` = ' - `' ~` -' ` ' - ' , - ~ ' + - - , - - ~
' ~- = ' ~- = ' ' ' ~ -- ' - - - + - ~
Artinya: 'Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu . bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan dan fika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, fika anak perempuan itu seorang safa, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, fika yang meninggal itu mempunyai anak, fika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (safa),
Maka ibunya mendapat sepertiga, fika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bifaksana. |QS. An-Nisaa` 4: 11|
Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan.
Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula`anah
yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa`ad as-Sa`idi yang menceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahualahi Wasallam memutuskan perkara mula`anah, Sahl bin Sa`ad
#adhiallahuanhu berkata:
????????? ??????? ???? ????????? ?????? ?????????????????? ?????????
???????? ? ?????????? ????????? ??????? ???????? ??????? ????????? ? ?????
?????? ?????????? ??? ??????????? ???? ????????? ? ???????? ?????? ???
?????? ??????? ?????
Artinya: 'Maka menfadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulaanah.
Wanitanya tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan
anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam
warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut
mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah |HR Al-Bukhari, Kitab
At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Lian, lihat Syarh
An-Nawawi 10/123 |
Ibnu Qudamah #ahimahullah berkata: 'Seorang lelaki apabila melakukan mula`anah
terhadap istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya,
maka nak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang
melakukan mula`anah tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun
ahli waris (Ashobah)nya. Ibunya dan d:awu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja.
uga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. |Al-Mughni 9/114|
ahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan
hak warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak
zina tersebut bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom
didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini
tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut,
saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah.
Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat,
khalwat dan safar dilarang diantara mereka.
Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:
Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab
dengan penjelasan sebagai berikut: 'Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas
ulama besar muslimin hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat
dalam hal ini dikalangan salaI. Beliau menyatakan: Siapa yang berbuat demikian maka
dihukum bunuh`. Disampaikan kepada beliau dari Imam Maalik bahwa beliau
membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan penukilan dari imam Maalik
tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu HaniIah dan pengikutnya, Ahmad
dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat banyak dari
pengikut madzhab SyaIi`i. beliau juga mengingkari berita imam SyaIi`I berpendapat yang
berbeda dengan ini. Para ulama berkata: SyaIi`I hanya menyatakan tentang anak
perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya`. |Mafmu Fatawa 32/143|
Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki
tersebut meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita
tersebut?
Beliau menjawab: 'Ini dilarang dalam madzhab Abu HaniIah, Ahmad dan salah satu dari
dua pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan.
Dan ini juga madzhab SyaIi`i. |Mafmu Fatawa 32/143|
Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahrom. Mudah-
mudahan penjelasan ringkas ini bermanIaat bagi kita semua.
Wabillahit Taufiq.
Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Sumber: http://kautsarkuordpress.om////bagaimana-dengan-status-
anak-zina/ Diakses pada: 19/11/2011 pukul 08.11 WIB.
Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu
Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang 'Taubat dari Perbuatan Zina, sebagai
berikut:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang
berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang
berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan
anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. ika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil,
bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah
pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi
wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?
(Fulanah di Solo)
awab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ala Rasulillah, wa ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama
belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun
sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, dan jika yang hendak
menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki
tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan Iirman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam
surat An-Nur: 3:
- -' ' ~ ~ - -' ` _ - - ` -' ' - - ~ ~' _ = = ~ = = ~ ~ , ' ` ' + = - - `
'Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita
pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan
atas kaum mukminin.
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah
berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam
rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus
melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu
menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak
hamil.
Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia
melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan iddah|1| karena
sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti`
(5/215, cet. Darul Atsar): '`Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya.
Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan
Iajir/pezina.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu` Fatawa (32/112):
'Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya).
Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya),
karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan
dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): 'Seorang
wanita yang khulu`|2| -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-`iddah
dengan iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan
rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah
syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: 'Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang
ditalak) yang wajib untuk melakukan iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina
melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh
tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka
anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang
seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya)
lebih wajib untuk melakukan istibra`.
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits RuwaiIi` bin Tsabit radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
- - = _ - -' ~ -~ - =`' -' -' ~ - , ~' . = - ` ' -' ~' ~ _ =' ' - - - - ~' - - -
' ~ ' - ` ' + - ~ - _ = ~
'Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menyiramkan air maninya di ladang orang yakni menggauli wanita sabaya yang hamil
dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-
penguat)
b. Hadits Abu Sa`id Al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
-- = - = _ = , .~ = ' ~ - = ` _- _ = . ~' = = `
'Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil
sampai haid satu kali. (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi.
Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi haIalannya
jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut
meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah
anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta`ala menakdirkan terciptanya anak zina
tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya.
Akan tetapi secara hukum syar`i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab
yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam
keumuman sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
= =' -' ' - ~ '
'Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang
atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak
hasil perzinaannya. (MuttaIaq alaih dari Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu anha)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan
kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan
menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak
sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar`i. Ini adalah pendapat
jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah
Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu pada Bab Iddah wal
ihdad wal istibra`. Dan ini yang diIatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa
mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di
antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi naIkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki
tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri,
yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini
menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam
masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih
oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya
secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah
dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-
laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang
diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak
susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air
maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram
atasnya. (Lihat Majmu` Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti`, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. adi nasab anak tersebut dari jalur ayah
tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan
hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li`an|3| di hadapan hakim karena
suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan
sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang
dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah.
Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa`d As-Sa`idi radhiyallahu anhu yang muttaIaq
alaih.
3. ika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka
pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan
kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu
boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: 'Boleh bagi
seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan
nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya
telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang
menghamilinya adalah laki-laki itu, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah
syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh
menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah
status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada
ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang
dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya|4|.
Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya
bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah
yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban
Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-Adni haIizhahullah wa syaIahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-
anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang
berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya
menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita
adalah setiap lelaki yang merupakan ashabah|5| wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya
dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung
atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ashabah lainnya|6|.
4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu
berkata dalam Asy-Syarhul Mumti` (5/154): 'Yang dimaksud dengan sulthan adalah
imam (amir) atau perwakilannya.. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan
oleh pemerintah kepada petugas khusus.
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA).
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
. =' ' + =' - ' + - ~ - = - , ~' ' ~ - . ` ~ ' = ~' ' = ~'
'Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil.,
dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi
seorang wanita yang tidak punya wali. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no.
1840) dan guru besar kami Al-Wadi`i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan`ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): 'Hadits ini
menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali
dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak
mau menikahkannya|7|.
ika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ashabah ibunya merupakan
ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka
dianggap sebagai wali?
awabannya:
Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan
mereka sebagai ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku
dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu,
sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu alam bish-shawab.

|1| Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang
diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan
dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai melahirkan.
|2| Khulu` adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan
pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
|3| Li`an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing
suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing,
kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah
Subhanahu wa Ta`ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai
pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta`ala atasnya dirinya jika
suaminya benar.
|4| Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam
Ahmad, Al-Imam Asy-SyaIi`i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh
Ibnu Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu` Fatawa
(32/66-67), Asy-Syarhul Mumti` (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah
(28/387).
|5| Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian
tertentu, melainkan mewarisi secara ta`shib. Artinya jika ahlul Iardh (ahli waris yang
telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa
akan diwarisi oleh ashabah, atau jika tidak ada ahlul Iardh maka mereka yang mewarisi
seluruh hartanya.
|6| Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-
Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120),
Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti`, (5/145-154).
|7| Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Sumber: Diakses pada:
Sumber: Diakses pada:
Sumber: Diakses pada:
Sumber: Diakses pada:
Sumber: Diakses pada:

Anda mungkin juga menyukai