Anda di halaman 1dari 80

Iskandar Syahputera

Zainun
Wati Kurniawati

Kajian Vitalitas Bahasa Gayo

Kajian Vitalitas Bahasa Gayo

Balai Bahasa Aceh


Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Balai Bahasa Aceh


Tahun 2019

ii
MENAKAR VITALITAS BAHASA GAYO

Penulis:
Iskandar Syahputera
Zainun
Wati Kurniawati
Penyunting:
Muhammad Muis
Safrizal
Riki Fernando

ISBN: 978-979-18683-7-2
Desain Sampul dan Tata Letak
Adnan Anggita Nasution
Sabrun Jamil Tanjung

Penerbit:
Balai Bahasa Aceh
Jalan. T. Panglima Nyak Makam No.21, Lampineung,
Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 24415
Telepon: (0651) 7551056
Faksimile: (0651) 7551687
Pos-el: balaibahasaaceh@kemdikbud.go.id
Anggota IKAPI NO.: 013/DIA/2013

Cetakan pertama, Desember 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa
pun tanpa seizin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan
penulisan artikel atau karangan ilmiah.
Katalog dalam Terbitan

BB Iskandar Syahputera; Zainun; Wati Kurniawati


499.222 1 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo/Penyusun, Iskandar Syahputera;
ISK Zainun; Wati Kurniawati.
m ---Banda Aceh: Balai Bahasa Aceh, 2019.
x, 70 hlm.; 15 x 21 cm
ISBN 978-979-18683-7-2
1. Bahasa Gayo--Penelitian. I. Judul.
499.222 1

iii
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHAS ACEH

Balai Bahasa Aceh adalah salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, Jakarta.
Lembaga pemerintah ini diberi otoritas untuk melaksananakan
pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra
Indonesia di wilayah Provinsi Aceh. Selain itu, lembaga ilmiah ini juga
melaksanakan konservasi dan revitalitasi bahasa dan sastra daerah yang
berkoordinasi dengan pemerintah daerah di Provinsi Aceh. Perlu
dinyatakan bahwa sejatinya, secara spesifik, penanganan masalah
bahasa dan sastra daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
setempat, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang RI No. 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (lihat pasal 42). Akan tetapi, hal itu tidak memperlihatkan
komitmen dan tanggung jawab yang besar terhadap bahasa dan sastra
daerah setempat. Justru Undang-Undang No. 24 itu pada hakikatnya
mengimplisitkan bahwa relasi, komunikasi, dan kolaborasi yang baik
antara lembaga kebahasaan resmi di daerah dan pemerintah daerah
merupakan sesuatu yang niscaya.
Dalam konteks itu, salah satu kegiatan Balai Bahasa Aceh
dalam rangka pengembangan, pembinaan, dan pelindungan, serta
konservasi dan revitalisasi bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah)
adalah menerbitkan buku yang bertalian dengan ihwal kebahasaan dan
kesastraan, terutama hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai
Bahasa Aceh.
Sidang pembaca yang budiman, buku yang ada di tangan Anda
ini adalah hasil penelitian kebahasaan yang dilakukan oleh para peneliti
Balai Bahasa Aceh pada tahun 2019. Buku penelitian yang berjudul
Menakar Vitalitas Bahasa Gayo ini berisi penelitian yang berfokus pada
iv
kajian bahasa. Bahasa yang menjadi fokus penelitian pada penelitian
tersebut adalah bahasa Gayo yang tersebar di dua daerah yang berbeda,
yaitu Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Selatan. Versi
cetak ini adalah versi yang telah direvisi, yang telah disesuaikan dengan
masukan tim narasumber atau pembahas.
Hasil penelitian ini telah diseminarkan di Balai Bahasa Aceh
pada tanggal 25 November 2019, dengan menghadirkan tiga
narasumber atau pembahas, yaitu Drs. Muhammad Muis, Prof. Dr.
Gufran Ali Ibrahim, dam Dr. Rajab Bahri, M.Pd. Selanjutnya, kegiatan
seminar hasil penelitian tersebut diikuti oleh para akademisi, peneliti,
mahasiswa, Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Gayo di Banda Aceh,
staf Balai Bahasa Aceh, staf BPCB, staf BPNB, dan staf PAUD Dikmas
Aceh.
Harapan kami, terbitan ini bermanfaat guna menambah
kelengkapan pustaka kebahasaan dan kesastraan. Khusus bagi
Pemerintah Provinsi Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh,
hasil penelitian Balai Bahasa Aceh ini kiranya dapat juga menjadi salah
satu bahan masukan untuk menentukan arah kebijakan pananganan
bahasa dan sastra Aceh yang ada di Provinsi Aceh. Pemerkayaan bahan
pustaka kebahasaan dan kesastraan ini diharapkan ikut andil dan
bermaslahat untuk pencerdasan bangsa ini, terlebih -lebih dalam
semangat Gerakan Literasi Nasional (GLN).
Pada sisi lain, penerbitan tulisan ini juga memberikan sinyal
bahwa Balai Bahasa Aceh mempunyai komitmen yang kuat dan
memberikan perhatian khusus terhadap pembinaan, pengembangan,
pelindungan, serta revitalisasi bahasa Indonesia dan daerah, teristimewa
di Provinsi Aceh.
Ucapan tahniah dan terima kasih yang tulus saya sampaikan
kepada para peneliti dan staf Balai Bahasa Aceh yang mengelola
penerbitan ini, yang memperoleh bentuknya seperti yang ada di
hadapan Anda ini. Semoga ikhtiar ikhlas seperti ini untuk pemajuan
bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, khususnya di Provinsi Aceh,
terus dapat dilakukan pada masa akan mendatang.
Pepatah bertuah orang tua-tua kita bertulis: “Tiada mawar yang
tanpa duri; Tiada gading yang tak retak.” Saya tahu pasti bahwa peneliti
dan tim penerbitan ini sudah bekerja maksimal. Walaupun demikian,
saya yakin bahwa karya ini masih tetap terdapat kekurangan. Oleh
v
karena itu, kami dengan senang hati menerima tegur sapa yang
konstruktif dan Sidang Pembaca.
Semoga Allah swt. mencatat usaha kecil Balai Bahasa Aceh ini
sebagai alam ibadah, amal saleh, dan amal jariah. Akhirukalam, semoga
buku ini dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Banda Aceh, 18 Desember 2019


Kepala Balai Bahasa Aceh

Muhammad Muis

vi
PRAKATA

Puji dan syukur, penulis ucapkan atas kehadirat Allah swt. karena atas
kehadirat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian satu buku
yang ada di tangan Anda saat ini. Buku yang berjudul Menakar
Vitalitas Bahasa Gayo ini penulis susun bersama tim yang dibentuk
oleh Balai Bahasa Aceh tahun anggaran 2019.
Hasil penelitian ini merupakan bentuk pembaharu penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dengan
terbitnya penelitian ini dalam bentuk buku, penulis berharap dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian berikutnya. Di
sisi lain, penelitian ini juga menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah
baik itu pemerintah Provinsi Aceh maupun pemerintah Kabupaten
Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Selatan dalam pemertahanan bahasa
Gayo yang ada di dua daerah tersebut.
Buku yang ada di tangan Anda tidak akan terbit jika tidak
didukung oleh berbagai pihak. Oleh kerena itu, dalam kesempatan ini,
penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada.
1) Drs. Muhammad Muis, M.Hum., selaku Kepala Balai Bahasa Aceh
sekaligus pembimbing penelitian ini;
2) Agus Priatna, S.E.,Ak., selaku kepala Subbagian Umum Tata Usaha
Balai Bahasa Aceh;
3) Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S., selaku penguji 1;
4) Dr. Rajab Bahry, M.Pd., selaku penguji 2;

vii
5) Saudara Safrizal, S.Pd.,M.Hum., Riki Fernando, S.S., Adna Anggita
Nasution, S.S., Sabrun Jamil Tanjung, S.S., selaku pembantu
peneliti;
6) Segenap pegawai Balai Bahasa Aceh;
7) Teman-teman informan di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah, khususnya yang terlibat dalam membantu proses
pengumpulan data.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan
balasan terbaik kepada semua pihak atas segala kebaikan yang
diberikan. Semoga buku ini memberikan manfaat dalam pengembangan
ilmu, khususnya dalam bidang bahasa.

Banda Aceh, 20 Desember 2019


Penulis,

Tim Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................... ii


KATA PENGANTAR .................................................................. iv
PRAKATA ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................ ix

I. PEDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 2
1.5 Sistematika Penyajian Laporan .............................................. 2

II. TINJAUAN TEORETIS ........................................................ 3


2.1 Tinjauan Teoretis ..................................................................... 3
2.2 Kajian Terdahulu ..................................................................... 11

III. METODE PENELITIAN ..................................................... 16


3.1 Metode Penelitian .................................................................. 16
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 16
3.3 Populasi dan Sampel .............................................................. 23
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 24
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................. 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 26


4.1 Hasil Penelitian ...................................................................... 26
4.1.1 Responden Aceh Tengah .............................................. 26
4.1.2 Responden Bener Meriah .............................................. 35

ix
4.2 Pembahasan ........................................................................... 44
4.2.1 Gabungan Data Responden Aceh Tengah dan Bener Meriah
................................................................................................ 44
4.2.2 Gabungan Data Narasumber Aceh Tengah dan Bener Meriah
................................................................................................ 55

V. PENUTUP ............................................................................... 67
5.1 Simpulan ............................................................................... 67
5.2 Saran/Rekomendasi ............................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 69

x
Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki khazanah bahasa dan sastra daerah yang
sangat kaya dan beragam. Kewajiban untuk melindungi bahasa dan
sastra daerah itu diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 Pasal 45 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan; Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014
tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan
Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Untuk
melaksanakan amanat peraturan perundangan-undangan tersebut,
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa)
melakukan upaya pelindungan dalam bentuk pemetaan, kajian vitalitas,
konservasi, revitalisasi, dan registrasi bahasa dan sastra. Tugas tersebut
secara teknis dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan
(Pusbanglin) yang bersinergi dengan Balai atau kantor bahasa (Balai
atau kantor bahasa) di seluruh Indonesia.
Menurut Harimansyah (2017:1), Indonesia memiliki 718 bahasa
daerah--ini tidak termasuk dialek atau subdialek, dan belum semua
bahasa daerah yang dipetakan. Di samping itu, dengan metodologi
yang berbeda, UNESCO selaku lembaga internasional yang melakukan
pemetaan bahasa melalui proyek Atlas of the World’s Languages in
Danger menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 143 bahasa daerah
berdasarkan status vitalitas bahasa.
Gambar 1 Peta Kepunahan Bahasa

(Sumber gambar: Moseley,


Christopher (ed.). 2010.
Atlas of the World’s
Languages in Danger (Edisi
III). Paris: UNESCO
Publishing. Versi daring:
http://www.unesco.org/langu
ages-atlas/)

Berdasarkan peta tersebut, dapat dilihat pula bahwa sejumlah


bahasa daerah di Indonesia berstatus terancam punah, terutama
bahasa-bahasa daerah di Indonesia bagian timur. Suatu bahasa

2019 Balai Bahasa Aceh


2 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

dinyatakan berstatus terancam punah jika penutur bahasa tersebut


sedikit dan terus berkurang dari waktu ke waktu. Abby Cohn (dalam
Syahputera, 2017:31) menjelaskan bahwa penurunan jumlah penutur
suatu bahasa terjadi karena kurangnya atau terbatasnya kesempatan
pada proses perpindahan bahasa antargenerasi.
Ancaman kepunahan bahasa daerah di Indonesia jelas suatu fakta
yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi bangsa
Indonesia untuk segera melakukan berbagai upaya konservasi dan
revitalisasi bahasa. Jika tidak segera dikonservasi atau bahkan
sekaligus direvitalisasi, akan sangat sulit untuk mempertahankan
eksistensi bahasa yang terancam punah itu. Upaya konservasi bahasa
diharapkan akan memberikan sumbangan yang signifikan dalam upaya
melindungi dan mengelola bahasa sebagai kekayaan dan kekuatan
untuk memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

1.2 Rumusan Masalah


Ada pun rumusan masalah pada penelitian ini dirumuskan dalam
pertanyaan penelitian berikut ini. Bagaimana status vitalitas bahasa
Gayo?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian vitalitas bahasa Gayo ini adalah untuk
mengetahui tingkat status vitalitas bahasa Gayo.

1.4 Manfaat Penelitian


Kajian vitalitas bahasa berguna sebagai landasan tindak lanjut
kegiatan konservasi bahasa dalam upaya pelindungan bahasa daerah di
Indonesia.

