BAHAN AJAR
TARJAMAH NAZHARIYAH
(TEORI TERJEMAH)
2 SKS
Pada hari ini Senin tanggal 15 bulan Agustus tahun 2019 Bahan Ajar Mata Kuliah Tarjamah
Nazhariyah Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Bahasa dan Seni telah
diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Lembar verifikasi ii
Prakata iii
Daftar Isi iv
Bab I Istilah dalam Penerjemahan
Bab II Strategi Penerjemahan
Bab III Urgensi Makna dalam Penerjemahan
Bab IV Problematika Penerjemahan Arab Indonesia
Bab V Evaluasi terjemahan
BAB I
ISTILAH DALAM PENERJEMAHAN
1. Selayang pandang
Semua orang di dunia ini mempunyai dan mempergunakan bahasa. Dengan berbahasa
inilah menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dardjowidjojo dalam Sumarlan
(2017: 23) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem simbol lisan yang arbitrer yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Bahasa adalah alat komunikasi antar manusia, W.J.S. Poerwadarminta dalam Tata
Taufik (2001: 4) mengartikan bahasa sebagai sistem dari pada lambang, tanda yang berupa
sebarang bunyi. Selanjutnya ia terangkan bunyi bahasa yang dipakai orang untuk melahirkan
pikiran dan perasaan.
Maka bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah milik manusia yang telah menyatu
dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala
aspek dan kegiatan manusi, tidak terkecuali kegiatan penerjemahan.
Kalau menyaksikan bahwa manusia ada yang menguasai dua bahasa sekaligus atau
lebih dalam segala kemahirannya;mendengar, berbicara, membaca dan menulis, orang
tersebut apakah disebut mahir berbahasa atau mahir menterjemahkan. Dalam istilah linguistik
kenyataan tadi disebut bilingualis seorang yang mampu menguasai dua bahasa dengan lancar.
Pertanyaan berikutnya apakah kemahirannya tersebut mengandung arti ia menterjemah dari
satu bahasa ke bahasa lain, katakanlah dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab atau sebaliknya.
Kalau dijawab tidak, maka dalam kasus ini tidak ditemukan adanya kegiatan terjemah, jadi
seorang dwibahasawan, ketika mengucapkan sesuatu itu tidak merumuskannya dalam bahasa
ibunya kemudian ia ungkapkan dalam bahasa kedua. Karenannya menurut teori ini aktivitas
terjemah nyaris tidak ada.
2. Konsep penerjemahan
Kata terjemah berasal dari bahasa Arab رشجَخyang diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi terjemah atau tarjamah. Menurut asal katanya kata tersebut mengandung
arti : menjelaskan dengan bahasa lain, atau memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa
lain. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan terjemah = terjemahan salinan
sesuatu bahasa kepada bahasa lain. Menterjemahkan berarti menyalin atau memindahkan dari
satu bahasa pada bahasa lain. Secara definitif terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan
yang terdapat di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan
padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language). Dari dua
pengertian tadi terlihat ada dua kata kunci dalam kegiatan terjemah; teks dan padanan. Yang
dimaksud teks di sini adalah teks dalam pengertian yang luas bisa berarti wacana atau juga
satuan bahasa yang paling lengkap bisa berupa tulisan ataupun lisan. Kemudian yang
dimaksud dengan padanan juga dalam pengertian yang luas, bukan saja padanan kata per
kata atau frase-per frase malainkan mencakup juga makna. Makna tersebut mencakup semua
pengertian; makna sentral atau makna denotatif dan makna konotatif serta makna kiasan
(transferred meaning) serta makna gramatikal. Jadi terjemah dalam pandangan ini berarti
proses pemindahan kata atau teks dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan jalan mencarikan
padanan maknanya. Dari sini jelas bahwa kegiatan terjemahan adalah kegiatan yang
menuntut kemahiran dua bahasa, atau dalam istilah linguistiknya disebut bilingual.
Az-Zarqani (t.t. II:107–111) mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah
memiliki empat makna:
(a) Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. Makna ini
terdapat dalam puisi berikut:
Pengertian di atas mengandung beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan lebih
lanjut. Kata mengungkapkan merupakan padanan untuk at-ta‟bîr yang asal katanya adalah
„abara, yaitu melewati atau melintasi, misalnya „abaras sabîl berarti melintas jalan. Karena
itu, air mata yang melintas di pipi disebut „abarah. Teksihat atau pelajaran yang diperoleh
melalui suatu peristiwa atau kejadian dikenal dengan „ibrah.
Konsep yang terkandung dalam kata at-ta‟bîr yang dipadankan dengan mengungkapkan
menunjukkan bahwa ujaran atau teks itu merupakan sarana yang dilalui oleh seorang penerjemah
untuk memperoleh makna yang terkandung dalam teks itu. Ungkapan „âridhah azyâ` berarti
seorang perempuan yang menampilkan model-model pakaian. Kemudian seorang penerjemah
mengungkapan makna ungkapan itu dengan peragawati melalui seorang perempuan yang
menampilkan model-model pakaian. Demikianlah, yang diungkapkan oleh penerjemah adalah
makna teks, sedangkan teks itu sendiri hanya merupakan sarana, bukan tujuan.
Kata kunci lainnya ialah makna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa makna berarti
segala informasi yang berhubungan dengan suatu ujaran. Makna ini bersifat objektif. Artinya,
informasi itu hanya diperoleh dari ujaran tersebut tanpa melihat penuturnya. Adapun istilah
maksud merujuk pada informasi yang diperoleh menurut pandangan penutur. Dengan
demikian, maksud itu bersifat subjektif. Jika seseorang bertanya, ―Apa kabar?‖ Makna
pertanyaan ini ialah bahwa orang itu menanyakan keadaan kesehatan seseorang. Namun,
maksud pertanyaan itu dapat bermacam-macam, misalnya ingin berbasa-basi, untuk
membuka pembicaraan, atau untuk menyapa.
Menurut pengertian di atas, seorang penerjemah dituntut untuk memenuhi seluruh
makna dan maksud teks yang diterjemahkan. Namun, karena masalah makna ini sangat luas
cakupannya dan memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan penerjemahan, maka
ihwal makna akan dibahas dalam bab tersendiri.
Kata kunci terakhir ialah bahwa terjemahan itu bersifat otonom. Artinya, terjemahan
dituntut untuk dapat menggantikan teks sumber atau teks terjemahan itu memberikan
pengaruh dan manfaat yang sama seperti yang diberikan oleh teks sumber. Namun, sifat
otonom ini tidak dapat diberlakukan kepada seluruh teks terjemahan, misalnya terjemahan
Alquran.
Demikianlah, pengertian di atas menunjukkan bahwa penerjemahan merupakan
kegiatan komunikasi yang kompleks dengan melibatkan (a) penulis yang menyampaikan
gagasannya dalam bahasa sumber, (b) penerjemah yang merepro-duksi gagasan tersebut di
dalam bahasa penerima, (c) pembaca yang memahami gagasan melalui penerjemahan, dan
(d) amanat atau gagasan yang menjadi fokus perhatian ketiga pihak tersebut. Bagaimanakah
keempat komponen tersebut berinteraksi dalam proses penerjemahan? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, berikut ini dipaparkan hakikat penerjemahan.
3. Hakikat Penerjemahan
Ekuivalensi ini harus cocok dengan dunia bahasa penerima. Jika tidak sesuai, maka
yang terjadi bukanlah penerjemahan melainkan pemindahan (transference) (Catford, 1965:
42). Karena itu, kajian-kajian teoretis ihwal kualifikasi penerjemah selalu menyaratkan
penguasaan penerjemah akan bahasa sumber dan bahasa penerima serta aspek-aspek
budaya di antara keduanya.
Pengertian terjemah yang dikemukakan oleh Moeliono, Catford, dan Nida sangat
mementingkan aspek ekuivalensi. Bahkan Catford menegaskan bahwa kegiatan utama
penerjemahan ialah pencarian ekuivalensi tersebut, sebab kegiatan ini terdapat pada setiap
tahap dalam proses penerjemahan yang terdiri atas analisis linguistik, adaptasi makna dan
struktur bahasa sumber dengan bahasa penerima, restrukturisasi padanan yang dihasilkan
oleh tahap kedua (Nida, 1982), dan revisi atau evaluasi (Suryawinata, 1982).
Untuk memperoleh ekuivalensi yang paling wajar dan tepat dalam bahasa penerima
pada keempat tataran linguistik di atas, perlu diperhatikan (a) penyampaian pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan menyesuaikan kosa kata dan
gramatikanya, (b) pengutamaan padanan isi daripada bentuk, (c) pemilihan padanan yang
paling wajar dalam bahasa penerima yang mempunyai makna paling dekat dengan makna
aslinya dalam bahasa sumber, (d) pengutamaan makna, meskipun gaya bahasa juga
penting, dan (e) pengutamaan kepentingan pendengar atau pembaca terjemahan (Nida,
1982).
BAB II
STRATEGI PENERJEMAHAN
Penerjemahan sangat penting dalam kehidupan global saat ini. Kita dapat
berhubungan dengan dunia luar dengan adanya penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam
bahasa yang dituju. Orang yang berbeda bahasa dengan kita, akan terbantu dengan adanya
penerjemahan. Selain itu, berbagi pengetahuan dari berbagai penjuru dunia bisa kita tahu
dengan adanya penerjemahan. Penerjemahan sangatlah penting dalam segala bidang
kehidupan. Seperti kita ketahui, penerjemahan melibatkan bahasa dan sistem kebahasaan
yang cukup kompleks yang pastinya berkembang dan berbeda antara satu bahasa dengan
bahasa yang lainnya. Karena tidak semua penerjemah mengetahui sistem yang berlaku
pada bahasa sumber, hal tersebut tentunya menjadikan kesulitan tesendiri bagi seorang
penerjemah dalam menerjemahkan. Di samping itu, penerjemah pun akan mengahadapi
satu permasalahan lagi dimana bahasa jug berkembang dan itu menyebabkan munculnya
kata, frase, idiom ataupun sistem kebahasaan yang baru pada suatu bahasa yang mungkin
tidak diketahui oleh penerjemah. Jelaslah bahwa kompleksitas dan perkembangan dari
sistem kebahasaan menimbulkan suatu permasalahan dalam penerjemahan. Maka dari itu
seorang penerjemah perlu memahami metode penerjemahan mengingat seorang
penerjemah adalah pelaku utama dalam komunikasi interlingual. Dalam kapasitas sebagai
pelaku ilmiah penerjemah mengambil keputusan, baik menyangkut pemilihan padanan
maupun pengungkapan padanan dalam bahasa target. Keputusan yang dibuat tidak terlepas
dari ideologi yang dianutnya. Ideologi inilah yang menjadi dasar pemilihan metode
penerjemahan (Al Farisi, 2014: 51). Ihwal mengapa sebuah teks diterjemahkan dan apa
fungsi teks terjemahan juga turut menentukan pemilihan metode penerjemahan.
Istilah metode berasal dari kata method dalam bahasa Inggris. Macquarie Dictionary
(dalam Machali, 2000: 48) a method is a way of doing something, especially in accordance
with a definit plan (metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan
dengan rencana tertentu). Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa pertama, metode adalah
cara melakukan sesuatu, yaitu ―cara melakukan penerjemahan‖. Kedua, metode berkenaan
dengan ―rencana tertentu‖, yaitu rencana dalam pelaksanaan terjemahan.
Penerjemahan selama ini didefinisikan secara beragam oleh para pakar bahasa yang
bergelut atau berkecimpung dalam penerjemahan. Sebagian pakar bahasa mendefinisikan
terjemahan berdasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa
lain. Ada juga sebagian pakar bahasa yang menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti
dan pesan dari suatu bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), atau bahkan
berdasarkan persepktif bahwa terjemahan sebagai suatu proses transfer budaya. Berikut ini
beberapa definisi dari pakar bahasa tentang penerjemahan yang seringkali dijadikan sebagai
acuan para penerjemah dan pengamat penerjemahan.
Berbeda dari Catford, Levy (dalam Amalia, 2010: 11) mengemukakan bahwa
terjemahan adalah suau proses kreatif yang selalu memberi kebebasan atau pilihan kepada
penerjemah dalam menghasilkan makna situasional. Lebih lanjut Levy mengatakan sebagai
sebagai suatu proses kreatif, terjemahan memberikan peluang kepada penerjemah dalam
bentuk kebebasan atau otonomi untuk menentukan kesepadanan yang persis menurut konteks
situasi. Dengan otonomi ini, seorang penerjemah memiliki peluang yang besar dan signifikan
dalam mengembangkan keterampilan dan kebisaanya. Dia bebas untuk berkreasi
mengintrepretasikan apa yang telah dituliskan oleh penulis asli selama tidak keluar dari
konteks.
Dari beberapa pendapat para ahli bahasa tentang penerjemahan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa terjemahan, baik lisan maupun tulisan memberikan penekanan lebih
kepada makna atau pesan yang akan disampaikan. Bukanlah pada masalah prinsipil, apakah
hasil terjemahan patuh kepada bentuk bahasa sumbernya, melainkan yang terpenting adalah
hasil terjemahan mempunyai maksud dan makna yang sama persis dengan pesan bahasa
sumbernya. Jadi terdapat keakuratan, kewajaran dan kejelasan makna antara bahasa sumber
dan bahasa sasaran.
Metode penerjemahan adalah cara yang digunakan oleh seseorang penerjemah saat
hendak memutuskan menerjemahkan sesuatu Tsu (bahasa sumber). Secara umum metode
penerjemahan merupakan cara teknik, atau prosedur yang dipilih penerjemah ketika
melakukan kegiatan penerjemahan atau menangani masalah-masalah yang dihadapi selama
proses penerjemahan. Terjemahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari metode
penerjemahan yang dipergunakan. Metode penerjemahan merupakan pilihan yang bersifat
umum. Pemilihan metode ini turut menentukan corak dan warna teks terjemahan secara
keseluruhan. Menurut Molina dan Albir (Al Farisi, 2014: 51), translation method refers to the
way of particular translation process that is carried out in terms of the translator‟s
objective,‟metode penerjemahan merujuk pada cara tertentu yang digunakan dalam proses
penerjemahan sesuai dengan tujua penerjemah‘. Pemilihan metode juga berhubungan dengan
tujuan penerjemaham itu sendiri. Dalam menangani sebuah teks, boleh jadi penerjemah
menggunakan lebih dari satu metode. Hanya saja biasanya terdapat satu metode yang
dominan, yang menjadi kecenderungan penerjemah selama proses penerjemahan.
