BAHASA ARAB
KAJIAN LINGUISTIK
BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum
Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
Kajian Linguistik Bahasa Arab/ Ahmad Royani dan Erta Mahyudin; Editor: Saepul Anwar,
MA . Ed. 1; Cet. 1.-Jakarta: PUBLICA INSTITUTE JAKARTA
hlm; 15,5 x 23 cm
ISBN: 978-623-6540-01-5
JUDUL:
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
copyrights © 2020
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved
Editor
Saepul Anwar
Layout
Tim Kreatif Publica Institute
Cover
Kisno Umbar
Publisher
Publica Institute Jakarta, Anggota IKAPI DKI Jakarta
Jl. Wismamas Pondok Cabe C1 No. 12, Cinangka Sawangan Kota Depok
Telp. 081554483065 | publicainstitute@gmail.com
Penulis
Bismillâhirrahmânirrahîm
Mengkaji linguistik selau menjadi penting karena kajian tersebut akan memberi
banyak manfaat dalam kehidupan, antara lain bagi linguis itu sendiri, guru bahasa,
penerjemah, penyusun kamus, penyusun buku pelajaran, dan masih banyak lainnya.
Betapapun teoritisnya suatu kajian, tentu ia tetap mempunyai manfaat praktis bagi
kehidupan manusia, seperti halnya kajian linguistik bahasa Arab ini.
Bagi seorang linguis, pengetahuan yang luas akan sangat membantunya
dalam menyelesaikan tugas penyelidikan bahasa. Teori linguistik tentu sangat
dibutuhkan untuk memperoleh pengertian yang selengkapnya tentang gejala
bahasa secara umum. Teori-teori linguistik sangat dibutuhkan menjadi landasan
teori untuk mempelajari selengkap mungkin tentang segala sesuatu yang
sistematis dalam pemakaian bahasa. Tidak mungkin seorang linguis dapat
memahami fenomena bahasa dengan baik tanpa mempunyai pengetahuan hakikat
dan struktur bahasa dengan baik.
Lebih lanjut, seorang guru bahasa akan dapat melatih keterampilan berbahasa
kalau dia telah menguasai fonologi; dia akan dapat melatih keterampilan menulis
kalau dia menguasai teori ejaan, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikologi.
Selain itu, sebagai guru bahasa dia bukan hanya harus melatih keterampilan
berbahasa, tetapi juga harus menerangkan kaidah-kaidah bahasa dengan benar,
sehingga pengajaran dapat berhasil dengan baik.
Bagi penerjemah, pengetahuan linguistik mutlak diperlukan
bukan hanya yang berkenaan dengan morfologi, sintaksis, dan semantik
saja, tetapi juga yang berkenaan dengan sosiolinguistik dan kontrastif
A. PENDAHULUAN
L
inguistik atau dalam bahsaa Arab disebut dengan ilm al-lughah
adalah ilmu tentang bahasa. Untuk memahaminya dalam bagian ini
dibicarakan masalah linguistik sebagai ilmu, sehingga kita dapat secara
cermat menandai konsep ilmu dan pendekatan ilmiah, serta secara mendalam
dapat memahami perbedaan pendekatan linguistik dan pendekatan lain kepada
bahasa yang lazim dalam dunia pengajaran di Indonesia dewasa ini.
Pada waktu ini penyelidikan tentang pelbagai aspek bahasa dilakukan orang
secara sangat intensif, sehingga linguistik berkembang sangat pesat, secara meluas
maupun secara mendalam. Perkembangan seperti itu dapat memukaukan, tetapi
dapat juga membingungkan para peminat dan para penuntut lingustik. Bagian
pertama ini ditulis agar kita dapat memperoleh gambaran yang tepat tentang
bidang-bidang linguistik hingga kalau mau terjun dalam bidang ini, kita tahu
harus mulai dari mana.
Linguistik dipelajari dengan pelbagai maksud dan tujuan. Untuk sebagian
orang ilmu itu dipelajari demi ilmu itu sendiri; untuk sebagian yang lain linguistik
dipelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan, filologi,
pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya, karena dengan mempelajari
linguistik lebih mudah orang memahami liku-liku bahasa yang merupakan materi
ilmu-ilmu itu. Bagian ini ditulis untuk mereka maupun untuk orang yang hanya
ingin tahu tentang linguistik.
1. فيدرسها من انحية وصفية, و يتخذها موضوعا له,هو العلم الذي يبحث يف اللغة
واترخيية ومقارنة
(hua al-ilmu al-ladzi yabhatsu fi al-lughah. wa yattakhidzuha maudu’an lahu
fayadrusuha min naahiyat wasfiyyah wa tarikhiyah wa muqaranah..).(Tawab, 1982:
7)
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk bahasa, baik secara
sinkronis, diakronis, maupun komparatif”.
2. ,العلم الذي يدرس اللغة اإلنسانية دراسة علمية تقوم على الوصف ومعاينة الوقائع
.بعيدا عن النزعة التعليمية واألحكام املعيارية
(Al-‘ilmu al-ladzi yadrusu al-lughah al-insaniyyah dirasatan ilmiyyatan taqumu ‘ala
al-washfi wa mu’aayanati al-waqa’i, ba’iidan ‘an al-naz’ah al-ta’limiyyah wa al-
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 7
LINGUISTIK: KAJIAN ILMIAH BAHASA
C. KEILMIAHAN LINGUISTIK
Seperti dikatakan di atas, linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Pada
bagian ini akan dijelaskan ciri-ciri linguistik sebagai ilmu, dan perbedaan dengan
pendekatan lain kepada bahasa.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, disiplin ilmiah pada umumnya mengalami
perkembangan sebagai berikut:
Pertama, tahap spekulasi. Misalnya, dulu orang mengira bahwa semua bahasa
di dunia diturunkan dari Bani Ibrani; dan karena Kitab Perjanjian Lama ditulis
dalam bahasa Ibrani maka orang mengira juga bahwa Adam dan Hawa memakai
bahasa Ibrani di Taman Firdaus. Suku Dayak Iban di Kalimantan mempunyai
legenda yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai
satu bahasa, tetapi karena mereka keracunan cendawan, mereka mulai berbicara
dalam pelbagai bahasa, sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke
segala penjuru dunia. Itu semua tentu saja hanyalah spekulasi yang pada zaman
ini sulit diterima.
Kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Dalam tahap ini para ahli mengumpulkan
dan menggolong-golongkan segala fakta secara teliti, tanpa memberikan teori
apapun. Tahap ini dialami misalnya oleh penelitian yang dijalankan sarjana-sarjana
Belanda terhadap bahasa-bahasa di Indonesia sebelum zaman kemerdekaan;
sekarang cara pendekatan semacam ini masih diperlukan karena banyak bahasa di
Indonesia belum diselidiki, tetapi pendekatan demikian belumlah dapat dikatakan
“ilmiah” benar-benar, karena ilmu yang matang bukan hanya merupakan
kumpulan fakta-fakta belaka; ilmu yang matang harus mengalami tahap tersebut
di bawah ini.
Ketiga, tahap perumusan teori. Dalam tahap ini suatu disiplin berusaha
memahami masalah-masalah dasar dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang masalah-masalah itu. Kemudian dalam disiplin itu dirumuskan hipotesa
deskriptif ini pada mulanya tidak begitu lengkap dan tidak begitu jelas, tetapi dalam
pekerjaan selanjutnya kerangka deskriptif ini terus-menerus disempurnakan.
Syarat kesistematisan dipenuhi pula dengan keharusan adanya pengujian
yang ketat terhadap hipotesa, perkiraan atau pandangan tentang bahasa. Pengujian
yang ketat terhadap hipotesa dilakukan dengan mengadakan kontrol terhadap
segala kemungkinan yang ada: semua kemungkinan itu harus dijelaskan dan saling
pengaruh semua kemungkinan itu harus diketahui.
Syarat yang ketiga, ialah syarat keobjektifan. Istilah objektif mempunyai
pelbagai makna:
1. sikap terbuka dalam analisa;
2. sikap kritis dengan “mencurigai” setiap hipotesa sampai dapat dibuktikan
secara memadai;
3. berhati-hati terhadap prasangka-prasangka;
4. berusaha sejauh mungkin memakai prosedur standar yang telah ditentukan.
Pengertian-pengertian itu juga dipergunakan dalam linguistik dan ilmu-ilmu
lain. Untuk memenuhi syarat keobjektifan diadakan penyelidikan terhadap data
dengan eksperimen yang terkontrol; hasilnya harus terbuka terhadap pengamatan
dan penilaian langsung, sehingga bila eksperimen itu diulangi, hasilnya dan
penilaiannya akan tetap sama.
Penyelidikan linguistik dewasa ini sudah berusaha untuk memenuhi
persyaratan tersebut di atas. Jadi linguistik sekarang ini bukan hanya
mengumpulkan fakta-fakta secara sistematis, seperti halnya dalam tahap
kedua tersebut di atas, melainkan menyusun teori tentang bahasa dan seluk-
beluknya. Teori itu tidak lain daripada penjelasan tentang data; teori itu
bukan hanya ringkasan atau penjelasan tentang data tertentu saja. Yang dituju
oleh pendekatan ilmiah ialah teori atau penjelasan yang dapat menjangkau
semua data, baik yang mula-mula diselidiki maupun data yang lain, bahkan
data apapun yang dapat dihasilkan dengan kerangka yang sama. Dalam
hubungan ini linguistik berusaha untuk menjelaskan data yang berupa ujaran
yang dipakai oleh bahasawan serta intuisi tentang bahasa yang mendasari
kemampuan bahasa orang (Crystal 1971).
Untuk dapat diterima suatu teori harus:
1. tuntas, artinya dapat mencakup semua fakta.
2. konsisten, artinya tidak mengandung pernyataan-pernyataan yang saling
bertentangan.
sosial budaya pemakainya. Oleh sebab itu pendekatan kepada bahasa dapat
dilakukan secara deskriptif (sinkronis), yaitu dengan mempelajari pelbagai
aspeknya pada suatu masa tertentu, atau secara historis (diakronis), yaitu dengan
mempelajari perkembangannya dari waktu ke waktu.
Seperti disebutkan dalam bagian pertama bahasa itu primer bunyi, dan
tulisan hanyalah turunan belaka dari bunyi. Dalam pendekatan kepada bahasa
yang tidak bersifat linguistis sering dikacaukan bunyi dan huruf.
pendekatan bahasa bersifat historis. Dapat juga kita tambahkan bahwa ada pula
beberapa aspek bahasa yang dapat didekati secara filosofis.
Sekalipun linguistik merupakan salah satu ilmu sosial atau kemanusiaan,
namun kedudukannya sebagai ilmu yang otonom tidak perlu diragukan lagi,
karena linguistik menyelidiki bahasa sebagai data utama. Tambahan pula linguistik
sudah mengembangkan seperangkatan prosedur yang sudah dianggap standar.
Di samping linguistik ada pula ilmu-ilmu lain yang berminat pada bahasa.
Ilmu-ilmu itu antara lain: antropologi, filsafat, ilmu kesusastraan, psikologi, dan
sosiologi. Berlainan dengan linguistik perhatian mereka kepada bahasa bukan
sebagai bahan yang utama, melainkan sebagai sesuatu yang bersifat tambahan.
1. Linguistik Teoritis
Linguistik teoritis dapat bersifat umum, dapat juga bersifat khusus.
Linguistik teoritis umum (sering juga disebut linguistik umum saja) berusaha
a. Fonologi
Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa
Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli
bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun
gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur
asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut.
Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya
berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima
dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan
akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk,
khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut
tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris,
sebagai bahasa internasional.
b. Morfologi
Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk
kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu
memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk
menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa
Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata
tertentu untuk menghasilkan kata yang benar.
Misalnya akhiran -en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk
membentuk kata kerja darken, namun akhiran -en tidak dapat direkatkan dengan
kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat
dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung
menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-
zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh
saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses
pembuatannya.
c. Sintaksis
Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu
kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-
undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu
kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu
(bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian
tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan
baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
d. Semantik
Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna
dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu
menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata
‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/
benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang
cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya
tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang
dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan
mana yang tidak sesuai.
2. Linguistik Interdisipiliner
Di samping bidang-bidang tersebut terdapat pula penyelidikan bahasa yang
bersifat interdisipliner, yaitu bidang penelitian bahasa yang bahannya maupun
pendekatannya mempergunakan dan dipergunakan oleh ilmu lain.
Di luar kedua bidang besar itu terdapat lagi sejarah linguistik, yakni cabang
ilmu yang menyelidiki perkembangan seluk-beluk ilmu linguistik itu sendiri
dari masa ke masa serta mempelajari pengaruh ilmu-ilmu lain dan pengaruh
pelbagai pranata masyarakat (seperti kepercayaan, adat istiadat, pendidikan, dan
sebagainya) terhadap linguistik sepanjang masa.
Linguistik teoritis adalah cabang linguistik yang memusatkan perhatian
pada teori umum dan metode-metode umum dalam penyelidikan bahasa.
Linguistik deskriptif juga disebut linguistik sinkronis, adalah bidang
linguistik yang menyelidiki sistem bahasa pada waktu tertentu saja. Misalnya,
bahasa Indonesia dewasa ini, bahasa Inggris yang dipakai oleh Shakespeare,
dan sebagainya, tanpa memperhatikan perkembangannya dari waktu ke waktu.
Cabang ini terbagi atas: 1) fonologi deskriptif, 2) morfologi deskriptif, 3) sintaksis
deskriptif, 4) leksikologi deskriptif
Fonologi meneliti ciri-ciri bunyi dan fungsi bunyi. Morfologi menyelidiki
kata, bagian-bagiannya dan kejadiannya. Sintaksis menyelidiki satuan yang
lebih besar dari kata, serta hubungan antara satuan-satuan itu. Morfologi dan
sintaksis lazim juga disebut tata bahasa atau gramatika. Leksikologi menyelidiki
perbendaharaan kata atau leksikon. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahasa
juga mempunyai aspek makna atau aspek semantis. Penyelidikan tentang aspek
ini, baik yang bersifat teoritis umum, maupun yang bersifat deskriptif dan yang
bersifat historis komparatif, disebut semantik.
Linguistik historis komparatif (diakronis) menyelidiki perkembangan
bahasa dari satu masa ke masa lain, serta menyelidiki perbandingan satu
bahasa dengan bahasa lain. Misalnya penyelidikan tentang perkembangan
bahasa Melayu Kuno yag tertulis pada prasasti-prasasti Sriwijaya sampai
ke bahasa Melayu Klasik hingga bahasa Indonesia sekarang ini. Contoh
lain: studi perbandingan bahasa-bahasa di Indonesia, karena para sarjana
memperkirakan bahwa bahasa-bahasa itu pada zaman dahulu merupakan satu
bahasa (disebut bahasa purba).
Linguistik historis komparatif terbagi pula atas: 1) fonologi historis
komparatif, 2) morfologi historis komparatif, 3) sintaksis historis komparatif, dan
4) leksikologi historis komparatif.
a. Fonetik
Fonetik ialah ilmu yang menyelidiki bunyi; ilmu interdisipliner linguistik
dengan fisika, anatomi dan psikologi. Dalam linguistik bidang ini dianggap
penting, karena menyangkut bunyi bahasa.
b. Stilistika
Ialah ilmu yang menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan
manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoritis linguistik; ilmu interdisipliner
dengan filsafat.
c. Psikolinguistik
Ialah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan perilaku dan akal
budi manusia; ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi.
d. Sosiolinguistik
Ialah ilmu yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat
pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. (Bidang ini juga
disebut linguistik antropologi).
e. Filologi
Ialah ilmu yang mempelajari bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah
suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
f. Semiotika
Ialah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda, misalnya
tanda-tanda lalu lintas, kode Morse, dan sebagainya.
g. Epigrafi
Ialah ilmu yang mempelajari tulisan kuno pada prasasti-prasasti.
3. Linguistik Terapan
a. Pengajaran Bahasa
Pengajaran bahasa mencakup metode-metode pengajaran bahasa, bahan
pelajaran bahasa, cara-cara mengajar bahasa.
b. Penerjemahan
Mencakup metode dan teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke
bahasa lain.
c. Leksikografi
Leksikografi mencakup metode dan teknik penyusunan kalimat.
Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus.
Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka
belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai
proses.
d. Fonetik terapan
Mencakup metode dan teknik pengucapan bunyi-bunyi dengan tepat,
misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk melatih pemain drama, dan
sebagainya.
e. Sosiolinguistik terapan
Mencakup pemanfaatan wawasan-wawasan sosiolinguistik untuk keperluan
yang praktis, seperti perencanaan bahasa, pembinaan bahasa, pemberantasan
buta huruf, dan sebagainya.
A. PENDAHULUAN
S
etiap kegiatan yang bersifat ilmiah tentu mempunyai objek. Begitu
pula dengan linguistik, yang mengambil bahasa sebagai objeknya.
Bahasa yang dimaksud adalah bahasa manusia.
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai pengertian bahasa dan kajiannya,
hakikat bahasa, sistem bahasa, dan klasifikasi bahasa dengan tujuan agar kita
dapat membedakan pemakaian kata bahasa sebagai kata yang lazim dipakai oleh
masyarakat umum dan sebagai istilah teknis yang mempunyai pengertian khusus
dalam linguistik
C. PENGERTIAN BAHASA
Dalam masyarakat kata bahasa sering dipergunakan dalam pelbagai konteks
dengan pelbagai macam makna. Ada orang yang berbicara tentang “bahasa
warna”, “bahasa bunga”, “bahasa diplomasi”, “bahasa militer”, dan sebagainya.
Di samping itu dalam kalangan terbatas, terutama dalam kalangan orang yang
membahas soal-soal bahasa, ada yang berbicara tentang “bahasa tulisan”, “bahasa
lisan”, “bahasa tutur”, dan sebagainya.
politis. Masalah lain adalah arti bahasa dalam pendidikan formal di sekolah
menengah bahwa” bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah tetapi
juga tidak benar sebab hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.
Oleh karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia,
dalam arti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena
”rumitnya” menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari
bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa
jumlah bahasa yang ada di dunia ini.