1.5 Sistematika Penyajian Laporan


Sistematika penyajian laporan penelitian ini mencakup (1) Bab I
Pendahuluan, (2) Bab II Tinjauan Teoretis, (3) Bab III Metode
Penelitian, (4) Bab IV Hasil dan Pembahasan, (5) Bab V Penutup, (6)
Daftar Pustaka.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 3

TINJAUAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Teoretis


Vitalitas atau daya hidup suatu bahasa merujuk pada intensitas
penggunaan dan eksistensi sebuah bahasa sebagai alat komunikasi
dalam berbagai konteks sosial untuk tujuan tertentu Harimansyah
(2017). Vitalitas bahasa merupakan upaya yang dilakukan peneliti
bahasa untuk melindungi bahasa-bahasa daerah dari ancaman
kepunahan akibat berbagai alasan di masyarakat. Seperti yang
diutarakan oleh Crystal (2000) “Bahasa yang terancam punah, atau
bahasa yang hampir mati, adalah bahasa yang berisiko putus
penggunaan karena penuturnya mati atau beralih untuk berbicara
dalam bahasa lain. Kehilangan bahasa terjadi ketika bahasa tidak lagi
memiliki penutur asli dan menjadi bahasa yang mati”.
Dalam mengkaji vitalitas suatu bahasa, peneliti menggunakan alat
penakar yang disusun sedemikian rupa untuk mengidentifikasi
keadaan bahasa bersangkutan di masyarakat penuturnya. Hasil kajian
terhadap vitalitas bahasa inilah yang kemudian digunakan untuk
menentukan status sebuah bahasa berdasarkan sejumlah kategori.
Fishman (1991, 2001) mencatat bahwa penularan
antargenerasi--apakah orang tua meneruskan bahasa kepada anak-anak
mereka--sangat penting dalam menentukan kelangsungan suatu
bahasa. Dia mengembangkan skala dengan delapan level, di mana
enam level pertama (1-6) bahasa tersebut dipertahankan. Namun,
dalam dua level terakhir (7&8), penutur dewasa tidak menularkan
bahasa tersebut kepada anak-anak mereka, yang telah beralih ke
bahasa lain. Lalu Fishman (2001) menyarankan perubahan fokus; dari
teori global tentang bahasa yang terancam punah atau vitalitas untuk
menekankan dorongan yang didasarkan pada teori, yang berdasarkan
pada spektrum yang lebih luas dari usaha-usaha intervensi untuk
bahasa yang terancam punah di seluruh dunia.
Berikut kriteria yang disusun Fishman untuk mengkaji vitalitas
suatu bahasa.

Level Deskripsi Skala Gangguan Antargenerasi atau GIDS


1 Bahasa ini digunakan di tingkat pendidikan, pekerjaan,
media massa, pemerintah di seluruh negeri.
2 Bahasa ini digunakan untuk media massa lokal dan
4 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

regional dan layanan pemerintah.


3 Bahasa ini digunakan untuk pekerjaan lokal dan regional
oleh orang dalam dan orang luar.
4 Literasi dalam bahasa ditularkan melalui pendidikan.
5 Bahasa ini digunakan secara lisan oleh semua generasi
dan secara efektif digunakan dalam bentuk tertulis di
seluruh komunitas.
6 Bahasa ini digunakan secara lisan oleh semua generasi
dan sedang dipelajari oleh anak-anak sebagai bahasa
pertama mereka.
7 Generasi yang mengandung anak tahu bahasanya dengan
cukup baik untuk menggunakannya dengan bahasa
mereka orang tua tetapi tidak menularkannya kepada
anak-anak mereka.
8 Satu-satunya penutur bahasa yang tersisa adalah anggota
kakek-nenek generasi.
Sumber: Skala GIDS 1-8 Fishman (1991)

Karena kriteria ini belum sepenuhnya memadai untuk penilaian


global yang komprehensif tentang keadaan bahasa dunia, Lewis dan
Simons (2009) mengembangkannya menjadi Skala Gangguan
Antergenerasi Bertingkat yang Diperluas atau disebut dengan EGIDS.
Berikut kriteria yang disusun Lewis dan Simons (2009) untuk
mengkaji vitalitas suatu bahasa.

Deskripsi Skala Gangguan


Level Label Antargenerasi Bertingkat yang
Diperluas atau EGIDS
0 Internasional Bahasa ini banyak digunakan antar
negara dalam perdagangan,
pertukaran pengetahuan, dan
kebijakan internasional.
1 Nasional Bahasa ini digunakan dalam
pendidikan, pekerjaan, media massa,
dan pemerintahan di tingkat
nasional.
2 Provinsi Bahasa ini digunakan dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, media massa,

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 5

dan pemerintahan dalam subdivisi


administratif utama suatu negara.
3 Komunikasi yang Bahasa digunakan dalam pekerjaan
Lebih Luas dan media massa tanpa status resmi
untuk mengatasi perbedaan bahasa
di suatu wilayah.
4 Pendidikan Bahasa ini digunakan dengan giat,
dengan standardisasi dan literatur
dipertahankan melalui sistem luas
pendidikan yang didukung secara
kelembagaan.
5 Mengembangkan Bahasa sedang digunakan dengan
giat, dengan literatur dalam bentuk
standar yang digunakan oleh
beberapa orang meskipun ini belum
menyebar atau berkelanjutan.
6a Penuh semangat Bahasa ini digunakan untuk
komunikasi tatap muka oleh semua
generasi dan situasinya
berkelanjutan.
6b Terancam Bahasa ini digunakan untuk
komunikasi tatap muka dalam semua
generasi, tetapi kehilangan
pengguna.
7 Bergeser Generasi yang mengandung anak
dapat menggunakan bahasa di antara
mereka sendiri, tetapi tidak sedang
dikirim ke anak-anak.
8a Hampir mati Satu-satunya pengguna aktif bahasa
yang tersisa adalah anggota generasi
kakek-nenek dan yang lebih tua.
8b Hampir punah Satu-satunya pengguna bahasa yang
tersisa adalah anggota generasi
kakek nenek atau lebih tua yang
memiliki sedikit kesempatan untuk
menggunakan bahasa tersebut.
9 Terbengkalai Bahasa berfungsi sebagai pengingat
identitas warisan untuk komunitas
6 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

etnis, tetapi tidak ada yang memiliki


lebih dari kemampuan simbolik.
10 Punah Bahasa tidak lagi digunakan dan
tidak ada yang mempertahankan
identitas etnis yang terkait dengan
bahasa tersebut.
Sumber : Lewis dan Simons (2009)

Pada tahap yang lebih lanjut, kriteria yang disusun Lewis dan
Simons (2009) dianggap masih belum memadai juga untuk penilaian
global yang komprehensif tentang keadaan bahasa dunia, sehingga
Dwyer (2011) untuk Bahasa yang Terancam Punah melakukan
modifikasi kriteria lagi dan merumuskan sembilan faktor penakar
vitalitas bahasa secara lebih detail. Berikut sembilan (9) faktor penakar
vitalitas Bahasa yang dirumuskan oleh Dwyer (2011):

Faktor 1: Pemindahan Bahasa Antargenerasi


Tingkatan Bahaya Tingkat Jumlah Penutur
Bahasa ini digunakan oleh segala
aman 5 usia, mulai dari anak-anak hingga
orang tua.
Bahasa ini digunakan oleh beberapa
anak di semua wilayah; digunakan
rentan 4
oleh semua anak di wilayah
terbatas.
Bahasa ini digunakan sebagian
mengalami
3 besar oleh generasi orang tua dan
kemunduran
lansia.
Bahasa ini digunakan sebagian
terancam punah 2 besar oleh generasi kakek-nenek
dan di atasnya.
Bahasa ini sebagian besar
kritis 1 digunakan oleh sangat sedikit
penutur generasi kakek-nenek.
punah 0 Tidak ada penutur.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 7

Faktor 2: Perkiraan Jumlah Penutur Mutlak


Selain merekam jumlah penutur absolut, tanggal referensi,
sumber, dan sumber keandalan ini harus direkam.

Faktor 3: Perbandingan Penutur dalam Total Populasi


Perbandingan Penutur dalam
Tingkatan Bahaya Tingkat
Total Populasi Referensi
Semua berbicara menggunakan
aman 5
bahasa itu.
Hampir semua berbicara
rentan 4
menggunakan bahasa itu.
mengalami Mayoritas berbicara
3
kemunduran menggunakan bahasa itu.
Minoritas berbicara menggunakan
terancam punah 2
bahasa itu.
Sangat sedikit yang berbicara
kritis 1
menggunakan bahasa itu.
Tidak ada yang berbicara
punah 0
menggunakan bahasa itu.

Faktor 4: Tren Wilayah Bahasa yang Ada


Tingkatan Bahaya Tingkat Wilayah dan Fungsi
Bahasa ini digunakan di semua
umum digunakan 5
wilayah dan untuk semua fungsi.
Dua atau lebih bahasa dapat
keseimbangan digunakan di sebagian besar
4
multibahasa wilayah sosial dan untuk sebagian
besar fungsi.
Bahasa ini digunakan di wilayah
wilayah yang rumah dan untuk banyak fungsi,
3
menyusut tetapi bahasa yang dominan mulai
memasuki wilayah rumah.
Bahasa ini digunakan di wilayah
wilayah terbatas
2 sosial terbatas dan untuk beberapa
atau formal
fungsi.
wilayah sangat 1 Bahasa ini hanya digunakan di
8 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

terbatas wilayah yang sangat terbatas dan


untuk beberapa fungsi.
Bahasa tidak digunakan di
punah 0 wilayah apa pun dan untuk fungsi
apa pun.

Faktor 5: Tanggapan terhadap Wilayah dan Media Baru


Tingkatan Wilayah dan Media Baru Diterima
Tingkat
Bahaya oleh Bahasa yang Terancam Punah
dinamis Bahasa ini digunakan di semua
5
wilayah baru.
kuat/aktif Bahasa ini digunakan di sebagian
4
besar wilayah baru.
reseptif Bahasa ini digunakan di banyak
3
wilayah.
melindungi Bahasa ini digunakan di beberapa
2
wilayah baru.
minimal Bahasa ini hanya digunakan dalam
1
beberapa wilayah baru.
tidak aktif Bahasa ini tidak digunakan di wilayah
0
baru apa pun.

Faktor 6: Bahan untuk Pendidikan Bahasa dan Literasi (Baca


Tulis)
Tingkat Aksesibilitas (Kemudahan Akses) Bahan Tertulis
Ada sistem ejaan yang mapan, tradisi literasi (baca tulis)
dengan tata bahasa, kamus, teks, sastra, dan media
5
sehari-hari. Menulis dalam bahasa itu digunakan dalam
administrasi dan pendidikan.
Bahan tertulis ada, dan di sekolah, anak-anak
mengembangkan kemampuan baca tulis dalam bahasa itu.
4
Menulis dalam bahasa itu tidak digunakan dalam
administrasi.
Bahan tertulis ada dan anak-anak dapat terpapar dengan
3 bentuk tertulis di sekolah. Literasi tidak dipromosikan
melalui media cetak.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 9

Ada materi tertulis, tetapi mungkin hanya berguna untuk


beberapa anggota masyarakat; dan bagi yang lain, materi
2 itu mungkin memiliki makna simbolis (sebagai lambang).
Pendidikan literasi (baca tulis) dalam bahasa itu bukan
bagian dari kurikulum sekolah.
Sebuah sistem ejaan praktis diketahui masyarakat dan
1
beberapa materi sedang dibuat tertulis.
0 Tidak ada sistem ejaan yang tersedia untuk masyarakat.

Faktor 7: Sikap dan Kebijakan Pemerintah dan Lembaga Bahasa,


Termasuk Status dan Penggunaan Resmi
Tingkatan Sikap Resmi Pemerintah terhadap
Tingkat
Dukungan Bahasa
dukungan yang
5 Semua bahasa dilindungi.
sama
Bahasa minoritas dilindungi terutama
dukungan yang
4 sebagai bahasa wilayah pribadi.
beda
Penggunaan bahasa ini bergengsi.
asimilasi Tidak ada kebijakan eksplisit untuk
(percampuran) 3 bahasa minoritas; bahasa yang dominan
pasif berlaku di wilayah publik.
Pemerintah mendorong asimilasi
asimilasi
(percampuran) ke bahasa dominan.
(percampuran) 2
Tidak ada perlindungan untuk bahasa
aktif
minoritas.
Bahasa dominan adalah satu-satunya
asimilasi
bahasa resmi, sementara bahasa yang
(percampuran) 1
tidak dominan tidak diakui atau
terpaksa
dilindungi.
larangan 0 Bahasa minoritas dilarang.