Pada umumnya, dilihat dari metode yang digunakan dan hasil yang diperoleh, karya
terjemahan oleh sebagian pihak dikelompokkan pada dua ketegori yang salingberlawanan,
yakni terjemah harfiyah (literer) dan terjemah bi al-tasharruf (bebas). Dapat kita lihat
pengertian masing-masing dalam penjelasan berikut ini:
Kategori ini meliputi terjemahan yang sangat setia dan taat asas terhadap teks
sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan dengan ketaatasasan penerjemahan
terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase,
bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan model
ini adalah, hasil terjemahannya menjadi kaku, rigit dan saklek karena penerjemah
memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal,
keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Hasilnya, dapat dibayangkan, yakni
bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk
dibaca penutur bahasa sasaran (bahasa Indonesia).
Berikut contoh terjemah harfiah yang diambil dari teks kitab tafsir Fath Al-
Qorib:
واىششغ ىغخ اىؼالٍخ وششػب ٍب رزىقف صحخ اىصالح ػيُه وىُظ جضأ ٍْهب
Jika teks ini diterjemahkan secara harfiah maka akan menjadi sebagai berikut:
Dan Syarat dalam bahasa yaitu alamat, dan dalam syara` yaitu sesuatu yang
behenti sahnya shalat kepadanya dan bukan syarat itu bagian dari shalat.
Jika dilihat dari aspek metode, intensitas penerjemah, maka terjemah sering
dikelompokkan dalam kategori lain, yakni kategori ‗terjemah langsung‘ (al-tarjamah
alfauriyah) dan ‗terjemah tidak langsung (al-tarjamah al-tahdhiriyah).
Makna terjemah ini adalah terjemahan yang dilakukan secara langsung atau
tanpa suatu persiapan, seperti interpreter yang menerjemahkan atau meringkas pidato,
diskusi atau seminar. Jika demikian, yang lebih tepat adalah merupakan jenis
terjemahan yang dihadirkan langsung begitu teks sumber selesai diucapkan atau
dituliskan.
Model ini sering disebut dengan terjemah biasa atau tidak langsung. Artinya
penerjemahan yang dilakukan dengan persiapan terlebih dahulu. Begitu teks sumber
dihadirkan tidak langsung diterjemahkan. Terjemahan model ini biasanya yang paling
banyak dilakukan untuk menerjemahkan naskah-naskah tulisan, terutama buku.
Ada empat metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber. Keempat
metode tersebut ialah metode penerjemahan kata demi kata (word for word translation),
metode penerjemahan literal (literal translation), metode penerjemahan setia (faithful
translation), dan metode penerjemaham semantik (semantic translation).
1. Metode Penerjemahan Kata demi Kata (word for word translation)
Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata.
Penerjemahan cara ini dilakukan secara interlinear. Susunan kata dalam
kalimatdipertahankan, kata-kata diterjemahkan, kata-kata diterjemahkan
berdasarkan pada urutan kata dalam bahasa sumber dan bahasa aslinya. Pada
hakekatnya penerjemahan dengan model ini dapat digunakan hanya pada bahasa
sumber yang mempunyai struktur yang sama dengan bahasa sasaran. Metode ini
biasanya hanya digunakan oleh para pemula yang tidak mempunyai wawasan
bahasa sumber yang cukup baik, atau digunakan untuk kegiatan prapenerjemahan
(analisis dan tahap prapengalihan) untuk bahasa sumber yang sukar dipahami.
Contoh:
5 4 32 1
1 23 4 5
Contoh lain
2. Itulah al kitab, tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa.
a. Kelebihan
b. Kekurangan
Terjemahan diatas urutan kata demi katanya masih terikat dengan urutan
kata demi kata seperti dalam Bsu, karena itu terjemahan itu tampak tidak wajar
dan tidak berterima dalam Bsa sehingga maknanya sulit dipahami. (Masduki,
2011: 3)
جبء سجو ٍِ سجبه اىجش واإلحغبُ إىً ٍغشثً ىَغبػذح ظحبَب اىضىضه
a. Kelebihan
Kelebihan dari jenis penerjemahan ini bahwa penerjemahan harfiah sudah
melakukan penyesuaian bentuk dalam Bsa. Sebagai contoh penerjemahan harfiah
bisa dilihat terjemahan berikut:
b. Kelemahan
Contoh:
Contoh:
b. Kelemahan
4. PROSEDUR PENERJEMAHAN
Prosedur penerjemahan adalah teknik atau cara yang pakai penerjemahan selama
proses penerjemahan berlangsung pada tataran kata, frasa, dan kalimat.
1) Prosedur Literal
2) Penerjemahan Transkripsi
3) Prosedur Modulasi
Pergeseran makna dalam tingkat sudut pandang terjadi bila pergeseran tersbut
menghasilkan Bsa yang berupa unsur dengan sudut pandang semantis yang berbeda,
misalnya kata غجُت. dalam bahasa arab, kata ini berada dalam sudut pandang untuk
semua orang yang berprofesi atau mempunyai pekerjaan menyembuhkan orang yang
sedang sakit, sedangkan dalam bahasa indonesia berada dalm sudut pandang hanya
untuk orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara tradisional, seperti
dukun atau tabib. Namun, keduanya berada dalam medan makna yang sama terkait
pengobatan.
Sementara itu, pergeseran makna dalam tingkat medan makna terjadi bila
pergeseran itu menghasilkan unsur Bsa yang medan maknanya lebih luas atau lebih
sempit. Contoh kata ٌ‗ ػبىorang berilmu‘. Dalam bahasa arab kata itu berada di medan
makna yang luas, mencakup semua ilmuwan dalam segala disiplin ilmu pengetahuan
dan terkadang bermakna pakar atau ahli suatu bidang, seperti ‗ ػبىٌ اىفُضَبءpakar fisika‘
ُ ػبىٌ اىقبّىatau ‗ahli hukum‘. Padahal kata ulama dalam bahasa indonesia terbatas pada
medan makna ahli ilmu-ilmu agama islam.
Terdapat dua jenis modulasi, yakni modulasi bersifat wajib dan modulasi yang
bersifat bebas. Yang pertama merujuk pada perubahan yang harus dilakukan sebagai
akibat tidak adanya padanan atas suatu struktur, kata, frase, atau hanya sebagian
makna saja yang dapat diungkapkan dalam bahasa target. Sedangkan yang kedua
mengacu pada strategi penerjemahan yang dilakukan karena alasan non-linguistik,
seperti untuk kepentingan menjelaskan makna (machali, 2000: 69-71 dalam Al farisi
(2014: 68).
Contoh lain dari penerjemahan menggunakan prosedur ini yaitu pada salah
satu hadist nabi yang berbunyi: وال َْغً ٍزؼففًب، وال ََْغ غبىجًب، عبئال
ً أّه ال َشد
Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang terkandung dalam bahasa
ً
sumber perlu dilihat fokus pada konteks kalimat sepenuhnya yaitu وال ََْغ، عبئال ال َشد
غبىجًب, ‗tidak pernah menolak pengemis, tidak pernah menolak orang yang meminta-
minta‘. Dari konteks ‗pengemis dan orang yang meminta-minta‘ tersebut dapat
diambil makna dari kata ٍزؼففًبsebagai ‗orang yang menjaga diri untuk tidak meminta-
minta‘ sehingga permasalahan pada terjemahan kata ٍزؼففًبdapat difahami. Oleh karena
itu, penerjemah merevisi terjemahan tersebut sebagai berikut, ―Beliau tidak pernah
menolak pengemis dan orang yang meminta-minta, dan tidak melupakan orang-orang
yang „iffah (yang menjaga harga dirinya untuk tidak meminta-minta)”.
a) Teknik Korespondensi
Kedua, terdapat dua buah kata dalam bahasa Arab yang dipandang bersinonim
dengan sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Korespondensi yang kedua ini berpola
Kt1/ Kt2 = Kt. Maksudnya, dengan makna dua buah kata dalam bahasa Arab di
anggap bersinonim dengan makna sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Sebagai
contoh dalam Surah Hud (11) ayat 76 terdapat penggalan إَّّهُ قذ َجبء اٍَ ُش
‖سثَّلsesungguhnya
َ telah datang ketetapan Tuhanmu‖. Penerjemahan kata َسثَّلdengan
‗Tuhanmu‘ menggunakan korespondensi pola ini. Hal ini dilandaskan pada asumsi
bahwa terdapat kesamaan konseptual antara kata َّ ( َسةKt1) atau ( إىَهKt2) dalam
bahasa Arab dengan kata Tuhan dalam bahasa Indonesia. Namun, tentu saja struktur
makna kata Tuhan ini tidak mempresentasikan struktur makna kata َّ َسةdan إىَه. Dalam
bahasa Arab, kata َّ َسةbermakna Tuhan dalam pengertian yang mengurus, memelihara,
dan mengatur, kata إىَهbermakna Tuhan dalam pengertian wajib dipuja, disembah, dan
diibadati. Adapun dalam bahas Indonesia, kata Tuhan bermakna yang di yakini,
dipuja, dan disembah, oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa
(Lihat KBBI, 1999: 1076)
Ketiga, makna sebuah frase (F) dalam bahasa Arab disamakan dengan makna
sebuah frase (F) dalam bahasa Indonesia. Pola korespondensi yang ketiga ini ialah F =
F. Sebagai contoh dalam Surah Al- Fatihah (1) ayat 6 terdapat frase ٌُِص َشاغ اى َُ ْغزَق
ِّ اى
diterjemahkan menjadi ‗jalan yang lempeng‘. Frase ٌُِص َشاغ اى َُ ْغزَق
ِّ اىdalam bahasa Arab
oleh penerjemah dipandang sama dengan frase jalan yang lempeng dalam bahasa
Indonesia.
b) Teknik Dekripsi
c) Teknik Integrasi
Teknik ketiga ini merupakan cara penerjemahan kata atau istilah dengan
menggunakan dua teknik (kuplet) dalam mereproduksi makna bahasa sumber dalam
bahasa target. Pemakaian teknik ini dimaksudkan supaya makna yang terdapat dalam
bahasa sumber menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca bahasa target.
Dalam praktiknya biasa digunakan teknik deskripsi sebagai cara yang pokok,
sementara teknik integrasi ini penerjemah mendeskripsikan frase dengan frase (Al
Farisi 2014: 67).
Dalam hal ini penerjemah menjelaskan frase (F) bahasa sumber dengan frase
(F) dalam bahasa target. Cara ini tampak pada pola F (Kt+Kt) -> F {F1 (Kt+Kt).
Sebagai contoh frase أوىىا األىجبةyang termaktub dalam surah Ali Imron (3) ayat 7,
diterjemahkan menjadi ‗orang-orang yang berakal‘. Di sini penerjemah
mendeskripsikan konsep yang terkandung dalam bahasa sumber dengan memakai
beberapa kata, yang salah satunya bersinonim dengan kata lain (Kt=Kt). Dengan kata
lain, makna أوىىا األىجبةditerjemahkan dengan menggunakan deskripsi dan sinonim.
Cara sinonim digunakan penerjemah dengan menyamakan makna األىجبة dengan
اىؼقىهyang berarti ‗akal‘ (Al Farisi 2014: 67)
Lebih jauh Syihabuddin (2005) (dalam Al Farisi, 2014:67-68)
mengungkapkan bahwa dari ketiga teknik di atas, pemakaian deskripsi dan teknik
integrasi lebih mampu mengungkapkan makna kata bahasa Arab dalam bahasa
Indonesia ketimbang teknik korespondensi. Bisa dimaklumi, sebab teknik deskripsi
dan teknik integerasi berupaya menjelaskan makna sebuah kata bahasa sumber
dengan frase di dalam bahasa target, sedangkan teknik korespondensi hanya
menyamakan makna sebuah kata bahasa sumber dengan makna sebuah kata di dalam
bahasa target.
5) Prosedur Transposisi
Pergeseran kategori merujuk pada perubahan kelas kata bahasa sumber dalam
bahasa sasaran, dan dalam banyak kasus, pergeseran kelas kata dapat bersifat wajib
(obligatory) dan bebas (optional). Pergeseran kategori yang bersifat wajib dilakukan
sebagai upaya untuk menghindari distorsi makna, sedangkan pergeseran kategori yang
bersifat bebas pada umumnya diterapkan untuk memberikan penekanan topik
pembicaraan dan untuk menunjukkan preferensi stilistik penerjemah
(etd.repository.ugm.ac.id/potongan/S2-2017-389049-introduction).
Penerapan dari teknik pergeseran ini dilandasi oleh suatu konsepsi atau
pemahaman berikut ini. Pertama, penerjemahan selalu ditandai oleh pelibatan dua
bahasa, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bahasa sumber dan bahasa sasaran
tersebut pada umumnya berbeda satu sama lain baik dalam hal struktur maupun
budayanya. Dalam kaitan itu, perubahan struktur sangat diperlukan. Kedua, dalam
konteks pemadanan, korespondensi satu lawan satu tidak selalu bisa dicapai sebagai
akibat dari adanya perbedaan dalam mengungkapkan makna atau pesan antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Dalam kondisi yang demikian diperlukan pergeseran unit.
Ketiga, penerjemahan dipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan suatu
keputusan yang diambil oleh penerjemah dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti
kompetensi yang dimilikinya, kreativitasnya, preferensi stilistiknya dan pembacanya
(etd.repository.ugm.ac.id/potongan/S2-2017-389049-introduction).
a) Teknik Transfer
Teknik transfer merupakan teknik penerjemahan yang diterapkan dengan cara
mengalihkan fungsi sintaksis, kategori, dan kata sarana dari bahasa sumber ke dalam
bahasa target. Teknik transfer sebenarnya merupakan realisasi dari metode
penerjemahan kata demi kata, metode penerjemahan literal, dan metode penerjemahan
setia. Ketiga metode ini cenderung mementingkan dan mempertahankan bahasa
sumber. Struktur dan urutan kata bahasa sumber, misalnya dipertahankan sedemikian
rupa.
Asumsi yang mendasari teknik ini adalah adanya persamaan sejumlah aspek
lingual antara bahasa sumber dan bahasa target. Aspek kesamaan ini antara lain
meliputi fungsi, kategori sintaksis, dan kata sarana yang ada pada kedua bahasa.
Inilah yang memungkinkan teknik transfer dalam penerjemahan.
Operasionalisasi teknik transfer antara lain terlihat pada penerjemahan Surah Al-
ِِ
Baqarah (2) ayat 10. Pada ayat ini terdapat penggalan ٌ ِيف قُلُوِب ْم َمَرyang diterjemahkan
ض
menjadi ―dalam hati mereka ada penyakit‖. Penerjemahan menggunakan teknik
transfer. Dalam hal ini terjadi pengalihan fungsi sintaksis P-S menjadi PS dari bahasa
Arab ke bahasa Indonesia. Selain itu urutan kata dipertahankan dan kategori sintaksis
relatif sama.
b) Teknik Transmutasi
Adakalanya penerjemah dihadapkan pada situasi dimana ia tidak dapat
mengalihkan pola fungsi sintaksis dan kata sarana dari bahasa sumber ke dalam
bahasa target. Situasi ini yang mengharuskan penerjemah mengubah pola bahasa
sumber dengan memindahkan urutannya. Pemindahan urutan dimaksudkan agar
struktur kalimat sesuai dengan pola yang berlaku dalam bahasa target. Pengubahan
pola urutan ini dimungkinkan terjadi dengan menggunakan teknik transmutasi.
Perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa target meniscyakan adanya
transmutasi dalam proses penerjemahan. Transmutasi adalah teknik penerjemahan
yang diterapkan dengan mengubah pola urutan fungsi dan kategori sintaksis bahasa
Arab dalam bahasa Indonesia. Pengubahan dilakukan dengan cara memindahkan
tempat, baik dengan mendahulukan ataupun mengakhirkan salah satu unit gramatikal.
Pertama, Transmutasi berpola S-P menjadi P-S. Contoh dalam surat Al-
ِ هُوَ الَّ ِذي خَ لَ َق ُك ْم ِم ْن. Kalimat nominal yang berpola S-P (subjek-
An‘am (6) ayat 2 طين
predikat) ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pola P-S
(Predikat subjek) yakni ―Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah‖
Kedua, Transmutasi berpola P-S menjadi S-P. Dalam bahasa Arab pola ini
biasanya terjadi pada kalimat verbal aktif. Pola semacam ini tentu saja harus
mengalami penyesuaian dalam bahasa Indonesia. Pola P-S (Predikat subjek) ini lazim
menjadi S-P (Subjek Predikat) dalam bahasa Indonesia. Contoh dalam surat As-
ِ اَف جنوب هم ع ِن الْمغ
اج ِع
Sajdah (32) ayat 16 َ َ َ ْ ُ ُ ُ ُ َٰ تَتَ َج yang diterjemahkan menjadi ―lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya‖. Ayat tersebut berpola P-S dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan pola S-P.
memisahkan yang buruk dari yang baik‖. Terlihat bahwa dalam bahasa Arab, KS ()ه
menyertai P ( ;)يميزdalam bahasa Indonesia, KS (supaya) menyertai S (Allah).
c) Teknik Reduksi
Teknik reduksi merupakan cara penerjemahan dengan menghilangkan unsur
gramatikal bahasa sumber dalam bahasa target. Dalam penerjemahan Arab-Indonesia
menurut Syihabbbudin (dalam Al Farisi, 2011: 72) penggunaan teknik reduksi dapat
terlihat pada pengurangan pola P-S menjadi P dan pola P-(S) menjadi P- tanda kurung
menunjukkan bahwa keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.
Kalimat imperatif bahasa Arab meniscayakan adanya unsur S yang tersirat di
dalam verba. Sementara dalam bahasa Indonesia seperti dikatakan Moeliono (dalam
Al Farisi, 2011: 72) subjek yang umumnya berupa pronomina persona II mesti
dihilangkan dari kalimat imperatif. Pengurangan unsur S baik yang tersirat maupun
yang tersurat, perlu dilakukan karena dapat mengganggu kewajaran dan tidak
d) Teknik Ekspansi
Dalam banyak kasus, tidak setiap fungsi dan kategori sintaksis bahasa sumber
bisa dialihkan secara langsung ke dalam bahasa target. Kasus semacam ini
memerlukan penanganan khusus. Penerjemah perlu mendeskripsikan makna suatu
kata bahasa sumber dalam bahasa target. Pendeskripsian ini mengakibatkan perluasan
fungsi sintaksis dalam bahasa target. Secara teoretis penanganan masalah seperti ini
dapat dilakukan dengan teknik ekspansi.
Teknik ekspansi merupakan cara penerjemahan yang ditandai dengan
perluasan fungsi dan kategori yang disebabkan adanya deskripsi makna bahasa
sumber dalam bahasa target. Jadi, ekspansi merupakan kebalikan dari reduksi.
Dengan teknik yang pertama, penerjemah mengekspansi keterangan dalam bahasa
mereduksi keterangan dalam bahasa sumber dengan konsekuensi adanya َّ ْقص
‗pengurangan unsur linguistik dari bahasa sumber.
الَرُ َىا ِػ ُذوْ هُ َِّ ِع ًّشا diterjemahkan dengan menggunakan teknik ekspansi menjadi
‗janganlah kamu mengadakan janji dengan mereka secara rahasia‘. Di sini terjadi
perluasan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh deskripsi makna bahasa Arab
dalam bahasa Indonesia. Frase َِّ ُالَرُ َىا ِػ ُذوْ ه yang secara harfiah berarti ‗janganlah
kamu mengadakan janji dengan mereka‘, diperluas dengan menambah kata kawin,
sehingga menjadi ‘janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka‘.
juga terjadi pada fungsi KS menjadi F. Sebagai contoh KS ِْ َى berfungsi negasi dan
lazim disertakan pada verba mudhari‟. Jadi selain menegasikan perbuatan, KS ِْ َ ىjuga
berfungsi menegasikan verba mudhari‟ pada kala mendatang. Dua fungsi ini tidak
memiliki padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, penerjemah perlu
tidak akan. Frase ini merepresentasikan makna KS ِْ َى , yang menegaskan bahwa
هُ َىadalah pronomina persona III tunggal betina. Yang pertama, misalnya, terkandung
َ ( فَ َؼmadhi) dan ( ََ ْف ِؼ ُوmudhari‟), sedang yang kedua dalam verba ذ
dalam verba و ْ َفَ َؼي
ُ ( رَ ْف ِؼmudhari‟).
(madhi) dan و
Alhasil, penggalan ayat ke-110 ٌْ ََُ ْؼيَ ٌُ ٍَب ثَ َُِْ أَ َْ ِذ َْ ِه ٌْ َو ٍَب َخ ْيفَه dalam Surah
Thaha (20) mesti diterjemahkan menjadi ‗Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka‘. Kemunculan pronomina Dia dalam
terjemahan sebagai akibat dari penggunaan teknik eksplanasi, sebab secara implisit
verba ٌُ َََ ْؼي sudah mengandung pronomina هُ َى (dia). Boleh juga penerjemahan
Konstruksi kalimat di atas, khususnya verba ٌُ َََ ْؼي , mesti ditangani dengan
teknik eksplanasi dengan cara mengeksplisitkan fungsi subjek dalam bahasa target.
Cara ini diterapkan supaya struktur teks terjemahan berterima dan mudah dipahami
pembaca target. Dengan demikian, eksplanasi merupakan teknik penerjemahan yang
ditandai dengan pengeksplisitan unsur linguistik bahasa sumber dalam bahasa target.
Pengeksplisitan ini, seperti disebutkan Syihabuddin (2005), ditunjukkan oleh
perubahan pola P-(S) menjadi S-P dan (S)-P menjadi S-P – tanda kurung
menunjukkan bahwa keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.
Dalam bahasa Arab dikenal konsep al-istitar dan al-hadz-fu. Tamam (dalam
Syihabuddin, 2016) memadankan kedua istilah dengan morfem zero yang ada dalam
linguistik umum. Dia menerangkan bahwa istilah pertama mengacu pada pelesapan
pronomina yang berfungsi sebagai S dalam kalimat verbal. Adapun istilah kedua
merujuk pada penghilangan salah satu unsur dari kontruksi frase yang saling
melengkapi, yaitu frase endosentris distributif dan frase endosentris atributif.
menjadi ‗sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran‘ yang berpola K-P.
Penanganan dengan cara semacam ini lazim disebut teknik substitusi. Walhasil,
teknik substitusi merupakan cara penerjemahan yang dilakukan dengan mengganti
fungsi sintaksis bahasa sumber dengan fungsi lain dalam bahasa target. Menurut
Syihabuddin (2005), terkadang penerjemah mengganti fungsi sintaksis bahasa sumber
dalam bahasa target, seperti mengganti objek (O) dengan subjek (S) dan objek (O)
dengan keterangan (K).
BAB III
URGENSI MAKNA DALAM PENERJEMAHAN
2. ASPEK PRAGMATIK
Menurut Levinson (1983) pragmatik adalah ilmu yang mengkaji relasi bahasa dengan
konteks yang menjadi dasar untuk memahami suatu bahasa. Senada dengan ini Yule (1996:
127) menyebutkan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang dikehendaki oleh
penutur. Fokus kajian pragmatik adalah makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis
teks, yang ditafsirkan oleh mitra tutur atau pembaca teks tersebut. Studi pragmatik
melibatkan penafsiran apa yang dimaksudkan oleh si penutur dalam konteks tertentu, dan
bagaimana konteks tersebut memengaruhi pertuturan. Singkat kata, pragmatik mengkaji
makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.
Jika sintaksis menangani masalah dalam wujud kalimat yang statis dan abstrak,
pragmatik mengurusi tindak tutur yang berlangsung dalam situasi ujaran tertentu. Sekaitan
dengan ini Huang (2007: 258) menegaskan bahwa pragmatics without syntax is empty; syntax
without pragmatic is blind ‗pragmatik tanpa sintaksis itu hampa; sintaksis tanpa pragmatik itu
buta‘. Dalam telaah makna ujaran pragmatik memberikan perangkat yang saling melengkapi
dan prinsip-prinsip eksplanasi yang menjelaskan produksi atau interpretasi suatu tuturan yang
representasi linguistiknya telah ada sebelumnya. Dalam analisis pragmatik, pemahaman
konteks menjadi sangat penting. Sebab, berangkat dari pemahaman konteks inilah satuan-
satuan bahasa dalam suatu tuturan bisa diungkap secara lengkap. Walhasil, pragmatik
sesungguhnya berurusan dengan bahasa pada tataran yang lebih konkret ketimbang sintaksis
(Al farisi,2011: 103).
Dalam proses penerjemahan, pertama-tama penerjemah melakukan analisis sintaksis,
terutama secara sintagmatik. Dengan analisis ini akan teridentifikasi satuan-satuan lingual,
seperti kata, frase, klausa, dan kalimat. Tahap ini diteruskan dengan melakuka analisis
semantik. Dengan analisis semantik, penerjemah menentukan makna yang terkandung dalam
satuan-satuan lingual tadi. Diperlukan penggunaan nalar ketika memahami sebuah teks.
Setelah itu, penerjemah melakukan analisis pragmatik untuk mengetahui maksud sebuah teks
sumber sesuai dengan konteksnya, baik kontes linguistik (linguistic context) yang bisa
disebut ko-teks, konteks situasi (context of situation), maupun konteks budaya (context of
culture). Tahap-tahapan ini dapat diulang-ulang sampai penerjemah merasa telah
menghadirkan makna yang sepadan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target (Al
Farisi,2011: 104).
Sekaitan dengan ini, Hasan (1979) mengklasifikasikan makna ke dalam dua kategori,
yaitu 1) ٍ‗ اىَؼٍْ اىَقبىmakna tekstual‘ dan 2) ٍٍ‗ اىَؼٍْ اىَقباmakna kontekstual‘. Yang pertama
terdiri atas makna fungsional dan makna leksikal. Adapun yang kedua, berkenaan language
in use atau performansi suatu tuturan dengan aneka situasi yanng melatarinya. Makna yang
kedua inilah yang menjadi kajian pragmatik.
Hymes memilah konteks dalam beberapa matra, yang terajut dalam sebuah akronim
mnemonik S.P.E.A.K.I.N.G (Setting, Participant, Ends, Act sequence, Keys, Instrumentality,
Norms, Genre).
1) Setting ‗seting‘ mengacu pada keadan, ruang, dan waktu, termasuk didalmnya
keadaan psikologis dan kultural yang terkait dengan pertuturan;
2) Participant ‗peserta tutur‘ mencakup kombinasi penutur-petutur, seperti dosen dan
mahasiswa, penjual dan pembeli, dosen dan pasien, dsb.
3) Ends ‗tujuan‘ berhubungan dengan maksud dan harapan yang ingin dicapai dalam
pertuturan, seperti bertanya, menjawab, menjelaskan, memuji, menyuruh dan lain-
lain;
4) Act sequence ‗urutan tindakan‘yang meliputi bentuk dan isi pesan;
5) Keys ‗cara‘, antara lain terkait dengan mmasalh intonasi dan nada dalam pertuturan;
6) Instrumentality ‗sarana tutur‘ berhubungan dengan pemakaian kaidah-kaidah bahasa
dan alat yang digunakan dalam pertuturan. Seperti telepon, surat, faksimile, e-mail,
dsb;
7) Norms ‗norma-norma‘ dalam melakukan interaksi dan interpretasi;
8) Genre ‗terkait dengan jenis tuturan‘, seperti ceramah, konsultasi, dsb.
Dalam bahasa Arab, makna pragmatik ini antara lain, menjadi kajian ilmu ma‘ani.
Ilmu ma‘ani, sebagaimana kata Al-Hasyimi (2001:31), adalah prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah yang digunakan untuk mengetahui cara agar suatu tuturan sesuai dengan tuntutan
situasi, sehingga tuturan tersebut sejalan dengan maksud diungkapkannya tuturan tersebut.
Ilmu ma‘ani mengkaji tuturan dalam kaitannya dengan penyampaian makna kedua yang
menjadi tujuan penutur dalam mengungkapkan suatu tuturan, yang memuat karakteristik
tertentu, yang menjadikan tuturan tersebut sesuai dengan konteks situasi.
Analisis pragmatik dapat melengkapi kekurangan analisis sintaksis dan semantik
dalam penerjemahan. Pelibatan suatu konteks tertentu dalam analisis pragmatik dapat
mengungkapkan aspek-aspek nonsintaksis dan nonsemantik, sehingga pemahaman atas suatu
teks menjadi lebih utuh. Leech (1983) mengatakan bahwa seseorang hanya akan benar-benar
memahami karakteristik suatu bahasa manakala ia memahami pragmatik, yakni bagaimana
suatu bahasa dipergunakan dalam komunikasi. Dalam hal ini, situasi ujaran menjadi prasyarat
yang dibutuhkan untuk melakukan analisis pragmatik atas suatu tuturan. Situasi ujaran ini
mencakup beberapa unsur berikut, yaitu 1) penutur, 2) mitra tutur, 3) konteks, 4) tujuan, 5)
tindak tutur, 6) tuturan sebagai produk tindak verbal, 7) waktu, dan 8) tempat.
Berikut disajikan beberapa aspek pragmatik, seperti deiksis, prinsip kooperatif, lokusi,
ilokusi, dan perlokusi (Al farisi,2011: 106-108).
1) Dieksis
Dieksis secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, yakni deiktikos yang berarti to
show atau to point out 'menunjukkan' (Huang,2007). Term ini kemudian dipakai untuk
menyebut suatu kata yang memiliki rujukan berganti-ganti, bergantung pada saat atau tempat
diutarakannya kata itu. Senada dengan ini, Nirmala (1988: 51) mendefinisikan deiksis
sebagai suatu ungkapan yang memiliki suatu makna, tetapi merujuk pada aneka entitas
selaras dengan perubahan konteks ekstralinguistik.
