Anda di halaman 1dari 20

DZIHAR, POLIGAMI, LI’AN DAN HADHANAH

KELOMPOK 9 AIK 5

PBSJ & TEKNIK SIPIL


Dzihar

 A. Pengertian Dzihar
 Zhihar (Ejaan lain: zhihar, dzihar, dhihar; Arab,
‫ )الظهار‬adalah suami menyerupakan istri dengan
perempuan mahram dinikah baik mahram karena
nasab seperti ibu, saudara perempuan kandaung,
bibi; atau mahram karena perkawinan seperti ibunya
istri; atau mahram karena sesusuan (radha'ah).
 Hukum zihar adalah haram dan pelaku zihar harus
membayar kafarat atau tebusan agar dia kembali
dapat melakukan hubungan intim dengan istrinya.
Syarat Dzihar

 Syarat muzahir (mudhahir) atau pelaku zihar adalah : (a) suami, (b)
berakal sehat alias tidak gila; (c) kehendak sendiri alias tidak terpaksa.
 Syarat muzahar (mudhahar) minha atau perempuan yang di-zihar adalah:
istri.
 Syarat musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan) ada tiga yaitu:
(a) Harus perempuan.
(b) Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena nasab
(c) Wanita itu tidak halal sebelumnya.

 Syarat sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat yang
mengandung arti zihar (dhihar).
Sighat (lafaz) Zihar ada dua macam:
(a) Zihar sharih (ekplisit / jelas)
(b) Zihar kinayah (implisit / kiasan / implisit)
 Rukun Zihar (Dhihar)
 Rukun zihar ada empat yaitu (a) muzahir (pelaku
zihar) yaitu sumai; (b) muzahar minha (yang
dizihar) yaitu istri; (c) musyabbah bih (orang yang
dijadikan penyerupaan) yaitu wanita mahram; (d)
shighat atau lafal (lafaz) atau kalimat zihar.
 Kafarat Zihar (Dhihar)
 Zihar adalah haram dan berdosa. Perilaku ini harus
dijauhi oleh suami. Bagi yang terlanjur
melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat
atau tebusan. Kafaran zihar ada tiga macam yaitu:
(a) Memerdekakan budak (hamba sahaya) kalau ada
dan mampu; atau
(b) Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus satu
hari pun kalau mampu; atau
(c) Memberi makan 60 (enampuluh) orang miskin.
LI’AN

 Li’an adalah sumpah seorang suami untuk


meneguhk antuduhannya bahwa istrinya telah
berzina dengan laki-laki lain. Sumpah itu dilakukan
suami karena istrinya telah menyanggah tuduhan
suaminya itu, sementara suami sendiri tidak
memiliki bukti-bukti atas tuduhan zina-nya. Di
sidang Pengadilan Agama, hakim karena jabatannya
dapat menyuruh suami untuk bersumpah
secara Li’an.
Kekuatan Hukum Li’an

 Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka


berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
 Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:

 Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.

 Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar

 Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus


diserahkan kepada sang isteri (ibunya).

 Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris


anaknya dan begitu juga sebaliknya.
 Li’an dalam Perspektif Al-qur’an

 Dalam Al-qur’an, permasalahan li’an disebutkan dalam beberapa


ayat dalam surat An-Nur, yaitu ayat 6 sampai 10. Dalam ayat-ayat
itu diterangkan diantaranya mengenai kasus li’an, pihak yang
bermula’anah, serta konsekwensi hukumnya sebagaimana yang
telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya.