Faktor 8: Sikap Anggota Masyarakat terhadap Bahasa Mereka


Sendiri
Tingkat Sikap Masyarakat terhadap Bahasa
Semua anggota masyarakat menghargai bahasa mereka
5
dan ingin melihatnya dipromosikan.
10 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Sebagian besar masyarakat mendukung pemeliharaan


4
bahasa.
Banyak anggota masyarakat mendukung pemeliharaan
3 bahasa; yang lainnya acuh tak acuh atau bahkan mungkin
mendukung hilangnya bahasa.
Beberapa anggota masyarakat mendukung pemeliharaan
2 bahasa; yang lainnya acuh tak acuh atau bahkan mugkin
mendukung hilangnya bahasa.
Hanya beberapa anggota masyarakat yang mendukung
1 pemeliharaan bahasa; yang lainnya acuh tak acuh atau
bahkan mungkin mendukung hilangnya bahasa.
Tidak ada yang peduli jika bahasa itu hilang; semua lebih
0
suka menggunakan bahasa yang dominan.

Faktor 9: Jumlah dan Kualitas Dokumentasi


Dokumentasi Tingkat Dokumentasi Bahasa
Ada tata bahasa dan kamus
komprehensif, teks yang luas; materi
bahasa yang berjalan terus-menerus. Ada
superlatif 5
banyak rekaman audio dan video
berkualitas tinggi yang memiliki catatan
keterangan/penjelasan.
Ada satu tata bahasa yang bagus dan
sejumlah tata bahasa yang memadai,
kamus, teks, sastra, dan sesekali
baik 4 diperbarui media sehari-hari; rekaman
audio dan video berkualitas tinggi yang
beranotasi (memiliki catatan
keterangan/penjelasan) memadai.
Mungkin ada tata bahasa yang memadai
atau jumlah tata bahasa, kamus, dan teks
yang cukup, tetapi tidak ada media
adil 3 sehari-hari; rekaman audio dan video
mungkin ada dalam berbagai kualitas
atau tingkat anotasi (catatan
keterangan/penjelasan).
fragmentaris 2 Ada beberapa sketsa (rancangan)

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 11

gramatikal, daftar kata, dan teks yang


bermanfaat untuk penelitian linguistik
terbatas tetapi dengan cakupan yang
tidak memadai. Rekaman audio dan
video mungkin ada dalam kualitas yang
berbeda-beda, dengan atau tanpa
penjelasan.
Hanya beberapa sketsa (rancangan) tata
bahasa, daftar kata pendek, dan teks
tidak terpisah. Rekaman audio dan video tidak
1
memadai ada, termasuk kualitas yang tidak dapat
digunakan, atau sama sekali tanpa
penjelasan.
tidak
0 Tidak ada bahan.
berdokumen
Sumber : Dwyer (2011)

Pada penelitian Vitalitas bahasa Gayo ini peneliti memutuskan


untuk menggunakan 9 faktor yang telah dimodifikasi oleh Dwyer
(2011).

2.2 Kajian Terdahulu


Berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh Kraus (1992) bahwa
dia telah mensurvei situasi global dan memperkirakan bahwa hanya
10% dari bahasa yang tampaknya aman dalam jangka panjang, hingga
50% mungkin sudah hampir mati, dan sisanya dalam bahaya menjadi
hampir mati pada akhir abad ini. Sesuai dengan fakta tersebut maka
beberpa ahli linguistik mulai memberi perhatian terhadap
langkah-langkah pengujian vitalitas bahasa dan revitalisasi bahasa.
Pada awalnya kajian atau penelitian mengenai vitalitas bahasa
diperkenalkan oleh Fishman (1991) dan Fishman (2001) dengan
memperkenalkan 8 faktor yang dijadikan instrumen pengukuran
sebuah vitalitas bahasa, lalu model-model yang diutarakan oleh
Fishman (1991, 2001) tersebut dimodifikasi oleh Dwyer (2011) yang
menjadikan 9 Faktor pengukuran vitalitas bahasa. Kemudian pada
tahun 2009, lewis dan Simons (2009) memodifikasi kembali
model-model intrumen vitalitas bahasa yang dikemukakan oleh oleh
Fisman (1991, 2001) menjadi 13 faktor pengukuran vitalitas bahasa.
12 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Kemudian Summer Institute of Linguistics atau dikenal dengan SIL


oleh Lewis dan Simons (2009) menyebut bahwa di Indonesia terdapat
719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan.
Khusus untuk bahasa Gayo, dalam penelitian menggunakan Skala
Gangguan Antargenerasi Bertingkat yang Diperluas atau EGIDS
rumusan Lewis dan Simons (2009). Selanjutnya berdasarkan
penelitian Lewis dan Simons (2009) yang diterbitkan oleh SIL
ditemukan bahwa bahasa Gayo memiliki status terancam punah atau
pada level (6b) dari segi vitalitas bahasa. Sementara itu, yang
membedakan penelitian vitalitas bahasa terhadap bahasa Gayo ini
dengan penelitian vitalitas bahasa yang digunakan oleh Lewis dan
Simons (2009) adalah terletak pada intrumen vitalitas bahasa yang
digunakan berbeda dengan instrumen yang digunakan oleh Lewis dan
Simons (2009). Penelitian ini menggunakan alat penakar vitalitas
bahasa yang disusun oleh Dwyer (2011) untuk Bahasa yang Terancam
Punah yang terdiri dari 9 faktor sementara Lewis dan Simons (2009)
menggunkan instrumen vitalitas bahasa yang terdiri dari 13 faktor
penentu sebuah vitalitas bahasa.
Namun dalam instrumen vitalitas bahasa yang dikembangkan
oleh Dwyer (2011) terdapat beberapa kelemahan, seperti sulitnya
menentukan jumlah penutur mutlak suatu bahasa sebagaimana yang
disyaratkan dalam sembilan faktor penakar vitalitas bahasa yang
disusun oleh Dwyer (2011) untuk Bahasa yang Terancam Punah pada
faktor nomor dua (2). Meskipun populasi suatu daerah yang menjadi
daerah penelitian bisa diketahui jumlah penduduknya atau
populasinya melalui data hasil sensus, namun jumlah penutur mutlak
tidak bisa serta merta dianggap sama dengan jumlah populasi tersebut,
mengingat dari total jumlah penduduk atau populasi bisa terdiri dari
bebagai penutur atau suku yang menggunakan bahasa yang berbeda.
Suatu bahasa bisa saja dituturkan secara mayoritas oleh populasi di
satu atau beberapa daerah, tapi hal tersebut tak menutup kemungkinan
bahwa di daerah-daerah lain bahasa tersebut juga dituturkan (secara
minoritas) oleh sebagian populasinya. Di sinilah masalahnya: bahwa,
jumlah total populasi tidak dapat dijadikan ukuran sebagai jumlah
total penutur mutlak. Untuk itu diperlukan rumusan tersendiri dalam
penentuan atau penghitungan jumlah penutur mutlak suatu bahasa
terhadap sebuah populasi yang akan dibahas pada bab IV pada
penelitian ini.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 13

Jika dilihat dari Edisi ke 14 (2000) dan seterusnya, Ethnologue


mengkategorikan vitalitas bahasa berdasarkan skala 5-tingkat seperti
di bawah ini:
1. Bahasa yang dikatagorikan “hidup” : Ini adalah kasus yang
menunjukkan sebuah bahasa yang menampilkan populasi
bahasa utama yang memiliki penutur yang signifikan.
2. Hanya Bahasa Kedua: Merupakan kasus-kasus di mana suatu
bahasa digunakan
hanya bahasa kedua. Tidak ada pengguna bahasa pertama
(pengguna yang muncul bisa dimasukkan di sini).
3. Kategori bahasa yang “hampir punah”: Yaitu kasus-kasus
yang dapat dikelompokkan dengan jumlah penutur yang
kurang dari 50 penutur atau sangat kecil dan semakin kecil
dari suatu populasi etnis.
4. Kategori bahasa yang “tertidur”: Kasus-kasus di mana tidak
ada sisa penutur yang diketahui, tetapi sebuah populasi
menghubungkan identitas etnisnya dengan bahasa.
5. Kategori bahasa yang “punah”: Di mana tidak ada penutur
yang tersisa dan di mana tidak ada populasi menghubungkan
identitas etnisnya dengan bahasa.

Kemudian pada Pada Pertemuan Para Ahli UNESCO tentang


Perlindungan Bahasa yang Terancam Punah, sebuah kerangka
diusulkan oleh Brenzinger (2003) dan lain-lain yang menggunakan 9
faktor vitalitas dan dalam mengukur tingkat kerancaman bahasa dunia
yang juga diadopsi dan dikembangkan oleh dweyer (2011). Adapun 9
faktor tersebut dapat dilihat berikut ini:
1. Transmisi bahasa antar generasi;
2. Jumlah penutur mutlak;
3. Proporsi penutur dalam total populasi;
4. Kehilangan domain bahasa yang ada;
5. Respons terhadap domain dan media baru;
6. Bahan untuk pendidikan bahasa dan melek huruf;
7. Sikap dan kebijakan bahasa pemerintah dan lembaga;
8. Sikap anggota masyarakat terhadap bahasa mereka sendiri; dan
9. Jumlah dan kualitas dokumentasi.
14 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Seolah ingin menguji kerangka ini, SIL Lewis (2005) memilih


100 dari bahasa dunia dan menjadikannya analisis yang dipandu oleh
kerangka yang diusulkan. Ia menemukan bahwa dari kerangka kerja
tersebut “Ini tidak hanya memberikan kerangka kerja yang jelas untuk
penilaian tetapi juga menggambarkan agenda penelitian yang sangat
berguna bagi para penyelidik bahasa dunia itu berdasarkan pada
orientasi teoritis yang kuat untuk pemeliharaan dan pergeseran
bahasa”. Berdasarkan temuan dan rekomendasi Lewis (2005) ini maka
peneliti mengemukakan alasannya mengapa peneliti menggunakan
instrumen atau kerangka kerja yang diusulkan oleh Brenzinger, dkk.
(2003) dalam kelompok ahli adhoc Unesco dan kemudian diadopsi
dan dikembangkan oleh dwyer (2011). Namun di samping faktor
positif tersebut lewis (2005) juga menemukan beberapa masalah
dalam temuan penelitiannya seperti kategorisasi mereka dalam
penilaian 5 skala yang tidak membantu atau kurang pasti. Misalnya,
faktor 2 memerlukan informasi tentang jumlah penutur mutklak,
namun informasi ini tidak hanya sulit ditemukan tetapi juga sulit
diartikan. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan 'penutur' di faktor 3
adalah juga ambigu: Apakah itu penutur bahasa pertama (L1), penutur
yang hanya menuturkan satu bahasa, atau mereka yang menggunakan
bahasa sebagai bahasa kedua?
Faktor 4 juga bermasalah. Lewis berpendapat: “Tentu saja,
deskripsi sinkronis menandakan keterancaman bahasa jika domain inti
(rumah, teman, lingkungan) tidak lagi dikaitkan dengan bahasa yang
dipertanyakan, tetapi fakta bahwa bahasa yang diberikan berbeda
fungsi tidak selalu menunjukkan bahwa pergeseran bahasa sedang
berlangsung ” Lewis (2005). Faktor 6 di sisi lain kompleks. Data
dapat ditemukan pada penggunaan bahasa sebagai media pengajaran,
tentang keberadaan program pendidikan yang menggunakan bahasa,
tentang keberadaan bahan pedagogis dan sebagainya. Tapi, bagaimana
jika ada lebih dari satu ortografi, dengan faksi yang berlawanan
minat? Bagaimana jika sekolah adalah satu-satunya sumber transmisi
bahasa? Dari Faktor 8, sikap sulit untuk dinilai karena mereka hampir
tidak pernah seragam diadakan di seluruh populasi. Berdasarkan fakta
dan temuan dari Lewis (2005) kemudian Lewis dan Simons (2009)
kembali menyempurnakan instrumen atau kerangka yang diusulkan
oleh Brenzinger, dkk. (2003) ke dalam EXPANDED GRADED
INTERGENERATIONAL DISRUPTION SCALE (EGIDS), atau disebut

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 15

dengan Skala Gangguan Bertingkat Antargenerasi yang diperluas.