Kridalaksana (2008: 45) menyebut deiksis sebagai hal atau fungsi yang merujuk
sesuatu di luar bahasa: kata tunjuk pronomina ()ظَُش, ketakrifan ()ٍؼشفخ, dan sebagainya
memiliki fungsi diekais. Terlebih dalam bahasa Arab, pemakaian deiksia peraona, misalnya,
dalam satu kalimat atau paragraf, bisa banyak. Karena itu, tidak mudah mencari anteseden
untuk pronomina yang dipergunakan dalam sebuah kalimat.
Deiksis persona ' أّذkamu' dalam bahasa Arab, umpannya, bisa menghasilkan
padanan yang beragam dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh kalimat ٍبرا رنزت؟antara lain
bisa diterjemahkan 1) apa yang kamu tulis? 2) apa yang anda tulis? Apa yang bapak tulis?
Sebagaimana diketahui, pada kata ' رنزتmenulis' tersirat deiksis persona ' أّذkamu'. Namun,
realisasi terjemahan dalam bahasa Indonesia bisa beragam, tergantung pada kedudukan mitra
tutur. Jika mitra tutur sederajat dengan penutur, tentu diksi kamu yang sesuai; jika mitra
tutur orang yang baru dikenal penutur, diksi anda yang pas; jika mitra tutur berkedudukan
lebih tinggi dari penutur, diksi bapak tentu lebih tepat. Pemilihan kata bapak pada terjemahan
(3) tentu saja mempertimbangkan maksim kesopanan dalam pertuturan.
Menurut Hwang (2007: 136), secara garis besar terdapat tiga kategori
dieksis. Pertama, deiksis persona (persona deixis) berhubungan dengan pemahaman mitra
tutur tentang kategori persona atau pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur. Kategori
persona atau pemberian peran ini kemudian dibedakan menjadi persona I, persona II, dan
persona III. Dalam bahasa Arab terdapat 14 pronomina ( )ظَُشyang dikelompokkan berdasar
pada aspek jantina ( ;)رزمُش و رأُّثaspek numeralia ( )ػذدmeliputi tunggal ()ٍفشد, dual (ًْ)ٍث,
dan plural ( ;)جَغdan fungsi sintaksis ()وظُفخ.
Kedua, dieksis ruang (place deixis) bertalian dengan pemahaman lokasi atau tempat
yang disebutkan penutur dan mitra tutur dalam sebuah pertuturan. Dalam bahasa Arab
terdapat kategori deiksis ruang yang bersifat 1) lokatif seperti ' هْبdi sini' yang merujuk pada
tempat yang dekat, ' هْبكdi sana' yang merujuk pada tempat yang jauh, dsb.
Ketiga, deiksis kala (time deixis) berkaitan dengan pemahaman waktu saat tuturan
dibuat. Termasuk deiksis kala antara lain, ' ثبألٍظkemarin', ' غذاbesok', ' اىجبسحخtadi malam', ًاىُى
'hari ini', dsb (Al-Farisi: 108-111).
2) Prinsip Kooperatif
Intisari dari prinsip kooperatif terangkum dalam rumusan 'buatlah kontribusi
percakapan anda sesuai dengan kebutuhan saat percakapan tersebut berlangsung, dan sesuai
dengan tujuan keterlibatan anda dalam percakapan'.
Gagasan prinsip kooperatif (co-operative principle) ini pertama kali dilontarakan oleh
H. Paul Grace pada 1967. Dalam serangkaian kuliahnya, Grace mengkasifikasikan prinsip
koopertaif ini ke dalam empat kategori yaitu maksim kuantitas (maxims of quantity), maksim
kualitas (maxims of quality), maksim gayutan (maxims of relation), dan maksim cara (maxims
of manners). Prinsip koopertif dengan keempat maksimnya ini, menurut Grace, dapat
menjamin pertuturan berlangsung secara jujur, relevan, gamblang, dan gampang. Keempat
maksim ini dapat dijelaskan lebih jauh sebagi berikut ini.
a) maksim kuantitas ( )مَُخdimaksudkan agar penutur memberi mitra tutur informasi
sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang disampaikan jangan sampai kelebihan
atau kekurangan. Di satu sisi kelebihan informasi dapat menyebabkan mitra tutur
mengira bahwa mitra tutur mempunyai tujuan tertentu dengan informasi yang
berlebihan tersebut. Di sisi lain, kekurangan informasi dapat menimbulkan
ketaksaan dan ketakjelasan maksud.
b) Maksim kualitas ( )مُفُخmeniscayakan agar penutur bersikap jujur dalam
menyampaikan informasi. Informasi yang disampaikan jangan sampai berisi
kebohongan. Selanjutnya, penutur tidak menyampaikan informasi yang ia sendiri
tidak yakin akan kebenarannya. Sebab, penyampaian informasi yang tidak benar
itu menyalahi tujuan pertuturan, yakni untuk menyampaikan informasi atau
memperkukuh relasi.
c) Maksim gayutan ( )ػالقخmengharuskan penutur agar mengindahkan topik
pembicaraan. Jangan sampai penutur beralih topik pembicaraan tanpa
memberikan isyarat yang jelas kepada mitra tutur. Sebab, pengalihan topik
pembicaraan tanpa sepengetahuan mitra tutur akan mengakibatkan pembicaraan
jadi tidak nyambung.
d) Maksim cara ( )أعيىةmensyaratkan penutur menyampaikan pembicaran secara
jelas serta menghindari tuturan yang membingungkan. Sejatinya penutur
menyampaikan informasi secara runtut dan tidak bertele-tele.
Menurut Cluver, sebuah teks terjemahan tidak akan benar-benar ekuivalen dengan
teks aslinya. Bisa dipastikan ia mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang
berlebihan (redundant) jika dibandingkan dengan teks sumbernya. Sekaitan dengan ini,
penerjemah harus memutuskan bagian mana yang harus dikorbankan, baik dikurangi maupun
ditambahi, dari sebuah teks terjemahan. Pengurangan dan penambahan suatu terjemahan
mesti mempertimbangkan keempat maksim di atas. Pengurangan dan penambahan sejatinya
tidak sampai merambas maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim gayutan, dan maksim
cara. Dalam penerjemahan, pelanggaran atas maksim-maksim ini terkait dengan sampai-
tidaknya amanat teks sumber dalam bahasa target.
قاَ َل بَ ْل فَ َعلَهُ َكبِْي ُرُه ْم َه َذا فَ ْسئَ لُ ْوُه ْم إِ ْن َكانُ ْوا يَْن ِط ُق ْونض
Artinya : Ibrahim menjawab, “sebenarnya patung yang besar itulah yang
melakukannya. Tanyakan saja kepada patug-patung itu, jika mereka dapat
berbicara”. (QS. Al-Anbiya [21]: 63)
Fraseُ ‘ فَ َؼيَهmelakukannya‘ pada ayat tersebut dikaitkan pada frase ٌْ ُ‗ َمجِ ُْ ُشهpatung yang
besar‘, yang dianggap sebagai tuhan. Seolah-olah Nabi Ibrahim as mengatakan bahwa pelaku
perusak itu ialah patung yang besar lantaran murka dengan patung-patung kecil yang juga
disembah-sembah. Lebih jauh beliau mengatakan, ٌْ ُ‗ فَ ْغئَيُىْ هtanyakan saja kepada patung-
patung itu‘. Dengan ungkapan ini beliau bermaksud menyadarkan orang-orang kafir yang
mempertuhankan patung-patung yang tidak berdaya, termasuk patung yang besar sekalipun,
dengan menggunakan ungkapa ta‟ridl (tindak ilokusi). Dengan kata lain, tidak sepatutnya
patung-patung yang tidak berdaya dan tidak bisa berkata-kata itu diagung-agungkan dan
disembah-sembah layaknya tuhan. Allah, tuhan yang sesungguhnya, mustahil lemah dan
tidak berdaya seperti itu (tindak perlokusi).
Ungkapan ta‟ridl yang disampaikan seorang penutur, menurut Ath-Thibiy,
sebenarnya tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagai contoh seseorang
mengatakan ‗ ٍِ َزىقّغ صيخ وهللا إٍّ ٍحزبجsiapa yang mau bersilaturahmi? Demi Allah, saya
sedang membutuhkan‘ (tindak lokusi). Maksud tuturan ini sebenarnya adalah untuk meminta
sesuatu (tindak ilokusi). Hanya saja permintaan tersebut diungkap secara tak langsung dan
tak literal melalui ungkapan lain yang bisa dipahami oleh mitra tutur dengan harapan si mitra
tutur memberinya sesuatu (tindak perlokusi) (Al Farisi,2011: 116-117).
3. KETAKSAAN
Ketaksan atau ambiguitas termasuk masalah yang relatif sulit dalam penerjemahan.
Dalam sebuah teks sering kali ditemukan kalimat-kalimat yang memiliki makna lebih dari
satu. Tentu saja hal ini bisa menjadi kendala tersendiri dalam proses penerjemahan.
Penanganan kalimat-kalimat yang taksa berbeda dengan penanganan kalimat-kalimat tedas.
Ketaksaan memaksa penerjemah mengernyitkan kening. Diperlukan waktu yang relatif lama
untuk memahaminya. Boleh jadi setelah penerjemah memahami kalimat-kalimat yang taksa,
ternyata pemahamannya keliru. Ia harus mundur lagi ke belakang untuk menlaah ulang teks
sumber secara lebih mendalam.
Secara umum, terdapat dua macam ketaksan. Pertama, ketaksaan leksikal. Sesuai
dengan namanya, ketaksaan leksikal berhubungan dengan bentuk leksikal yang dipergunakan
dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Arab, terdapat kata-kata yang memiliki ketaksaan
makna. Sering kali satu kata memiliki dua makna atau lebih, bahkan tidak jarang pula
berlawanan pula maknanya. Dalam kaitan ini penerjemah tentu saja harus dapat memastikan
makna yang dikehendaki dalam sebuah kalimat. Misalnya kata قشوءyang termaktub dalam
ص َن بِأَنْ ُف ِس ِه ْم ثَالَثَةَ قُ ُرْوء ِ
surah Al-Baqarah (2) ayat 228 ْ َّ‗ َواملُطَلَّ َقات يَتَ َربistri-istri yang
ditalak hendaklah meunggu selama tiga kali quru‘‘. Ketaksaan ini timbul semata-mata karena
bentuk leksikal قشوءyang memiliki dua makna: suci atau haid.
Bahkan, satu huruf saja bisa memiliki arti lebih dari satu makna. Sebagai contoh,
dalam bahasa arab huruf وmempunyai aneka makna.
1) Ada ٌ واو اىقغyang menunjukkan makna sumpah sekaligus men-jarr-kan nomina
atau ajektiva yang ada sesudahnya. Misalnya huruf وyang termaktub dalam surah
Al-‗Ashr (103) ayat 1 ‗ واىؼصشdemi masa‘.
2) Ada واو اىَؼُّخyang menunjukkan makna penyertaan. Nomina atau ajektiva yang ada
sesudahnya dibaca mashub sebagai maf‟ul ma‟ah. Misalnya huruf وpada kalimat
‘سجؼذ وغشوة اىشَظaku pulang bersamaan dengan terbenamnya matahari‘.
3) Ada واو اىؼطفyang dari segi i‘rab mengharuskan kata sesudahnya mengikuti
harakat kata sebelumnya. Misalnya pada surah An-Nashr (110) ayat 1, إرا جبء ّصش
‗ هللا واىفزحApabila pertolongan Allah dan kemenangan telah datang‘.
4) Selain itu, ada pula واو اإلعزئْبفyang tidak berfungsi mengubah i‘rab suatu kata.
Dalam penerjemahan huruf وini bisa berfungsi sebagai pemarka awal kalimat.
Sekaitan dengan ini, penerjemah harus jeli menentukan وyang ada dalam sebuah
kalimat. Penerjemah pemula sering kali tidak mengindahkan jenis وyang ada. Semua و
diterjemahkan dengan ‗dan‘, sehingga dalam terjemahan didapati banyak kata dan. Setiap
awal kalimat dimulai dengan dan. Pemaknaan وyang tidak tepat tentu saja dapat membuat
terjemahan menjadi janggal dan kurang berterima. Dari penerjemahan huruf وsaja sudah
menunjukkan bahwa itu adalah teks terjemahan. Padahal, terjemahan yang baik mestinya
tidak terasa sebagai terjemahan (Al Farisi,2011: 119-120).
Kedua, ketaksaan garamatikal, ketaksaan jenis ini lazim disebabkan oleh bentuk
struktur kalimat yang dipergunakan. Penggalan السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديَ ُه َما
َّ السا ِر ُق َو
َ yang
termaktub dalam surah Al-isra (17) ayat 38 dapat melahirkan ketaksaan gramatikal jika
diterjemahkan ‗pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah kalian potong tangan
mereka‘. Farse pencuri laki-laki dan pencuri perempuan bisa berarti ‗orang yang mencuri
laki-laki‘ dan ‗orang yang mencuri perempuan‘ atau ‗pencuri yang berjenis kelamin laki-laki‘
dan ‗pencuri yang berjenis kelamin perempuan‘. Ketaksaan semacam ini timbul akibat word
order (urutan kata) dan struktur kata yang dipakai dalam kalimat tersebut. Lain halnya kalau
frase tersebut dibalik menjadi ‗laki-laki pencur dan perempuan pencuri‘. Atau akan lebih
tedas kalau diterjemahkan ‗laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri‘.
BAB IV
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN ARAB INDONESIA
Dalam menerjemahkan teks ke dalam bahasa target tidak hanya mengalihkan kata tapi
juga mengalihkan maksud pesan si pembuat teks, sehingga muncul problematika-
problematika penerjemahan, diantaranya:
1. KOLOKASI
Seorang linguis Inggris, Firth yang mempopulerkan istilah kolokasi (sanding kata) ini.
Menurut Firth (1957) (dalam Al Farisi, 2014), memaparkan bahwa telaah meaning by
collocation ‗pemaknaan berdasarkan kolokasi‘ bermanfaat untuk mendekati makna secara
formal dan kontekstual. Firth menuturkan kolokasi merupakan suatu pengabstraksian pada
tataran sintagmatik, dan tidak secara langsung berhubungan dengan pendekatan konseptual
atau gagasan terhadap makna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) (dalam Al Farisi, 2014) menakrifkan
kolokasi sebagai asosiasi tetap dengan kata lain dalam lingkungan yang sama. Dalam bahasa
Arab, kolokasi lazim disebut رىافق اىنيَخ,ػالقخ اإلدٍبجatau ٌٍ رعب. Kolokasi termasuk fenomena
universal yang ada dalam berbagai bahasa di dunia.