 Lian dalam Perspektif UU Perkawinan dan KHI


 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal
39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas
menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai
dengan alasan-alasan yang telah ditentukan yakni karena
kematian, perceraian dan putusan pengadilan.
 Poligami Menurut Pandangan Islam
 . Poligami adalah isyarat islam yang merupakan sunah Rasulullah
SAW tentunya dengan syarat sang suami memiliki kemampuan
untuk adil diantara para isteri.Sebagai mana pada ayat yang
artiya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senang, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yangkamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat daripada tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa ayat ke-3)

 “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara


isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalau cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung.” (QS.An-Nisa ayat 129) .
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Poligami
1. Faktor- Faktor Biologis
a. Istri yang Sakit
b. Hasrat Seksual yang Tinggi
c. Rutinitas Alami Setiap Wanita
d. Masa Subur Kaum Pria Lebih Lama

2. Faktor Internal Rumah Tangga


a. Kemandulan
b. Istri yang Lemah
c. Kepribadian yang Buruk

3. Faktor Sosial
a. Banyaknya Jumlah Wanita
b. Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
c. Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
d. Lingkungan dan Tradisi
e. Kemapanan Ekonomi
HADHANAH
 Pengertian Hadhanah
 Hadhanah secara bahasa, berarti meletakkan
sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan,
karena Ibu waktu menyusukan anaknya
meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan
Ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya
sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang
maksudnya ; pendidikan dan pemeliharaan anak
sejak dari lahir dari lahir sampai sanggup berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh kerabat anak itu
sendiri.
 Dasar Hukum Hadhanah
 Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena
anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga
agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga
harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala
hal yang dapat merusaknya
 Dasar hukum ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-
Tahrim, sebagaimana firman Allah.
 “hai orang-orang yan beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Tahrim: 6).
Syarat-syarat Hadhinah dan Hadhin

 Syarat-syarat Hadhinah dan Hadhin


 Berakal Sehat
 Dewasa
 Mampu Mendidik
 Amanah dan Berbudi
 Islam
 Ibunya tidak kawin lagi
 Merdeka
Yang Berhak Dalam Hadhanah

 . Kalangan Madzhab Syafi’i


 berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari
 a. Ibu kandung.
 b. Nenek dari pihak ibu.
 c. Nenek dari pihak ayah.
 d. Saudara perempuan.
 e. Bibi dari pihak ibu.
 f. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
 g. Anak perempuan dari saudara perempuan.
 h. Bibi dari pihak ayah.
 Kalangan Madzhab Hanafi
 berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh
anak adalah
 a. Ibu kandungnya sendiri.
 b. Nenek dari pihak ibu.
 c. Nenek dari pihak ayah.
 d. Saudara perempuan (kakak perempuan).
 e. Bibi dari pihak ibu.
 f. Anak perempuan saudara perempuan.
 g. Anak perempuan saudara laki-laki.
 h. Bibi dari pihak ayah.
 . Kalangan Madzhab Maliki
 berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
 a. Ibu kandung.
 b. Nenek dari pihak ibu.
 c. Bibi dari pihak ibu.
 d. Nenek dari pihak ayah.
 e. Saudara perempuan.
 f. Bibi dari pihak ayah.
 g. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
 h. Penerima wasiat.
 i. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.
 · 4. Kalangan Madzhab Hanbali
 berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
 a. Ibu kandung.
 b. Nenek dari pihak ibu.
 c. Kakek dan ibu kakek.
 d. Bibi dari kedua orang tua.
 e. Saudara Perempuan Se Ibu.
 f. Saudara perempuan seayah.
 g. Bibi dari ibu kedua orangtua.
 h. Bibinya ibu.
 i. Bibinya ayah.
 j. Bibinya ibu dari jalur ibu.
 k. Bibinya ayah dari jalur ibu.
 l. Bibinya ayah dari pihak ayah.
 m. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
 n. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah.
 o. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Masa Hadhanah

 Masa Hadhanah anak laki-laki berakhir ketika anak


itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan dapat
mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan,
minum, mengatur pakaian, dan lain
sebagainya.Sedangkan untuk perempuan berakhir
apabila sudah baligh atau telah datang haid pertama.
Upah Hadhanah

 Seorang ibu tidak berhak menerima upah Hadhanah


dan menyusui, selama ia masih menjadi istri dari
ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa
Iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih
mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa
Iddah.
 Adapun sesudah masa Iddahnya, maka ia berhak
atas upah itu seperti haknya kepada upah menyusui.

Anda mungkin juga menyukai