Skala EGIDS dari Lewis dan Simons (2009) ini terdiri dari 13
tingkatan seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan teoritis di atas.
Dalam hal faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai instrumen
pengukuran, Crystal (2000) juga mengidentifikasi bahwa terdapat 6
faktor yang menunjukkan kemajuan suatu bahasa sebelum terjadinya
pergeseran atau perpindahan kepada penggunaan terhadap bahasa lain.
Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada ringkasan berikut; 1) bahasa
yang terancam punah akan berkembang jika penuturnya meningkatkan
prestise bahasa mereka dalam komunitas yang lebih dominan; 2)
bahasa yang terancam punah akan berkembang jika penuturnya
meningkatkan jumlah saudaranya yang besar kepada komunitas yang
lebih dominan; 3) bahasa yang terancam punah akan berkembang jika
penuturnya meningkatkan legitimasi bahasa mereka sebagai kekuatan
di mata komunitas yang lebih dominan; 4) bahasa yang terancam
punah akan berkembang jika penuturnya memiliki bahasa yang
kehadirannya kuat dalam sistem pendidikan; 5) bahasa yang terancam
punah akan berkembang jika penuturnya dapat menulis dalam
bahasanya; dan; 6) bahasa yang terancam punah akan berkembang
jika para penggunanya dapat memanfaatkan teknologi elektronik. Dari
faktor yang diutarakan oleh Crystal (2000) di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kemajuan status suatu bahasa dipengaruhi oleh
faktor prestise terhadap penggunaan suatu bahasa itu sendiri, faktor
jumlah penutur yang lebih dominan, faktor legitimasi terhadap bahasa
itu sendiri, digunakannya bahasa itu dalam sistem pendidikan atau
minimal dijarkan sebagai sebuah bahasa yang dipelajari di
sekolah-sekolah, kemudian diikuti dengan kemampuan literasi atau
baca tulis, dan yang terakhir bagaimana bahasa tersebut dapat
digunakan dalam teknologi.
16 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Menurut Denzin
(dalam Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2017:19)
penelitian kuantitatif memiliki cara pandang pada pengukuran dan
analisis hubungan sebab-akibat antara bermacam-macam variabel,
tetapi bukan prosesnya. Keseringan pengungkapan masalah yang
diteliti dengan menggunakan asumsi atau cara pandang yang
menyatakan eksistensi kenyataan/realitas sosial dan realitas fisik
adalah terpisah, bebas, atau berada di luar diri peneliti (independen).
Oleh karena itu, penelitian kuantitatif lebih cenderung ke arah
positivisme dalam mendekati realitas. Fenomena didekati dan diamati
serta diukur dengan bangunan asumsi hipotesis sehingga analisis
datanya menggunakan seperangkat rumus statistik.
Secara teknis, penelitian ini melibatkan seratus responden di dua
kabupaten yang penduduknya berbahasa Gayo, yaitu Kabupaten Aceh
Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Di masing-masing kabupaten
dilibatkan lima puluh responden yang diberikan kuisioner mengenai
vitalitas bahasa Gayo. Jawaban-jawaban responden kemudian diolah
untuk menghasilkan informasi berupa statistik. Berdasarkan informasi
tersebut ditentukan vitalitas bahasa Gayo, apakah aman, rentan,
mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, atau punah.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di daerah yang penduduknya berbahasa
Gayo, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
Rentang waktu pelaksanaannya yaitu tanggal 1 September s.d. 10
November 2019.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 17

A. Profil Kabupaten Aceh Tengah

Gambar 1 Peta Wilayah Kabupaten Aceh Tengah


Sumber:
https://ace.wikipedia.org/w
iki/Kabupat%C3%A8n_Ac
%C3%A8h_Teung%C3%B
6h#/media/Beureukaih:Lok
asi_Aceh_Kabupaten_Ace
h_Tengah.svg.

Sebagian besar penduduknya berasal dari suku Gayo. Selain itu


terdapat pula suku-suku lainnya, seperti Suku Aceh, Suku Jawa, Suku
Minang, Suku Batak, Suku Tionghoa. 99 persen masyarakat Aceh
Tengah beragama Islam. Pada umumnya, orang Gayo, dikenal dari
sifat mereka yang sangat menentang segala bentuk penjajahan. Daerah
ini dulu dikenal sebagai kawasan yang sangat menentang
pemerintahan kolonial Belanda. Masyarakat Gayo adalah penganut
Islam yang kuat. Masyarakat di Gayo banyak yang memelihara
kerbau, sehingga ada yang mengatakan jika melihat banyak kerbau di
Aceh maka orang itu sedang berada di Gayo. Bahasa daerah yang
digunakan adalah bahasa Gayo.
Beberapa objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah adalah Danau
Laut Tawar, Pantan Terong (atraksi pemandangan), Taman Buru Linge
Isak (berburu), Gua Loyang Koro, Loyang Pukes, Loyang Datu, Burni
Klieten (hiking), Gayo Waterpark (wahana wisata keluarga) dan
Krueng Peusangan arum jeram. Didong merupakan salah satu
kesenian asli yang berasal dari daerah dataran tinggi ini. Sekelompok
orang duduk bersila membentuk lingkaran. Salah seorang ceh akan
mendendangkan syair-syair dalam bahasa Gayo dan anggota yang lain
akan mengiringi dengan tepukan tangan dan tepukan bantal kecil
dengan ritme yang harmonis. Masyarakat Aceh Tengah memiliki
tradisi tahunan pada saat perayaan proklamasi Indonesia yaitu pacu
kuda tradisional. Hal yang unik dari pacu kuda tradisional ini adalah
jokinya yang muda berumur antara 10-16 tahun. Selain itu, joki juga
tidak menggunakan sadel dan mulai tahun 2011, Pacuan Kuda
18 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

diselengarakan 2 kali dalam setahun, di bulan Agustus pada saat


perayaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan bulan Februari
untuk memperingati hari ulang tahun kota Takengon yang jatuh pada
tanggal 17 Februari setiap tahunnya. (sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Tengah#Demografi)
Sementara luas wilayah dan jumlah penduduk Kabupaten Aceh
Tengah yaitu:
Luas 4.318,39 km²[2]

Populasi

-Total 208.407 jiwa (2017)[2]

-Kepadatan 48 jiwa/km² (2017)

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Tengah#Demografi

Kabupaten Aceh Tengah memiliki luas 445.404,12 Ha


yang secara geografis terletak pada 4022’ 14,42” –4042’ 40,8”
LU dan 96015’ 23,6” –97022’ 10,76” BT. Batas administratif
Kabupaten Aceh Tengah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Bener Meriah, Bireuen dan Pidie
Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Timur dan Gayo Lues
Sebelah Timur : Kabupaten Gayo Lues, Aceh Barat dan Nagan
Raya
Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya dan Pidie
Sampai dengan tahun 2019, Kabupaten Aceh
Tengah terdiri dari 14 kecamatan dan 295 desa,
yaitu:
1. Kecamatan Linge
2. Kecamatan Silih Nara
3. Kecamatan Bebesen
4. Kecamatan Pegasing
5. Kecamatan Bintang
6. Kecamatan Ketol
7. Kecamatan Kebayakan
8. Kecamatan Kute Panang

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 19

9. Kecamatan Celala
10. Kecamatan Laut Tawar
11. Kecamatan Atu Lintang
12. Kecamatan Jagong Jeget
13. Kecamatan Bies
14. Kecamatan Rusip Antara

Pada tahun 2019 ini Tim pemetaan Balai Bahasa Aceh melakukan
verifikasi data pemetaan pada dua kecamatan di kabupaten Aceh
Tengah, yaitu pada Kecamatan Laut Tawar di desa dan Kecamatan
Bebesen.

A1. Profil Kecamatan Laut Tawar

Gambar 2 Peta Kecamatan Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah

Sumber:
https://www.google.com/search?safe=strict&ei=aRNFXa-VKvXZz7sPoa-k-AQ&q=p
eta+dan+koordinat+kecamatan+Laut+Tawar+Kabupaten+Aceh+Tengah

Kecamatan Laut Tawar terletak pada koordinat ; 4.5809° Lintang


UtaraN, 96.8887° Bujur Timur. Kecamatan Laut Tawar memiliki 7
Gampong/desa yaitu; Gunung Suku, Kenawat, Pedemun One-one,
Rawe, Toweren Antara, Toweren Toa, dan Toweren Uken. Sementara
di kecamatan Laut Tawar juga terdapat 8 kelurahan yaitu; Asir-asir,
Asir-asir Asia, Bale Atu, Bujang, Hakim Bale, Kute Nireje, Takengon
Barat , dan Takengon Timur. Sementara luas wilayah dari kecamatan
20 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Laut Tawar adalah seluas 99,56km² dengan kepadatan penduduk


192,59 jiwa/km². Untuk kecamatan Laut Tawar Tim Pemetaan Balai
Aceh pada tahun 2019 melakuka verifikasi data pemetaan di gampong
/desa Kenawat.

A2. Profil Kecamatan Bebesen

Gambar 4 Peta Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah

Sumber:
https://www.google.com/peta+dan+koordinat+kecamatan+Bebesen+Kabupaten+Aceh
+Tengah

Kecamatan Bebesen sendiri memiliki 14 desa/kelurahan yaitu:


Bebesen, Blang Kolak I, Blang Kolak II, Empus Talu, Kebet, Kemili,
Keramat Mupakat, Lemah Burbana, Mongal, Nunang Antara, Pendere
Saril, Sadong Juru Mudi, Simpang Empat, dan desa/kelurahan Tan
Saril. Untuk wilayah kecamatan Bebesen memiliki Luas wilayah
47,12km² . Sementara kepadatan penduduk 727,74 jiwa/km². Untuk
kecamatan Bebesen TimPemetaan Balai Bahasa Aceh melakukan
verifikasi data pemetaan pada dua desa/kelurahan di Kecamatan
Bebesen yaitu desa Bebesen dan desa Mongal.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 21

B. Profil Kabupaten Bener Meriah


Gambar 1 Peta Wilayah Kabupaten Bener Meriah

Sumber :
https://www.google.com/peta+dan+koordinat+kabupaten+Bener+Meriah

Kabupaten Bener Meriah adalah salah satu kabupaten di Aceh,


Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran Kabupaten
Aceh Tengah yang terdiri atas tujuh kecamatan. Kabupaten Bener
Meriah yang beribu kota di Simpang Tiga Redelong memiliki luas
1.919,69 km² terdiri dari 10 Kecamatan dan 233 desa. Penduduk
terbesar di wilayah ini adalah suku Gayo, suku Aceh, dan suku Jawa.
Bahasa Gayo, bahasa Aceh, dan bahasa Jawa dipakai oleh sebagian
besar penduduk selain bahasa Indonesia.
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, penduduk di Bener
Meriah berjumlah 122.277 jiwa terdiri dari 62.059 jiwa laki-laki
(50,75% dari total penduduk) dan 60.218 jiwa perempuan (49,25%
dari total penduduk). Komposisi antara penduduk laki-laki dan
perempuan relatif seimbang dari tahun 2000–2010. Dilihat dari
distribusinya jumlah penduduk paling banyak di Kecamatan Bandar,
yaitu sebesar 22.046 jiwa atau sebesar 18,03% dari total penduduk di
Bener Meriah. Kecamatan Syiah Utama memiliki jumlah penduduk
yang paling sedikit, yaitu sebesar 1.298 jiwa atau sebesar 1,06% dari
total penduduk.
22 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Kabupaten ini dibagi secara administratif menjadi tujuh


kecamatan, seperti yang tercantum di bawah ini dengan populasi
mereka menurut Sensus penduduk 2010, yaitu: (1) Kecamatan Pintu
Rime Gayo dengan jumlah penduduk 10.155 jiwa, (2) Kecamatan
Gayo Permata dengan jumlah penduduk 14.709 jiwa, (3) Kecamatan
Syiah Utama dengan jumlah penduduk 4.525 jiwa, (4) Kecamatan
Bandar dengan jumlah penduduk 25.931, (5) Kecamatan Bukit
dengan jumlah penduduk 21.781 jiwa, (6) Kecamatan Wih Pesam
dengan jumlah penduduk 19.861, dan (7) Kecamatan Timang Gajah
dengan jumlah penduduk 25,315 jiwa.
Kabupaten Bener Meriah terletak 4° 33 50 - 4° 54 50 Lintang
Utara dan 96° 40 75- 97° 17 50 Bujur Timur dengan tinggi rata-rata di
atas permukaan laut 100 - 2.500 mdpl. Adapun Kabupaten Bener
Meriah memiliki batas wilayah sebagai berikut. Sebelah Utara
berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen;
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur; Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah; Sebelah Barat
bebatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah.
Pada tahun 2019 ini Tim pemetaan Balai Bahasa Aceh melakukan
verifikasi data pada kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah
tepatnya di desa Pondok Baru.

B1. Profil Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah


Gambar 2 Peta Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

Sumber:
https://www.googl
e.com/peta+dan+k
oordinat+kecamata
n+Bandar+Kabupa
ten+Bener+Meriah

Kecamatan Bandar memiliki 35 Gampong/desa yaitu ; Bahgie


Bentona, Batin Baru, Belang Jorong, Beranun Teleden, Blang Pulo,

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 23

Bukit Wih Ilang, Gele Semayang, Gunung Antara, Hakim Wih Ilang,
Jadi Sepakat, Janarata, Kala Nempan, Keramat Jaya, Lewajadi,
Makmur Sentosa, Mutiara, Muyang Kute Mangku, Purwosari, Pakat
Jeroh, Paya Baning, Paya Ringkel, Pondok Baru, Pondok Gajah,
Pondok Ulung, Puja Mulia, Remang Ketike Jaya, Selamat Rejo,
Selisih Mara, Sidodadi, Simpang Utama, Suku Wih Ilang, Tanjung
Pura, Tansaran Bidin, Tawar Sedenge, dan desa Wonosari. Sementara
kecamatan Bandar terletak pada koordinat 4.7034° Lintang Utara, dan
96.9531° Bujur Timur.