D. HAKIKAT BAHASA
Ibnu Jinni (392 H) telah mendefinisikan bahasa dengan pernyataannya:
Bahasa adalah bunyi-bunyi yang dipakai oleh setiap kaum untuk menyatakan
tujuannya. Definsi ini mengandung unsur-unsur pokok definisi bahasa dan sesuai
dengan banyak definsi modern tentang bahasa Ia menjelaskan karakteristik bunyi
bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah bunyi.
Dengan definisi tersebut, Jinni menghindari kesalahan umum yang
menganggap bahwa bahasa dalam substansinya merupakan fenomena tulis.
Juga, definisi Ibnu Jinni menjelaskan bahwa bahasa memiliki fungsi sosial yang
ekspresif dan memiliki kerangka sosial. Oleh karena itu, bahasa berbeda karena
perbedaan kelompok manusia. Dengan demikian definisi bahasa menurut Ibnu
Jinni menjelaskan karakteristik bahasa dari satu aspek dan fungsinya dari aspek
lain.
Terlebih dahulu definisi-definisi modern tentang bahasa menjelaskan bahwa
bahasa adalah sistem lambang. Ini berarti bahwa bahasa terdiri dari seperangkat
lambang yang membentuk sistem terpadu. Bahasa adalah sistem bahasa yang
paling kompleks. Isyarat lalu lintas adalah lambang cahaya, tetapi ia spesifik dan
sederhana. Isyarat cahaya yang keluar dari kapal-kapal, para panglima pasukan,
pandu, dan klub-klub olahraga merupakan lambang juga. Adapun teriakan-
teriakan yang dilepaskan oleh hewan dengan berbagai jenisnya, terutama burung-
burung, itu juga spesifik dan sederhana. Akan tetapi hanya manusia yang mampu
berinteraksi dengan bahasa yang berdasar pada sejumlah lambang yang spesifik,
tetapi ia membentuk sistem yang kompleks. Maka bunyi-bunyi yang keluar dari
alat-alat ucap pada manusia relatif terbatas. Oleh karena itu banyak bahasa yang
berkoleksi dalam banyak bunyi.
Kebanyakan bahasa manusia memanfaatkan sejumlah bunyi yang kurang
dari 40 bunyi. Akan tetapi bunyi-bunyi yang spsesifik ini menjadikan banyak
susunan sehingga membentuk ribuan kata dalam satu bahasa. Kata-kata ini
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 29
BAHASA SEBAGAI OBJEK KAJIAN LINGUISTIK
E. SISTEM BAHASA
Dalam bagian di atas telah dinyatakan bahwa bahasa itu sebuah sistem,
yang diartikan bahwa bahasa itu sekaligus sistematis dan juga sistemis. Dengan
yang terakhir ini dimaksudkan bahwa bahasa itu terdiri darii subsistem fonologi,
subsistem gramatika, dan subsistem leksikon. Dalam ketiga subsistem itulah
bertemu dunia bunyi dan dunia makna.
Bagannya tergambar sebagai berikut:
I. dunia bunyi
II. dunia makna
III dunia bahasa
Ilmu tentang bunyi pada umumnya disebut fonetik; bunyi bahasa diteliti
atau diuraikan dalam fonologi atau fonemik.
Ilmu atau sistem tentang makna disebut semantik. Fonologi, gramatika, dan
leksikon menyangkut segi makna dari bahasa, oleh sebab itu juga mempunyai aspek
semantis. Penelitian atau uraian tentang dunia makna yang tidak berhubungan
dengan bahasa merupakan bidang filsafat.
Subsistem fonologi mencakup segi-segi bunyi bahasa, baik yang
bersangkutan dengan ciri-cirinya (yang diteliti oleh fonetik), maupun yang
bersangkutan dengan fungsinya dalam komunikasi.
Subsistem gramatika atau tata bahasa dibagi atas morfologi dan sintaksis.
Subsistem morfologi mencakup kata, bagian-bagiannya dan kejadiannya.
Subsistem sintaksis mencakup satuan-satuan yang lebih besar dari kata serta
hubungan antara satuan-satuan itu.
Subsistem leksikon mencakup perbendaharaan kata suatu bahasa.
bahasa ter- hadapnya. Ini berarti bahwasanya dalam konstruksi bahasa atau dialek
tidak ada keharusan untuk mengklasifikasikannya seperti klasifikasi ini. Akan
tetapi bidang-bidang pemakaiannya itulah yang mengharuskan klasifikasi.
Sistem bahasa yang dipakai dalam bidang budaya, ilmu, dan sastra tinggi
adalah sistem bahasa yang perlu diklasifikasikan secara sosial ke dalam bahasa
baku (standar), sedangkan sistem bahasa yang pemakaiannya terbatas pada bidang-
bidang kehidupan sehari-hari adalah sistem bahasa yang perlu diklasifikasikan
secara sosial ke dalam dialek atau amiyah (lahjah). Diglosia ini tidak hanya ada
dalam kehidupan bahasa karena ada banyak tataran di antara ini dan itu. Dalam
tuturan orang-orang terpelajar kita dapati bahasa amiyah menyajikan banyak
unsur dalam fonologi, morfologi. dan sintaksis. Di samping itu, kita dapati dari
bahasa fusha sejumlah besar kata; yang paling menonjol adalah kata-kata yang
terbentuk pada tataran budaya dan menetap dalam bidang budaya dan ilmu.
Oleh karena itu, tidaklah tepat jika kita menggambarkan kehidupanbahasa hanya
sebagai diglosia, yaitu dialek lokal dan bahasa baku (standar) karena ada banyak
tataran bahasa.
Di masyarakat Eropa yang sudah maju tuturan orang-orang terpelajar
berlangsung dalam bahasa baku (standar), baik dalam fonologi, morfologi, maupun
leksikon meskipun merupakan bahasa yang lebih sederhana dalam sintaksisnya.
Setiap orang terpelajar berupaya menghindari warna lokal dalam dialeknya agar
dalam tuturannya ia menggunakan bahasa baku (standar). Sesungguhnya bidang-
bidang pemakaian bahasa baku (standar) di negara-negara Eropa lebih banyak
daripada di kebanyakan negara di dunia ketiga. Di negara-negara Eropa besar
kita dapati bahasa standar dalam tuturan orang-orang terpelajar, dalam sarana
informasi, perfilman, buku- buku kebudayaan, buku-buku keilmuan, perkantoran,
dan majlis-majlis perwakilan. Dan lebih jauh lagi kita dapati dalam pergaulan
sehari-hari di tempat-tempat perdagangan dan lembaga-lembaga umum.
Di beberapa daerah Afrika pergaulan sehari-hari berlangsung dalam dua
bahasa atau lebih, seperti dalam bahasa Husa dan bahasa Inggris di Negeria atau
dalam bahasa Walv dan bahasa Perancis di Sinegal. Di beberapa masyarakat
bahasa pergaulan sehari-harvi dipakai di dalam kelompok dan bahasa lainnya
dalam pergaulan sehari-hari di luar kelompok. Ini merupakan keadaan bahasa
yang paling minoritas di dunia. Penduduk Wahah Siwah di Mesir saling bergaul
dalam bahasa Siwah Barbar dan bahasa Arab. Demikian pula orang Nobia di
Selatan Mesir dan Utara Sudan serta Maharah di salah daerah Yaman Selatan. Di
sini para linguis berbicara tentang kedwibahasaan atau diglosia. Akan tetapi hanya
penamaan itu tidak cukup karena harus dibatasi bidang pemakaian setiap tataran
dari kedua tataran itu.
34 KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum & Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
1. Masyarakat Bahasa
Kata masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang (dalam
jumlah yang banyaknya relatif), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah
tempat tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama.
Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan
bahasa yang sama. Karena itu konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan
dapat menjadi sempit. Masyarakat bahasa bisa melewati batas propinsi, batas negara
bahkan batas benua. Masyarakat bahasa Baduy dan masyarakat bahasa Osing (di Jawa
Timur) tentu saja sangat sedikit dan sempit, sedangkan masyarakat bahasa Jawa dan
masyarakat bahasa Sunda tentu lebih luas. Masyarakat bahasa Arab dan masyarakat
bahasa Inggris tentu lebih luas lagi, bahkan bukan hanya melewati batas negara, tetapi
juga batas benua.
Akibat lain dari konsep “merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka
patokan linguistik umum mengenai bahasa menjadi longgar. Secara linguistik
bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah bahasa yang sama, karena kedua
bahasa tersebut banyak persamaannya. Namun orang Indonesia tidak merasa
berbahasa Malaysia, dan orang Malaysia tidak merasa berbahasa Indonesia. Jadi,
dalam kasus ini ada dua masyarakat bahasa, yaitu masyarakat bahasa Indonesia
dan masyarakat bahasa Malaysia.
Ada masalah lain yang timbul, yaitu bagaimana masyarakat yang bilingual
atau multilingual seperti keadaan di Indonesia. Orang Indonesia pada umumnya
bilingual yaitu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dan bahasa
daerah sebagai bahasa pertama. Tetapi ada juga yang multilingual, selain menguasai
bahasa daerahnya sendiri dan bahasa Indonesia juga menguasai bahasa daerah
lain atau bahasa asing. Karena itu banyak orang Indonesia menjadi anggota
masyarakat yang berbeda. Kadang ia menjadi masyarakat bahasa Indonesia,
kadang menjadi masyarakat bahasa daerah.
Bahasa Yunani
Ragam T Ragam R Arti
Ikos Spiti ‘rumah’
Idhor Nero ‘air’
Ala Ma ‘tetapi’
Bahasa Arab
Ragam T Ragam R Arti
Ma Eh ‘apa’
Anfun Manaxir ‘hidung’
Al ‘ana Dilwa’ti ‘sekarang’
Bahasa Indonesia
Ragam T Ragam R
Uang Duit
Tidak Enggak, kagak
Istri bini
3. Penggunaan Bahasa
Agar bahasa yang kita gunakan berterima, bahasa yang kita ucapkan tidak
hanya benar dalam segi kaidah gramatikalnya, tapi juga harus memperhatikan
segi-segi lain
Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan bahwa suatu
komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur
yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
1. Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu
terjadinya percakapan, seperti percakapan di kelas akan berbeda ketika di
luar kelas.
2. Paticipants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, misalnya
percakapan antara murid dan guru akan berbeda apabila percakapan yang
terjadi antar teman se kelas.
3. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan, misalnya seorang guru bahasa
Arab yang bermaksud menyampaikan materinya dengan menarik, tapi
murid tidak banyak yang memperhatikannya karena sudah merasa bosan.
4. Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan,
seperti dalam kalimat:
a. Dia berkata dalam hati, “Mudah-mudahan aku lulus.”
b. Dia berkata dalam hati. Mudah-mudahan dia lulus.
Kalimat yang pertama adalah bentuk percakapan, sedangkan kalimat yang
kedua adalah contoh isi percakapan.
5. Key, yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan,
misalnya pelajaran bahasa Arab dapat disampaikan dengan semangat atau
disampaikan dengan cara yang santai.
6. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara
lisan atau bukan,
7. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan,
8. Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang
digunakan.
4. Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka artinya yang para anggotanya dapat
menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain. Dan akan terjadi kontak
bahasa. Kasus-kasus yang terjadi karena adanya kontak bahasa misalnya
interferensi, integrasi, alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing).
Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang
sedang digunakan, sehingga adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang
digunakan itu. Alih kode yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa
ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa
lain) karena alasan tertentu. Campur kode pengertiannya sama dengan alih kode,
namun dalam campur kode tidak ada alasan yang mendasari.
H. KLASIFIKASI BAHASA
Menurut Greenberg suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan
nonarbiter,ekshaustik,dan unik.Yang dimaksud nonarbiter adalah bahwa kriteria
klasifikasi itu tidak boleh semaunya,hanya harus ada satu kriteria dan hasilnya
akan ekshaustik.Artinya,setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya.Bahasa
yang ada dapat masuk kedalam salah satu kelompok yang lain.
Didalam membuat praktek membuat klasifikasi ada tiga persyaratan yang
diajukan oleh Greenberg itu tidak dapat dilaksanakan,sebab banyak sekali ciri-
ciri bahasa yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi itu, antara lain:
pendekatan genetik, pendekatan tipologis, dan pendekatan sosiolinguistik
1. Klasifikasi Genetis
Klasifikasi ini disebut juga klasifikasi geneologis artinya suatu bahasa
berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Suatu bahasa proto (bahasa
tua, bahasa semula). Akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih.
Teori menurut A. Schlercher memberi gambaran seperti batang pohon yang
berbalik teori ini bernama teori “batang pohon” (1866).
Kemudian dilengkapi oleh S. Schmidt pada tahun 1872 dengan teori
gelombang, maksudnya adalah perkembangan atau perpecahan bahasa itu
dapat diumpamakan seperti gelobang yang disebabkan oleh sebuah batu yang
dijatuhkan ke tengah kolam.
Penyebaran bahasa itu terjadi karena penuturnya menyebar atau berpindah
tempat sebagai akibat adanya peperangan atau bencana alam. Sejauh ini hasil
klasifikasi banyak diterima orang secara umum bahwa bahasa-bahasa yang ada
didunia terbagi dalam sebelas rumpun besar antara lain:
• Rumpun Indo Eropa
• Rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik
• Rumpun Chari-Nil
• Rumpun Dravida
• Rumpun Austronesia
• Rumpun Kaukarus
• Rumpun Finno-Ugris
• Rumpun Paleo Asiatis atau hiperbolis
• Rumpun Ural-Altai
• Rumpun Sino-Tibet
• Rumpun Bahasa-bahasa Indian
2. Klasifikasi Tipologi
Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau pada sejumlah
bahasa. Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX
secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok:
• Kelompok pertama menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi.
Yang mula-mula mengusulkan klasifikasi morfologi adalah Fredrich Von
Schlegel.
• Menggunakan akar kata sebagai dasar klasifiaksi tokohnya adalah Franz
Bopp.
• Menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi dan tokohnya
adalah H. Steinthan.
3. Klasifikasi Areal
Klasifikasi ini bersifat tertutup dilakukan berdasarkan adanya hubungan
timbal balik antara bahasa yang satu dengan yang lain dalam suatu areal wilayah.
Artinya belum menerima unsur-unsur luar. Klasifikasi ini pernah dilakukan oleh
Wilhelm Schmidt dengan bukunya Diesprachfamilien Und Sprachenkreise Der Ende.
4. Klasifikasi Sosiolinguistik
Faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat berdasarkan status, fungsi,
dan penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi ini pernah
dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 dalam artikelnya “An Outline of Linguistic
Tipology for Dercribing Multilingualism”. Klasifikasi dilakukan berdasarkan empat ciri :
Historisitas : Berkenaan dengan sejarah pengembangan bahasa atau sejarah
pemakaian bahasa.
Standardisasi : Berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku
Vitalitas : Berkenanaan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang
menggunkannya dalam kegiatan sehari-hari secara aktif atau tidak
Homogenesitas : Berkenaan apakah leksikon dan tata bahasa itu diturunkan
sangat besar. Bahasa tulis dibuat dengan pemikiran dan pertimbangan sebab
peluang kesalahan sengat besar dan tidak dapat langsung diperbaiki dibanding
bahasa lisan.
Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari
gambar-gambar yang terdapat di gua-gua Altamira di Spanyol utara. Dalam
pembicaraan mengenai bahasa tulos dan tulisan ditemukan istilah huruf,
abjad, alfabet, aksara, graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah urutan
huruf0huruf dalam suatu aksara. Aksara adalah keseluruhan sisitem tulisan.
Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya,
sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan
fonem, suku kata atau morfem. Alograf adalah farian dari grafem.
Dalam kehidupan manusia aksara ternyata tidak hanya dipakai untuk
keperluan menulis dan membaca tapi juga telah berkembang menjadi suatu
karya seni yang disebut kaligrafi atau dapat diartikan sebagai seni menulis indah.
Ada pendapat umum mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang
melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau setiap huruf hanya
dipakai untuk melambangkan suatu fonem.
***
L
inguistik dalam definisi yang paling sederhana adalah kajian bahasa
secara ilmiah. Ini berarti bahwa kajian bahasa itu objektif, tidak
subjektif. Objektivitas yang dituntut ini membawa ke stabilnya banyak
fakta dan terbentuknya banyak metode serta penciptaan iklim ilmiah yang
memberikan derajat tinggi tentang kerja sama dan saling tukar pengalaman
kepada para linguis yang spesialis dalam berbagai bahasa.
Pada bab ini, kita akan mempelajari ruang lingkup linguistik modern dan
metode linguistik yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa dari sisi sejarah
perkembangannya, deskripsi bahasa, perbandingan antara satu bahasa dengan
bahasa yang lain baik yang serumpun maupun yang tidak serumpun.
jutaan kata, tetapi setiap bahasa memilih hanya ribuan kata dari kata-kata yang
memungkinkan secara teoretis.
Kata-kata ini tersusun sesuai dengan kaidah morfologi, seperti konstruksi,
prefiks, dan sufiks. Maka setiap kata ada ciri konstruksinya dan makna semantiknya.
Wazan « »فاعلdalam bahasa Arab dianggap salah satu bentuk morfologis, yaitu
menyatakan orang yang melakukan sesuatu. Prefiks seperti ) )امليمdalam bahasa
Arab mengandung beberapa fungsi. Misalnya, antara lain, membentuk ism fa›il
dari ghair tsulatsi, seperti: مكرمdan ism maf›ul, seperti: مكرم. Itu termasuk bentuk
ّ
kata. Sufiks dalam bahasa Arab itu banyak, antara lain, misalnya yang bertalian
dengan jama› salim, baik jama› mudzakkar salim yang diakhiri dengan ( ) ونpada
waktu rafa› dan ( ) ينpada waktu nashab dan jarr maupun jama› muannats salim yang
diakhiri dengan ( ) ات.
Demikianlah kita dapati bahwa sejumlah bunyi terbatas dapat membentuk
sekelompok besar susunan dengan mengubah posisi yang dibuat oleh setiap
satuan bunyi di dalam kelompok itu. Kemudian konstruksi, prefiks, dan sufiks itu
dimunculkan untuk memberikan kemungkinan pembentukan jutaan kata kepada
bunyi-bunyi ini.