Sinclair (1991) (dalam Al Farisi, 2014) mendefinisikan kolokasi sebagai kemunculan
dua kata atau lebih bersamaan dengan kata lain dalam sebuah teks dengan letak yang tak
berjauhan satu sama lain. Pentingnya kolokasi terkait dengan pemaknaan. Sebab, makna
sebuah kata boleh jadi berubah lantaran keberadaan kata lain yang menyandinginya.
Sementara Ghazali menyatakan istilah kolokasi sebagai Al Mutalazimat Al Lafziyyati
اىَزالصٍبد اىيفظُخ, yaitu gabungan kata atau struktur tetap yang tidak berubah. Dalam kutipan
Brashi, Ghazala mengklarifikasikan kolokasi berdasarkan tiga kategori, yakni:
1. Kolokasi yang dibuat berdasarkan pada pola atau struktur gramatikal;
2. Hubungan antarunsur pokok kombinasi tersebut;
3. Gaya bahasa kolokasi.
Kolokasi juga dapat diartikan sebagai asosiasi dan pendampingan secara tetap suatu
leksem. Pendampingan atau asosiasi itulah yang kemudian membentuk makna tertentu.
Dengan demikian, makna kolokasi memerlukan keberadaan suatu leksem dalam lingkungan
tertentu. Ia harus didampingi oleh leksem lain yang secara bersama-sama membentuk makna
tertentu. Ada kalanya kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk member efek tertentu,
misalnya dalam karya sastra atau humor, kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan
kolokasi yang baru juga untuk member efek tertentu.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi adalah
sebuah kata atau frasa yang digunakan atau digabung dengan kata lain yang mempunyai
makna benar bagi penutur bahasa tersebut, tetapi mempunyai makna yang lain dan ambigu
bagi penutur bahasa lain, sehingga mengalami kesulitan dalam memahaminya.
Menurut Al Farisi (2014: 125) pada dasarnya setiap bahasa, termasuk bahasa Arab
dan bahasa Indonesia mempunyai karakteristik kolokasi tersendiri yang berbeda satu sama
lain. Misalnya dalam bahasa Arab kata memiliki dua makna yang bertolak belakang,
bergantung dengan presepsi apa ia berkolokasi, kata سغتyang berkolokasi dengan ِػ
bermakna ‗tidak suka‘. Kata سغتyang berkolokasi dengan ٍ فbermakna ‗suka‘. Sebuah
hadits menyebutkan:
)ثَٝ(اىحذٍَْٜسَٞفيٍَِٜسغةَػَِسْت
“Orang yang tidak menyukai sunnahku itu bukan umatku (Al Hadits)”
Dalam bahasa Indonesia, kalimat Udin menyukai ayam kampung dengan udin
menyukai ayam kampus. Pertama, bermakna sejenis unggas yang tidak bias terbang. Kedua,
tidak lagi bermakna ayam dalam pengertian unggas. Kata ayam bekolokasi dengan kata
kampus berubah maknanya menjadi mahasiswi yang suka menjual diri alias wanita
tunasusila. Terlihat bahwa perubahan makna ayam terjadi karena kata lain yang berada di
sampingnya (Al Farisi, 2014: 125).
Secara leksikal kata makan bermakna ‗memasukkan sesuatu seraya mengunyah dan
menelannya ke dalam perut‘. Kata ini akan mempunyai makna lain setelah berklokasi dengan
kata asam garam, misalnya Orang itu sudah banyak makan asam garam. Ungkapan makan
banyak asam garam bermakna ‗banyak pengalaman‘ bukan makan asam dan garam banyak-
banyak. Contoh dalam bahasa Arab, kata ششةbermakna ‗minum‘, namun kata ini berbeda
makna setelah berkolokasi dengan kata َِمُؼبّه, sehingga bermakna ―hidup penuh
penderitaan‖
ٔنَوَدساستَّٝٚؼأَّحتَٞٔشابٍَنافحَصث٘سَششبٍََِم
ّ ّّأ
“Dia itu seorang pemuda yang ulet dan sabar, yang hidupnya penuh dengan penderitaan
hingga berhasil menamatkan studinya”
Tidak salah jika dikatakan bahwa kolokasi termasuk persoalan pelik yang perlu
mendapat perhatian serius dalam penerjemahan. Dalam praktinya sudah barang tentu tidak
mudah mengidentifikasi dan menerjemahkan makna sebuah kata yang berkolokasi dengan
kata lain. Para pembelajar bahasa Arab kemungkinan tahu bahwa األّفbermakna ‗hidung‘.
Namun, belum tentu mereka mengetahui makna kata tersebut setelah berkolokasi dengan kata
ًاىقى ‗kaum‘ sehingga menjadi ً أّف اىقىmempunyai makna yang sama dengan ًعُّذ اىقى
‗inohong (tokoh) suatu kaum‘. Dan berkolokasi dengan ‗ اىْهبسsiang‘. Frase أّف اىْهبسmemiliki
makna ‗ اوه اىْهبسawal siang‘ (Al Farisi, 2014: 126).
Contoh lain dalam bahasa Arab kata ثبهsemata bermakna ‗keadaan‘. Namun kata ini
bisa beraneka makna bergantung dengan kata apa ia berkolokasi : ‗ روثبهpenting‘, ساحخ اىجبه
‗senang‘, ‗ غىَو اىجبهsabar‘, ‗ خبىٍ اىجبهtenang‘, ‗ ٍشغىه اىجبهgundah‘, ‗ ّبػٌ اىجبهhidup senang‘
(Al Farisi, 2014: 126). Disinilah pentingnya kemampuan penerjemah mengidentifikasi
kolokasi dalam sebuah teks berbahasa Arab, sehingga ia dapat menerjemahkannya secara
tepat.
Contoh lain dari kolokasi, yakni:
1. (ini halal dan ini haram) ًهزا حاله وهزا حشا
2. (ingin harta yang halal harus bekerja yang halal) اىحاله ثبىحاله
Contoh ―ً ‖هزا حاله وهزا حشاdan ― ‖اىحاله ثبىحالهbukan merupakan bentuk yang ganjil
dalam bahasa Arab. Namun, khusus untuk bentuk اىحاله ثبىحاله, yang kemudian diserap
sebagai halal bi halal ―silaturrahim setelah lebaran untuk saling memaafkan‖, menjadi
sesuatu yang janggal bagi penutur bahasa Arab. Apabila untuk tujuan humor, muncul
ungkapan haram bi haram.
Kolokasi sangat penting dikaji dilihat setidaknya dari dua sudut pandang, yaitu (a)
sudut pandang pembelajaran bahasa, dan (b) sudut pandang penerjemahan. Dari sudut
pandang pembelajaran bahasa, kolokasi dianggap sangat penting, karena ada beberapa alasan
yang harus diketahui oleh para pengajar (Hill 2000: 53-56) (dalam Kamalie, 2007):
1) Leksikon Tidak Disusun secara Semena
Alasan pertama dan yang paling tampak mengapa kolokasi itu penting adalah
karena cara kata-kata berkombinasi dalam sebuah kolokasi adalah hal yang sangat
mendasar dalam penggunaan semua bahasa. Leksikon tidak disusun secara semena. Kita
tidak berbicara atau menulis seakan bahasa itu merupakan tabel kosakata yang sangat
besar yang dapat digonta-ganti untuk mengisi slot dalam struktur gramatikal. Suatu kosa
kata penting yang dipergunakan secara luas, kolokasinya dapat diprediksikan.
Ketika seorang penutur bahasa Arab memikirkan minuman, misalnya, ia dapat
menggunakan verba yang umum seperti َششة. Pendengar dapat memprediksikan
sejumlah besar kemungkinan kata yang berkolokasi dengan verba tersebut, seperti: ٌاىشب
‗teh‘, ‗ اىحيُتsusu‘, ‗اىقهىحkopi‘, ‗ػصُش اىجشرقبهjus jeruk‘, tetapi sama sekali pendengar tidak
akan memprediksikan kata-kata ‗ صَذ اىَحشكoli mesin‘, ‗شبٍجىsyampo‘ ‗ حبٍط اىنجشَزُلasam
belerang‘.
2) Kolokasi dapat Diprediksi
Dalam bahasa Arab terdapat sejumlah verba yang berkolokasi dengan preposisi
tertentu. Misalnya, verba قبهdan semua kata bentukan daripadanya pasti berkolokasi
dengan preposisi ىـdan tidak pernah berkolokasi dengan ًإى.
3) Ukuran Kamus Mental Berkenaan dengan Ungkapan
Kolokasi menjadi penting karena area yang dapat diprediksikan itu sangat besar.
Dua, tiga, empat bahkan lima kolokasi kata akan membuat sejumlah besar teks yang
alami, baik yang berupa tuturan maupun tulisan. Banyak dari yang kita ucapkan, kita
dengar, kita baca atau kita tulis kita temukan dalam ungkapan tetap.
4) Peranan Ingatan
Kita mengenal kolokasi karena kita telah bertemu dengannya. Kita kemudian
mendapatkannya kembali dari leksikon mental kita sama seperti kita memperoleh nomor
telepon atau alamat dari ingatan kita.
5) Kelancaran
Kolokasi dapat menjadikan kita berfikir dan berkomunikasi lebih efisien. Penutur
asli dapat berbicara dengan begitu lancar karena mereka memanggil kembali sejumlah
besar daftar kosa kata dari sebuah bahasa yang sudah jadi yang secara langsung mereka
peroleh dari leksikon mental mereka. Sama halnya, mereka dapat mendengar tuturan
dalam suatu kecepatan tuturan dan membaca dengan cepat karena mereka secara konstan
mengenali satuan multi-kata alih-alih memproses segala sesuatu kata-per-kata.
Salah satu alasan utama mengapa pembelajar bahasa mendapatkan pelajaran
kemahiran mendengar dan membaca begitu sulit adalah bukan karena banyaknya kata-
kata baru tetapi karena banyaknya kolokasi yang tidak dikenali. Perbedaan utama antara
penutur asli dan bukan asli adalah bahwa yang pertama telah akrab dengan sejumlah
kolokasi dengan demikian ia dapat mengenali dan memproduksi pola-pola yang sudah
jadi yang menjadikan mereka mampu memproses dan memproduksi bahasa lebih cepat
dari yang bukan penutur asli.
6) Kolokasi Membuat Berfikir Lebih Mudah
Kita dapat berfikir tentang hal-hal yang baru dan berbicara secepat kita berfikir,
sebabnya adalah karena kita tidak menggunakan bahasa baru selamanya. Kolokasi
membuat kita mampu mengekspresikan gagasan kompleks secara cepat dengan demikian
kita dapat terus memanipulasi gagasan-gagasan tersebut tanpa mempergunakan semua
bagian otak kita guna memfokuskan ingatan pada bentuk kata-kata. Salah satu gagasan
kompleks dalam bahasa Arab adalah tentang akal bulus seseorang dalam memperdayakan
orang lain. Penutur asli bahasa Arab cukup dengan mudah mengekspresikannya dengan
kolokasi yang sudah menjadi peribahasa ‗ ٍغَبس جحبpaku Juha‘. Kedua kata tersebut
sangat akrab di telinga para penutur bahasa Arab dan kolokasi yang dibentukpun
sederhana nomina + nomina. Begitulah, kolokasi merupakan kunci penting menuju
kelancaran berbahasa asing.
Demikian beberapa alasan mengapa kolokasi dianggap sangat penting dilihat dari
sudut pandang pembelajaran bahasa. Berikutnya, kita lihat bagaimana pentingnya kolokasi
dilihat dari sudut pandang penerjemahan.
Kemampuan mengidentifikasi kolokasi dalam suatu teks peranannya sangat besar
dalam proses penerjemahannya. Dalam bahasa Arab terdapat banyak kata yang bermakna
unik manakala berkolokasi dengan kata-kata tertentu. Verba ششةmisalnya yang makna
asalnya ‗minum‘, makna tersebut tidak lagi terlihat bila berkolokasi dengan sejumlah kata
yang selanjutnya menjadi peribahasa di kalangan penutur asli bahasa Arab. Bila seorang Arab
berkata, اِ ْش َشةْ ٍَِِ ْاىجَحْ ِشdalam tuturan berikut:
ؼجثلَرىلَفا ْيتاش اْش ْبٍََِاىثحشٌََٝٗإَُى،َلَأَُتخعغَىْظََٔٗتْفزٕاَتذقحَٕٞزاَاىَناَُفؼيٜشَفٍٞاَدٍتا َتؼ
maka sama sekali tidak ada kaitannya dengan makna minum sehingga diterjemahkan
“maka minumlah dari laut”
Maksud dari ungkapan tersebut adalah ‗berbuatlah sesuka hatimu. Bagaimana pun
kamu harus menerima kenyataan dan kamu tidak akan dapat mengubahnya‖. Demikian pula
dengan ungkapan yang masih mengandung verba ششةdalam tuturan berikut:
ََٔٞأمَوَتؼيٚؼأَّحتَٞششبٍََِم،َإَّٔشابٍَنافحَصث٘س
Nomina ُؼااِٞ مadalah bentul plural dari „ اىن٘عsiku‟. Secara harfiah ّٔؼاٞ ششبٍََِمberarti
„minum dari sikunya‟. Tetapi sekali lagi, verba ini tidak lagi mengandungi makna asalnya
minum. Yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah „penuh penderitaan dan cobaan
dalam menjalani hidupnya‟
(Kamel, 2007)
Maka ketika suatu terjemahan dikritik sebagai terjemahan yang salah atau tidak sesuai
dalam konteks tertentu, kritikan tersebut merujuk pada ketidakmampuan penerjemah dalam
mengidentifikasi pola-pola kolokasi yang bermaka unik dan berbeda dari sejumlah makna
elemen-elemennya secara individual. Bila ada seorang penerjemah memahami ungkapan ًػي
اىؼُِ واىشأطseperti dalam kalimat قعبهب ػيً اىؼُِ واىشأط، ميَب غيت ٍْه خذٍخsama seperti
memahami kalimat ٍ‗ جيظ ػيً اىنشعia duduk di atas kursi‘, maka penerjemah tersebut akan
memberi padanan yang tidak akan difahami pembaca bahasa sasaran. Mungkin ia akan
menerjemahkan kalimat di atas menjadi ‗setiap kali ia meminta pelayanan, ia melakukannya
di atas mata dan kepala‘. Penerjemahan harfiah seperti ini sangat berbeda jauh dari makna
yang dimaksud yaitu ثشغجخ وحت،‗ ثنو عشوسdengan senang hati‘ (Siniy, 1996) (dalam Kamalie,
2007).