3.3 Populasi dan Sampel


Pemilihan data dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling dan random sampling. Menurut Alvi (2016:30)
purposive sampling adalah metode pemilihan data yang memberi
wewenang pada peneliti untuk memilih data tertentu sebagai prioritas
karena suatu alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara itu,
random sampling adalah metode pemilihan data yang memberi
peluang sama pada setiap data untuk dipilih sebagai sampel yang
menggeneralisasi keseluruhan populasi. Data yang dipilih
menggunakan metode random sampling harus bersifat homogen, yaitu
setiap elemennya memiliki kemiripan karakteristik.
Pada penelitian ini, purposive sampling dilakukan ketika memilih
masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah
sebagai unit sampel karena peneliti punya dasar pengetahuan bahwa
masyarakat di dua kabupaten tersebut merupakan masyarakat yang
paling banyak bertutur menggunakan bahasa Gayo dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah unit sampel ditentukan secara purposive sampling,
sampel kemudian dipilih secara rambang sebanyak seratus sampel,
dengan pembagian sebanyak lima puluh sampel di masing-masing
kabupaten, menggunakan metode random sampling. Hal ini dilakukan
karena setiap masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah memiliki karakteristik yang sama sebagai penutur
bahasa Gayo. Selain seratus responden yang dipilih secara rambang,
ada pula delapan belas narasumber yang dipilih secara purposive dari
tokoh masyarakat dan pemerintah sebagai data pembanding. Delapan
belas narasumber ini terdiri atas sembilan narasumber di Kabupaten
Aceh Tengah dan sembilan narasumber di Kabupaten Bener Meriah.
24 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode
survei. Menurut Wiseman dan Aron (dalam Mashun, 2006:222),
metode survei adalah metode penyediaan data yang dilakukan melalui
penyebaran kuesioner atau daftar tanyaan yang terstruktur dan rinci
untuk memperoleh informasi dari sejumlah besar informan yang
dipandang representatif mewakili populasi penelitian. Survei dapat
bersifat deskriptif dan eksplanatorer. Deskriptif maksudnya survei
untuk memerikan populasi yang sedang dikaji, sementara
eksplanatorer maksudnya survei untuk menjelaskan
hubungan-hubungan yang ada yang telah dijumpai di dalam survei
deskriptif. Dalam penelitian yang komprehensif, kedua jenis survei ini
pada dasarnya satu kesatuan.
Pada penelitian ini pembuatan survei didasarkan pada sembilan
faktor penakar vitalitas bahasa rumusan Kelompok Ahli Ad Hoc
UNESCO untuk Bahasa yang Terancam Punah. Faktor-faktor tersebut
dalam kuisioner disajikan dalam bentuk tabel yang memuat tingkatan
(0 s.d. 5) kondisinya di lapangan. Tingkatan-tingkatan inilah yang akan
dipilih oleh masing-masing responden di tempat penelitian dalam tahap
pengumpulan data.
Responden dalam penelitian ini terdiri atas seratus orang yang
tinggal di daerah yang penduduknya berbahasa Gayo, yaitu Kabupaten
Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Seratus orang responden
tersebut dibagi sama rata untuk kedua kabupaten, yaitu lima puluh
orang di Kabupaten Aceh Tengah dan lima puluh orang di Kabupaten
Bener Meriah. Adapun rentang usia responden dalam penelitian ini
yaitu 10 s.d. 72 tahun dan proporsi gender lima puluh persen laki-laki
dan lima puluh persen perempuan. Selain seratus responden dari kedua
kabupaten, ada pula delapan belas narasumber dari kedua kabupaten
sebagai pemberi data pembanding.

3.5 Teknik Analisis Data


Menurut Mahsun (2006:226) analisis data merupakan upaya yang
dilakukan untuk mengklasifikasi, mengelompokkan, menyamakan
data yang sama dan membedakan data yang memang berbeda, serta
menyisihkan pada kelompok lain data yang serupa, tetapi tak sama.
Pengklasifikasian dan pengelompokan data harus didasarkan pada

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 25

tujuan penelitian, sementara tujuan penelitan adalah memecahkan


masalah yang menjadi fokus penelitian.
Karena penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, maka
analisis data pada penelitian ini juga dilakukan dengan analisis
kuantitatif. Secara teknis, dalam kajian kuantitatif analisis data
dilakukan dengan cara (1) mendeskripsikan teknik analisis data yang
digunakan meliputi analisis data dengan statistik deskriptif, yaitu
berupa kecenderungan rata-rata dan persentase, (2) menganalisis data
dengan statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel,
histogram, diagram batang, diagram garis atau diagram lainnya yang
sesuai, (3) menganalisis data yang berupa persentase yang disajikan
dengan butir-butir atau pernyataan yang diungkap di dalam instrumen
hasil kajian, (4) menganalisis setiap data yang menggunakan statistik
deskriptif, yang datanya cenderung berupa rata-rata dan persentase,
harus dilengkapi interpretasi data oleh pengkaji, dan (5) menganalisis
data dilengkapi dengan hasil wawancara pada masalah-masalah yang
diungkap dalam kajian (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2017:47).
26 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Responden Aceh Tengah

Grafik 1. Gender Responden

Berdasarkan tabel 1. di atas dapat dilihat gambaran persentase


gender responden. Total frekuensi sampel yang dilibatkan dalam
penelitian ini sebanyak 51 0rang yang terdiri dari 15 laki-laki dan 36
perempuan. Besaran persentase dari kedua jenis sampel di atas 29,4
persen laki-laki dan 70,6 persen perempuan. Hal itu menunjukkan
bahwa responden perempuan lebih dominan dibandingkan
responden laki-laki.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 27

Grafik 2. Umur Responden

Mengacu pada tabel di atas, umur responden yang dilibatkan


bervariasi, yaitu mulai dari umur 10 tahun hingga umur 59 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa responden yang dijadikan sumber informasi
mencakup dari keseluruhan tingkat umur masyarakat yang ada di
daerah penelitian

Grafik 3. Unsur atau golongan Responden

Ber
28 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

dasarkan tabel 3. di atas menggambarkan bahwa terdapat bebera unsur


atau golongan yang dilibatkan sebagai responden dalam penelitian ini.
Adapun unsur atau golongan tersebut adalah pemerintah, anak-anak,
generasi muda, dan masyarakat. Dari unsur pemerintahan terdiri dari
14 responden (27,5 persen), anaka-anak 15 responden (29,4 persen),
generasi muda 9 responden (17,6 persen), dan masayarakat 13
responden (23,5 persen). Total responden yang dilibatkan sebanyak 51
orang.

Grafik 4. Desa Asal Responden

Tabel 4. di atas menggambarkan desa asal responden yang


dilibatkan dalam penelitian ini. Adapun jumlah desa asal responden
tersebut sebanyak 28 desa. Selain itu, tabel tersebut juga
menggambarkan bahwa responden yang dominan berasal dari desa
Kemili, yaitu sebanyak 15 responden atau 29,5 persen dari total
responden yang dilibatkan dalam penelitian ini.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 29

Grafik 5. Kecamatan Responden

Tabel 5. Menjelaskan asal kecamatan responden yang


dilibatkan dalam penelitian ini. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa
responden yang dilibatkan dalam penelitian ini berasal dari delapan
kecamatan, yaitu Bebesen, Bies, Bintang, Kebayakan, Ketol, Lut
Tawar, Pegasing, dan Rusip Antara. Selain itu, tabel tersebut juga
menjelaskan bahwa responden lebih dominan berasal dari Kecamatan
Bebesen berjumlah 26 responden atau 51,0 persen dari jumlah total 51
responden.
Grafik 6. Faktor 1 Pemindahan Bahasa Antargenerasi
30 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel 6. Menunjukkan bahwa proses pemindahan bahasa


antargenerasi bahasa gayo mengalami kerentanan yaitu sebesar 43,1
persen karena saat ini bahasa gayo hanya digunakan oleh beberapa
anak di semua wilayah atau digunakan oleh semua anak hanya di
beberapa wilayah. Selain itu, pemindahan bahasa antargenerasi bahasa
gayo juga mengalami kemunduran. Hal tersebut ditandai dengan
tingkat persentase validitass sebesar 29,4 persen. Kemunduran ini
disebabkan penggunaan bahasa gayo saat ini hanya digunakan
sebagian besar oleh generasi orang tua dan lansia.

Grafik 7. Faktor 3 Perbandingan Penutur dalam Total Populasi

Berdasarkan tabel 7. Perbandingan penutur dalam total


populasi bahasa gayo rentan terhadap kepunahan hal itu ditunjukkan
dengan tingkat persentase komulatif sebesar 29,4 persen (hampir
semua berbicara menggunakan bahasa gayo). Tabel tersebut juga
menjelaskan bahwa bahasa gayo mengalami kemunduran. Hal tersebut
ditunjukkan tingkat persentase komulatif sebesar 29,4 persen
(mayoritas bicara menggunakan bahasa gayo).

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 31

Grafik 8. Faktor 4 Tren Ranah Bahasa yang Ada

Berdasarkan tabel 8. Menjelaskan bahwa Faktor Tren Ranah


Bahasa yang ada di Kabupaten Aceh Tengah memiliki keseimbangan
multibahasa. Hal tersebut ditandai dengan tingkat persentase validitas
56,9 persen. Persentase ini menjelaskan bahwa ada dua atau lebih
bahasa dapat digunakan di sebagian besar ranah sosial dan untuk
sebagian besar fungsi. Selain itu, Tren Ranah Bahasa yang ada juga
dipengaruhi oleh Wilayah yang Menyusut, hal itu ditandai dengan
tingkat persentase validitas sebesar 29,4 persen.

Grafik 9. Faktor 5 Tanggapan terhadap Ranah dan Media Baru


32 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Berdasarkan tabel 9. Menjelaskan bahwa tanggapan


terhadap ranah dan media baru hanya 29,4 persen berdasarkan
persentase validitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
bahasa gayo hanya digunakan di beberapa ranah baru. Selain itu,
tanggapan terhadap ranah dan media baru tidak kuat/aktif hal itu
ditunjukkan dengan persentase validitas sebesar 25,5 persen.

Grafik 10. Faktor 6 Bahan untuk Pendidikan Bahasa & Literasi

Berdasarkan persentase validitas pada tabel 10.


menunjukkan bahwa bahasa gayo telah memiliki materi tertulis, tetapi
hanya berguna untuk beberapa anggota masyarakat; dan bagi yang lain
materi itu hanya memiliki makna simbolis (sebagai lambang). Saat ini,
pendidikan literasi (baca tulis) dalam bahasa gayo bukan bagian dari
kurikulum sekolah. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat persentase
validitas 51,0 persen. Selain itu, pada tabel ini juga ditunjukkan bahwa
bahasa gayo telah mimiliki bahasa tertulis, tetapi tidak digunakan
dalam administrasi. Hali itu dapat dilihat dalam persentase validitas
sebesar 27,5 persen.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 33

Grafik 11. Factor 7 Sikap dan Kebijakan Pemerintah dan Lembaga


Bahasa, Termasuk Status, dan Penggunaan Resmi

Tabel 11. Menjelaskan bahwa sikap dan kebijakan


pemerintah dan lembaga bahasa dalam melestarikan bahasa daerah
dengan tingkat persentase validitas 70,6 persen, sedangkan dukungan
yang berbeda sebesar 19,6 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa
tingkat kepedulian pemerintah dan lembaga bahasa dalam
melestarikan bahasa daerah cukup tinggi tanpa melihat latar belak
sosial maupun budaya. Pemerintah maupun lembaga bahasa
memandang bahwa semuah bahasa daerah itu perlu dilindungi tanpa
melihat mayoritas atau minoritas dalam penggunaannya dalam sistem
komunikasi masyarakat.

Grafik 12. Faktor 8 Sikap Anggota Masyarakat terhadap Bahasa


Mereka Sendiri
34 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel 12. Menjelaskan bahwa sikap anggota masyratak


terhadap bahasa mereka sendiri cukup tinggi. Berdasarkan tingkat
persentase validitas 58,8 persen dari jumlah responden bahwa semua
masyarakat mendukung dan menghargai bahasa mereka dan ingin
melihat bahasa mereka dipromosikan. Sementara itu sebagian besar
masyarakat juga mendukung pemeliharaan bahasa daerah mereka
dengan total tingkat persentase validitas 31,4 persen.