Akan tetapi konstruksi bahasa tidak cukup hanya dengan adanya kata-
kata seperti yang telah dijelaskan. Perbedaan pokok antara konstruksi ضرب
موسى عيسىdan ضرب عيسى موسىtidak disebabkan oleh perbedaan kata-kata,
melainkan disebabkan oleh perbedaan urutan kata di dalam pola kalimat yang
sama. Bentuk fi’il madhi ( ) قرأmelebihi makna ini apabila berada dalam kalimat:
1. Linguistik Komparatif
Linguistik komparatif mengkaji sekelompok bahasa yang berasal dari satu
rumpun bahasa melalui studi komparatif. Linguistik komparatif merupakan
metode linguistik modern yang paling lama. Dengannya dimulailah kajian bahasa
pada masa kecemerlangannya pada abad 19.
Studi komparatif itu mengacu pada adanya klasifikasi yang jelas terhadap
bahasa-bahasa sampai rumpun-rumpun bahasa. Kekerabatan antar bahasa belum
dikenal secara ilmiah dan akurat sampai ditemukan bahasa Sansekerta di India.
Bahasa Sansekerta telah dibandingkan dengan bahasa Yunani dan bahasa Latin.
Dari komparasi ini terbukti adanya kekerabatan bahasa antarbahasa ini dan hal itu
merujuk ke asal yang lama dan musnah.
Sedikit demi sedikit kajian bahasa telah mencapai kemajuan. Maka
dibandingkanlah berbagai bahasa Eropa, bahasa Iran (Persia), dan bahasa India.
Dengan perbandingan-perbandingan ini, terbukti bahwa banyak bahasa ini
yang mengandung aspek-aspek kemiripan dalam bentuk dan leksikon. Dengan
demikian jelaslah rambu-rambu rumpun bahasa yang besar dan mencakup banyak
bahasa di India, Iran, dan Eropa. Para linguis mengistilahkan rumpun bahasa
dengan nama rumpun bahasa Indo-Eropa, sedangkan para linguis Jerman sendiri
menamakannya rumpun bahasa Indo-German. Juga, para linguis bahasa Semit
menerapkan metode komparatif sebagaimana yang berkembang dalam bidang
bahasa Indo-Eropa.
2. Linguistik Deskriptif
Linguistik deskriptif mengkaji satu bahasa atau satu dialek secara ilmiah
pada masa tertentu atau tempat tertentu. Ini berarti bahwa linguistik deskriptif
mengkaji tataran satu bahasa. Para linguis pada abad 19 dan awal abad 20 masih
mengkaji bahasa-bahasa melalui metode komparatif.
Studi komparatif adalah satu-satunya bentuk yang menggambarkan kajian
bahasa. Akan tetapi linguis, De Saussure menetapkan - melalui kajiannya tentang
teori bahasa - kemungkinan mengkaji satu bahasa dengan mengenali konstruksi
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya. Menurutnya kajian ini berkaitan
dengan tataran bahasa itu sendiri pada masa tertentu. Ini berarti bahwa kajian
deskriptif tidak boleh mencampurkan pase-pase waktu atau mencampurkan
berbagai tataran.
Setelah De Saussure, para linguis mulai mengembangkan metode-metode
penelitian konstruksi bahasa. Pada tahun 1950-an yang lalu perhatian para linguis
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 51
RUANG LINGKUP DAN METODE PENGKAJIAN BAHASA
3. Linguistik Historis
Linguistik historis mengkaji perkembangan sebuah bahasa lewat beberapa
masa atau dengan makna yang lebih akurat, ia mengkaji perubahan dalam sebuah
bahasa sepanjang masa. Ada para linguis yang menolak kata perkembangan dalam
rangka ini karena dianqqap mengandung indikasi peningkatan, yaitu perubahan
ke arah yang le-bih baik. Ini penilaian evaluatif. Itu tidak mungkin dalam bidang
perubahan bahasa. Maka tidak ada suatu bentuk yang lebih baik daripada bentuk
lain dan tidak ada suatu bunyi yang lebih utama daripada bunyi lain. Oleh karena
itu, kebanyakan linguis modern lebih mengutamakan deskripsi apa yang teriadi
itu sebagai perubahan. Dan ada perbedaan antara pendapat yang mengatakan
bahwa dialek merupakan akibat perubahan bahasa dan dialek merupakan akibat
perkembangan bahasa.
Kajian-kajian bahasa bandingan memiliki ciri historis, tetapi ia berusaha
menyusun tataran-tataran bahasa dan berbagai tataran yang berasal dari satu
rumpun dengan susunan yang dalam posisi pertama mementingkan bentuk dan
tataran-tataran bahasa yang musnah pada masa lalu. Dan dari tataran itu linguis
dapat mengenali bentuk asli atau bentuk yang paling klasik; dari bentuk itu dapat
diproduksi bentuk-bentuk lainnya. Oeh karena itu, kegiatan ini disebut kegiatan
historis bandingan.
Sebagian linguis menggambarkan bahwa linguistik historis bisa cukup
dengan tahap-tahap yang sedini mungkin dalam sejarah setiap bahasa, yaitu
tahap yang kondusif dan paling klasik serta relatif paling dekat ke bahasa klasik.
Akan tetapi kejelasan metodologis dalam linguistik memberikan kemungkinan
adanya kajian deskriptif tentang berbagai tataran bahasa lewat beberapa abad.
Juga hal itu memberikan kemungkinan agar kajian-kajian deskriptif yang banyak
ini terintegrasi untuk membuka jalan di depan kajian bahasa secara historis.
Dengan kata lain, kajian tentang sejarah bahasa dari teks yang paling klasik yang
terbukukan sampai sekarang.
Ada banyak masalah dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis. dan
semantik yang masuk dalam kerangka linguistik historis. Maka kajian perubahan
bunyi dalam bahasa Arab tergolong ke dalam kajian fonologi historis; kajian
bentuk-bentuk jamak dalam bahasa Arab dengan menelusuri distribusinya dan
persentase keumumannya dalam berbagai tataran bahasa lewat beberapa masa,
itu merupakan salah satu topik morfologi historis; kajian jumlah istifham (kalimat
tanya) dalam bahasa Arab lewat beberapa masa, itu termasuk kajian sintaksis
historis. Demikian pula, jumlah syarthiyah (kalimat kondisional/pengandaian) dan
jumlah istitsna (kalimat pengecualian) dalam bahasa Arab.
Kajian perubahan semantis dan penyiapan kamus-kamus yang berkaitan
dengannya termasuk bidang linguistik yang paling penting. Kamus historis itulah
yang merupakan kamus yang memberikan sejarah setiap kata dalam sebuah
bahasa. Permulaan setiap kata itu dicatat berdasarkan sejarahnya dari mulai
teks yang paling kuno yang ada sampai teks yang paling akhir untuk ditelusuri
semantiknya dan perubahannya. Kamus Oxford Historis bahasa Inggris dianggap
termasuk kamus historis bahasa. Kajian leksikal deskriptif yang disiapkan untuk
bahasa Arab bertujuan menjadi dasar-dasar dalam penyusunan kamus historis
bahasa Arab.
Ada banyak bidang kajian bahasa historis. Sejarah bahasa dengan segala
aspeknya yang utuh yang berfungsi untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang sejarah kehidupan bahasa. Kajian ini tidak terbatas pada perubahan
struktur bahasa dari aspek fonologi, aspek morfologi, aspek sintaksis, dan
aspek leksikon, melainkan juga mengkaji tataran-tataran pemakaian bahasa di
berbagai lingkungan dan perubahan yang demikian itu lewat segala zaman. Juga,
ia mengkaji persebaran bahasa dan masuknya bahasa ke daerah-daerah baru dan
mengkaji persebaran bahasa di daerah-daerah tertentu. Misalnya, bahasa Arab
selama beberapa abad ada di Andalusia dan Iran (Persia).
Di semenanjung benua India bahasa Arab pernah menjadi bahasa
kebudayaan. Kajian gerakan pengaraban dari satu aspek kemudian persebaran
bidang pemakaian bahasa Arab di sebagian daerah ini dianggap termasuk kajian
bahasa historis. Atas dasar itu, sejarah bahasa mengkaji perubahan dalam struktur
bahasa dan perubahan dalam tataran pemakaiannya.
4. Linguistik Kontrastif
Linguistik kontrastif merupakan cabang linguistik terbaru; ia lahir
setelah perang dunia kedua. Linguistik kontrastif berdasar pada gagasan yang
sederhana. Tidak syak lagi bahwa banyak orang yang mempelajari bahasa asing
atau mengajarkannya telah memahaminya. Maka kesulitan yang dihadapi oleh
pembelaiar bahasa asing yang pada mulanya berkaitan dengan perbedaan-
perbedaan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Istilah bahasa ibu atau bahasa
pertama digunakan pada bahasa tempat dibesarkannya seseorang atau bahasa
yang ia peroleh sejak kanak-kanak, baik di lingkungannya, dalam hubungan
keluarganya, maupun dalam hubungan sosial setempat. Sebaliknya, istilah bahasa
kedua menyatakan bahasa yang diperoleh manusia sesudah itu. Tentu, termasuk
dalam hal ini semua bahasa asing yang diperoleh manusia pada berbagai jenjang
pendidikan atau ketika bergaul langsung dengan para penutur asli.
Oleh karena itu, dalam kajian-kajian yang bertalian dengan pengajaran
bahasa, istilah bahasa kedua digunakan pada bahasa asing, sedangkan dalam
bidang pengajaran, istilah bahasa sasaran digunakan pada bahasa yang hendak
dipelajari. Yang demikian itu kebalikan dari bahasa sumber, yaitu bahasa ibu atau
bahasa pertama.
Berdasarkan perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa sasaran
muncullah kesulitan. Bunyi-bunyi yang tidak ada dalam bahasa sasaran dan tidak
ada dalam bahasa pertama, tentu akan menimbulkan kesulitan yang sebaiknya
diupayakan solusinya. Linguistik kontrastif merupakan cabang linguistik
terbaru Kita menghindari pemakaian kata muqaranah (komparasi) agar linguistik
kontrastif tidak bercampur dengan linguistik komparatif. Linguistik komparatif
membandingkan bahasa-bahasa yang berasal dari satu rumpun bahasa. Pada
mulanya ia mementingkan pemakaian yang paling klasik dalam bahasa-bahasa
ini untuk sampai pada bahasa yang menghasilkan semua bahasa. Oleh karena
itu, linguistik komparatif mempunyai tujuan historis yang berupaya mengungkap
aspek-aspek dari masa lalu yang jauh.
Adapun linguistik kontrastif tidak berurusan dengan perhatian historis;
kajiannya mempunyai tujuan aplikatif dalam pengajaran bahasa. Oleh karena itu,
kajian kontrastif itu mungkin ada di antara dua bahasa dari satu rumpun atau dua
rumpun yang berbeda dengan tujuan bukan untuk mengenali asal-usul bahasa
klasik, tetapi dengan tujuan mengenali perbedaan morfologis, pebedaan sintaktis,
dan perbedaan leksikal antara dua sistem bahasa. Misalnya, kajian kontrastif dapat
dilakukan antara bahasa Arab dan bahasa Tigerinia - bahasa Aritaria; keduanya
termasuk bahasa bahasa Semit. Juga, kajian kontrastif dapat dilakukan antara
bahasa Arab dan bahasa Urdu; keduanya termasuk dua rumpun bahasa yang
berbeda.
Kajian kontrastif tidak terbatas pada kajian perbedaan antara dua bahasa,
tetapi dapat juga antara dialek lokal dan bahasa fusha yang dicari. Kesulitan yang
terjadi, yang dihadapi oleh para penutur dialek itu dalam upaya pemerolehan
bahasa fusha - pada mulanya - diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan antara dialek
ini dan bahasa itu. Maka kesulitan yang dihadapi oleh para penutur Mesir dalam
belajar bunyi-bunyi bainal asnaniyyah (antardental), yaitu: ( (الذال,))الثاء, dan ()الظاء
dalam bahasa fusha, kesulitan yang dihadapi oleh para penutur Irak dan Jazirah
Arab dalam membedakan bunyi antara ( )الضادdan ()الظاء, dan kesulitan yang
dihadapi oleh sejumlah orang Palestina dalam membedakan bunyi antara ()القاف
dan ()الكافitu disebabkan oleh perbedaan-perbedaan antara dialek setempat dan
bahasa fusha. Kajian kontrastif tidak terbatas pada bidang fonologi, melainkan
juga kajian kontrastif ini menyangkut morfologi, sintaksis, dan semantik. Struktur
bahasa itu berbeda antara bahasa ibu dan bahasa sasaran. Struktur yang berbeda
di antara kedua bahasa itu dan kata-kata yang berbeda semantiknya antara kedua
tataran itu dapat dikenali melalui kajian kontrastif. Lalu pemecahan kesulitan ini
adalah dengan memperhatikan keduanya dalam program pengajaran bahasa.
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 55
RUANG LINGKUP DAN METODE PENGKAJIAN BAHASA
A. PENDAHULUAN
D
alam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai
‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews
1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003),
linguistik didefinisikan sebagai: “The scientific study of language and its
structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches
of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational
linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliran-
aliran linguistik yang pada akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa. Masing-
masing aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bahasa
sehingga melahirkan berbagai tata bahasa.
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai sejarah perkembangan linguistik
atau kajian bahasa mulai zaman Yunani sampai zaman modern.
sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup
segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan,
geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip
realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya
terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan
Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak
mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan
Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis;
pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti
oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah
keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut
pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak
berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya
ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan
kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada
masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis
kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.
Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria
yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang
menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang
disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka
sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari
keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani.
Apa yang dewasa ini disebut “tata bahasa tradisional” atau “ tata bahasa Yunani”
, penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.
Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM)
merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara
sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan
preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di
samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani
menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.
Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata
bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan
hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa
Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa
lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku
tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.
Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia
pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain
adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana
untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang
tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum
zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M),
tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi
sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap
dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan
menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang
pemakaian “bahasa yang baik” , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian
“bahasa yang baik” ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-
unsur yang dapat “merusak” bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan
sebagainya.
Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa
lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa
Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab
menyerap tata bahasa Siria.
Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu
diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad
4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang
fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan
dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani,
dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan
sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di
Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-
bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan
bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris,
Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.
3. Linguistik Abad 20
Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa
Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika
(bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa
Papua dan bahasa banyak negara di Asia).
Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa
proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara
lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak
linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam
strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation).
Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam
membentuk sistem tersebut.
Beberapa pokok pemikiran Saussure:
a. Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan
sarana yang mewakili ujaran.
b. Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa
tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana
orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan
bagaimana seseorang seharusnya berbicara.
c. Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad
19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada
kurun waktu tertentu.
d. Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant
(penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak
didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini
menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya
tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini
dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa
melalui teknik drill.
Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang
bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis,
tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield
dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti,
karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut
strukturalis.
Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama
lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis
tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum
Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di
masa setelah itu.
Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan
bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan
bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori
oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem
unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut
pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen
lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.
Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis
ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur
morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan
terhadap analisis fonologis.
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah
Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui
bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam
perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan
dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut
standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung
makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada
tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada
tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and
binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
A. PENDAHULUAN
D
alam linguistik dikenal beberapa tokoh yang besar sumbangannya
dalam mengembangkan linguistik sebagai ilmu. Sumbangan
mereka berupa pikiran-pikiran yang diterbitkan dalam bentuk
tulisan, baik berupa makalah maupun buku. Dari pikiran-pikiran merekalah
kemudian timbul aliran-aliran atau mazhab-mazhab linguistik yang kita
kenal dewasa ini.
Tidak semua tokoh dan aliran kita bicarakan dalam bab ini. Ini tidak berarti
bahwa tokoh (dan aliran) yang tidak dibicarakan kurang atau tidak penting.
B. ALIRAN LINGUISTIK
1. Aliran Praha
Aliran ini terbentuk pada tahun 1926 atas prakasa salah seorang tokohnya,
Vilem Mathesius (1882-1945). Pokok-pokok aliran ini, secara umum, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Dibandingkan dengan telaah diakronis, telaah bahasa secara sinkronis
memungkinkan kita menyelidiki bahasa secara lebih lengkap dan lebih
terkendali. Pendekatan sinkronis adalah cara yang terbaik untuk mengetahui
sifat dan hakikat suatu bahasa.
b. Disamping untuk tujuan diakronis, metode perbandingan dapat juga
dipakai untuk tujuan sinkronis. Metode perbandingan dapat dipakai untuk
memperoleh kaidah structural sistem-sistem bahasa. Sistem-sistem bahasa
t d n
k g
Dalam bahasa Indonesia misalnya, beroposisi satu sama lain. Oposisi yang
ada di antara fonem-fonem tersebut adalah hambat tak bersuara p t k beroposisi
dengan hambat bersuara b d g; keenam hambat tersebut beroposisi dengan
sengau m n n; labial p b m beroposisi dengan dental t d n dan velar k g n. Fonem-
fonem tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
oral
tb. b. sengau
Labial p b m
Dental d n
Velar k g ή
(tb. = tak bersuara; b. = bersuara)
Dalam beberapa hal tertentu, subyek gramatikal seperti itu tidak selamanya
berada di depan obyek. Dalam kalimat, (3) This argument I can’t follow, subjek
gramatikalnya I, sedangkan this argument adalah obyek gramatikal. Tetapi, this
argument, menurut pandangan ini adalah subyek psikologis atau tema; sedangkan
I (can’t follow) adalah obyek psikologis atau rema. Dalam kalimat: (4) I Can’t
follow this argument, tempat subjek gramatikal dan tema sama, demikian pula
tempat obyek gramatikal dan rema. (Mirip dengan konsep ini adalah pembagian
kalimat menjadi topik dan commen).
2. Aliran Strukturalisme
Seperti terlihat dari namanya, strukturalisme menunjuk pada suatu paham
dalam linguistik yang berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa berdasarkan
strukturnya. Dilihat dari segi itu, sebenarnya istilah ‘strukturalisme’ dapat
dikenakan pada semua aliran linguistic karena tidak ada aliran linguistic yang
tidak berusaha menjelaskan struktur bahasa. Tetapi yang dimaksud dengan
‘strukturalisme’ di sini hanya terbatas pada aliran linguistik di Amerika
Serikat yang dikembangkan oleh Leonard Bloomfield (1877-1949) dan para
pengikutnya.