Preposisi dalam bahasa Arab cukup berpengaruh dalam menentukan makna sebuah
kata, bahkan dapat menimbulkan makna yang berlawanan sebagaimana yang diberikan oleh
preposisi ً ػيdan ىـyang tidak selamanya bermakna ‗di atas‘ dan ‗untuk‘. Seorang linguis
Arab yang terkenal, Ibnu Jinniy dalam bukunya اىخصبئصmenyatakan bahwa preposisi
digunakan untuk hal-hal yang menyenangkan, sedangkan preposisi untuk kebalikannya.
Seorang penerjemah yang tidak menyadari makna yang berada di balik kata-kata yang
berkolokasi dengan kedua preposisi tersebut tidak mustahil akan menerjemahkan secara
harfiah. Maka doa yang biasa diucapkan kepada pengantin ثبسك هللا ىنَب وػيُنَبsering kita
dengar diterjemahkan menjadi ‗Semoga Allah melimpahkan berkah untukmu dan atasmu‘.
Maka memperlakukan kombinasi kata seperti dalam ungkapan-ungkapan di atas
sebagai sebuah kolokasi adalah sangat penting dalam langkah awal proses penterjemahan
daripada mencari padanan leksikal untuk setiap kata secara terpisah.
Namun, dalam praktiknya, bukanlah merupakan hal yang mudah bagi seorang
penerjemah, khususnya bagi yang tidak berpengalaman, untuk mengidentifikasi dan
menerjemahkan makna kata ketika berkolokasi dengan kata lainnya. Terkadang problematika
ini disebabkan oleh adanya beberapa makna kata ketika berkolokasi dengan suatu kata,
seperti tampak dalam berbagai makna yang berbeda dari kata ششةdi atas. Maka makna-
makna yang berbeda-beda tersebut bukan mustahil akan menipu seorang penerjemah yang
tidak berpengalaman yang tidak mampu mengidentifikasi kolokasi dengan maknanya yang
bermacam-macam yang berbeda dari makna kata-kata tersebut manakala muncul sendiri-
sendiri.
Sebab lain dari problematika yang muncul dalam proses penerjemahan kolokasi
adalah adanya makna majazi dalam sebuah kolokasi. Kata ثبهyang makna asalnya adalah
ُ‗ اىحبه واىشأkeadaan‘ seperti dalam firman Allah ( ٌْ ُ) َعَُ ْه ِذَ ِه ٌْ َوَُصْ يِ ُح ثبَىَه, makna asal ini tidak
tampak lagi dalam ungkapan-ungkapan sepeti:
ٍشغ٘هَاىثاه Gundah
َاىثاهٜخاى Tenang
رَٗتاه Penting
َتاهٛشَرٞغ Tidak Penting
ساححَاىثاه Senang
َّاػٌَاىثاه/َاىثاهٜسخ Hidup Senang, Hati Tenang
وَاىثاهٝ٘غ Bersabar
2. TRANSLITERASI
Menurut KBBI (1991) (dalam Al Farisi, 2014: 127), menyebutkan bahwa transliterasi
adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam
penerjemahan bahasa Arab ditemukan kata asing berupa nama kota, nama orang, nama
tempat, maupun nama buku yang ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab terkait dengan
nama orang dan sebutannya sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi nama tersebut. Selain itu nama untuk orang, kota, maupun untuk sesuatu
yang bersifat khusus tidak dapat dikenali dengan jelas, sebab dalam bahasa Arab tidak
mengenal huruf kapital yang dapat membedakan istilah-istilah nama. Berbeda dengan bahasa
Indonesia menggunakan huruf kapital untuk membedakan nama orang, instansi, maupun
nama untuk sesuatu yang khusus.
Transliterasi adalah penulisan atau pengucapan lambang bunyi bahasa asing yang
dapat mewakili bunyi yang sama dalam system penulisan suatu bahasa tertentu (Ahmad,
2017: 129). Menurut Panuti Sudjiman (1995) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 129), menyatakan
salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa
Indonesia, kenyataan dari bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses
pembaharuan bahasa Indonesia, karena sebagian kata telah melalui proses buatan.
Menurut Juwita (2004) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 126), bahwa transliterasi
mempunyai dua pendapat yang berbeda. Pertama, transliterasi merupakan lambang simbol
huruf Arab saja. Kedua, kelompok lain berpendapat bahwa transliterasi bukan hanya simbol
saja, tetapi huruf yang sudah dibakukan menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Menurut Ruskhan (2006) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128), bahwa kelompok pertama
mendasarkan alasan pertama pada surat Al Qur‘an surat Yusuf ayat 2:
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Qur‟an dalam bahasa Arab, mudah-
mudahan kamu memikirkannya.”
Ayat tersebut menyebutkan bahwa ayat Al Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.
Kata bahasa Arab mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa, huruf cara
membaca, lagak lagu membaca, susunan kata dan artinya. Jadi bahasa Al Qur‘an bukanlah
bahasa Jawa, bahasa Belanda, ataupun bahasa Indonesia, sudah pasti bahasa Al Qur‘an ditulis
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab termasuk membaca dan melakukan harus sesuai dengan
makhraj-makhraj Arab. Atas dasar inilah maka kelompok ini menyatakan bahwa transliterasi
bukanlah hal yang penting. Bahwa keberadaannya bisa mengganggu penguasaan baca tulis
Arab , terutama dalam hal pelafalan.
Menurut Khalaf (2007) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128) bahwa transliterasi Arab-
Latin bukanlah dari ayat-ayat Al Qur‘an, bukanlah Al Qur‘an yang suci itu sendiri. Akan
tetapi, itu hanya alat untuk mencapai dan memahaminya saja. Karena itu dinilai tidak perlu
adanya transliterasi dalam penguasaan baca tulis Arab.
Menurut Beeston (1970) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128), bahwa pengalih huruf-an
istilah-istilah Arab ke tulisan latin menimbulkan lebih banyak masalah daripada tulisan Arab
itu sendiri, walaupun sangat dibutuhkan untuk mencari lambang bunyi bahasa Arab dalam
tulisan Latin, alan tetapi belum dapat ditemukan pedoman yang menggambarkan bunyi huruf
Arab dengan tepat.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa transliterasi adalah
pengalihan huruf istilah-istilah Arab ke huruf Latin, tidak mengubah bentuk huruf maupun
wujud dari huruf tersebut.
Sebagai contoh, yakni:
َٜفاَُتافي٘فَفَٝاىَشٖ٘سَاَٜاىشٗسَٜىَ٘جٜسٞقَاإلششاغٍََٕ٘اَقاًَتَٔاىفٝ٘ظحَػَِغشََٝٛاىزٛذٞٗاىَثاهَاىتقي
.تجشتتَٔاىَشٖ٘سج
(َٜٗػيٌَاىْفسَىيذَمت٘سٍَحَذَػثَاَُّجاتٛ٘ثَاىْثٝ)اىحذ
…Contoh klasik yang menjelaskan metode conditioning adalah apa yang telah dilakukan
oleh fisiolog Rusia kondang, Ivan Pavlov, dalam eksperimennya yang terkenal…
(Hadist Nabi dan Psikologi, karya Dr. Muhammad Ustman Najati)
Pada teks di atas yang tertulis nama pakar psikologi ( اَفبُ ثبفيىفIvan Pavlov), bagi
penerjemah yang kurang memahami wacana pendidikan akan kesulitan untuk menentukan
kata tersebut, apakah kata itu berupa nama orang, kata benda, ataukah kata yang lain, karena
di dalam bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital yang dapat membedakan kata untuk nama
orang atau kata untuk sesuatu yang khusus. Bisa saja penerjemah itu mengartikan Aivan
Bavlauv atau Ivan Bavlov, kekeliruan penerjemahan ini dapat merusak citra penerjemah (Al
Farisi, 2014: 128)
ََ...َُناٞحَمَاَاخثشّاَتفتحَسٍٗاٍَقشَاىفاتٞحَاىششقّٞحَػاصَحَاىشٍٗاْٞٞاٍحَ(ٗتششّاَاىشس٘هَصَتفتحَاىقصقْطٞاىق
َاَُاألشقشَٞىيشَمت٘سَػَشَسيٙ)اىصغش
Rasulullah SAW member kami berita gembira ihwal penaklukan Konstantinopel, ibu kota
Romawi Timur. Beliau juga mengabari kami mengenai penaklukan Roma, pusat
Vatikan…
(Kiamat Kecil, karya Dr. ‘Umar Sulaiman Al-Asyqar, 2002: 160)
Pada teks tersebut terdapat nama kota سوٍب ٍقشdan ُاىفبرُنب. Penerjemah tidak akan
menemukan huruf kapital pada teks bahasa Arab tersebut, penerjemah harus sudah
mempunyai wawasan pendidikan agar dapat mengenali bahwa kata tersebut merupakan nama
tempat atau kota. Selain itu, masalah transliterasinya ke dalam abjad Latin juga menjadi
masalah penerjemahan lantaran perbedaan ejaan aksara Arab dengan aksara Latin (Al Farisi,
2014: 128).
3. PUNGTUASI
Kata Pungtuasi berasal dari bahasa Yunani ―Punctus‖ yang berarti ―poin‖. Pungstuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk memperjelas
arti atau tanda perubahan dalam intonasi. Menurut Gorsys Keraf, pungtuasi yang lazim
digunakan dewasa ini didasarkan atas nada dan lagu (suprasegmental) dan sebagian
didasarkan atas relasi gramatikal, frase dan inter-relasi antar bagian kalimat (hubungan
sintaksis).
Pungtuasi atau tanda-tanda sebagai hasil usaha menggambarkan unsur-unsur
suprasegmental itu, tidak lain dari gambar-gambar atau tanda yang secara konvensional
disetujui bersama untuk member kunci kepada pembaca terhadap apa yang ingin disampaikan
kepada mereka. Kata ―ya!‖ dapat diucapkan sedemikian rupa untuk menyatakan persetujuan
yang bersemangat, atau bernada kemalu-maluan, kebimbangan, dan kekurang percayaan, atau
sebagai suatu penolakan kasar. Banyak sekali warna arti yang dapat diberikan kepada suatu
ucapan dengan perbedaan variasi kecepatan, keras-lembut, dan intonasi yang berlainan.
Menurut KBBI (1991) (dalam Al Farisi, 2014: 129), pungtuasi atau tanda baca lazim
berkenaan dengan penulisan tanda grafis yang digunakan secara konvensional untuk
memisahkan pelbagai bagian dari satuan bahasa tertulis. Jadi Pungtuasi bertalian dengan
pemakaian huruf capital, huruf miring, koma, tanda pisah, tanda petik, tanda seru, tanda
Tanya, dan sebagainya. Masalah ini cukup penting mengingat pungtuasi sedikit banyak dapat
mempengaruhi makna satuan bahasa dalam suatu kalimat. Pungtuasi juga dapat memudahkan
pembaca dalam memahami pesan yang dibawa teks terjemahan.
Dalam buku-buku berbahasa Arab tidak memperhatikan adanya pungtuasi, sebuah
kitab tafsir yang tebalnya berjikid-jilid hanya ditulis dengan satu paragraph saja.. Persoalan
kelangkaan tersebut membuat penerjemah mengerenyitkan kening. Sulit menentukan
pungtuasi yang tepat dalam terjemahan. Untungnya, buku-buku berbahasa Arab kontemporer
yang ada sekarang sudah banyak yang mengindahkan aspek pungtuasi (Al Farisi, 2014: 130).
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa pungtuasi adalah tanda baca yang
terdapat dalam suatu teks bahasa target maupun bahasa Latin guna untuk memperjelas arti,
perubahan maupun intonasi.
Contoh dari pungtuasi berupa huruf miring dalam penerjemahan teks Arab ke dalam
bahasa Latin:
َحثَٖاَهللاَِٝٞلَخصيتَٞإَُف:َسَٞق٘ىَٔىألشجَأشجَػثذَاىقٜشَفٞفحَاىتفنٞقًَ٘ٗت٘ظَٝٛٗقذَأشادَاىشس٘هَصَتاىؼقوَاىز
ََاىتثثتََٜٕٗإَُاألّاج,َإَُاىحيٌََٕ٘اىؼقو:َثَٝششحَٔىٖزاَاىحذَٜفَْٛٗ٘ٗقاهَاى.)ٌَاىحيٌَٗاألّاجَ(أخشجٍَٔسي:َٔٗسس٘ى
َ.َ.َ.َ.ٗتشكَاىؼجيح
(َٜٗػيٌَاىْفسَىينت٘سٍَحَذَػثَاَُّجاتٛ٘ثَاىْثٝ)اىحذ
“Rasulullah memuji akal yang memiliki fungsi untuk berpikir, sebagaimana ucapan
beliau kepada Asyad „Abdul Qais. “Pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya, yaitu al-hilm dan al-anât.” (HR Muslim). An-Nawawi, dalam penjelasannya
atas Hadis ini, mengatakan bahwa al-hilm adalah akal serta al-anat adalah ketekunan dan
ketaktergesaan ….”
(Hadis Nabi dan Psikologi, karya Dr. Muhammad ‘Ustman Najati, 1998: 146)
Mengenai unsur-unsur dalam suatu perincian, bahasa Arab lazim mengunakan واو
اىؼطفdalam buku-buku berbahasa Arab kontemporer, tanda koma sebagai pengganti واو
اىؼطفsudah banyak dipakai. Sekaitan dengan ini, cukup واو اىؼطفyang terletak di akhir
perincian saja yang diterjemahkan menjadi dan, sedang sisanya cukup diterjemahkan menjadi
tanda koma.
Penerjemahan semua واو اىؼطفyang ada hanya akan menghasilkan terjemahan yang
kurang wajar dalam wacana bahasa Indonesia. Contohnya sebagai berikut:
َنثشَششبَٝٗنثشَاىزّاَٝٗنثشَاىجٖوٌَٝٗشفغَاىؼيََُٝإٍََُِأششاغَاىساػحَأ:َق٘هََٝسَؼتَسس٘هَهللاَص:َٗػَِأّسَ٘قاه
ٌَاى٘احذَِٞاٍشأجَاىقَٞىخَسٚقوَاىشجوَٗتنثشَاىْساءَحتَٝٗاىخَش
(ٌٍَٗسيٛ)سٗآَاىثخاس
“Anas menuturkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda : Di antara tanda-tanda
kiamat adalah dicabutnya ilmu, suburnya kejahilan, maraknya perzinahan, meningkatnya
konsumsi khamar, serta sedikitnya laki-laki dan banyaknya wanita, sampai lima puluh
wanita berbanding satu pria.”
(HR Al-Bukhari dan Muslim)
4. URUTAN KATA
Kridalaksana (2008: 251) (dalam Al Farisi, 2014: 134-135) menjelaskan word order
‗urutan kata‘ adalah penempatan kata dalam deretan tertentu menurut norma suatu bahasa,
baik dalam tingkat kalimat dan klausa maupun dalam tingkat frase. Lebih jauh Kridalaksana
memilah urutan kata ke dalam dua jenis:
1) Urutan Kata Bebas (Free Word Order)
Urutan kata yang tidak dipakai untuk menandai hubungan gramatikal dan yang
dapat diubah tanpa mengubah atau merusak makna kalimat. Misalnya:
- Maryam menyalami Elvi dapat diubah menjadi Elvi menyalami Maryam tanpa
mengubah makna.