Grafik 13. Faktor 9 Jumlah dan Kualitas Dokumentasi

Tabel 13. Menjelaskan bahwa 41 (80,4 persen) responden


dari 51 responden menyatakan jumlah dan kualitas dokumentas
bahasa gayo baik. Hal itu berarti bahasa gayo telah memiliki tata
bahasa yang bagus dan sudah memadai, memiliki kamus, teks, sastra,
dan sesekali diperbarui media sehari-hari; rekaman audio dan video
berkualitas tinggi yang bernotasi (memiliki catatan
keterangan/penjelasan) memadai.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 35

4.1.2 Responden Bener Meriah


Grafik 1. Gender Responden

Tabel satu menunjukkan bahwa terdapat 49 responden yang


dilibatkan dalam penelitian vitalitas bahasa Gayo di Kabupaten Bener
Meriah. Persentase Validitas menunjukkan total 49 responden tersebut
terdiri atas laki-laki berjumlah 18 responden dan perempuan
berjumlah 31 responden. Hal ini menunjukkan bahwa responden
perempuan lebih dominan daripada responden laki-laki yang hampir
mencapai 65 persen dari total jumlah responden.

Grafik 2. Umur Responden


36 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Mengacu pada tabel di atas, umur responden yang dilibatkan


bervariasi, yaitu mulai dari umur 10 tahun hingga umur 62 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa responden yang dijadikan sumber informasi
mencakup dari keseluruhan tingkat umur masyarakat yang ada di
daerah penelitian.

Grafik 3 Unsur/Golongan Responden

Tabel 3 menunjukkan ada empat unsur atau golongan yang menjadi


responden dalam penelitian ini. Persentase validitas tertinggi berasal
dari unsur pemerintah berjumlah 16 orang (32,7%), kemudian dari
unsur masyarakat berjumlah 13 orang (26,5%), ketiga dari golongan
anak-anak berjumlah 11 orang (22,4%), dan masyarakat 13 orang
(26,5%).

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 37

Grafik 3. Desa Asal Responden

Tabel 3. menunjukkan bahwa responden yang dipilih berasal dari 35


desa yang terdapat di Kabupaten Bener Meriah. Persentase valisditas
menunjukkan masing-masing desa menyumbangkan responden antara
1 s.d. 4 orang. Responden terbanyak berasal dari Desa Pante Raya,
yaitu sebanyak 4 orang.

Grafik 3. Kecamatan responden


38 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang dipilih berasal dari lima


kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bener Meriah. Jumlah
responden terbanyak berasal dari Kecamatan Wih Pesam sebanyak 18
orang (36,7%) dan yang paling sedikit berasal dari Kecamatan
Bener Kelipah sebanyak 1 orang (2%).

Grafik 4. Faktor 1: Pemindahan Bahasa Antargenerasi

Dalam konteks bahasa sebagai sebuah tradisi, bahasa harus diteruskan


dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan cara berkomunikasi.
Namun, pada tabel 4 secara statistik kita melihat persentase validitas
tertinggi berada pada level 4, yaitu sebanyak 73,5% reponden
berpendapat bahwa pemindahan bahasa Gayo antar generasi berada
pada level empat yaitu posisi rentan. Data ini memberikan gambaran
bahwa penggunaan bahasa Gayo di Kabupaten Bener Meriah hanya
digunakan oleh beberapa anak di semua wilayah dan digunakan oleh
semua anak di wilayah terbatas. kemudian poin kedua berada pada
level 5, dengan persentase validitas 24,5% yang menyatakan bahasa
Gayo digunakan oleh segala usia, mulai dari anak-anak hingga orang
tua.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 39

Grafik 5. Faktor 3: Perbandingan Penutur dalam Total Populasi

Tabel 5. Faktor 3 menunjukkan perbandingan penutur dalam total


populasi. Data di atas menunjukkan persentase tertinggi berada pada
level 3, sebanyak 63,3% menyatakan bahasa Gayo mengalami
kemunduran, namun mayoritas masyarakat di Bener Meriah masih
menggunakan bahasa itu. Kemudian pada level 4, sebanyak 30,6%
menyatakan hampir semua masyarakat masih menggunakan bahasa
itu.

Grafik 6. Faktor 4: Tren Ranah Bahasa yang Ada


40 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel 6. Faktor 4 menunjukkan tren ranah bahasa yang ada di


Kabupaten Bener Meriah. Persentase validitas menunjukkan 73,5%
menyatakan tren ranah bahasa Gayo berada pada tingkat empat yaitu
keseimbangan mullti bahasa. Jadi, masyarakat di Kabupaten Bener
Meriah menggunakan dua atau lebih bahasa di sebagian besar ranah
sosial dan untuk sebagian besar fungsi. Pada poin kedua, dari
persentase validitas menunjukkan sebanyak 22,4% berada pada
tingkatan tiga, wilayah yang menyusut, yang berarti bahasa ini
digunakan di wilayah rumah dan untuk banyak fungsi, tetapi bahasa
yang dominan mulai memasuki wilayah rumah.

Grafik 7. Faktor 5: Tanggapan terhadap Ranah dan Media Baru

Tabel 7. Faktor 5 menunjukkan tanggapan reponden terhadap ranah


dan media baru. Persentase validitas menunjukkan 53,1% berada di
tingkatan dua, melindungi, hal ini berarti bahasa Gayo digunakan di
beberapa ranah baru. Kemudian, 24,5% menyatakan di tingkat empat,
kuat/aktif, yang berarti bahasa ini digunakan di sebagian besar ranah
baru.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 41

Grafik 8. Faktor 6: Bahan untuk Pendidikan dan Literasi

Tabel 8. Faktor 6 berisikan bahan untuk pendidikan bahasa dan literasi


(baca tulis). Berdasarkan persentase validitas, persentase tertinggi
berada pada tingkat dua sebanyak 71,4%. Data tersebut menyatakan
ada materi tertulis, tetapi hanya berguna untuk beberapa anggota
masyarakat; dan bagi yang lain, materi itu mungkin memiliki makna
simbolis (sebagian lambang). Pendidikan literasi (baca tulis) dalam
bahasa itu bukan bagian dari kurikulum sekolah. Kemudian persentase
tertinggi kedua berada pada tingkat tiga sebanyak 20,4%. Data
tersebut menyatakan bahan tertulis ada, dan anak-anak dapat terpapar
dengan bentuk tertulis di sekolah. Literasi tidak dipromosikan melalui
media cetak.
Grafik 9. Faktor 7: Sikap dan Kebijakan Pemerintah da.n Lembaga
Bahasa, Termasuk Status dan Penggunaan Resmi
42 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel 9. Faktor 7 menjelaskan tentang sikap dan kebijakan pemerintah


dan Lembaga Bahasa. Berdasarkan persentase validitas, faktor ini
berada di tingkat lima. Sebanyak 100% reponden menyatakan
dukungan yang sama kepada sikap resmi pemerintah terhadap bahasa
untuk melindungi semua bahasa.

Grafik 10. Faktor 8: Sikap anggota Masyarakat terhadap Bahasa


Mereka Sendiri

Tabel 10. Faktor 8 menunjukkan sikap anggota masyarakat


terhadap bahasa mereka sendiri. Sebagian besar responden
menyatakan bahwa sebagian anggota masyarakat di Kabupaten Bener
Meriah mendukung pemeliharaan bahasa Gayo. Hal ini ditunjukkan
oleh persentase validitas tertinggi dari reponden sebesar 57,1%.
Sementara 38,8% berada di tingkat lima, semua anggota masyarakat
menghargai bahasa mereka sendiri dan ingin melihatnya
dipromosikan.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 43

Tabel 11. Faktor 9: Jumlah dan Kualitas Dukementasi

Tabel 11. Faktor 9 menyajikan jumlah dan kualitas dokumentasi.


Persentase validitas memaparkan sebanyak 93,9% reponden memilih
tingkatan tiga yaitu adil. Dalam hal ini, mungkin ada tata bahasa yang
memadai atau jumlah tata bahasa, kamus, dan teks yang cukup, tetapi
tidak ada media sehari hari; rekaman audio dan video mungkin ada
dalam berbagai kualitas atau tungkat anotasi (catatan
keterangan/penjelasan). Kemudian pada level empat, 6,1% responden
menyatakan baik, maksudnya ada satu tata bahasa dan kamus
komprehensif, teksn yang luas; materi bahasa yang berjalan terus
menerus. Ada banyak rekaman audio dan video berkualitas tinggi
yang memiliki catatan keterangan/penjelasan.
44 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

4.2 Pembahasan
4.2.1 Gabungan Data Responden Aceh Tengah dan Bener Meriah
Grafik 1. Gender Responden

Grafik dan tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 100


responden yang dilibatkan dalam penelitian vitalitas Bahasa Gayo ini.
Kesemua responden tersebut berasal dari dua kabupaten yang berbeda,
yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Dari
total 100 responden tersebut terdiri atas atas laki-laki berjumlah 33
responden dan perempuan berjumlah 67 responden. Hal ini
menunjukkan bahwa responden perempuan lebih dominan daripada
responden laki – laki yang hampir mencapai 70 persen dari total
jumlah responden.
Grafik 2. Umur Responden

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 45

Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini terdiri dari beragam


kelompok umur, mulai dari umur 10 tahun higga umur 62 tahun.
Umur yang dominan adalah umur 12-16 tahun seperti yang
ditunjukkan pada grakfik 2 di atas.

Grafik 3. Unsur atau golongan Responden

Selainn umur yang beragam, responden yang dilibatkan juga


merupakan unsur masyarakat yang berbeda, yaitu mulai dari
masyarakat sipil sampai dengan perangkat pemerintah seperti yang
diperlihatkan apda tabel 3 di atas. Dalam hal ini, perangkat pemerintah
dilibatkan sebanyak 30 responden, selebihnya adalah masyarakat sipil
yang terdiri atas anak-anak 26 responden, generasi muda 18 responden
dan generasi tua (masyarakat) 26 responden. Jumlah keselurahan
adalah 100 responden.
46 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Grafik 4. Desa Asal Responden

Tabel 4. Desa Asal Responden

Tabel di atas menunjukkan desa asal responden. Dari taebl tersebut,


respon berasal dari desa yang berbeda. Jumlah desa sampel dari dua
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah 63 desa. Dari
setiap desa, sampel responden yang diambil minimal 1 responden dan
maksimal adalah 15 respoden yang terdiri atas masyarkat sipil dan
perangkat pemerintah seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.

Grafik 5. Kecamatan Responden

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 47

Terapat 14 kecamatan dari dua kabupaten yang menjadi sumber data.


Ke-14 Kecamatan tersebut ditunjukkan pada tabel 5 di atas. Dari
setiap kecamatan tersebut, minimal responden yang diambil dalah 1,
yaitu berada di Kecamatan Bener Kelipah dan Rusip Antara, dan
maksimal responden yang diambil adalah 26 responden, yaitu
berada di Kecamatan Bebesan.

Grafik 6. Kabupaten Asal Responden

Berdasarkan tabel di atas, tabel di atas menggambarkan kondisi


kabupaten asal responden. Berdasarkan jumlah responden, terdapat
dua kabupaten yang menjadi sasaran asal responden, yaitu kabupaten
Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah. Dari kedua kabupaten
tersebut, terdapat 51 responden atau 51 % persentase validitas berasal
dari kabupaten Aceh Tengah, sementara sisanya berasal dari
kabupaten Bener Meirah, yaitu 49 responden atau 49 % persentase
validitas. Jumlah dari kedua kabupaten tersebut adalah 100 responden.
48 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Grafik 7. Faktor 1 Pemindahan Bahasa Antargenerasi

Tabel di atas menunjukkan bahwa faktor 1 pemindahan Bahasa


antargenerasi berada pada tingkat 4, yaitu tingkatan bahaya rentan.
Hal ini menunjukkan bahwa Bahasa Gayo digunakan oleh beberapa
anak di semua wilayah dan juga digunakan oleh semua anak di
wilayah terbatas dengan persentase validitas 58 % atau dengan jumlah
responden 58 orang. Kemudian, tingkatan bahaya berikutnya berada
pada tingkat 5, yaitu tingkatan bahaya aman yang menunjukkan
bahwa Bahasa Gayo digunakan oleh segala usia, mulai dari anak-anak
hingga orang tua dengan jumlah persentase validitas 21 % atau dengan
jumlah responden 21 orang.