Aliran ini mulai berkembang pada permulaan tahun 1930-an sampai akhir
tahun 1950-an. Ada beberapa hal yang ikut membantu perkembangan aliran ini.
Pertama, pada masa itu para linguis di Amerika Serikat dihadapkan pada masalah
yang sama: banyak bahasa Indian yang belum diperikan. Mereka merasa terpanggil
untuk memerikan bahasa-bahasa tersebut dengan cara baru, yaitu pemerian secara
sinkronis. Cara lain, yakni pemerian secara historis, kurang bermanfaat karena sejarah
bahasa-bahasa itu sedikit sekali diketahui.
Kedua, sikap Bloomfield yang menolak sifat mentalistis serasi dengan iklim
filsafat yang pada masa itu berkembang di Amerika Serikat yaitu behaviorism.
Tidaklah mengherankan kalau dalam memerikan bahasa, aliran strukturalisme
sama sekali menjauhi ukuran-ukuran yang bersifat spekulatif dan mentalistis.
Pernyataan-pernyataan ilmiah haruslah didasarkan pada fakta-fakta obyektif,
dapat dicocokkan dengan kenyataan-kenyataan yang bisa diamati. Juga tidaklah
mengherankan kalau pada perkembangannya kemudian, masalah ‘makna’ atau
’arti’ dalam bahasa, yang memang sukar diamati itu, pada batas tertentu kurang
mendapat perhatian.
Ketiga, diantara para linguis ada hubungan yang baik. Hal ini disebabkan
oleh adanya ikatan diantara mereka, yaitu The Linguistic Society of America, yang
menerbitkan majalah Language.
b. Tata bahasa adalah seperangkat kalimat. Setiap kalimat terdiri dari sejumlah
unsur dasar dan mempunyai struktur tertentu. Tiap kalimat dapat diwujudkan
berkali-kali, secara teoritis tanpa batas.
c. Bahasa mengandung struktur lahiriah (surface structure) dan struktur
batiniah (deep structure). Struktur batiniah kalimat tidak selalu tercermin
pada struktur lahiriahnya.
d. Tata kalimat terdiri dari beberapa komponen:
1) Dasar (base) yang mengandung dua komponen:
a) seperangkat kategori seperti S,NP, VP, dan seterusnya;
b) komponen leksikal, terdiri dari entri leksikal, masing-masing
merupakan sistem ciri seperti ‘Human’, ‘Animate’, ‘Abstract’, dan
seterusnya.
2) Komponen transformasi yang mengatur pengubahan suatu struktur
menjadi struktur yang lain;
3) Komponen semantik yang menentukan makna struktur batiniah kalimat.
Disamping komponen sintaksis dan komponen semantis, ada lagi
komponen fonologi yang mengandung kaidah-kaidah fonologis.
(1) digabung dengan kalimat (2), kita tidak dapat menggabungkannya dengan cara
menggabung kedua subyeknya, yaitu John dan a hammer, menjadi:
4) John and a hammer broke the window.
Kalimat (4) tidak dapat diterima dalam bahasa Inggris.
Perhatikan juga contoh berikut:
5) John opened the door.
6) The door opened.
7) The key opened the door.
Dalam ketiga kalimat tersebut, John, the door, dan the key, masing-masing
adalah subyek dan kata kerjanya sama, yaitu opened. Tetapi dari ketiga kalimat
tersebut kita dapat menyatakan bahwa John adalah ‘yang melakukan perbuatan
membuka pintu’, the door adalah ‘yang dibuka’, dan the key adalah ‘alat yang
dipakai untuk membuka pintu’. Semua itu menunjukkan bahwa, dalam hubungan
dengan kata kerjanya, posisi ketiga subyek tersebut berbeda dengan peran
semantisnya. Tetapi perbedaan itu tidak nampak dalam struktur lahiriah ketiga
kalimat tersebut. Fillmore mengusulkan agar struktur batiniah kalimat-kalimat itu
dijelaskan melalui kasus: John adalah agentif, the door adalah obyektif, dan the
key adalah instrumental. Disamping ketiga kasus tersebut, ada tiga kasus lain yang
diusulkan Fillmore, masing-masing adalah datif, faktitif, dan lokatif.
Berikut adalah keenam kasus yang diusulkan Fillmore beserta semantisnya
masing-masing:
a. Agentif, ‘benda bernyawa yang dianggap sebagai pelaku perbuatan’,
b. Instrumental, ‘benda tak bernyawa yang secara kausal terlibat dalam
perbuatan’,
c. Datif, ‘makhluk bernyawa yang terkena keadaan atau perbuatan’,
d. Faktitif, ‘benda/makhluk hasil perbuatan atau keadaan’,
e. Lokatif, ‘kasus yang menunjukkan tempat keadaan atau perbuatan’,
f. Obyektif, ‘kasus yang secara semantis paling netral’, perannya sangat
bergantung pada kata kerjanya.
Banyak tanggapan terhadap teori Fillmore tersebut dan teori itu sendiri
masih terus berkembang.
timbul dalam pikiran kita. Citra bunyi inilah yang disebut dengan nama signifiant.
Yang dimaksud dengan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada
dalam pikiran kita. Kedua signifiant dan signifie berhubungan erat, tidak dapat
dipisahkan satu dari yang lain. Keduanya merupakan suatu kesatuan psikologis
yang berdwimuka dan dapat digambarkan sebagai berikut;
Apabila kita mencoba mendapatkan arti atau makna kata Jawa wit atau kata
lain yang menunjuk pada pengertian ‘pohon’, maka hanya asosiasi atau rambatan
pikiran yang ditimbulkan oleh kata itu yang bagi kita sesuai dengan kenyataan.
2. Louis Hjelmslev
Nama Louis Hjelmslev menjadi sangat terkenal dalam linguistik karena usahanya
untuk membuat ilmu bahasa atau menurut istilahnya, glosematik-glossematics, berasal
dari kata Yunani glossa, ‘bahasa’ menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang
memerikan struktur khas bahasa, dan yang menganggap bahasa tidak sebagai
bagian dari gejala psikologis, gejala social, atau gejala non-bahasa lainnya.
Teori bahasa haruslah sembarang saja (arbitrary), artinya harus
merupakan suatu system deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai
secara tersendiri untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
timbul dari premis-premisnya. Suatu teori harus bebas dari pengalaman apa
pun, tetapi teori itu harus tepat (appropriate), yakni harus memenuhi syarat
untuk diterapkan pada data empiris tertentu, yaitu bahasa. Agar dapat dipakai
secara empiris teori bahasa haruslah taat asas, tuntas, dan sederhana.
Mengikuti pendapat Saussure, Hjelmslev menganggap bahasa mengandung
dua segi (planes), segi ekspresi (signifiant) dan segi isi (signifie). Masing-masing segi
mengandung forma (form) dan substansi (substance) hingga kita memperoleh:
(1) forma ekspresi. (2) substansi ekspresi. (3) forma isi. (4) substansi isi.
Pembedaan forma dari substansi berlaku bagi semua hal yang ditelaah
secara ilmiah, sedangkan pembedaan ekspresi dari isi hanya berlaku bagi telaah
bahasa saja.
Hjelmslev memandang bahasa sebagai sistem hubungan (relations). Seperti
juga halnya dengan Saussure, Hjelmslev mengakui adanya hubungan sintagmatik
dan hubungan asosiatif (yang disebutnya sebagai hubungan paradigmatik).
4. M.A.K. Halliday
Teori Firth mengenai bahasa, terutama yang menyangkut segi
kemasyarakatan-nya, dikembangkan lebih lanjut oleh Halliday. Teori Halliday
dikenal dengan nama Neo-Firthian linguistics atau scale and category linguistics,
berdasarkan karangannya yang berjudul “Categories of the Theory of Grammar”.
Akhir-akhir ini ada nama baru untuk teori yang dikembangkan oleh Halliday
tersebut. Nama yang dimaksud adalah systemic linguistics.
Beberapa pokok pandangan SL (Systemic Linguistics) dapat dikemukakan
dalam ringkasan berikut.
a. SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa. Yang
menjadi minat SL antara lain adalah fungsi kemasyarakatan bahasa dan
bagaimana fungsi kemasyarakatan itu terlaksana dalam bahasa.
b. SL memandang bahasa sebagai bentuk ‘pelaksana’. SL mengakui pentingnya
pembedaan langue dari parole (lihat nomor 9.2.). Parole adalah perilaku
kebahasaan yang sebenarnya, sedangkan langue adalah jajaran pilihan yang
dapat dipilih oleh seorang penutur bahasa.
c. SL lebih mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-
variasinya. SL tidak atau kurang tertarik pada semestaan bahasa.
d. SL mengenal adanya gradasi atau cline dalam bahasa. Gradasi atau cline
sebenarnya adalah kontinum. Batas butir-butir bahasa sering tidak jelas.
Misalnya saja tentang kegramatikalan suatu kalimat: skala kegramatikalan
tidaklah semata-mata terbagi atas ‘gramatikal’ dan ‘tidak gramatikal’ saja
(seperti terlihat dari A di bawah), tetapi lebih rumit sifatnya (seperti terlihat
pada B).
RANGKUMAN
Dalam linguistik dikenal beberapa tokoh yang besar sumbangannya dalam
mengembangkan linguistic sebagai ilmu. Sumbangan mereka berupa pikiran-
pikiran yang diterbitkan dalam bentuk tulisan, baik berupa makalah maupun
buku. Dari pikiran-pikiran merekalah kemudian timbul aliran-aliran atau mazhab-
mazhab linguistik yang kita kenal dewasa ini.
Pada abad 20 muncul tokoh-tokoh dan aliran linguistik modern. Mulai dari
F.de Saussure yang sumbangan pemikirannya dalam linguistik ada empat yaitu (1)
telaah diakronis dan sinkronis; (2) langue dan parole; (3) signifiant dan signifie;
(4) sintagmatik dan paradigmatik. Aliran praha dengan tokohnya Trubetzkoy
dan Mathesius. Aliran Glosematik dengan tokohnya Louis Hjelmslev. Aliran
Firth dengan pemikirannya berupa fonologi prosodi. M.A.K. Halliday yang
mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, terutama yang menyangkut segi
kemasyarakatannya. Strukturalisme dengan tokohnya Leonard Bloomfield. Tata
bahasa Transformasi dengan tokohnya Noam Chomsky dan tata bahasa kasus
dengan tokohnya Charles J. Fillmore.
SOAL LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, silakan
Anda mengerjakan latihan berikut ini !
Jawablah dengan benar soal-soal berikut !
1. Sebutkan tokoh-tokoh linguistik abad 20!
2. Sebutkan ide-ide tokoh linguistik abad 20!
3. Sebutkan aliran-aliran linguistik abad 20!
4. Sebutkan ciri-ciri aliran linguistik abad 20!
A. PENDAHULUAN
F
onologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis dan
membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Fonologi terbentuk
dari kata fon = bunyi dan logi = ilmu.
Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi
dibedakan menjadi:
1. Fonetik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak.
2. Fonemik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
dengan memperhatikan fungsi bunyi tesebut sebagai pembeda.
B. FONETIK
Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah
berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat
abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari
dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam
bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they
dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik,
orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.
Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik,
departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya
pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat,
seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang
2. Aliran udara
Sebagaimana kita ketahui, aliran udara adalah dasar segala macam bunyi.
Aliran udara dihasilkan oleh suatu mekanisme aliran udara. Ada tiga macam
mekanisme aliran udara: mekanisme aliran udara paru-paru, mekanisme aliran
udara glottal, dan mekanisme aliran udara langit-langit lunak. Hanya mekanisme
aliran udara paru-paru yang akan dibicarakan di sini, karena dengan mekanisme
inilah hampir semua bunyi bahasa dihasilkan.
Mekanisme aliran udara paru-paru terdiri dari paru-paru dan otot-otot
pernafasan. Otot-otot itu menggerakkan paru-paru yang merupakan pemangkal
atau inisiator sehingga udara dikeluarkan atau dimasukkan.
Aliran udara ke luar (egresi) biasa digunakan dalam berbicara atau bernyanyi.
Aliran udara ke dalam (ingresif) pada umumnya tidak dipakai untuk menghasilkan
bunyi bahasa. Aliran udara jenis ini biasanya menyertai peristiwa nonlinguistic
seperti menguap atau mendengkur.
Aliran udara paru-paru (atau pulmonik) yang keluar masuk paru-paru harus
melewati batang tenggorokan (trachea) yang pada bagian atasnya terdapat pangkal
tenggorokan (atau larings) atau kotak suara. Kotak suara ini memainkan peranan
penting dalam menghasilkan bunyi ujaran, karena di sini terdapat pita-pita suara,
memanjang dari depan ke belakang di bagian atas pangkal tenggorokan.
Celah di antara pita-pita suara yang merupakan pintu dari batang tenggorokan
ke tenggorokan disebut glotis. Karena pita-pita suara dapat mengubah-ubah
posisinya dengan merapatkan, mendekatkan, ataupun menjauhkan satu sama
lain, keadaan glotis pun ikut berubah-ubah. Keadaan glotis itu merupakan salah
satu cirri yang ikut menentukan macam bunyi yang terjadi. Tiga macam keadaan
glotis perlu kita ketahui.
Jika pita-pita suara berjauhan, sehingga glotis menjadi terbuka cukup lebar,
udara bisa keluar dengan bebas. Keadaan ini terjadi bila kita bernafas atau bila
kita sedang mengucapkan bunyi tak bersuara seperti s, f, p, t, dan k.
Jika pita-pita suara berdekatan, sehingga glotis menjadi sempit, udara yang
hendak keluar menjadi agak terhambat. Akibatnya, udara yang terpaksa melewati
celah yang sempit itu menggetarkan pita-pita suara. Getaran ini menimbulkan
bunyi yang disebut suara. Karena itu, bunyi yang dihasilkan dengan keadaan
glotis menyempit seperti itu, misalnya o, i, z, m, dan g, disebut bunyi bersuara.
Getaran suara dapat kita rasakan bila kita memegang bagian luar tenggorokan
bagian depan atau menutup telinga pada waktu kita mengucapkan bunyi suara.
Jika pita-pita suara merapat dengan kekuatan yang cukup untuk mencegah
96 KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum & Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
terbukanya pita-pita itu, dengan kata lain glotis menjadi tertutup sama sekali,
aliran udara sama sekali terhambat dan paru-paru tidak mempunyai hubungan
dengan udara itu. Membuat penutupan seperti ini memang fungsi yang asli dari
pita-pita suara, misalnya pada waktu kita batuk atau menahan beban yang berat.
Penutupan ini juga menghasilkan bunyi bahasa yang disebut hambat glotal atau
hamzah.
Aliran udara dari paru-paru mempunyai dua jalan keluar. Percabangan
kedua arah terdapat dalam rongga tekak di atas pangkal tenggorokan, satu arah
menuju udara luar melalui hidung, arah yang lain menuju udara luar melalui mulut.
Kedua jalan itu tentu saja dapat digunakan sebagai jalan masuk udara ingresif.
Jalan melalui hidung dapat dibuka atau ditutup oleh suatu klep yang berada
pada persimpangan jalan keluar.
Dalam rongga mulut bagian atas terdapat langit-langit keras dan langit-
plangit lunak; yang disebut pertama berada di belakang gigi depan atas dan yang
disebut belakangan terletak di belakang langit-langit keras sampai ke anak tekak
yang juga lunak. Langit-langit keras tak dapat bergerak, langit-langit lunak dapat
digerakkan ke atas dank e bawah oleh otot-otot yang ada padanya.
Langit-langit lunak (atau velum) merupakan bagian yang menguasai jalan
udara melalui hidung. Bila langit-langit lunak bergerak ke bawah maka jalan udara
ke hidung terbuka, tetapi bila langit-langit lunak bergerak ke atas dan merapat
pada dinding belakang rongga tekak (kerongkongan) atau farings) maka jalan
udara ke hidung tertutup.
Bila langit-langit lunak naik, maka satu-satunya jalan keluar aliran udara
ialah melalui mulut; sedangkan bila turun, udara dapat keluar melalui kedua
jalan, yaitu melalui mulut dan melalui hidung. Tiap bunyi yang dihasilkan tanpa
penutupan langit-langit lunak disebut bunyi sengau atau nasal, sedangkan tiap
bunyi yang dihasilkan dengan penutupan langit-langit lunak disebut bunyi mulut
atau oral.
Analisis suku kata menghasilkan segmen (segmen) yang terdiri dari dua
kelas, yaitu vokal dan konsonan. Segmen vokal ditandai ditandai oleh tidak
adanya hambatan yang berarti terhadap udara yang keluar. Segmen inilah yang
biasanya menjadi puncak dari suku kata yang mengandung segmen itu. Sebagai
puncak suku kata, vokal merupakan segmen yang paling nyaring. Sebaliknya,
jika sebuah segmen ditandai oleh hambatan sempurna terhadap udara atau
hambatan yang menyebabkan gangguan lokal terhadap udara, segmen itu adalah
konsonan. Konsonan pada umumnya tidak merupakan puncak suku kata, karena
kenyaringannya yang rendah.
1. Konsonan
Pada pembentukan konsonan aliran udara menemui berbagai hambatan atau
penyempitan. Sifat dan tempat hambatan atau penyempitan inilah yang banyak
memberikan cirri kepada konsonan yang terjadi. Penutupan atau penyempitan
dapat terjadi di mana saja menurut kemampuan alat-alat ucap kita.
Untuk memerikan suatu konsonan kita harus memperhatikan ukuran-
ukuran berikut.
Pertama, bagaimana posisi glotis. Jika glotis dalam keadaan terbuka maka
konsonan itu konsonan tak bersuara; sedangkan jika glotis menyempit dan pita
suara bergetar, maka konsonan itu konsonan bersuara.