- رهت صَذ ثبألٍظdapat diubah menjadi ثبألٍظ رهت صَذ
2) Urutan Kata Tetap (Fixed Word Order)
Urutan kata yang dipakai untuk menyatakan hubungan gramatikal dan yang tidak
dapat diubah tanpa mengubah atau merusak makna kalimat. Misalnya: Putra mencubit
Dian berbeda maknanya dengan Dian mencubit Putra. Pada kalimat pertama Putra
berperan sebagai pelaku (subjek), dan Dian sebagai penderita (objek). Sedangkan
kaliamat kedua Dian berperan sebagai pelaku (subjek) sedangkan Putra sebagai penderita
(objek).
Urutan kata memegang peranan penting dalam pembentukan makna dalam sebuah
kalimat. Contoh dalam bahasa Indonesia: ―itu hp baru‖ dengan ―itu baru hp‖ kalimat ini
memiliki perbedaan makna karena urutan kata. Atau kalimat, Memang mudah mencari
kambing hitam, tetapi sulit mencari hitamnya kambing. Frase ―kambing hitam‖ dan
―hitamnya kambing‖ memiliki makna yang berbeda. Contoh dalam bahasa Arab اعزؼو اىشأط
― شُجبkepala telah menyala dengan uban‖ berbeda dengan ― اعزؼو شُت اىشأطuban kepala telah
menyala‖. Pertama, menunjukan bahwa seluruh kepala itu beruban. Kedua, hanya
menerangkan terlihatnya uban dikepala.
5. ISTILAH-ISTILAH BUDAYA
Salah satu masalah dalam penerjemahan adalah budaya. Persoalan muncul ketika
bahasa target tidak memiliki bahasa sepadan dengan bahasa sasaran. Misalnya, sebagai
berikut:
Ungakapan Kultural Makna Harfiah Makna yang Dikehendaki
طٞاىزٕةَاألت Emas Putih Kapas
ٌاىْاغقَاألتن Si Bisu Pandai Berbicara Pena
ُأحعشَاألسْا Si Gigi Hijau Orang Kampung
Penerjemah idealnya bisa menangkap warna budaya yang terdapat dalam bahasa
sumber seraya mengungkapkannya dalam terjemahan yang dapat dipahami oleh pembaca
bahasa target. Istilah-istilah budaya meniscayakan perlakuan khusus dalam penerjemahannya.
Hal ini terutama terjadi manakala dalam bahasa target tidak ditemukan konsep budaya yang
sepadan, sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam merekonstruksi makna budaya
tersebut secara pas dalam bahasa target.
Newmark (1988) (dalam Al Farisi, 2014: 138-140) membedakan karakteristik bahasa
ke dalam tiga sifat, yaitu:
1) Universal: Kata-kata yang tidak menimbulkan masalah lantaran semua budaya
memiliki kata-kata yang dapat mewakili konsep-konsep yang sama.
2) Kultural: Kata-kata yang hanya terdapat dalam kultur masyarakat daerah tertentu.
Kata-kata semisal ini dalam penerjemahannya ke dalam bahasa lain seringkali
menjadi persoalan rumit akibat adanya kesenjangan dua budaya.
3) Personal: Kata-kata yang terkait dengan cara berekspresi seseorang dalam suatu
bahasa atau yang lazim disebut idiolek.
6. PENGERTIAN IDIOM
Menurut Yusuf dalam Al-Farisi (2018:145) pengertian idiom adalah unit bahasa yang
tersusun dari dua kata atau lebih, yang melahirkan makna baru tertentu yang berbeda sama
sekali dari makna kata perkata.
Menurut Kridalaksana dalam Al-Farisi (2018:145) bahwa idiom merupakan
konstruksi dari unsur-unsur saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang
ada hanya karena bersama lain. Contoh mengenai hal ini dapat dilihat pada kalimat ―dalam
peristiwa tawuran itu seorang siswa yang kebetulan lewat dilokasi kejadian menjadi kambing
hitam. Frase kambing hitam tentu saja tidak bermakna kambing yang berbulu hitam
peliharaan seseorang, akan tetapi bermakna orang yang dijadikan tumpuan kesalahan padahal
tidak bersalah. Idiom disusun sesuai dengan struktur kaidah nahwu-sharf, tetapi ungkapan
dimaksudkan berlainan dengan kahiriahnya struktur itu karena mengikuti konteks (yang
dominan pengaruhnya) (Unsi, 2013:87).
Idiom berasal dari bahasa yunani, idios yang berarti khas, mandiri, khusus atau
pribadi. Menurut keraf dalam (Unsi, 2013:88) yang disebut idiom adalah pola-pola struktural
yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa,
sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan
bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya. Senada dengan pendapat di atas, Chaer
dalam Unsi (2013:88) mengemukakan bahwa idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa
kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal,
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuannya.
Secara fungsional, sebuah idiom dapat meringkas tuturan yang kompleks (Al-
farisi,2018:145). Orang Arab cukup mengatakan ( ٍغَبس جحبsecara harfiah bermakna ―paku si
juha‖) untuk mencandrakan akal bulus seseorang dalam memperdaya orang lain. Makna ini
tentu bersifat kultural sebab dalam tradisi orag Arab sosok Juha dalam tradisi orang sunda
mirip sosok si Kabayan yaitu seorang yang cerdik yang memiliki banyak akal dalam
menangani berbagai persoalan. Setelah berkolokasi dengan kata ―ٍغَبسpaku‖, nama tersebut
kemudian menjadi sebuah idiom makna ―akal bulus‖.
Dari contoh di atas, tampak bahwa sebuah idiom tidak mungkin diterjemahkan secara
harfiah alias kata demi kata, ungkapam-ungkapan idiomatik yang bersifat kultural semacam
ini mesti diterjemahkan sebagai satu kesatuan makna. Oleh karena itu, penerjemah tidaklah
cukup menjadi seorang bilingual, tetapi juga mesti menjadi seorang bikultural yang
memahami dua budaya sekaligus. Dengan kata lain, penerjemah sejatinya memiliki wawasan
budaya yang luas, baik yang berkenaan dengan bahasa sumber maupun bahasa target.
Idiom-idiom dalam bahasa Arab yang memiliki padanan dalam bahasa indonesia lebih
mudah diterjemahkan. Penerjemah tidak perlu repot-repot mencari padanan lain, karena
sudah tersedia dalam bahasa indonesia.
7. PENERJEMAHAN METAFORA
Newmark dalam Al-farisi (2018:148) memandang penerjemahan ungkpan-ungkapan
metafora sebagai masalah khusus yang sangat penting. Dalam kaitan ini, dia memasukkan
setiap ungkapan figuratif ke dalam metafora, termasuk didalamnya pengalihan makna kata
benda, personikfikasi kata yang abstrak, dan penggunaan sebuah kata atau kolokasi yang
tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna denotatif.
Beberapa faktor mempengaruhi penerjemah dalam menerjemahkan metafora, yaitu
pentingnya metafora dalam konteks faktor budaya dalam metafora, tingkat komitemen
pembaca, dan pengetahuan pembaca. Tidak semua metafora dapat diartikan dengan mudah.
Oleh karena itu, jika metafora diterjemahkan secara harfiah, kata per kata sering terjadi salah
pengertian (Widiarti, 2011:182).
Dalam pandangan Newmark dalam Al-farisi (2018:149), metafora dapat berupa
sebuah kata atau kata yang diperluas semisal kolokasi, idiom, kalimat, peribahasa, alegori,
teks imajinatif yang lengkap. Lebih jauh dia mengatakan bahwa pada dasrnya pengungkapan
sebuah metafora mempunyai dua tujuan. Pertama, tujuan referensial (referential purpose)
berfungsi untuk mencandrakan suatu proses mental, keadaan, konsep, objek, kualitas, atau
tindakan secara lebih ringkas dan komprhensif dibanding dengan menguunakan ungkapan-
ungkapan yang bersifat literal. Kedua, tujuan pragmatik (pragmatic purpose) berfungsi untuk
melahirkan makna tertentu, menarik perhatian, memperjelas, menyenangkan,
menggembirakan, dan membuat kejutan. Tujuan yang pertama bersifat kognitif, sedang
tujuan yang kedua bersifat estetis, sebuah metafora yang baik sejatinya mengindisikan dua
tujuan.
Larson dalam Widiarti (2011:182) menyatakan bahwa tidak semua metafora dapat
diartikan dengan mudah. Menerjemahkan metafora secara harfiah sering mengakibatkan
makna yang salah, nihil, atau taksa. Ada sejumlah alasan mengapa metafora sulit diartikan
dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah:
- Citra yang digunakan dalm metafora mungkin tidak dikenal dalam bahasa sasaran
- Topik metafora tidak diungkapkan dengan jelas
- Adanya kenyataan bahwa titik kemiripan dapat ditafsirkan secara berbeda-beda
dalam kebudayaan yang berbeda
- Tiap bahasa berbeda dalam frekuensi pemakaian metafora dan cara
menciptakannya.
Lebih lengkap lagi Ibnu Qutaibah dalam Al-farisi (2018:149) menyodorkan
pendapatnya sekaitan dengan metafora. Menurutnya metafora mencakup isti‘arah
‗peminjaman kata‘, tamtsil ‗perumpamaan‘, qalb ‗pembalikan‘, taqdim ‗pemajuan‘, takhir
‗pengakhiran‘, hadzf ‗pelepasan‘, tikrar ‗pengulangan, ikhfa ‗penyembunyian‘, idzhar
‗penampakan‘, ta‘ridl ‗sindiran‘, ifshah ‗pemfashihan‘, kinayah ‗metomina‘, idhah
‗penjelasan, penggunaan bentuk mufrad ‗tunggal‘ untuk maksud jamak, penggunaan bentuk
jamak untuk maksud tunggal, penggunaan bentuk tunggal dan jamak untuk maksud mustanna
(dual), kata khusus, dan sebagainya.
Ungkapan-ungkapan metafora juga terdapat dalam bahasa Al-qur‘an dengan segala
karakteristik dan keunikannya. Tidak mengherankan kiranya dalam al-qur‘an terdapat banyak
ungkapan metafora yang memiliki kedalaman makna, keluasan cakrawala, serta mengatasi
dimensi ruang dan waktu. Quthb dalam Al-farisi (2018:150) menyebut penggunaan gaya
isbahasa metafora dalam al-quran ini sebagai penggambaran estetis. Menurutnya,
penggambaran artistik ini seseorang yang membaca atau menyimak ayat-ayat al-qur‘an akan
terpesona dan terelna dengan segenap imajinasinya, sehingga ia merasa benar-benar
menyaksikan secara nyata atau merasa benda di tengah-tengah peristiwa yang sedang
berlangsung. Sekaitan dengan hal ini, Quthb menegaskan bahwa dalam al-qur‘an terdapat
kehidupan, dan bukan sekadar kisah tentang kehidupan.
Dari paparan tersebut nyatalah bahwa sesungguhnya ada dimensi yang menjadi
problem utama dalam penerjemahan, yaitu struktur, kultur, dan dimensi ilahiyah yang bersifat
transenden. Dimensi yang pertama berhubungan dengan tataran linguistik, baik yang terdapat
dalam bahasa sumber maupun target. Sementara yang kedua berkaitan dengan ungkapan-
ungkapan kebudayaan, seperti majaz, tasybih, kinayah, dan sebangsanya. Penerjemahan
semacam ini seringkali menjadi masalah yang cukup pelik manakala bahasa target tidak
memiliki ungkapan yang sepadan dengan bahasa sumber, sehingga sulit ditemukan atau tidak
ditemukan padanan yang tepat.
Kenyataan bahwa penerjemahan ungkapan-ungkapan metafora sering kali
menyulitkan penerjemah dalam mencari padanan yang sesuai, berterima, dan mudah
dipahami oleh pembaca teks target. Asosiasi kata yang satu dengan kata yang lain sering kali
melahirkan kerancuan manakala diterjemahkan secara harfiah tanpa mengindahkan makna
sebenarnya. Misalnya frase ػقشة اىغبػخyang secara harfiah berarti kalajengking jam. Dalam
kultur orang Arab, penanda detik, menit, dan jam lazim diasosiasikan dengan ekor
kalajengking. Seperti ada sebuah jam, ekor kalajengking juga suka berputar ketika
menghadapi musuh atau mangsa. Masyarakat indonesia tentu saja tidak dapat memahami
maksud ungkapan kalajengking jam dengan mudah. Lain halnya jika ungkapan tersebut
diterjemahkan dengan jarum jam yang akrab di telinga orang Indonesia. Secara kultural orang
indonesia mengasosiasikan penanda detik, menit dan jarum jam dengan jarum yang
merupakan alat menjahit pakaian. Oleh karena itu, penerjemahan ungkapan ػقشة اىغبػخ
sejatinya dipadankan dengan ‗jarum jam‘ yang notabene berterima dalam kultur orang
Indonesia.
8. RAGAM PENERJEMAHAN KINAYAH
Kata ( مْبَخkinȃyah) sendiri, sebagaimana disebutkan Al-Fairuzabadi (dalam Al farizi,
2011:153), merupakan bentuk masdar dari verba ٍّلَُ ٌ وْ ُُّ ْن
ْ ٌ- ل
َ َْىyang berati ‗mengatakan
ُ ْْ ََ(حpenyebutan nama yang diawali dengan kata وثأ, ٍأ
dengan ibarat, kiasan, sindiran‘. Istilah ل
, ّجإatau )حّجإjuga berasal dari verba yang sama. Secara lugowiyah, pengertian kinȃyah adalah
mengatakan sesuatu dengan maksud lain.