Grafik 8. Faktor 3 Perbandingan Penutur dalam T otal Populasi

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 49

Tabel di atas menunjukkan bahwa faktor 3 perbandingan penutur


dalam total populasi mengalami kemunduran yang ditunjukkan oleh
nilai persentase valitidas tertinggi, yaitu 46 % atau dengan jumlah
responden 46 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan bahaya
berada pada tingkat 3 yang menggambarkan mayoritas responden
berbicara menggunakan Bahasa Gayo. Artinya, sebahagian
masyarakat tidak menggunakan Bahasa Gayo. Tingkatan bahaya
berikutnya menduduki tingkat 4, yaitu tingkatan rentan yang
menggambarkan bahwa hampir semua berbicara menggunakan
Bahasa Gayo yang ditunjukkan dengan persentase validitas 30 % atau
dengan jumlah responden 30 orang.

Grafik 9. Faktor 4 Tren Ranah Bahasa yang Ada

Tabel di 9 memperlihatkan bahwa faktor 4 tren ranah Bahasa yang ada


berada pada tingkat 4, yaitu tingkatan bahaya keseimbangan
multibahasa dengan jumlah nilai persentase validitas tertinggi adalah
65 % atau dengan jumlah responde 65 orang. Hal ini menggambarkan
bahwa dua atau lebih Bahasa dapat digunakan di sebagian besar ranah
social dan untuk sebagian besar fungsi. Tingkatan bahaya berikut
berada pada tingkat 3, yaitu tingkatan bahaya wilayah yang menyusut
dengan jumlah nilai persentase validitas 26 % atau dengan jumlah
responden 26 orang yang menunjukkan bahwa Bahasa Gayo
50 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

digunakan di wilayah rumah dan untuk banyak fungsi, tetapi Bahasa


yang dominan mulai memasuki wilayah rumah.

Grafik 10. Faktor 5 Tanggapan terhadap Ranah dan Media Baru

Tabel di atas mendeskripsikan faktor 5 tanggapan terhadap ranah dan


media baru berada pada tingkat 2, yaitu tingkatan bahaya melindungi
dengan jumlah nilai persentase validitas tertinggi 41 % atau dengan
jumlah responden 41 orang. Tingkatan ini mendeskripsikan bahwa
Bahasa Gayo digunakan di beberapa ranah baru. Nilai persentase
validitas kedua berada pada tingakt 4, yaitu pada tingkatan kuat/aktif
dengan jumlah nilai persentase 25 % atau dengan jumlah responden
25 orang. Tingkatan ini mendeskripsikan bahwa Bahasa Gayo
digunakan di sebagian besar ranah baru.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 51

Grafik 11. Faktor 6 Bahan untuk Pendidikan Bahasa & Literasi

Pada tabel 11, faktor 6 bahan untuk pendidikan Bahasa dan literasi
menunjukkan bahwa tingkatan nilai persentase validitas tertinggi
terhadap aksesibilitas bahan tertulis berada pada tingkat 4, yaitu ada
materi tertulis, hanya untuk beberapa orang dengan jumlah nilai
persentase validitas adalah 61 % atau dengan jumlah responden 61
orang. Tingkatan ini mendeskripsikan bahwa terdapat bahan tertulis di
sekolah yang selanjutnya anak-anak dapat mengembangkan
kemampuan baca tulis dalam Bahasa Gayo. Sementara dalam
administrasi, penggunaan Bahasa gayo tidak digunakan di sekolah.
52 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Grafik 12. Factor 7 Sikap dan Kebijakan Pemerintah dan Lembaga


Bahasa, Termasuk Status, dan Penggunaan Resmi

Berdasarkan tabel 12, faktor 7 sikap dan kebijakan pemerintah dan


lembaga bahasa, termasuk status, dan penggunaan resmi menunjukkan
bahwa persentase validitas teringgi berada pada tingkatan 5, yaitu
dukungan yang sama dengan jumlah persentase validitas 85 % atau
dengan jumlah responden 85 orang. Hal ini mendeskripsikan bahwa
semua bahasa dilindungi, baik oleh pemerintah maupun lembaga
bahasa. Berikutnya, persentase validitas tertinggi kedua berada pada
tingkatan 4, yaitu dukungan yang berbeda, yaitu 10 % atau dengan
jumlah responden 10 orang. Tingkatan ini menggambarkan bahwa
Bahasa minoritas dilindungi terutama sebagai bahasa wilayah pribadi.
Dalam hal ini, penggunaan bahasa Gayo digolongkan dalam Bahasa
bergengsi.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 53

Grafik 13. Faktor 8 Sikap Anggota Masyarakat terhadap Bahasa


Mereka Sendiri

Pada tabel 13, faktor 8 sikap anggota masyarakat terhadap bahasa


mereka sendiri mendeskripsikan bahwa masyarakat mendukung
dengan jumlah persentase validitas 49 % atau dengan jumlah 49
responden. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan masyarakat berada
pada tingkat 8, yang mendeskripsikan bahwa semua anggota
masyarakat menghargai bahasa mereka dan ingin melihatnya
dipromosikan. Sementara itu, persentase validitas tertinggi kedua
menduduki tingkat 4, yaitu sebagian besar masyarakat mendukung
dengan jumlah persentase 44 % atau dengan jumlah responde 44
orang. Tingkatan kedua ini menggambarkan bahwa sebagian besar
masyarakat mendukung pemeliharaan Bahasa.
54 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Grafik 14. Faktor 9 Jumlah dan Kualitas Dokumentasi

Pada tabel 14 di atas, faktor 9 jumlah dan kualitas dokumentasi


menggambarkan bahwa dokumentasi Bahasa berada pada tingkat 3,
yaitu adil dengan jumlah persentase validitas adalah 53 % atau dengan
jumlah responden adalah 53 orang. Tingkatan pertama ini
menunjukkan bahwa mungkin ada tata Bahasa yang memadai atau
jumlah tata Bahasa, kamus, dan teks yang cukup, tetapi tidak ada
media sehari-hari. Selanjutnya, rekaman audio dan video mungkin ada
dalam berbagai kualitas atau tingkat anotasi (catatan
keterangan/penjelasan). Tingkat persentase validitas tertinggi kedua
berada pada tingkat 4, yaitu adil. Tingkatan 4 ini menggambarkan
bahwa ada satu tata Bahasa yang bagus dan sejumlah tata Bahasa yang
memadai, kamus, teks, sastra, dan sesekali diperbaharui media
sehari-hari. Selanjutnya, rekaman audio dan video berkualitas tinggi
yang beranotasi (memiliki catatan keterangan/penjelasan) memadai.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 55

4.2.2 Gabungan Data Narasumber Aceh Tengah dan Bener Meriah


Grafik 1. Gender Responden

Tabel di atas menunjukkan bahwa narasumber sebagai responden


dalam penelitian ini terdiri atas laki-laki dan perempuan. Jumlah
responden seluruhnya adalah 18 orang yang terdiri atas responden
laki-laki terdiri 15 orang dan responden perempuan 3 orang. Dari
gambaran tersebut, narasumber laki-laki lebih mendominasi
responden perempuan, yaitu 83 % banding 16 %.

Grafik 2. Umur Responden


56 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel di atas mendeskripsikan umur narasumber sebagai responden


dalam penelitian ini. Dari keseluruhan responden yang diambil, umur
responden mulai 41 tahun sampai dengan 72 tahun. Artinya,
narasumber sebagai respoden tergolong ke dalam kelompok tua.

Grafik 3. Unsur atau golongan Responden

Narasumber yang menjadi responden pada penelitian ini terdiri atas


unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Unsur pemerintah diambil 10
orang atau 55 % dan unsur masyarakat diambil 8 orang 44 %. Dari
data tersebut, unsur pemerintah mendominasi unsur masyarakat, yaitu
55 % banding 44 %.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 57

Grafik 4. Desa Asal Responden

Tabel di atas menggambarkan desa asal responden. Berdasarkan tabel


tersebut, tedapat 15 desa yang menjadi asal respoden seperti yang
terlihat di dalam tabel 4 di atas. Setiap desa diambil minimal 1
responden dan maksimal 2 orang. Jumlah keselurahan dari 15 desa
adalah 18 responden.

Grafik 5. Kecamatan Responden


58 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Tabel di atas mendeskripsikan kecamatan asal responden. Sesuai


dengan tabel 4 sebelumnya, semua desa merupakan berasal dari
kecamatan yang ditunjukkan pada tabel 5. Terdapat 7 kecamatan
dengan jumlah desa 18. Ketujuh kecamatan tersebut diambil
responden minimal 1 orang dan maksimal 6 orang atau 33 % dari 100
%.

Grafik 5. Asal Kabupaten Responden

Berdasarkan tabel di atas, kesemua narasumber yang terpilih menjadi


responden berasal dari dua kabupaten yang berbeda, yait Aceh Tengah
dan Bener Meriah. Jumlah responden yang berasal dari Aceh Tengah
berjumah 8 responden, sementara respoden yang berasal dari Bener
Meriah berjumlah 10 orang. Jumlah responden kedua daerah yang
berbeda tersebut adalah 18 responden. Dalam hal ini, responden yang
berasal dari Bener Meriah lebih mendominasi responden berasal dari
Aceh Tengah, yaitu 55 % banding 44 %.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 59

Grafik 6. Faktor 1 Pemindahan Bahasa Antargenerasi

Pada tabel di atas, faktor 1 menunjukkan bahwa pemindahan bahasa


antargenerasi berada pada level tingkat bahaya 4, yaitu rentan
dengan jumlah persentase validitas 66 % yang menunjukkan bawha
bahasa Gayo digunakan oleh beberapa anak di semua wilayah;
digunakan oleh semua anak di wilayah terbatas. Selanjutnya, tingkat
bahaya selanjutnya yang ditunjukkan oleh tabel di atas adalah aman
dengan jumlah persentase validitas 22 % yang menunjukkan bawha
bahasa Gayo digunakan oleh segala usia, mulai dari anak-anak hingga
orang tua.

Faktor 2 Jumlah Penutur Mutlak

Berdasarkan fakta bahwa tidak mungkin untuk memberikan


interpretasi yang valid dari angka absolut jumlah penutur, tetapi
sebuah masyarakat penutur yang sedikit selalu berisiko. Populasi yang
sedikit jauh lebih rentan terhadap penurunan (misalnya karena
penyakit, perang, atau bencana alam) daripada yang lebih banyak.
Kelompok penutur bahasa yang sedikit mungkin juga bergabung
dengan kelompok tetangga, sehingga akan kehilangan bahasa dan
budayanya sendiri (UNESCO, 2003).
60 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Menurut hasil sensus penduduk (Wikipedia.org) pada tahun 2010


yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah etnis suku Gayo
berjumlah 336.856 jiwa dan tersebar di sejumlah daerah, dengan
mayoritas sebaran berada di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten
Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues. Pada penelitian ini kajian
vitalitas bahasa terhadap bahasa Gayo hanya terbatas pada populasi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Hal ini
dilakukan karena sejumlah alasan, seperti (1) terbatasnya dana
penelitian, (2) terbatasnya waktu penelitian, dan (3) dua kabupaten
tersebut jumlah populasinya jauh lebih banyak dibanding jumlah
populasi Kabupaten Gayo Lues.
Menurut Badan Pusat Statistik atau BPS, pada tahun 2010
diperkirakan jumlah populasi di Kabupaten Aceh Tengah sebanyak
175.527 jiwa dan tersebar di empat belas kecamatan; Kabupaten
Bener Meriah sebanyak 122.980 jiwa dan tersebar di sepuluh
kecamatan; dan Kabupaten Gayo Luwes sebanyak 79.560 jiwa dan
tersebar di sebelas kecamatan. Total populasi di ketiga daerah yang
penduduknya mayoritas berbahasa Gayo tersebut pada tahun 2010
yaitu 377.067 jiwa. Jika hitungan hanya dilakukan terhadap populasi
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah saja, total
populasi adalah 298.507 jiwa.
Menurut Badan Pusat Statistik atau BPS Provinsi Aceh, pada
tahun 2019 diproyeksikan jumlah populasi di Kabupaten Aceh Tengah
sebanyak 209.129 jiwa; Kabupaten Bener Meriah sebanyak 146.031
jiwa; dan Kabupaten Gayo Luwes sebanyak 92.834 jiwa. Total
populasi di ketiga daerah yang penduduknya mayoritas berbahasa
Gayo tersebut pada tahun 2019 diproyeksikan berjumlah 447.994
jiwa. Jika hitungan hanya dilakukan terhadap populasi Kabupaten
Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah saja, total populasi adalah
355.160 jiwa.
Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2010 yang
dilakukan Badan Pusat Statistik atau BPS, “sebesar 79,5 persen dari
seluruh populasi penduduk usia 5 tahun ke atas melakukan
komunikasi sehari-hari di rumah tangga menggunakan bahasa daerah,
sebesar 19,9 persen menggunakan bahasa Indonesia dan sebesar 0,3
persen lainnya masih menggunakan bahasa asing” (Na’im, 2010:11).
Khusus untuk wilayah Provinsi Aceh, persentase penggunaan bahasa
daerah pada tahun 2010 adalah 82,41 persen. Jika hitungan ini

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 61

digunakan terhadap proyeksi populasi di Kabupaten Aceh Tengah,


Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Luwes pada tahun
2019, yaitu 447.994 jiwa, maka didapatkan perkiraan jumlah penutur
bahasa Gayo di tiga kabupaten berpenduduk mayoritas penutur bahasa
Gayo tersebut sebanyak 369.192 orang. Jika perkiraan hanya
dilakukan terhadap populasi di Kabupaten Aceh Tengah dan
Kabupaten Bener Meriah saja, yaitu 355.160 jiwa, maka didapatkan
perkiraan jumlah penutur bahasa Gayo di dua kabupaten tersebut
sebanyak 292.687 orang (172.343 orang di Kabupaten Aceh Tengah
dan 120.344 orang di Kabupaten Bener Meriah).