Kedua, artikulator mana yang aktif menghalangi udara. Artikulator aktif ialah
alat ucap yang secara aktif bergerak menghalangi perjalanan udara terutama bibir
bawah dan lidah. Karena lidah dapat melakukan penghalangan yang bermacam-
macam dengan bagian lidah yang berbeda-beda, lidah dibagi menjadi beberapa
bagian. Banyaknya bagian tergantung kepada keperluan ketelitian pemerian. Di
sini kita akan membagi lidah menjadi ujung lidah daun lidah (yang berada di
belakang ujung lidah bertentangan dengan gusi atas depan jika sedang istirahat),
tengah lidah (yang berada di bawah langit-langit keras), dan punggung lidah atau
belakang lidah (yang berada di bawah langit-langit lunak).
Konsonan yang menggunakan bibir bawah sebagai artikulator aktif disebut
konsonan labial, misalnya p, b, dan m. konsonan yang berartikulator ujung lidah,
misalnya q, disebut konsonan apikal. Yang berartikulator daun lidah, misalnya c
dan j, disebut konsonan laminal; sedangkan yang berartikulator punggung lidah,
seperti g dan k, disebut konsonan dorsal.
Ketiga, bagian mana yang menjadi artikulator pasif. Artikulator pasif adalah
alat ucap –yang pada umumnya tidak bergerak– yang disentuh atau didekati
artikulator aktif. Artikulator pasif, yang disebut juga titik artikulasi atau daerah
artikulasi, terdiri dari bibir atas, gigi atas, gusi atas, langit-langit keras, langit-langit
lunak, dan dinding belakang kerongkongan. Pembagian artikulator pasif ini juga
dilakukan menurut keperluan ketelitian pemerian.
Konsonan yang memakai artikulator pasif bibir atas disebut konsonan
labial, misalnya b dan m; yang berartikulator pasif gigi atas disebut konsonan
dental, misalnya q, yang menggunakan langit-langit keras disebut konsonan
palatal; dan yang menggunakan langit-langit lunak, misalnya k dan g, disebut
konsonan velar.
Keempat, bagaimana cara menghalangi udara. Cara menghalangi udara yang
disebut juga cara (ber)artikulasi, adalah cara artikulator aktif menghalangi udara di
daerah artikulasinya. Tujuh cara berartikulasi diberikan di bawah ini.
1. Artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara, sehingga udara mampat
di belakang penutupan itu. Cara ini menghasilkan konsonan hambat.
Karena pembukaan hambatan itu menyebabkan terjadinya ketupan,
konsonan hambat disebut juga konsonan ketupan. Contoh konsonan ini
ialah p, t, k, b, d, dan g.
2. Artikulator aktif mendekati artikulator pasif, membentuk celah sempit,
sehingga udara yang lewat mendapat gangguan di celah itu. Cara ini
menghasilkan konsonan geseran atau frikatif, misalnya f, s, dan z.
3. Artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu membentuk
celah sempit dengan artikulator pasif. Cara ini merupakan gabungan cara
(1) dan (2) dan menghasilkan konsonan paduan atau afrikat, misalnya tƒ
dan d3 dalam kata bahasa Inggris chair dan bridge.
4. Artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui rongga mulut,
tetapi membiarkan udara melewati rongga hidung dengan bebas. Cara
berartikulasi ini menghasilkan konsonan sengau atau nasal, misalnya m dan
n.
5. Artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif
seperti dalam pengucapan r. Cara ini menghasilkan konsonan getaran atau
tril.
6. Artikulator aktif menghambat aliran udara di bagian tengah mulut, tetapi
membiarkan udara keluar melewati samping lidah, seperti pada pengucapan
l. konsonan yang dihasilkan dengan cara ini disebut konsonan sampingan
atau lateral.
7. Dengan saluran udara di tengah mulut artikulator aktif dan pasif membentuk
ruang yang mendekati posisi terbuka (seperti dalam pembentukan vokal),
tetapi tidak cukup sempit untuk dapat menghasilkan geseran. Cara ini
menghasilkan konsonan hampiran atau aproksiman, misalnya w dan y.
KONSONAN
Penamaan Konsonan
Konsonan diberi nama dengan menyebutkan secara berurut cara
berartikulasi, artikulator aktif dan daerah artikulasi, dan keadaan glotis. Di bawah
ini diberikan beberapa contoh.
t adalah konsonan letupan lamino-alveolar tak bersuara
d adalah konsonan letupan lamino-alveolar bersuara
g adalah konsonan letupan dorso-velar bersuara
s adalah konsonan geseran lamino-alveolar tak bersuara
m adalah konsonan sengauan labio-labial bersuara/sengauan bilabial
bersuara.
2. Vokal
Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau
penyempitan di atas glotis. Bunyi vokal berbeda-beda menurut bentuk rongga di
atas glotis yang dilalui udara pada saat pengucapan vokal-vokal itu. Kebanyakan
vokal dibuat dengan menutup jalan udara melalui hidung. Jika dalam pembuatan
vokal jalan ke hidung dibuka juga, maka yang terjadi adalah vokal sengau seperti
yang terdapat dalam kata-kata Prancis bon, grand, dan via, atau seperti bunyi huruf
a dalam kata mangkir.
Bentuk rongga terutama dipengaruhi oleh posisi lidah dan bentuk bibir.
Lidah yang lincah itu dapat bergerak ke depan, ke belakang, ke bawah, dan ke
atas. Bibir dapat membulat atau memipih. Sekarang dapat kita katakana bahwa
kualitas vokal ditentukan oleh tiga faktor: faktor maju-mundurnya lidah, faktor
naik turunnya lidah, dan faktor bentuk bibir.
Untuk pembicaraaan tahap pengantar ini kita akan membagi gerak
horizontal menjadi tiga posisi: depan, pusat, belakang; gerak vertikal menjadi tiga:
tinggi atau atas, tengah, rendah atau bawah; bentuk bibir menjadi dua: bulat dan
tak bulat. Berdasarkan pembagian itu kita menggolongkan vokal sebagai vokal
depan, vokal pusat, vokal belakang, vokal tinggi atau atas, vokal tengah, vokal
rendah atau bawah, vokal bulat, dan vokal tak bulat.
Vokal depan, misalnya i dan e, dibuat dengan bagian tertinggi dari lidah pada
posisi depan di rongga mulut. Vokal belakang, misalnya u dan o, dibuat dengan
bagian tertinggi dari lidah pada posisi belakang di rongga mulut. Vokal tinggi,
misalnya i dan u, dibuat dengan bagian tertinggi dari lidah pada posisi tinggi di
rongga mulut. Demikian seterusnya, setiap posisi menunjukkan bagian tertinggi
dari lidah. Vokal bulat, misalnya u dan o, dibuat dengan membulatkan bibir;
sedangkan vokal tak bulat, misalnya i dan e, dibuat dengan tidak membulatkan
bibir.
VOKAL
DEPAN PUSAT BELAKANG
TINGGI i u
I U
TENGAH e o
RENDAH æ ^
a α
Penamaan Vokal
Vokal diberi nama dengan menyebutkan faktor maju-mundurnya lidah,
faktor naik-turunnya lidah, dan faktor bentuk bibir. Misalnya:
i adalah vokal depan tinggi (atau atas) tak bulat
u adalah vokal belakang tinggi (atau atas) bulat
e adalah vokal depan tengah tak bulat
é adalah vokal pusat tengah tak bulat
a adalah vokal depan rendah (atau bawah) tak bulat
a adalah vokal pusat rendah (ataubawah) tak bulat
3. Diftong
Dalam banyak bahasa terdapat rangkaian bunyi yang segmen pertamanya
berupa vokal dan segmen keduanya berupa bunyi hampiran. Rangkaian ini selalu
berada dalam satu suku kata.
Karena ciri bunyi hampiran dekat sekali dengan ciri vokal, banyak orang
mengatakan bahwa segmen yang kedua tersebut adalah vokal. Karena itu rangkaian
demikian dahulu disebut vokal rangkap – suatu penyebutan yang kurang tepat.
Dalam bahasa Indonesia contoh diftong terdapat dalam kata
seperti harimau dan gulai (kambing). Bandingkan contoh-contoh dengan
contoh rangkaian vokal dalam hari dan mau (hujan) dan gulai (tehmu itu).
Tulisan Fonetis
Pembicaraan secara tertulis mengenai bunyi bahasa memerlukan alat atau cara
untuk menunjukkan bunyi-bunyi tersebut. Alat itu disebut tulisan atau abjad fonetik
yang berupa huruf-huruf latin dengan beberapa huruf tambahan dan tanda-tanda
pemerlain (atau tanda diakritik).
Sebagai contoh penggunaan huruf tambahan dapat dikemukakan huruf
édan ŋ yang melambangkan bunyi huruf e dan ng dalam kata senang. Tanda
diakritik ~ pada ã, misalnya, menunjukkan ciri sengau vokal itu; sedangkan tanda
: sering dipakai untuk menunjukkan panjang.
Huruf tambahan dan tanda pemerlain itu diperlukan mengingat bahwa jumlah
atau macam bunyi bahasa melebihi jumlah huruf dalam abjad Latin. Setiap huruf
dalam tulisan fonetis melambangkan satu bunyi bahasa. Huruf-huruf itu ditulis dalam
kurung siku, [].
Asimilasi Fonetis
Bunyi-bunyi bahasa tidak berdiri sendiri lepas-lepas, melainkan berangkai-
rangkai membentuk suku kata, kata, dan sebagainya.
Dalam rangkaian-rangkaian itu pertemuan di antara berbagai bunyi dapat
menimbulkan saling pengaruh di antara bunyi-bunyi tersebut, dengan akibat bunyi-
bunyi tersebut menjadi sama atau mirip. Proses ini serta hasilnya disebut asimilasi.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa vokal yang berada dalam satu
rangkaian dengan konsonan sengau dalam bahasa Indonesia pada umumnya
memperoleh warna sengau, seperti dalam kata lengang [lãŋãŋ]. Vokal berada
dalam suku kata tertutup (yakni suku kata yang berakhir dengan konsonan)
cenderung lebih pendek daripada yang terdapat dalam suku kata terbuka (yakni
suku kata yang berakhir dengan vokal). Demikianlah misalnya perbedaan antara a
dalam kata aksi, selat, dan tuan dengan a dalam kata asi, sela, dan tua.
Unsur Suprasegmental
Rangkaian-rangkaian bunyi bahasa yang kita ucapkan tidak hanya terdiri
dari unsure segmental – vokal dan konsonan – yang terjadi dari gerakan-gerakan
alat ucap, tetapi juga unsur-unsur suprasegmental yang berupa panjang pendek,
tekanan, dan nada.
Panjang-pendek suatu bunyi bahasa menunjukkan lama waktu
dipertahankannya posisi alat ucap. Panjang bunyi berbeda-beda. Dalam tulian
fonetik, tanda seperti : dan :: atau lambing rangkap seperti tt, kk, dan ss dapat
dipakai untuk menandai panjang.
Keras-lemahnya tekanan ditandai oleh gerak alat-alat ucap yang lebih
bertenaga dan menggunakan otot-otot yang lebih tegang dalam menghasilkan
bunyi. Dalam tulisan fonetik dikenal tanda seperti ( ´ ) untuk menunjukkan
tekanan keras, ( ^ ) untuk tekanan sekunder, dan ( ` ) untuk tekanan tersier.
Banyak tingkat tekanan yang perlu ditandai bergantung kepada keperluan
ketelitian pemerian.
Nada berciri frekuensi getaran yang ditimbulkan pita suara. Makin
bertambah tinggi frekuensi makin tinggi nadanya. Dalam tulisan fonetik, nada
lazim ditandai dengan angka yang jumlahnya juga bergantung kepada keperluan
pemerian. Angka 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut menunjukkan nada rendah, normal,
tinggi, dan amat tinggi.
C. FONEMIK
Bunyi bahasa yang kita ucapkan sebenarnya sangat banyak; ada yang perbedaan
artikulatorisnya besar, ada pula yang sangat kecil. Walaupun demikian orang awam
pada umumnya tidak mendengar perbedaan artikulatoris yang kecil-kecil dalam
bahasanya sendiri. Ia hanya memperhatikan perbedaan yang fungsional, yang penting
dalam bahasanya untuk membedakan makna.
Sebagai contoh dapat dikemukakan yang berikut. Untuk orang yang sudah
mempelajari fonetik, huruf i pertama dan huruf i kedua dalam kata pemimpin
mewakili bunyi-bunyi yang berbeda. Sebaliknya, bagi orang awam Indonesia pada
umumnya, perbedaan itu tidak ada atau tidak mereka sadari. Lain halnya perbedaan
i (misalnya dalam kata bila) dengan e (misalnya dalam kata bela). Perbedaan ini
terdengar jelas oleh para pemakai bahasa Indonesia, karena perbedaan itu bersifat
fungsional, yakni penting untuk menandai perbedaan makna.
1. Fonem
Dalam tiap bahasa, orang secara tidak sadar mengelompokkan berbagai
bunyi yang diucapkannya ke dalam satuan-satuan fungsional terkecil yang disebut
fonem. Fonem, penggolongan fonem, distribusi fonem adalah hal-hal yang
dipelajari dari bunyi-bunyi bahasa.
Walupun fonem tidak sama dengan bunyi bahasa, fonem diberi nama sesuai
dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya. Nama-nama itu
misalnya konsonan bilabial, konsonan bersuara, konsonan geseran velar bersuara,
vokal depan atas, dan sebagainya. Lambang yang digunakan pun sama dengan
yang digunakan untuk melambangkan bunyi. Bedanya, lambang fonem ditaruh
di antara dua garis miring, sedangkan lambang bunyi ditaruh dalam tanda kurung
siku. Jadi misalnya, /m/ adalah fonem konsonan sengauan bilabial, sedangkan
[m] adalah bunyi konsonan sengauan bilabial.
2. Alofon
Bunyi-bunyi yang merupakan realisasi suatu fonem disebut alofan-
alofan, anggota, atau varian fonem tersebut. Fonem /i/ bahasa Indonesia,
misalnya, antara lain mempunyai alofon-alofon [i] (dalam cita), [i] (dalam
tarik), [ī] (dalam ingkar), dan [i:] (dalam kali).
Sebagai contoh lain, dapatlah diambil pelafalan konsonan letupan tak
bersuara dalam bahasa Inggris. Pada awal kata, di depan vokal yang bertekanan,
konsonan-konsonan tersebut dilafalkan dengan tambahan hembusan udara yang
disebut aspirasi:
pace [pheis] ‘langkah’
tone [thoun] ‘nada’
car [kha(r)] ‘mobil’
104 KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum & Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
Aspirasi tersebut tidak ada bila letupan tak bersuara itu terdapat langsung
sesudah [s]:
space [speis] ‘ruang’
stone [stoun] ‘batu’
scar [ska(r)] ‘bekas luka’
Lain lagi lafal ketiga konsonan itu pada akhir suku/kata. Pada posisi ini
ketiganya diucapkan dengan lafal yang disebut “tak diletupkan”:
map [mæp¯] ‘peta’
mat [mæt¯] ‘tikar’
Mac [mæk¯] ‘Mac’
Ketiga macam lafal di atas dengan aspirasi, tanpa aspirasi, dan tak diletupkan
ternyata tidak dapat dipertukarkan. Orang Inggris tidak mengucapkan:
*[peis], *[spheis], *[mæph], *[mæp]
*[p¯eis], *[sp¯eis], *[sthoun], dan sebagainya.
(Tanda * menunjukkan bahwa bentuk yang bersangkutan tidak diucapkan
orang atau hanya bersifat hipotesis.)
3. Distribusi alofon
Dari contoh-contoh bahasa Inggris dapat dikatakan bahwa, misalnya, fonem
/p/ Inggris mempunyai alofon-alofon, antara lain [ph], [p], dan [p¯]. Di samping
itu juga dapat dilihat bahwa alofon-alofon sebuah fonem (yang diperlihatkan
dalam data bahasa Inggris di atas) masing-masing mempunyai posisi yang khas
yang tidak dapat dipertukarkan tanpa menimbulkan kejanggalan. Alofon-alofon
yang ada dalam keadaan hubungan demikian disebut berdistribusi komplementer
(= berdistribusi saling melengkapi) atau berdistribusi saling mengecualikan.
Alofon-alofon sebuah fonem dapat juga menunjukkan ciri hubungan yang
disebut bervariasi bebas. Alofon-alofon demikian dapat dipertukarkan di tempat
yang sama. Hal ini dapat terjadi terutama karena alat ucap manusia pada dasarnya
tidak mampu melafalkan dua bunyi yang benar-benar sama berturut-turut. Jika
[e] dan [Є] adalah dua dari alofon-alofon fonem /e/ bahasa Indonesia, dan jika
pemakai bahasa Indonesia bebas mengucapkan [rela] maupun [rЄla], [peta?]
maupun [pЄta?], [esa?] maupun [Єsa?], maka dapatlah dinyatakan bahwa [e] dan
[Є] bervariasi bebas.
Ciri alofon-alofon sebuah fonem ialah, pertama, mempunyai kemiripan
fonetis (artinya mempunyai banyak kesamaan dalam pengucapannya); kedua,
berdistribusi komplementer atau bervariasi bebas.
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 105
FONOLOGI BAHASA ARAB
4. Perbedaan fonemis
Untuk memperlihatkan perbedaan fonemis (yakni perbedaan fonem yang
satu dengan fonem yang lain) dipakai cara memperbandingkan contoh-contoh
ujaran dengan perbedaan minimal dalam bunyi.
Dua ujaran yang berbeda maknanya dan berbeda minimal dalam bunyinya
seperti itu disebut pasangan minimal. Dengan memperbandingkan kata karung
dan kalung, misalnya, dapat diperlihatkan bahwa kedua contoh itu hanya
dibedakan oleh [r] dan [l]. Artinya, perbedaan antara [r] dan [l] adalah perbedaan
yang penting bagi pemakai bahasa Indonesia. Dengan kata lain, perbedaan antara
[r] dan [l] bersifat fonemis: kedua bunyi itu merupakan realisasi dua fonem yang
berbeda, yakni /r/ dan /l/.
5. Khazanah fonem
Dengan menggunakan pasangan-pasangan minimal sebagai cara utan dan
dengan cara-cara lain yang tidak dibicarakan di sini, fonem-fonem suatu bahasa
dapat ditunjukkan.