Grafik 7. Faktor 3 Perbandingan Penutur dalam Total Populasi

Tabel di atas menggambarkan kondisi perbandingan penutur dalam


total populasi. Berdasarkan tabel tersebut, faktor 3 menunjukkan
bahwa perbandingan penutur dalam total populasi berada pada level
bahaya 3, yaitu rentan dengan jumlah persentase validitas adalah 50
% atau dengan jumlah responden 9 orang. Hal ini menunjukkan
bahwa hamper semua berbicara menggunakan bahasa Gayo. Level
bahaya berikutnya yang ditunjukkan tabel di atas adalah mengalami
kemunduran dengan jumlah persentase validitas 44 % atau dengan
jumlah responden 8 orang.
62 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Jumlah penutur dalam kaitannya dengan total populasi suatu


kelompok adalah indikator yang signifikan dalam menentukan
vitalitas bahasa, di mana "kelompok" dapat merujuk pada etnis,
agama, kedaerahan, atau kelompok nasional yang dapat ditemukan
pada komunitas penutur tersebut (UNESCO, 2003).

Grafik 8. Faktor 4 Tren Ranah Bahasa yang Ada

Mengacu pada tabel di atas, faktor 4 tren ranah bahasa yang ada
berada pada level keseimbangan multimedia yang ditunjukkan dengan
jumlah persentase validitas 72 % atau dengan jumlah responden 13
orang. Hal ini menunjukkan bahwa dua atau lebih bahasa dapat
digunakan di sebagian besar ranah sosial dan untuk sebagian besar
fungsi. Nilai persentase validitas tertinggi berikutnya adalah 22,2 %
yang menduduki level wilayah yang menyusut, yang menggambarkan
bahwa bahasa Gayo digunakan di wilayah rumah dan untuk banyak
fungsi, tetapi bahasa yang dominan mulai memasuki wilayah rumah.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 63

Grafik 9. Faktor 5 Tanggapan terhadap Ranah dan Media Baru

Mengacu pada tabel di atas, factor 5 tanggapan terhadap ranah dan


media baru berada pada level melindungi dengan persentase
validitas 38,9 % dengan jumlah responden adalah 7 orang. Level ini
menunjukkan bahwa bahasa Gayo hanya digunakan di beberapa ranah
baru. Nilai persentase tertinggi berikutnya adalah 33,3 % yang
menduduki level reseptif yang menggambarkan bahwa bahasa Gayo
digunakan di banyak ranah.

Grafik 10. Faktor 6 Bahan untuk Pendidikan Bahasa & Literasi


64 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Pada tabel di atas, faktor 6 bahan untuk pendidikan bahasa & lierasi
berada pada level ada materi tertulis, hanyauntuk beberapa orang
dengan jumlah nilai persentase validitas 44,4 % atau dengan jumlah
responden 8 orang. Hal ini menunjukkan bahwa ada materi tertulis,
tetapi mungkin hanya berguna untuk beberapa anggota masyarakat;
dan bagi yang lain, materi itu mungkin memiliki makna simbolis
(sebagai lambang). Dalam hal tersebut, pendidikan literasi (baca tulis)
dalam bahasa Gayo bukan bagian kurikulum.

Grafik 11. Factor 7 Sikap dan Kebijakan Pemerintah dan Lembaga


Bahasa, Termasuk Status, dan Penggunaan Resmi

Mengacu pada tabel di atas, faktor 7 Sikap dan Kebijakan Pemerintah


dan Lembaga Bahasa, Termasuk Status, dan Penggunaan Resmi
memperlihatkan nilai persentase valitidas berada pada level dukungan
yang sama, yang ditunjukkan dengan nilai persentase validitas 94,4 %
atau dengan jumlah responden adalah 17 orang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semua bahasa yang ada di wilayah penelitian
dilindungi. Dari 18 responden yang dilibatkan, hanya 1 responden
yang memberi tanggapan bahwa pemerintah mendorong asimilasi
(percampuran) ke bahasa dominan, serta tidak ada perlindungan untuk
bahasa minoritas.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 65

Grafik 12. Faktor 8 Sikap Anggota Masyarakat terhadap Bahasa


Mereka Sendiri

Mengacu pada tabel di atas, Faktor 8 Sikap Anggota Masyarakat


terhadap Bahasa Mereka Sendiri memperlihatkan nilai persentase
validitas tertinggi berada pada tingkatan 4, yaitu sebagian besar
masyarakat mendukung yang ditunjukkan dengan nilai persentase
valitidas 50 % atau dengan jumlah responden 9 orang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mendukung
pemeliharaan bahasa terhadap bahasa mereka sendiri. Nilai
persentase tertinggi berikutnya adalah 44,4 % yang berada pada
tingkatan 3, yaitu semua masyarakat mendukung, yang menunjukkan
bahwa banyam anggota masyarakat mendukung pemeliharaan
bahasa; yang lainnya acuh tak acuh atau bahkan mungkin mendukung
hilangnya bahasa.

\
66 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Grafik 13. F aktor 9 Jumlah dan Kualitas Dokumentasi

Berdasarkan tabel di atas, Faktor 9 Jumlah dan Kualitas Dokumentasi


berada pada level baik dengan jumlah persentase adalah 50 % atau
dengan jumlah responden 9 orang. Hal ini menunjukkan bahwa ada
satu tata bahasa yang bagus dan sejumah tata bahasa yang memadai,
kamus, teks, sastra, dan sesekali diperbaharui media sehari-hari;
rekaman audio dan video berkualitas tinggi yang beranotasi (memiliki
catatan keterangan/penjelasan) memadai. Nilai persentase tertinggi
berikutnya berada pada level adil dengan jumlah persentase validitas
38,9 % atau dengan jumlah responden 7 orang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa mungkin ada tata bahasa yang memadai atau
jumlah tata bahasa, kamus, dan teks yang cukup, tetapi tidak ada
media sehari-hari; rekaman audio dan video mungkin ada dalam
berbagai kualitas atau tingkat anotasi (catatan keterangan/penjelasan).

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 67

PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan gabungan hasil pengolahan data pada Kabupaten
Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, didapatkan rata-rata
tingkat vitalitas bahasa Gayo per faktor penakar vitalitas bahasa
menurut Dwyer (2011) sebagai berikut: (1) faktor pemindahan bahasa
antargenerasi adalah 4 (rentan), (2) faktor jumlah penutur mutlak
adalah 4 (rentan), (3) faktor perbandingan penutur dalam total populasi
adalah 4 (rentan), (4) faktor tren wilayah bahasa yang ada adalah 4
(rentan), (5) faktor tanggapan terhadap wilayah dan media baru adalah
2 (terancam punah), (6) Faktor bahan untuk pendidikan bahasa dan
literasi (baca tulis) adalah 2 (terancam punah), (7) faktor sikap dan
kebijakan pemerintah dan lembaga bahasa, termasuk status dan
penggunaan resmi adalah 5 (aman), (8) faktor sikap anggota
masyarakat terhadap bahasa mereka sendiri adalah 4 (rentan), dan (9)
faktor jumlah dan kualitas dokumentasi adalah 4 (rentan).
Jika semua rata-rata tingkat vitalitas bahasa Gayo dari
sembilan faktor penakar vitalitas bahasa sesuai dengan rumusan
Dwyer (2011) di atas dijumlahkan, lalu dirata-ratakan, maka
didapatkan hasil perhitungan 3,55 (dibulatkan menjadi 4). Maka,
berdasarkan hasil rata-rata semua tingkat faktor penakar vitalitas
tersebut, dapat disimpulkan bahwa vitalitas bahasa Gayo berada pada
tingkatan 4 (rentan). Hasil perhitungan ini tak jauh berbeda dengan
hasil perhitungan pada data narasumber selaku data pembanding, yaitu
rata-rata 3,66 atau dibulatkan menjadi 4/rentan. Kesimpulan ini telah
menjawab pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, yaitu apa
status vitalitas bahasa Gayo.
Sesuai dengan temuan pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa
terdapat perbedaan antara temuan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh SIL. Penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat status vitalitas bahasa Gayo berada pada tingkat 4
(rentan), sementara penelitian yang dilakukan oleh SIL menunjukkan
bahwa tingkat status vitalitas bahasa Gayo berada pada tingkat 6b
(terancam punah). Akan tetapi, hal ini bisa saja terjadi mengingat
kemungkinan penggunaan pendekatan atau metodologi penelitian
yang berbeda dalam melakukan penelitian vitalitas bahasa Gayo ini.
68 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

5.2 Rekomendasi
Berdasarkan temuan dari penelitian ini maka dapatlah
dirumuskan beberapa rekomendasi berikut ini. (1) Bagi pemerintah,
diharapkan pemerintah daerah dapat mewujudkan kebijakan
pelestarian bahasa daerah dalam peraturan daerah. Selain itu,
diharapkan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kurikulum
atau muatan lokal bahasa Gayo, khususnya di pemerintahan
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. (2) Bagi
peneliti, dengan adanya perbedaan temuan antara penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, maka hal ini dapat menjadi pertimbangan atau
rujukan bagi penelitian berikutnya.

2019 Balai Bahasa Aceh


Menakar Vitalitas Bahasa Gayo 69

DAFTAR PUSTAKA

Alvi, Mohsin. 2016. A Manual for Selecting Sampling Techniques in


Research. MPRA Paper No. 70218. Online:
https://mpra.ub.ub.ini-muenchen.de/70218/

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2017. Prosedur


Operasional Standar Penelitian Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tengah. 2019. Kabupaten Aceh


Tengah dalam Angka. Aceh Tengah: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bener Meriah. 2019. Kabupaten


Bener Meriah dalam Angka. Bener Meriah: Badan Pusat
Statistik

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2018. Proyeksi Penduduk


Kabupaten/Kota Tahun 2015--2025 Provinsi Aceh. Banda
Aceh: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh

Brenzinger, M., Akira Y., Noriko A., Dimitri, K., Anahit, M., Arienne
D., Colette, G., Michael, K., Osahito, M., Osamu, S., Rieks,
S., and Ofelia, Z. 2003. Language vitality and Endangerment.
Paris: UNESCO Expert Meeting on Safeguarding Endangered
Languages.

Crystal, D. 2000. Language Death. Cambridge: Cambridge University


Press.

Dwyer, Arienne M. 2011. Tools and techniques for


endangered-language assessment and revitalization. In Vitality
and Viability of Minority Languages. October 23-24, 2009.
New York: Trace Foundation Lecture Series Proceedings.
Preprint. Online: http://www.trace.org/ events/events_lecture
_proceedings. html
70 Menakar Vitalitas Bahasa Gayo

Fishman, J.A. 1991. Reversing Language Shift: Theoretical and


Empirical Foundations of Assistance to Threatened
Language. Clevedon-England: Multilingual matters.

Fishman, J.A. (ed.) 2001. Can threatened languages be saved?


Reversing language shift, revisited: A 21st century
perspective. Clevedon, UK: Multilingual Matters Ltd.

Harimansyah, Ganjar. 2017. Pedoman Konservasi dan Revitalisasi


Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa.

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo

https://www.ethnologue.com/endangered-languages

Krauss, M. 1992. The World's Languages in Crisis. In: K. Hale et al.


(eds.), Endangered languages. Language 68(1): 4–10.
Lewis, P.M. 2005. Towards a Categorization of Endangerment of the
World’s Languages. SIL International. Pp. 25–35.

Lewis, P.M., and Simons, G.F. 2009. Assessing Endangerment:


Expanding Fishman's Gids. Revue Roumaine de Linguistique.
SIL International. Dallas. Pp1–30.

Mahsun. 2006. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo


Persada

Syahputera, Iskandar. 2017. “Language Vitality Assessments Tools


sebagai Instrumen Utama Perencanaan Bahasa”. Kekelpot,
Volume 13 halaman 31--36.

2019 Balai Bahasa Aceh

Anda mungkin juga menyukai