Jumlah fonem suatu bahasa disebut khazanah atau perbendaharaan fonem
bahasa tersebut. Tiap bahasa mempunyai khazanah fonem; ada yang kecil dan
ada yang besar, tetapi selalu terbatas. Menurut catatan para ahli bahasa, khazanah
yang terkecil selama ini terdapat dalam bahasa Hawaii yang hanya beranggotakan
13 fonem, sedangkan yang terbesar mungkin khazanah fonem bahasa di Kaukasus
Utara yang dikabarkan mempunyai 75 fonem. Bahasa Indonesia mempunyai 24
fonem (/i, e, ∂, a, o, u, p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, ň, ŋ, s, h, r, l, w, y/) atau 28 (jika
/f, z, ƒ, x/ sudah diterima dalam khazanah fonem Indonesia).
6. Fonotaktik
Tiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, yakni dalam merangkaikan
fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya suku kata.
Bahasa Indonesia, misalnya, mempunyai pola suku kata V, VK, KV, KVK, dan juga
mengenal pola suku kata seperti KKV, KKVK, KVKK, KKVKK, KKKV, dan
KKKVK dalam ragam bakunya. Pola-pola tersebut mungkin saja terdapat dalam
bahasa lain, namun biasanya perbedaan timbul dalam pengisian pola-pola tersebut
dengan fonem.
Misalnya, dalam bahasa Indonesia tidak dijumpai suku kata yang berakhir
dengan /c/ atau /j/, sedangkan dalam bahasa Inggris suku kata seperti itu ada.
Sebaliknya, dalam bahasa Inggris tidak dijumpai suku kata yang mulai dengan /ŋ/,
7. Jenis Fonem
Jenis fonem yang dibicarakan di atas dpt dibayangkan sebagai (atau dikaitkan
dengan) segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Karena itu fonem jenis ini
disebut fonem segmental.
Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika
dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, maka
dalam fonologi pun dikenal adanya jenis fonem suprasegmental.
Dalam bahasa Toba, kata ‘tutu (dengan tekanan pada suku pertama) berarti
‘batu gilas’, sedangkan kata tu’tu (dengan tekanan pada suku kedua) berarti ‘betul’.
Terlihat bahwa yang membedakan kedua kata itu ialah letak tekanannya, sehingga
dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional.
Lain lagi yang diperlihatkan dalam bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan
letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, melainkan mengubah jenis
katanya.
kata benda kata kerja
‘import ‘impor’ im’port ‘mengimpor’
‘insult ‘penghinaan’ in’sult ‘menghina’
‘object ‘obyek’ ob’ject ‘berkeberatan’
‘permit ‘izin’ per’mit ‘mengizinkan’
Di dunia cukup banyak terdapat bahasa nada (bahasa tonal), yakni bahasa
yang menggunakan nada untuk membedakan makna leksikal. Macam nadanya
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 107
FONOLOGI BAHASA ARAB
***
M
orfologi, bersama-sama dengan Sintaksis, merupakan tataran
ilmu bahasa yang disebut tata bahasa atau gramatika. Morfologi
–yang juga disebut tata kata atau tata bentuk- merupakan studi
gramatikal struktur intern kata; sedangkan Sintaksis –yang juga disebut tata
kalimat- merupakan studi gramatikal mengenai kalimat.
Dalam bab ini, anda akan diajak memahami pengertian tataran linguistik
yang kedua yaitu morfologi,
Setiap bahasa tersusun dari sejumlah satuan bunyi yang terbatas. Dengan
sejumlah satuan bunyi yang terbatas ini, bahasa mengungkapkan bermacam-
macam aspek kehidupan dan pikiran. Konstruksi bahasa tidak tersusun dari
satuan bunyi secara lepas, tetapi bahasa tersusun dari satuan-satuan bunyi secara
rangkap dalam akar kata dan berbagai bentuk kata. Konsonan ( ك+ ت+ ) ب
dapat membentuk beberapa susunan. yaitu: (ك ب ت – ت ك ب – ب ك ت – ك ت
) ب – ت ب ك – ب ت ك.
Bahasa Arab telah memanfaatkan sejumlah susunan yang memungkinkan
ini. Ketika Khalil bin Ahmad pada abad 2 H mengkaji bunyi-bunyi bahasa Arab
dan membatasi entri bahasa yang memungkinkan secara teoretis, ia mengomentari
bahwa banyak entri itu yang tidak ada pemakaiannya dalam kenyataan bahasa
Arab. Maka ia mengistilahkannya muhmal. Adapun entri bahasa yang betul betul
ada, maka menurutnya itu adalah musta›mal. Sesungguhnya satu entri bahasa,
seperti ( ) ب ت كada karena dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang
tersusun dari konsonan-konsonan ini saja tanpa imbuhan-imbuhan.
Fi›il (verba): كتبterdiri dari untaian 1) kaf + fathah, 2) ta + fathah, dan ba
+ fathah. Kata-kata lainnya dalam entri ini tersusun dengan tambahan-tambah-
an/imbuhan-imbuhan pada konsonan-konsonan. Imbuhan-imbuhan ini berada
pada berbagai posisi kata. Misalnya, di awal kata dinamakan sawabiq (prefiks)
atau di tengah kata dinamakan hawasyi (infiks) atau di akhir kata dinamakan
lawahiq (sufiks). Konstruksi morfologis bisa tersusun dengan lebih dari imbuhan
sebagaimana kita dapati pada kata ( )مكتوبdan ()كتابة. Ruang lingkup kajian
morfologi atau bentuk konstruksi kata adalah kajian sarana yang dimanfaatkan
oleh setiap bahasa untuk membentuk kata-kata dari satuan-satuan morfologi
(morfem) yang memungkinkan dalam bahasa itu.
B. MORFEM
Istilah dasar dalam analisis morfologi modern adalah morfem (wahdat
sharfiyyah). Sesungguhnya linguis berupaya membagi untaian ujaran ke dalam
unsur-unsurnya yang komponensial, kemudian ia mengklasifikasikan unsur-unsur
ini. Tahap awal dalam pembagian ini adalah pada tataran analisis fonologi. Dengan
demikian dapat diidentifikasi fonem-fonem (wahdat shautiyyah) yang membentuk
untaian ujaran; tahap kedua dalam pembagian itu bertujuan mengidentifikasi
morfem. Ada banyak definisi morfem menurut mazhab-mazhab kajian bahasa
modern. Hanya saja definisi-definisi itu mengandung kesamaan dalam hal bahwa
morfem adalah satuan terkecil dalam konstruksi kata yang mengandung makna
atau fungsi sintaktis dalam konstruksi kata.
Linguis, Bloomfield telah mendefinisikan morfem sebagai bentuk bahasa
yang tidak mengandung semi partial apapun dalam untaian fonologi dan kandungan
semantik dengan bentuk lain. Ini berarti bahwa linguis dalam membagi untaian
ujaran membagi kata ke dalam bagain-bagiannya yang mengandung makna atau
fungsi sintaktis. Bagian-bagian yang mengandung makna atau fungsi sintaktis ini
tidak dapat dibagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil yang mempunyai
makna atau fungsi sintaktis.
Untuk memperielas pendapat Bloomfield tentang morfem, kita dapat
memperhatikan kata-kata dalam bahasa Inggris: read, reads, reading, sing, sings, singing
untuk kita amati hubungan antara ketiga kata pertama tentang adanya read dan
ketiga kata lainnya tentang adanya sing. Kemudian setelah ini kita dapati kata: read
dan ring berakhir secara fonologis yang sama untuk memenuhi fungsi sintaktis
yang sama.
Demikian juga kita dapati kata: singing, dan reading yang berakhir dengan
secara fonologis sama untuk memenuhi fungsi sintaktis yang sama. Ini berarti
bahwa bahasa Inggris mengenal unsur-unsur kecil sebagai unsur yang mengandung
fungsi sintaktis, yaitu morfem atau satuan morfologi. Morfem adalah satuan yang
terkecil yang mengandung makna. Apabila kita berupaya membagi stuan ing ke
dalam unsur-unsurnya yang komponensial, tentu kita tidak akan mengenal suatu
makna sintaktis dalam kcrangka konstruksi bahasa Inggris bagi setiap fonem
(satuan bunyi) yang komponensial.
Sesungguhnya gagasan pembagian langsung berdasarkan cara tadi
sesuai dengan jelas ketika peneliti menganalisis bahasa-bahasa aglutinatif
(lughat ilshaqiyyah). Di dunia modern bahasa-bahasa itu banyak. Apabila kita
memperhatikan contoh dalam bahasa Turki evdedir (dia di rumah), maka dengan
cara tadi kita dapat mengenali mortem-morfem berikut: ev berarti rumah; de adalah
sufiks yang berkaitan dengan tempat; dan dir adalah sufiks yang bertalian dengan
wujudnya. Akan tetapi masalah pembagian langsung menjadi kompleks bagi
peneliti ketika ia berupaya menerapkannya pada bahasa-bahasa lain. Tampaknya
pembagian langsung itu sulit dalam bahasa-bahasa infleksional (lughat mu’rabah).
Oleh karena itu muncullah gagasan morfem dan alomorf.
Sesungguhnya kemungkinan adanya morfem-morfem secara tidak
langsung ketika tampak kepada kita alomorf secara langsung dianggap termasuk
fakta yang menjadi titik tolak lahirnya teori baru dalam analisis morfologi. Untuk
memperielas hal ini, kita cukup membandingkan sufiks jamak dalam bahasa
Inggris dalam contoh-contoh berikut agar kita mendapatkan berbagai sufiks
untuk memenuhi fungsi sintaktis yang sama. Contoh-contoh yang dimaksud
adalah: glasses(iz), pens(z), dan books(s).
Adapun makna yang dikandung oleh sufiks-sufiks ini adalah makna
jamak. Sentuhan bunyi sufiks-sufiks ini dapat dikenali dengan membandingkan
kata-kata tersebut dengan bentuk tunggalnya. Sesungguhnya berbagai sufiks
ini berkisar dalam kerangka aspek bunyi yang sama. Perbedaan antara (s)
dan (z) adalah bahwa bunyi pertama merupakan bunyi mahmus (takbersuara),
sedangkan bunyi kedua merupakan bunyi majhur (bersuara). Dengan ini
seolah-olah kita telah menafsirkan berbagai sufiks ini melalui kedekatan
bunyi. Distribusi sufiks-sufiks ini adalah menurut cara berikut. Sesudah
kedua kelompok bunyi yang dikenal dengan nama bunyi sibilants (ashwat
sidzariyah), seperti (s) dan (sh) dan bunyi frikatif, seperti (ch) dan (dg), dalam
jamak muncul sufiks (iz); sesudah bunyi-bunyi majhur (bersuara) muncul
sufiks (z); dan sesudah bunyi-bunyi mahmus (takbersuara) muncul sufiks (s).
Dalam dua sufiks lainnya ada derajat asimilasi (mumatsalah). Maka sesudah
bunyi mahmus muncul sufiks (s); sesudah bunyi majhur muncul (z). Akan tetapi
semua sufiks yang berbeda-beda ini dan sufiks-sufiks yang dapat ditafsirkan
perbedaannya secara fonetis mengandung fungsi yang sama dalam konstruksi
bahasa Inggris.
Oleh karena itu, ia merupakan alomorf yang berbeda bagi morfem yang
sama. Alomorf mempunyai wujud langsung yang terucap dan terdengar. Adapun
morfem yang meliputnya itu ada, tetapi merupakan wujud yang tidak langsung.
Gagasan yang sama dapat dijelaskan dengan contoh dalam bahasa Arab.
Perbedaan antara ( )ضربdan ( )إضطربdari segi konstruksi morfologi merupakan
perbedaan antara bentuk ( )قربdan ()اقرتب. Akan tetapi kita tidak mendapatkan
perubahan itu sama dari segi fonetik meskipun fungsinya sama dalam konstruksi
bahasa. Ini berarti bahwa ( )التاءdi sini muncul dalam kedekatan bunyi tertentu,
sedangkan ( )الطاءmuncul dalam kedekatan bunyi lain. Demikian juga dengan
masalah ( )التاءdan ( )الدالpada ( )قربdan ( )اقرتبdari satu segi; ( )دهرdan ()ازدهر
dari segi lain. Maka ( )التاءsesudah bunyi tertentu dan ( )الدالsesudah bunyi yang
lain. Ini berarti bahwa ( )التاءdan ( )الدالdan ( )الطاءsalah satunya masuk dalam
konstruksi ini. Hal ini membawa kita untuk mengatakan bahwa ada tiga alomorf
bagi morfem yang sama.
C. JENIS-JENIS MORFEM
Ada beberapa kecenderungan dalam mengklasifikasikan morfem antara lain
klasifikasi dari segi bentuk. Ada morfem bebas dan morfem terikat. Perbedaan di
antara keduanya adalah bahwa morfem bebas dapat berdiri sendiri, yakni terpisah.
Sebaliknya morfem terikat adalah morfem yang hanya ada secara berkaitan, yakni
bersambung. Misalnya, dhamir dalam bahasa Arab; ada dhamir munfashil dan dhamir
muttashil. Dalam satu kata kita dapat menemukan morfem bebas dan morfem
terikat.
Maka kata ( مصريون- )مصرينيtersusun dari morfem bebas ( )مصرdan morfem
terikat yang tersusun dari kasrah dan ya musyadadah (iyy); ia mempunyai fungsi
sintaktis, yaitu nisbat. Kemudian sesudah itu ada morfem terikat lainnya, yaitu
dhammah thawilah (vokal u panjang) dalam kasus pertama dan kasrah thawilah (vokal
i panjang) dalam kasus kedua. Setiap morfem dari kedua kasus itu mempunyai
fungsi i’rab. Selanjutnya, kedua kata itu diakhiri dengan morfem terikat na ( )ن
yang menunjukkan bahwa kata tersebut tidak diidhafatkan.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kata tadi mempunyai satu
morfem bebas dan beberapa morfem terikat, yaitu fungsi nisbat, jamak marfu›,
jamak manshub dan majrur, dan kasus tidak diidhafatkan. Pembagian berbagai
untaian ujaran dalam bahasa Arab berfungsi untuk memberi kita morfem-morfem
lainnya dalam bahasa Arab dan distribusinya, yaitu tempat-tempat pemakaiannya
dari aspek lain. Maka morfem dalam setiap bahasa memanfaatkan tempat-
tempat tertentu, karena itu morfem hanya ada pada tempatnya yang dibatasi
oleh konstruksi bahasa. Ada klasifikasi lain tentang morfem yang mungkin lebih
mendekati tabiat wazan-wazan dalam bahasa Arab, yaitu pembagian morfem ke
dalam morfem berurutan dan morfem takberurutan Morfem berurutan adalah
morfem yang komponen-komponen bunyinya tersusun dari konsonan dan vokal
secara berurutan tanpa pemisah yang memisahkan komponen-komponen ini.
Jenis morfem ini kita dapati dalam dhamir dan morfem terikat dalam contoh tadi
dalam bahasa Arab.
Adapun morfem takberurutan adalah morfem yang komponen-komponen
bunyinya tersusun dari konsonan dan vokal secara tidak bersambung. Ini berarti
bahwa satuan bunyi yang membentuk morfem itu dipotong oleh fonem-fonem
yang mem- bentuk morfem lain. Contoh ini adalah segala yang ber kaitan dengan
wazan-wazan dalam bahasa Arab. Kata ( )كاتبtersusun dari dua morfem yang tidak
berurutan. Morfem pertama tersusun dari huruf asal ( ب+ ت+ )ك, yaitu morfem
tak berurutan karena fonem-fonemnya tidak membentuk untaian bersambung
dalam suatu kata bahasa Arab; morfem kedua terdiri dari fathah thawilah +
kasrah, yang juga merupakan morfem takberurutan karena fonem-fonemnya
tidak membentuk untaian bersambung dalam suatu Inata bahasa Arab. Dengan
demikian huruf-huruf asal itu dianggap morfem takberurutan. Juga, wazan-wazan
itu dianggap morfem tak berurutan.
D. POLA-POLA MORFOLOGI
Di antara fakta-fakta yang ditonjolkan oleh linguistik modern adalah bahwa
setiap bahasa dan setiap dialek mempunyai pola tersendiri. Bahasa-bahasa itu
berbeda-beda secara nyata dalam konstruksi kosakatanya dan kapasitasnya bagi
perubahan intern dan perubahan i’rab. Setiap bahasa dan setiap dialek mengenal
kata-kata, tetapi pola-iola kata ini berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya dan
dari satu dialek ke dialek lainnya. Di sini linguistik modern menaruh perhatian
terhadap kajian pola-pola yang digunakan oleh setiap bahasa untuk kosakatanya
tanpa melihatnya dengan kriteria baik-buruk, melainkan ia membatasi atau
berupaya membatasi sarana konstruksi kata dalam setiap bahasa dengan tujuan
menetapkan fakta-fakta tanpa mencela atau memuji.
Sebagian linguis telah mengamati adanya perubahan i’rab dalam bahasa
Arab fusha dan tidak adanya kebanyakan fenomena i’rab dalam dialek Arab
serta menganggap adanya i’rab itu sebagai kelebihan yang menjadikan bahasa
fusha mengungguli dilaek, maka kenyataannya adalah bahwa tataran pemakaian
bahasa, kedudukannya tidak bersandar pada konstruksinya, melainkan pada
pemakaiannya, kedudukan orang-orang yang berkomunikasi dengannya, tataran
komunikasi dengannya, dan bidang pemakaiannya. Tidak ada input dalam hal
ini bagi ada tidaknya irab. Maka tidak ada kelebihan bagi isim atas fi’il; tidak ada
kelebihan bagi fi’il atas isim; tidak ada kelebihan bagi mu’rab atas mabni; dan tidak
kelebihan bagi mabni atas mu’rab. Semua ini merupakan klasifikasi yang dikenal
dalam bahasa Arab, sedangkan banyak bahasa terbebas daripadanya. Jadi, setiap
bahasa memiliki model tersendiri dalam mengkonstruksi kosakata dan sarana
klasifikasinya.
Kita dapat menjelaskan gagasan pola morfologi dan perbedaannya
antarbahasa serta variasinya dengan contoh yang sederhana dari bahasa yang
konstruksinya berbeda dengan bahasa-bahasa Semit dan bahasa-bahasa Eropa
yang dikenal oleh banyak qari (pembaca). Bahasa Swahili - meskipun isimnya
adalah musytaq (derivatif) dari kata Arab dan meskipun banyaknya kata serapan
dari bahasa Arab di dalamnya – adalah bahasa dari kelompok Banto yang berbeda
dalam karakteristiknya dengan bahasa Semit dan bahasa Eropa dari banyak segi.
Bahasa Swahili mengklasifikasikan nomina berdasarkan sufiksnya.
Misalnya, di dalamnya ada kelompok nomina yang dimulai dalam bentuk tunggal
dengan bunyi (m); dalam bentuk jamak dengan (wa). Maka adanya (m) ini pada
awal nomina yang termasuk kelompok ini merupakan dalil bahwa nomina itu
adalah tunggal dan adanya silabel (wa) merupakan tanda bahwa nomina itu adalah
jamak. Oleh karena itu, kata “mtoto” berarti anak dan kata “watoto” berarti anak-
anak. Di sini kita amati bahwa asal “toto” hanya merupakan bentuk mentalistik
yang diduga. Bentuk mentalistik itu tidak mempunyai wujud langsung. Adapun
bentuk-bentuk yang hakiki yang dapat dipahami muncul dari asal (pangkal) ini
dengan disertai oleh prefiks yang berarti.
Marilah kita perhatikan kelompok nomina lain dalam bahasa Swahili juga; di
dalamnya ada nomina-nomina yang dimulai dalam bentuk tunggal dengan silabel
(ki) dan dalam bentuk jamak dengan silabel (vi). Maka adanya (ki) pada awal kata
nomina itu merupakan bukti bahwa kata itu adalah tunggal dan adanya silabel
(vi) merupakan tanda bentuk jamak. Oleh karena itu. kata ki-tu berarti sesuatu,
sedangkan kata vi-tu adalah segala sesuatu. Demikianlah kita perhatikan bahwa
bahasa Swahili di sini menggunakan sarana sufiks sebagai alat pembeda. Sebaiknya
kita pahami sedikit tentang contoh-contoh tadi agar kita dapat menjelaskan
gagasan tentang morfem (satuan morfologi). Ketika kita menggantikan prefiks
(m) dengan prefiks (wa) pada contoh pertama atau prefiks (ki) dengan silabel
(vi) pada contoh kedua, kita telah menyatakan makna baru, yaitu jamak. Dengan
demikian penempatan tanda pada tanda lainnya menjadi perubahan makna
dengan sarana morfologi. Di sini kita berbicara tentang bahasa Swahili dengan
mengatakan bahwa m, wa, dan ki adalah morfem atau satuan morfologi.
118 KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum & Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
Setelah ini marilah kita perhatikan bahasa Arab; misalnya untuk mengamati
adanya morfem yang menunjukkan tarif (definit) dan tankir (non-definit).
Apabila kita mengatakan ()الولد, kemudian kita mengatakan ()ولد, maka kita
telah menunjukkan ta›rif (definit) dengan prefiks ( ) الdan tankir (non-definit)
dengan partikel ( التنوين نون) اSekelompok linguis menggambarkan klasifikasi
isim ke dalam nakirah (non-definit) dan ma›rifat (definit) dengan merefleksikan
pembagian mentalistik dan hikmah dari langit di mana masalah bahasa tidak akan
lurus tanpa pembagian itu. Ada bahasa-bahasa yang tidak mengenal pembedaan
antara nakirah dan ma›rifat. Misalnya, antara lain bahasa Turki. Kata ev berarti
( )املنزلatau ( )منزلtanpa menunjukan tankir atau ta›rif. Terkadang sebagian linguis
menemukan - dari logika baik melalui pemikiran maupun intuisi - bahwa ta›rif itu
mempunyai satu alat (pertikel), yaitu ( ) الdalam bahasa Arab dan (the) dalam
bahasa Inggris.
Akan tetapi marilah kita perhatikan bahasa Jerman - misalnya – tentu kita
mendapatkan bermacam morfem yang menunjukkan ta›rif dan nakirah. Ta›rif
(definit) muncul dalam rafa’ dengan salah satu partikel berikut (der) maskulin;
(des) untuk netral; dan (die) untuk feminin. Seandainya kita menghendaki
tabel itu utuh, tentu kita menyebutkan partikel-partikel lain untuk akusatif
(manshub); partikel lainya untuk datif (majrur bi harf); kelompok partikel
keempat untuk datif (majrur bil idhafat). Akan tetapi dalam hal ini tidak ada
bukti tinggi rendahnya. Linguistik menetapkan fakta dalam ketenangan tanpa
hukum-hukum keindahan atau hukum-hukum evaluatif.
Tidak syak lagi bahwa variasi partikel definit dan non-definit dalam bahasa
Jerman menyebabkan kesempitan yang berat bagi orang yang pikirannya sudah
melekat dengan pola definit dalam bahasa Arab. Definit itu satu, tidak berubah
dengan tidak mengindahkan apakah isim mudzakkar atau muannats, mufrad atau
jamak, marfu’ atau manshub atau majrur. Ini perbedaan antara dua pola yang berbeda
bagi dua bahasa yang berbeda.
Bahasa-bahasa itu berbeda dalam perubahan i’rabnya, baik secara positif
maupun negatif. Ada banyak bahasa yang membedakan ihwal antara tiga kasus,
seperti bahasa Arab dan bahasa Akadis di Irak pada masa dahulu. Para ahli nahwu
menamakan ketiga kasus ini isim marfu’, manshub, dan majrur. Dan banyak bahasa
yang membeda- kan empat kasus i’rab, seperti bahasa Jerman.
Para ahli nahwu (gramatika) menamakan halat (posisi-posisi) itu rafa›
(nominatif), nashab (akusatif), jarr (datif), dan idhafat (genetif) pada berbagai
isim (nomina) yang kontras dalam bahasa Arab. Kita mengatakan hal ini dan
memperhatikannya dalam terjemahan karena nashab di sini tidak selalu kontras
dengan nashab dalam bahasa Arab. Misalnya, halat itu dapat kita namakan:
halah (posisi) pertama, halah kedua, halah ketiga, dan halah keempat. Maka kita
menghindari inspirasi yang tidak cermat. Dan ada banyak bahasa yang mengenal
halat (posisi-posisi) yang lebih bervariasi. Misalnya, bahasa Turki mengenal halah
lokatif dan menyatakan apa yang kita nyatakan dalam bahasa Arab dengan jarr -
majrur. Misalnya, ev berartirumah, evde berarti di rumah. Maka apakah kita katakan
bahwa pola ini lebih baik daripada pola itu atau sebaliknya? Bahasa Inggris tidak
mengenal pembedaan antara halat i›rab.
Seandainya kita boleh mecabut ciri-ciri dari pola bahasa Arab pada bahasa
Inggris, tentu kita katakan bahwa bahasa Inggris tidak mengenal nashab, rafa, dan
jarr. Dalam dialek-dialek Arab modern kita dapati halah nashab dalam ungkapan-
ungkapan tertentu, seperti: ( دائما- شكرا- )أهال, tetapi kita tidak mendapatkan
pembedaan dalam isim mufrad antara marfu› dan majrur. Adapun dalam jama›
mudzakkar , maka masalah itu telah melekat dengan hilangnya perbedaan antara
marfu›, manshub, dan majrur.
E. PERUBAHAN MORFOFONEMIK
Istilah perubahan morfofonemik digunakan pada perubahanperubahan
yang terjadi pada bentuk morfologis karena pertimbangan fonetis. Barangkali
gagasan transformasi silabel yang terlalu panjang sampai silabel panjang
menjelaskan kepada kita tabiat perubahan-perubahan ini dalam bahasa Arab.
Silabel yang berlebihan panjangnya terdiri dari shamit (konsonan) + vokal harakat
thawilah (vokal paniang) + shamit (konsonan). Jenis silabel-silabel ini jarang dalam
bahasa Arab fusha. Bahasa Arab cenderung menghindarinya manakala ada jalan
untuk mencapai hal yang demikian itu. Dari aspek ini bahasa Arab fusha berbeda
dengan dialek-dialek Arab yang mengenal silabel yang berlebihan panjangnya
menurut cara yang lebih umum.
Apabila orang Kairo bertutur untuk menyuruh: ()بيع, maka bahasa Arab
fushanya adalah: ( ;)بعia bertutur ( )عيشsedangkan bahasa Arab fushanya adalah
()عش. Maka perbedaan antara bentuk amiyah dan bentuk fusha di sini adalah
bahwa bentuk bahasa amiyah terdiri dari silabel yang berlebihan panjangnya,
sementara bentuk bahasa fusha terdiri dari silabel panjang.
Bahasa Arab fusha cenderung menghindari silabel-silabel yang berlebihan
panjangnya dan silabel-silabel yang mungkin ada melalui analogi. Ini juga jelas dari
bentuk fi›il mudhari› ajwaf dalam keadaan jazm. Bentuk jazm terdiri dari fi›il mudhari›
dengan melesapkan sufiks yang ada ketika dalam keadaan rafa› dan nashab. Di sini
kita cukup membandingkan ( )يكتبdengan dhammah dalam rafa, ( )يكتبdengan
M
A. PENDAHULUAN
orfologi bersama-sama dengan sintaksis, merupakan bagian dari
subsistem gramatikal atau tata bahasa. Morfologi yang juga disebut
tata kata atau tata bentuk merupakan studi gramatikal struktur
intern kata, sedangkan sintaksis yang juga disebut tata kalimat merupakan studi
gramatikal mengenai kalimat.
Jika dalam morfologi digunakan morfem sebagai satuan terkecil dan kata
sebagai satuan terbesarnya, dalam sintaksis kata menjadi satuan yang terkecil
yang membentuk satuan-satuan gramatikal yang lebih besar. Dalam prakteknya
sintaksis pada umumnya membatasi pembicaraannya sampai kepada kalimat:
artinya, menganggap kalimat sebagai satuannya yang terbesar, walaupun
sebenarnya kalimat bukan satuan yang terbesar dalam bahasa.
Bahan pembicaraan sintaksis dalam bab ini dibagi menjadi tujuh pokok:
alat sintaksis, satuan-satuan sintaksis, tata tingkat gramatikal, macam hubungan
antar satuan, jenis dalam satuan-satuan sintaksis, analisa sintaksis, dan wacana.
B. ALAT SINTAKSIS
Sintaksis berusaha menerangkan pola-pola yang mendasari satuan-satuan
sintaksis serta bagian-bagian yang membentuk satuan-satuan tersebut. Disamping
itu sintaksis juga membicarakan alat-alat sintaksis yang menghubungkan bagian-
bagian pembentuk (atau konstituen) satuan sintaksis serta menunjukan makna
gramatikalnya.
Satuan sintaksis, misalnya kalimat, bukanlah deretan kata yang dirangkaikan
sesuka hati pemakainya, melainkan merupakan rangkaian yang berstruktur. Ini
berarti bahwa untuk memahami suatu ujaran atau menghasilkan ujaran yang
dapat dipahami lawan bicara orang tidak saja harus memperhatikan kata-kata
2. Alat sintaksis yang kedua berupa bentuk kata yang pada umumnya diperlihatkan
oleh afiks.
Afiks-afiks itu menunjukkan makna gramatikal yang bermacam-macam,
bergantung kepada bahasanya: jumlah, orang, jenis, kata, aspek, modus, diatesis,
dan sebagainya.
Perubahan dari Dino mencubit Rinso menjadi Rinso mencubit Dino
di atas dapat pula dicapai tidak dengan mengubah urutan kata, tetapi dengan
mengubah bentuk kata mencubit menjadi dicubit. Dino mencubit Rinso menjadi
Dino dicubit Rinso.
Ada bahasa-bahasa yang karena faktor bentuk katanya memainkan peranan
yang sangat besar, cenderung kurang memberikan peranan kepada urutan.
Karena bentuk katalah yang menunjukan makna gramatikal, seringkali tempat
katanya menjadi tidak penting. Perhatikan keenam contoh bahasa Latin berikut
yang sama maknanya (‘Paul melihat Maria’).
Paulus vidit Mariam.
Paulus Mariam vidit.
Mariam vidit Paulus.
Mariam Paulus vidit.
Vidit Paulus Mariam.
Vidit Mariam Paulus.
Faktor bentuk kata diatas dalam bahasa-bahasa tertentu dinyatakan dengan
pertalian bentuk di antara kata-kata untuk menunjukan hubungan sintaktik. Pertalian
bentuk itu disebut juga persesuaian.
Contoh:
Inggris : this singular nouns
Latin : filius domini bonus
Filius domini boni
Prancis : la table est belle
Le cadeau est beau
Spanyol: la mujer buena ‘wanita baik itu’
La casa blanca ‘rumah putih itu’
El hombre bueno ‘pria baik itu’
El libro blanco ‘buku putih itu’
Las mujeres buenas ‘wanita-wanita baik itu’
las casas blancas ‘rumah-rumah putih itu’
3. Alat sintaksis yang ketiga ialah intonasi, yang dalam tulis dan atau ejaan
dinyatakan secara tidak sempurna dengan tanda-tanda baca dan pemakaian
huruf.
Dalam Bahasa Indonesia, misalnya, biasanya batas antara pokok (= topic)
dan sebutan (= comment) ditunjukan oleh intonasi. Kelompok kata dalam bahasa
Indonesia juga ditandai oleh penempatan tekanan pada kata terakhir. Seringkali, bila
terjadi salah mengerti akibat timbulnya tafsir ganda (misalnya atas penanaman padi
Krawang, anak istrinya, semua orang asing, sepuluh ribuan, anak majikan yang
baik), intonasi dipakai untuk menjelaskan amanat yang hendak disampaikan.
Dengan intonasi sering pula orang dapat membedakan macam kalimat, misalnya
kalimat berita dengan kalimat tanya.
C. SATUAN SINTAKSIS
Kata merupakan satuan terkecil dalam sintaksis. Satuan yang lebih besar
dari kata ialah frase (= kelompok kata), klausa (= anak kalimat atau suku kalimat)
dan kalimat.
1. Kata.
Kata disebut sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Dengan kata lain,
kata mempunyai potensi untuk bersendiri, misalnya sebagai kalimat jawaban atau
sebagai kalimat suruhan.
Mau. (Jawaban “Mau Kau Kuajak pergi?”)
Minggir! (Suruhan kepada pengemudi bis kota.)
Ciri kedua ialah ciri tak tersela. Artinya, diantara bagian-bagian pembentuk
kata tidak seperti diantara kata-kata yang membentuk kelompok kata atau frase
tidak dapat diselakan kata lain. Karena diantara dunia modern, misalnya dapat
diselakan kata seperti yang atau kurang, rangka dunia dunia modern bukanlah
satu kata, melainkan dua. Sebaliknya, karena antara nikmat dan i tidak dapat
diselakan apa-apa, rangkaian nikmati merupakan satu kata.
Kata merupakan satuan terkecil yang dapat berpindah dalam kalimat
sedang afiks tidak mempunyai ciri yang demikian. Perhatikan posisi kata kemarin
pada kalimat-kalimat berikut:
Kemarin Mila hilang.
Mila kemarin hilang.
Mila hilang kemarin.
Dari contoh “Saya membaca karangan itu” tidak mungkin disusun”
*Saya bacaan mengarang itu.
*Memsaya baca karangan itu.
*Saya membaca karangan itu, dan seterusnya.
Kadang-kadang batas kata ditandai secara fonologis. Jika dalam bahasa
Indonesia terdapat urutan fonem seperti /mg/, /mt/, /jt/, /jp/, /td/, /kb/, /
kj/, dan /aa/, dapat dipastikan bahwa fonem pertama merupakan bagian satu
kata, sedangkan fonem yang kedua merupakan bagian kata yang berikutnya.
Tidak mungkin agaknya urutan dua fonem seperti yang terdapat dalam contoh
itu terdapat dalam satu kata.
Tampaknya orang dapat dengan mudah menandai kata-kata yang dipakai
dalam bahasa Indonesia tertulis, karena hampir setiap kata ditulis terpisah dari
kata yang lain. Jika yang dihadapinya bahasa lisan, lebih-lebih yang dihadapi itu
belum dikuasainya, maka kesulitan menandai kata dalam bahasa itu mungkin
sekali akan ditemuinya. Menghadapi contoh seperti rumah sakit, tiga puluh,
matahari, dan kaki lima, orang belum tentu sependapat mengenai jumlah kata
dalam setiap contoh.
2. Frase
Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata
yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Seperti halnya dengan kata, frase dapat bersendiri. Perhatikan contoh berikut:
(Siapa yang di sana itu?) Anak Ridwan
(Kapan Anies melihatnya?) Kemarin petang.
(Di mana Azizah?) sedang bermain.
Di antara konstituen frase dapat disisipkan kata Contoh:
Analisa kalimat analisa tentang kalimat
Kalimat kompleks kalimat yang kompleks
Berlari cepat berlari dengan cepat
Seringkali urutan kata dalam frase bersifak kaku, sehingga jika ada
kemungkinan berpindah, frase itu akan berpindah secara utuh dengan urutan
kata yang tetap.
Ia datang kemarin petang.
Kemarin petang ia datang.
Ia membeli baju baru itu di Pasar Minggu.
Baju baru itu dibelinya di Pasar Minggu.
Frase pada umumnya dapat diperluas. Contoh penyisipan kata dalam frase
diatas merupakan contoh perluasan frase. Penambahan kata untuk memperluas
frase juga dilakukan di depan atau di belakang frase tersebut.
Kalimat kompleks beberapa kalimat kompleks
Berlari cepat berlari cepat sekali
Kadang-kadang frase mempunyai tanda fonologis. Dalam bahasa Indonesia
kata terakhir dalam frase umumnya mempunyai tekanan yang lebih keras dari
kata lain dalam frase itu.
3. Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan/atau frase dan
yang mempunyai satu predikat. Klausa pada umumnya merupakan konstituen
kalimat.
Rizal membahas masalah itu…
Rizal dan Karni membahas masalah itu…
Rizal politikus …
Rizal cerdas …
Rizal melihat Karni datang …
Rizal melihat siapa …
Kerena dalam satu klausa hanya terdapat satu predikat, maka satuan yang
bersifat koordinatif seperti “Rizal memakai baju dinas” dan “Karni memakai baju
wartawan” tidak merupakan satu klausa.
Klausa dapat menjadi kalimat jika kepadanya dikenakan intonasi final.
Contoh:
Rizal membahas masalah itu.
Rizal cerdas.
Klausa dapat juga menjadi bagian sebuah kalimat, misalnya dalam kalimat
Rizal melihat Karni datang.
dan Masalah yang dibahas Rizal itu membingungkan Karni.
Klausa dapat diperluas dengan menambahkan keterangan waktu, tempat,
cara, dan lain-lain. Keterangan-keterangan itu tidak merupakan unsur inti dalam
klausa.
Kemarin Karni membahas masalah itu …
Rizal membahas masalah itu sejelas-jelasnya …
Karni berdiri tepat di tengah panggung itu…
Sebelum pukul tujuh malam, Rizal dan Karni sudah duduk dengan tenang
di dalam studio televisi.
4. Kalimat.
Kalimat ialah satuan gramatikal yang disusun oleh konstituen dasar yang
biasanya berupa klausa; partikel penghubung jika ada; dan intonasi final.
Dari rumusan di atas terlihat bahwa unsur-unsur inti sebuah kalimat adalah
konstituen dasar dan intonasi final, karena partikel penghubung tidak selalu ada.
Juga tersirat dari rumusan itu bahwa frase atau kata pun dapat menjadi
konstituen dasar kalimat. Jadi, kalau ditinjau dari segi segmentalnya saja, kalimat
bisa berupa gabungan klausa, satu klausa, frase atau kata.
Rizal memakai baju dinas dan Karni memakai baju wartawan.
Tingkat morfem ialah tingkat tata bahasa di mana morfem terlihat sebagai
konstituen bermakna yang terkecil. Tiap morfem didaftar dalam leksikon (yang
menyertai tata bahasa) dengan keterangan mengenai bentuk, kelas, dan maknanya.
Hubungan seperti yang disebutkan dalam alinea pertama pasal ini, di mana
satuan bertingkat lebih rendah menjadi konstituen konstruksi yang satu tingkat lebih
tinggi, adalah hubungan yang normal. Namun, dalam bahasa terdapat juga hubungan
yang lain sifatnya.
1. Pelompatan tingkat
Yakni pengisian oleh satuan gramatikal sebagai konstituen dalam tingkat
yang sekurang-kurangnya dua jenjang lebih tinggi jika sebuah morfem
langsung menjadi konstituen suatu frase, atau frase langsung menjadi
konstituen kalimat, inilah contoh-contoh pelompatan tingkat, misalnya,
“-nya” (morfem) dalam “baju barunya” (frase)
“sedang mandi” (frase) dalam “Dia sedang mandi”, (kalimat)
2. Pelapisan
Yakni penggunaan satuan gramatikal sebagai konstituen dalam tingkat
yang sama.
Contoh:
“ada” dalam “keadaan” (kata dalam tingkat kata)
“tahun pertama” dalam “mahasiswa tahun pertama” (frase dalam tingkat
frase)
“yang menembak kasir bank itu” dalam “Orang yang melihat perampok
yang menembak kasir bank itu”. (klausa dalam tingkat klausa)
3. Penurunan tingkat
Yakni pengisian satuan gramatikal bertingkat lebih tinggi sebagai konstituen
dalam tingkat yang lebih rendah, misalnya frase dalam tingkat kata.
kalimat
klausa
frase
kata
morfem
normal pelompatan penurunan pelapisan
KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB 133
SINTAKSIS BAHASA ARAB
E. HUBUNGAN ANTARKONSTITUEN
Setiap konstruksi – baik berupa kata, frase, klausa, maupun kalimat –
disusun oleh beberapa konstituen. Jenis satuan-satuan yang menjadi konstituen
serta macam hubungan antara konstituen-konstituen pmbentuk konstruksi
mempunyai peranan dalam menandai perbedaan di antara berbagai konstruksi.
Dalam pasal ini akan dikemukakan beberapa contoh macam hubungan
antarkonstituen dalam konstruksi.
1. Hubungan pewatasan (yang disebut juga hubungan modifikasi, hubungan
berpusat, atau hubungan endosentris).
Yakni yang terdapat di antara konstituen induk (head) dan konstituen
pewatas (modifier) dalam suatu konstruksi. Dalam hubungan pewatasan
ini, distribusi gramatikal konstruksi secara keseluruhan sama dengan
distribusi konstituen induknya.
mahasiswa lama sangat pandai
jauh sekali akan pergi
mahasiswa UIN Universitas Indonesia
Konstruksi dengan macam hubungan ini disebut konstruksi pewatasan,
konstruksi berpusat, atau konstruksi endosentris.
2. Hubungan tak berpusat atau hubungan eksosentris.
Yakni hubungan (yang berlaku di antara konstituen-konstituen suatu
konstruksi) yang ditarik oleh ketidaksamaan distribusi konstruksi sebagai
keseluruhan dengan distribusi gramatikal konstituennya yang mana pun.
di Rawamangun Saya mengerti
Konstruksi dengan hubungan antarkonstituen seperti ini disebut konstruksi
tak berpusat atau konstruksi eksosentris.
mahasiswa lama
(konstituen atasan) (konstituen bawahan)
Hubungan pembawahan juga terdapat dalam tingkat kalimat di antara
dua klausa. Satu klausa menjadi klausa atasan, sedang klausa yang lain
menjadi klausa bawahan. Klausa bawahan biasanya ditandai oleh konjungsi
subordinatif atau partikel penghubung pembawahan seperti ketika, karena,
walaupun, sebelum, dan jika.
• Ia datang ketika saya sedang tidur.
• Sebelum mengerjakan soal-soal berikut, bacalah semua petunjuk
dengan seksama.
• Jika saya tahu, pasti saya telah membelinya.
• Saya belum mengerti juga, meskipun saya sudah membaca hal itu tiga
kali.
4. Hubungan koordinatof.
Yakni hubungan yang menyambungkan konstituen-konstituen dengan
fungsi gramatikal yang setara dalam konstruksi yang berfungsi sebagai
satu satuan. Konstituen itu dapat berupa klausa, frase, atau kata.
Penyambungannya pada umumnya dilakukan dengan bantuan partikel
penghubung; kadang-kadang penyambungan dilakukan tanpa partikel
penghubung, melainkan dengan urutan atau unsur suprasegmental saja.
• Ibu (dan) bapak dua (atau) tiga
• Baik NU maupun Muhammadiyah
• Wiro Sableng menyerang dengan jurus “Pukulan Sinar Matahari” dan
Mahesa Birawa melawan dengan jurus “Kelabang Hijau”.
2. Jenis klausa
Menurut distribusi satuannya, klausa terdiri dari (1) klausa bebas, yakni
klausa yang dapat berdiri sendiri sebagai sebuah kalimat mayor dalam bahasa
yang bersangkutan (seperti Ateng sedang tidur); dan (2) klausa tak bebas, yang
tak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat mayor, meskipun dapat berorientasi final
sebagai kalimat minor (seperti ketika Iskak datang).
Menurut struktur internnya, klausa bebas dibagi menjadi tiga jenis: (1)
klausa transitif, yang mengandung predikat berobyek (seperti Kakak mencubiti
adik); (2) klausa intransitif, yang predikat verbalnya tidak dapat berobyek (seperti
Adik sedang tidur); (3) klausa ekuatif atau persamaan, yang mengandung unsur
ekuatif, baik terlihat (misalnya dengan kata adalah, is, are, dan seterusnya) atau
tidak (seperti Pak Umar guru).
Menurut struktur internnya, klausa tak bebas dibagi menjadi beberapa
jenis: (1) klausa nominal, yang dapat bertindak sebagai subjek atau obyek
klausa, dan sebagai obyek kata depan dalam tingkat frase menggantikan kata
nominal (misalnya, Amir menceritakan bahwa ia tidak sakit; Yang merasa tidak
mampu boleh membayar dalam tiga tahap; Dia harus berbicara tentang yang
dibicarakannya sebulan yang lalu); (2) klausa ajektival, yang mengganti kedudukan
kata ajektif (misalnya, Orang yang baru masuk itu; Saya baru saja menerima buku
yang kautanyakan itu); (3) klausa adverbia, yang mengganti kedudukan adverbia
yang bertugas menunjukkan waktu, tempat, atau cara (misalnya, Kapan saja ia
mau, ia dapat pergi; Pengembara itu berjalan ke mana saja kakinya melangkah;
Dengan mengacung-acungkan tangannya ia berlari).
Penggolongan kalimat menjadi kalimat aktif, pasif, tengah, netral, afirmatif,
dan ingkar sebenarnya merupakan penggolongan klausa juga, sebab konstituen
dasar dalam kalimat umumnya berupa klausa. Kalau hendak dirumuskan agak
lebih cermat, sebenarnya yang dinamakan kalimat aktif, misalnya, tidak lain adalah
klausa aktif yang telah mendapat intonasi final (dengan catatan bahwa kalimatnya
berklausa satu). Dengan demikian, dalam penggolongan jenis klausa ini dikenal
juga klausa-klausa aktif, pasif, tengah, netral, afirmatif, ingkar, pernyataan,
pertanyaan, dan perintah.
Dalam membicarakan hubungan antarkonstituen, telah diperkenalkan juga
adanya klausa utama, klausa induk, atau klausa atasan dan klausa bawahan dalam
struktur kalimat kompleks atau bersusun.
Klausa ada yang tak berpusat dan yang berpusat. Dalam klausa tak berpusat,
predikat yang tidak mengandung penanda subjek diletakkan di sebelah subjek:
Amin pergi ….
Negara kita mempunyai undang-undang dasar ….
Dalam klausa berpusat, subjek terikat di dalam predikat, tak peduli apakah
di tempat lain terdapat frase nominal yang juga menyatakan subjek. Contoh:
amo atau ego amo ‘saya cinta’
amawi atau ego amawi ‘saya sudah cinta’
3. Jenis frase
Menurut macam strukturnya, frase terdiri dari (1) frase eksosentris, seperti
ke fakultas, tentang hal itu, dari Bali; (2) frase endosentris. Frase endosentris
138 KAJIAN LINGUISTIK BAHASA ARAB
Dr. Ahmad Royani, M.Hum & Erta Mahyudin, S.S., M.PdI
dibagi lebih lanjut menjadi (a) frase endosentris berinduk satu (seperti buku baru,
sangat baik) dan (b) frase endosentris berinduk ganda (seperti ibu bapak saya,
selalu naik turun).
Menurut struktur internnya, frase eksosentris berupa frase penghubung
poros, yang salah satu konstituen langsungnya berupa penghubung frase (misalnya
di, pada), sedang konstituen lainnya berupa kata atau kelompok kata yang disebut
poros yang dikuasai oleh penghubung itu (misalnya fakultas rumah Ateng).
Menurut struktur internnya, frase endosentris berinduk satu dibagi menjadi
(1) frase nominal, (2) frase verbal (seperti akan pergi, sudah memahami) yang
berinduk kata verbal, (3) frase ajektival (seperti sangat baik, indah sekali, memang
lucu), yang berinduk kata ajektif, (4) frase adverbial (seperti agak terlalu, memang
sangat), yang berinduk kata adverbia.
Menurut struktur internnya, frase endosentris berinduk ganda dapat berupa
(1) frase koordinatif, yang konstituen-konstituennya berlainan referensinya,
misalnya ibu bapak, tua muda, Ali dan Alu, menyanyi dan menari, bagus atau
mahal), dan (2) frase apositif, yang konstituen-konstituennya bersamaan
referensinya, (seperti Kami, bangsa Indonesia; Pak Udin, Kepala SDN I Situ
Gintung; di sini, di Jakarta).
4. Jenis kata
Berdasarkan proses morfologis yang berlaku diperoleh jenis kata berikut:
(1) kata dasar, yang tidak mengalami proses morfologis; (2) kata turunan atau kata
jadian, yang merupakan hasil proses afiksasi; (3) kata ulang, yang merupakan hasil
proses reduplikasi; (4) kata majemuk, yang merupakan hasil proses komposisi.
Tentu saja ada kemungkinan melihat gabungan antara (2) dan (3); (2) dan (4); (3)
dan (4) sebagai jenis-jenis tersendiri.
Kata dapat juga digolongkan menjadi dua jenis besar: (1) partikel (seperti
dan, ke, dari, atau, tetapi, walaupun, bahwa, oleh, dan yang); (2) kata penuh (seperti
anak, burung, cari, perhatian, remaja, dan sibuk), dengan ciri-ciri yang berlawanan
dengan ciri-ciri partikel. Kata penuh bersifat terbuka dalam keanggotaan, dapat
mengalami proses morfologis, dan mempunyai makna leksikal.
Dalam pembicaraan mengenai kelas atau jenis kata yang lazim, kata penuh
inilah yang terutama dipersoalkan. Kata penuh digolongkan ke dalam jenis-jenis
kata berdasarkan distribusi kata itu dalam kontruksi yang lebih besar. Setiap kata
dianggap mempunyai distribusi tertentu dan kata-kata yang berdistribusi parallel
– yakni yang dapat menempati posisi yang sama dalam konstruksi yang lebih
besar itu – dianggap membentuk satu kelompok. Dengan cara ini diperoleh jenis-
jenis kata seperti nomina (atau kata nama, kata benda), verba (atau kata kerja),
ajektif (atau kata sifat, kata keadaan), adverba (atau kata keterangan), numeralia
(atau kata bilangan), dan pronominal (atau kata ganti).
Posisi yang dipakai sebagai penunjuk distribusi ternyata berbeda-beda
dalam keterbukaannya terhadap kata-kata yang dapat menempatinya. Ada yang
hanya terbuka bagi sejumlah kecil kata (misalnya posisi di belakang sebilah atau
sekapur); ada yang terbuka bagi sejumlah besar kata (misalnya posisi di belakang
Orang itu). Arti kenyataan ini adalah bahwa penggolongan jenis kata dengan cara
distribusi dapat menghasilkan jumlah jenis kata yang berbeda-beda. Pertanyaan
seperti “Berapakah jenis kata dalam bahasa Indonesia” dengan demikian tidak
dapat dijawab dengan menyebutkan jumlah yang pasti. Jumlahnya bergantung
kepada keperluan deskripsinya (lihat sebagai misal, Moeliono 1974: 104 - 18).
G. ANALISIS SINTAKSIS
Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa salah satu tugas
sintaksis adalah menerangkan pola-pola yang mendasari satuan-satuan sintaksis
serta konstituen-konstituennya. Memerikan pola-pola seperti itu tidak lain
mengemukakan hasil analisa satuan-satuan sintaksis itu.
Perangkat-perangkat apakah yang diperlukan untuk mengemukakan hasil
analisa itu, sehingga perbedaan antara satuan-satuan sintaksis itu menjadi jelas?
Inilah yang dibicarakan dalam pasal ini. Namun, pembicaraan berikut hanya
berkisar pada tingkat klausa dan atau kalimat dan hanya mengambil bahasa
Indonesia sebagai contoh.
Beberapa perangkat dapat dipertimbangkan untuk menggambarkan pola-
pola satuan sintaksis antara lain urutan, bentuk kata, intonasi, dan kata tugas,
perangkat yang telah diperkenalkan sebagai alat-alat sintaksis.
Dapatkah urutan dipakai untuk menggambarkan pola satuan sintaksis?
Barangkali dapat, tetapi penggambaran urutan saja pasti tidak cukup untuk
menandai perbedaan di antara satuan-satuan sintaksis. Masih pula harus
ditanyakan, urutan yang dimaksud itu urutan apa.
Karena tidak semua kata mengandung afiks, agaknya perangkat bentuk kata
tidak banyak diharapkan peranannya dalam menerangkan pola sampai sintaksis.
Demiakian juga intonasi yang ternyata pada dasarnya tidak dapat dipakai
untuk membedakan berbagai macam kalimat (lihat Halim 1974).
Karena tidak semua kalimat mengandung partikel, maka partikel itu tidak
dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan pola-pola satuan sintaksis secara
menyeluruh.
Lalu perangkat apa yang dapat diharapkan jasanya dalam pemerian
hasil analisa satuan sintaksis? Agaknya harus dicari perangkat yang ada dalam
penampilan setiap satuan sintaksis.
Pertama-tama, semua satuan sintaksis disusun oleh kata sebagai satuannya
yang terkecil. Kata-kata itu masing-masing berjenis tertentu. Kalau demikian, tiap
klausa atau kalimat dapat diperikan sebagai susunan kata dengan jenis-jenis kata
tertentu. Misalnya, Ateng melihat Iskak dapat diperikan sebagai susunan nomina
(n) – verba (v) nomina (n); kalimat Ateng lucu sebagai nomina (a) – ajektifa (a); dan
Ateng pelawak sebagai nomina (n) – nomina (n). (Secara tersirat faktor urutan ikut
dibicarakan juga dalam pemerian ini.)
Ternyata penggambaran dengan menyebutkan susunan kata dengan
jenisnya tidak dianggap mencukupi keperluan. Bandingkanlah kalimat Ateng
melihat Iskak dan Ateng dilihat Iskak. Ditinjau dari susunan kata dan jenisnya,
kedua klaimat itu berstruktur n – v – n. Padahal, setidak-tidaknya dari sifat
hubungan pelaku – perbuatannya, dua kalimat itu berbeda. Kesimpulannya,
perangkat jenis kata dapat dipakai untuk memerikan pola sintaksis tetapi harus
didampingi perangkat yang lain.
Perangkat kedua ialah perangkat peran.
Dalam menyampaikan amanat atau makna keseluruhan suatu konsrtuksi
sintaksis, misalnya kalimay – konstituen-konstituen di dalamnya tentu mempunyai
andil dalam menyumbangkan makna kepada makna keseluruhan itu. Dengan
kata lain, konstituen-konstutuen itu mempunyai peran gramatikal yang ada
hubungannya dengan pengujaran kalimat itu.
Macam peran banyak. Beberapa di antaranya ialah pelaku (atau peran
agentif), tujuan (atau peran obyektif), penerima (atau peran beneraktif), penyebab
(peran kausatif), alat (atau peran instrumental), waktu (atau peran temporal),
tempat (atau peran lokatif), tindakan (atau peran aktif), “sandangan” (atau peran
pasif), dan pemilikan (atau peran posesif).
Berikut ini contoh pemerian dengan peran:
Anton melihat Budi
(pelaku) (tindakan) (tujuan)
Budi dilihat Anton