Dalam disiplin ilmu balaghah kinȃyah merupakan salah satu bahasan dari kajian ilmu
bayan (kajian gaya bahasa). Kedua bahasan lainnya dari ilmu tersebut adalah tasbiyah dan
majȃz. Dalam ilmu bayan (kajian gaya bahasa arab) terdapat tiga model pengungkapan
ujaran. Pertama, tasybih yaitu penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena ada titik
persamaan. Pada model ini thorofain (kata yang diserupakan dan kata yang diserupai)
disebutkan dengan jelas. Pada model pertama ini musyabbah (kata yang diserupakan) dan
musyabbah bih (kata yang diserupai) keduanya disebutkan. Kedua, majȃz yaitu model
pengungkapan seperti pada tasybih, akan tetapi salah satu dari thorofain-nya dihilangkan,
baik itu musyabbah atau musyabbab bih. Ketiga, kinȃyah yaitu model pengungkapan yang
memiliki arti konotatif. Kinȃyah memiliki kesamaan dengan majȃz karena keduanya
bermakna konotatif. Perbedaan keduanya, kinȃyah bisa difahami atau mengandung makna
denotatif. Sedangkn majȃz tidak diperbolehkan mengambil makna denotative (Nurbayan,
tanpa tahun: 03)
Ragam kinȃyah setidaknya dapat ditilik dari dua aspek. Pertama ditilik dari aspek
makniy‟anhu „hal yang di- kinȃyah-kan‘, dan kedua dari aspek wasȃith ‗sarana‘. Dari aspek
makniy „anhu, Qazwainiy (1998) membagi kinȃyah dalam tiga jenis, yaitu (1) kinȃyah
ghairush shifati wan nisbah, (2) kinȃyah shifat, (3) dan kinȃyah nisbah. Selanjutnya, kinȃyah
shifat ini terbagi lagi menjadi kinȃyah qarȋbah dan kinȃyah ba‟ȋdah. Pada kinȃyah qarȋbah,
peralihan makna dari makna asal ke makna yang dikehendaki terjadi tanpa perantara lantaran
sudah cukup jelas. Sedangkan pada kinȃyah ba‟ȋdah, peralihan makna asal ke makna yang
dikehendaki terjadi melalui sejumlah perantara (dalam Alfarisi, 2011:155).
BAB V
EVALUASI TERJEMAHAN
Menurut Newmark (dalam Alfarizi , 2011: 177) memilah segitiga kualitas terjemahan dengan
menyodorkan enam cara pandang terhadap sebuah terjemahan. Yang pertama, ialah translation as a
science. Menurut cara pandangan ini, benar-salah suatu terjemahan didasarkan pada lkreiteria
kebahasaan, sehingga kesalahannya bersifat mutlak. Kesalahan semacam ini boleh jadi disebabkan
kekeliruan dalam mengidentifikasi sebuah kolokasi misalnya, kalimat َ َه َذا ِمسْ َمار جحاmenjadi salah jika
diterjemahkan ‗ini paku si Juha‘, sebab َ ِمسْ َمار جحاsebenarnya bermakna ‗akal bulus‘. Bisa juga kesalahan
disebabkan ketakcermatan penerjemah dalam mengidentifikasi fungsi-fungsi sintaksis dalam sebuah
kalimat. Sebagai contoh kalimat رميت زيدkeliru jika dibaca ramaitu zaidan seraya diterjemahkan ‗saya
َ sehingga tidak bisa menjadi
melempar si Zaid‘. Sebab kata زيدpada kalimat tersebut tidak ditulis زي ًْدا,
maf'ul bih (objek). Yang benar kalimat tersebut mesti dibaca ra maita zaidin dan diterjemahkan ‗lihat
mayat si Zaid‘.
Cara pandang kedua, ialah translation as a craft yang menganggap penerjemahan sebagai suatu
keperigelan. Dalam hal ini, benar-salah suatu terjemahan bersifat relative. Realivitas benar-salaj
terjemahan berhantung pada matra untuk siapa dan untuk apa terjemahan tersebut dibuat. Cara pandang
ketiga, ialah translational as an art, yang melihat penerjemahan sebagai sebuah seni. Cara pandang ini
biasanya terkait dengan penerjemahan sebagai proses penciptaan. Penciptaan dilakukan dengan mencari
kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang lebih mengena dan berterima. Cara pandang keempat ialah
translation as a taste, yang melihat terjemahan sebagai sebuah pilihan berdasarkan selera.
Dalam penelitian Nababan (dalam Alfarizi, 2011: 178) menggunakan dua instrument untuk
menakar kualitas suatu terjemahan. Pertama, accuracy-rating instrument dengan skala 1 sampai 4.
Penilaian keakuratan terjemahan terfokus pada level kalimat dan keterkaitannya dengan kalimat lain dan
sebuah teks. Keterkaitan tekstual diperlukan mengingat kualitas terjemahan sebenarnya berada pada
tataran teks. Kedua, readability-rating instrument yang digunakan untuk menakar derajat keterbacaan
suatu teks terjemahan. Instrumen ini terdiri atas dua sifat pertanyaan: tertutup dan ternuka. Pertanyaan
terbuka dipakai untuk menyibak derajat keterbacaan teks terjemahan dalam rentang skala 1-4. Skor 1
menunjukkan derajat keterjemahan sangat mudah, skor 2 mudah, skor 3 sulit, dan skor 4 sangat sulit.
Adapun pertanyaan terbuka, digunakan untuk meminta pembaca teks terjemahan mengungkapkan alasan-
alasan mengapa teks terjemahan sulit atau sangat sulit dimengerti, disertai contoh-contoh dari teks
terjemahan yang sedang dievaluasi.
67
Menurut Larson (dalam Alfarizi, 2011: 179) demi kualitas terjemahan kiranya perlu
dipertimbangkan tiga hal penting dalam penerjemahan: keakuratan (accurary), kejelasan (clearness), dan
kewajaran (naturalness). Ketiga hal ini kita sebut saja sebagai segitiga kualitas terjemahan.
1) Keakuratan (Accuracy)
Aspek keakuratan mengacu pada sejauh mana tingkat kesepadanan pesan antara teks sumber dan
teks target. Aspek ini harus dijadikan prioritas utama dalam penerjemahan. Sebab, keakuratan merupakan
konsekuensi logis dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks disebut terjemahan kalau teks
tersebut memiliki hubungan padanan dengan teks sumber. Keakuratan berkaitan dengan hasil terjemahan
yang dapat mengantarkanamanat teks sumber kepada pembaca terjemahan. Terjemahan yang akurat
berarti tidak mengalami distorsi makna. Dengan kata lain, makna kata, frase, kalusa, dan kalimat Bahasa
sumber terterjemahkan secara tepat ke dalam Bahasa target. Intinya, apakah hasil terjemahan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya? Pengujian atas tingkat keakuratan teks terjemahan dapat
dilakukan oleh seorang pakar yang menguasai Bahasa sumber, Bahasa target, dan bidang yang
diterjemahkan dengan baik. Pengujian juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan teks sumber
dengan teks target.
Dalam hal ini hasil terjemahan harus dapat mengomunikasikan makna yang sedapat mungkin
mendekati makna yang dibawa teks sumber. Jadi, aspek keakuratan sangat terkait dengan dikotomi benar-
salah hasil terjemahan. Dan benar-salah terjemahan ini berkaitan dengan masalah makna, bukan bentuk.
Keberadaan taklikat, takarir, dan syarah sangat membantu penerjemah dalam mengidentifikasi makna dari
teks sumber yang kurang jelas. Misalnya : sebuah hadits riwayat muslim menyebutkan الماَء م َِن ال َما ِءmakna
hadis ini menjadi kabur bila ditrjemahkan secara harfiah, yakni ‗air dari air‘. Pdahal, yang dimaksud hadis
ini adalah mandi junub itu karena keluar mani. Jadi, الماَءyang pertama adalah air mandi, dan الماَءyang
kedua adalah air mani. Pengertian semacam ini, antara lain, bias didapat dengan membuka kitab syarah
semisal Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhariy karya Ibnu Hajar Al-Asqalaniy. Sekiranya penerjemahan
sudah selesai, membaca ulang hasil terjemahan menjadi keharusan. Selama proses ini berlangsung
penerjemah dapat melakukan proof reading untuk memperbaiki kesalahan ketik dan tata letak. Selebihnya
adalah proses editing ‗penyuntingan‘ untuk membenahi Bahasa terjemahan, mengoreksi ejaan,
memperbaiki preposisi, memangkas kata-kata yang tidak perlu, mendelete pengulangan, mempertajam
diksi, sehingga hasilnya semakin bagus dan enak dibaca.
2) Kejelasan (Clearness)
Aspek kejelasan berkenaan dengan sejauh mana tingkat kemudahan pembaca dalam memahami
maksud sebuah teks terjemahan. Aspek kejelasan menyangkut tingkat keterbacaan hasil terjemahan. Dan
aspek keterbacaan ini menyangkut dengan aspek-aspek linguistic, misalnya penggunaan kategori
sintaksis (subjek, predikat, objek, keterangan, pelengkap); serta pemilihan diksi, preposisi, kopula,
68
kolokasi, pungtuasi, dan semacamnya. Tingkat keterbacaan sebuah teks terjemahan dapat diukur dengan
parameter berikut, yaitu (1) mendaftar kosakata, (2) menganalisis secara subjektif dengan
mempertimbangkan aspek-aspek yang memengaruhi tingkat keterbacaan, (3) menggunakan close
procedure dengan memakai tes pemahaman terhadap teks terjemahan, dan (4) menggunakan formula
untuk mengukur keterbacaan. Aspek ini juga bersinggungan dengan uapaya penerjemah menghindari
ketaksaan. Contoh kalimat : َه َذا سمsebaiknya tidak diterjemahkan menjadi ‗ini bisa‘. Sebab, kata bisa
boleh jadi bermakna dapat atau racun. Ketaksaab menjadi hilang jika diterjemahkan menjadi ‗ini racun‘.
Pemakaian kata racun dapat menepis kemungkinan makna dapat. Namun, kata racun mempunyai fitur
semantik yang berbeda dengan bisa. Ada racun tikus, misalnya, tetapi tidak ada bisa tikus. Dalam hal ini
boleh juga penerjemah menggunakan teknis ekspansi dengan memberi deskripsi tambahan. Terjemahan
ini bisa ular,misalnya, secara sintagmatik dapat menutup kemungkinan munculnya makna dapat dari kata
bisa. Pesan atau informasi implisit semacam ini menuntut kejelian penerjemah.
3) Kewajaran (Naturalness)
Sisi yang terakhir ini berkaitan dengan seberapa alamiah sebuah terjemahan, sehingga dapat
dipahami dan dirasakan dengan baik oleh pembacanya. Aspek kewajaran berhubungan dengan efek uyang
dihasilkan sebuah terjemahan. Apakah sebuah teks terjemahan memiliki efek yang sama dengan efek
yang dihadirkan oleh teks sumber. Dalam Bahasa Arab misalnya pemakaian َواو االِسْ ِت ْئ َنافrelative sering
dalam sebuah wacana. Wawu jenis ini biasanya dipakai sebagai pemarka awal kalimat, dan tidak
berkaitan dengan kalimat sebelumnya. Alhasil, jika setiap َواو االِسْ ِت ْئ َنافditerjemahkan dan maka aspek
kewajaran menjadi hilang. Sebab, pemakaian kata dan di setiap awal kalimat kurang berterima dalam
Bahasa Indonesia. Bisa dikatakan bahwa kualitas terjemahan dapat terlihat dari pemakaian kalimat-
kalimat yang berterima, penggunaan tata Bahasa baku, dan pemilihan diksi yang tepat. Di samping itu,
kosakata yang ditransfer langsung dari Bahasa sumber juga dilengkapi dengan npenjelasan, baik dalam
bentuk catatan kaki ataupun glosarium, guna membantu pembaca dalam memahami makna suatu kata
atau istilah.
Penelitian Syihabudin (dalam Alfarizi, 2011: 187) mengungkap aspek-aspek yang dianggap paling
menentukan pemahaman pembaca atas teks terjemahan :
1. Struktur kalimat
2. Pemakaian ejaan
3. Pemilihan kosakata yang lazim dipakai
4. Penjelasan istilah khusus.
5. Kelewatan pemakaian kosakata.
6. Pemanfaatan kata-kata bahasa Arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia
69
2. MENYUNTING DAN MENILAI HASIL TERJEMAHAN
a) Menyunting Hasil Terjemahan
Saat melakukan penyuntingan awal tersebut, seorang penerjemah hars memperhatikan
segi sistematika penyajian atau teknik penulisan, isi, bahasa, yang menyangkut ejaan, huruf ,
tanda baca, kata, diksi, frasa, istilah klausa, kalimat dan wacana. Untuk keperluan tersebut
seiorang penerjemah yang baik harus melengkapinya dengan instrument penyuntingan dalam
suatu karya terjemahan, seperti naskah Tsu, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tata Baku Bahasa
Indonesia, dan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia.
Ada beberapa syarat agar penyuntingan awal ini menjadi bernilai sebagai berikut :.
1. Mengetahui tata bahasa dalam arti luas. Ia memahami struktur kalimat yang baik dan
benar, terutama terkait kalimat efektif.
2. Memiliki kepekaan bahasa yang kuat
3. Menguasai huruf, ejaan, dan tanda baca bahasa Indonesia yang berlaku saat ini.
4. Menguasai pembentukan istilah.
5. Akrab dengan kamus, baik kamus istilah, tesaurus, leksikon, ensiklopedia, maupun kamus
kosa kata.
6. Menguasai bahasa asing internasional.
7. Teliti dan sabar membandingkan hasil terjemahannya dengan maksud dan pesan
Tsu.Caranya dengan selalu mencari tahu dan menandai hal-hal yang belum secara pasti
merupakan pesan dari Tsu.
8. Jujur bila tidak sanggup memperbaiki kualitas naskah.
9. Menghormati gaya penulis.
Untuk Tsu yang berbahasa Arab, penerjemah harus hati-hati karena sistematika dan
teknik penulisannya yang memang berbeda dengan teks yang beraksara latin, seperti bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia.`Ada hal-hal yang harus diperhatikan pada saat menyunting hasil
terjemahannya Arab Indonesia karena kerap kali penerjemah mengabaikannya.. Berikut beberapa
hal menurut Sugihastuti dan Nikmah (dalam Hidayatullah 2017:111-121) menyatakan hal-hal
tersebut:
1) Teknik penulisan kalimat langsung. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Sebelum berangkat,, bapak berpesan, ‗‘Jaga rumah baik-baik, Bu!‘‘
- ‗‘Tujuan saya membuat penelitian ini, ‗‘katanya menjelaskan, ‗‘adalah untuk
melengkapi skripsi saya‘‘
- ‗‘Saya kurang sependapat dengan Anda,‘‘ katanya. ‗‘Barangkali sebaiknya kita
minta pendapat orang ketiga.‘‘
70
- Ketika pintu kubuka, kudengar adik berseru, ‗Mama, kakak pulang!, dan letihku
pun lenyap seketika, ‗‘ujar Rudy‘‘.
- ‗‘Kalian dengar suara ‗plung‘ tadi ?‘‟tanya Pak Sofyan
- Dengar, Pak! jawab kami serempak.
2) Penulisan tentang sesuatu yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan nama
Tuhan, termasuk kata gantinya. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Meskipun Rina beragama Islam, ia membaca juga kitabkitab suci agama yang lain.
- Bimbinglah hambaMu ini, ya Tuhan Yang Mahakuasa, ke jalan yang Engkau beri
rahmat.
- Kita hanya bisa mengharapkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
- Masalah-masalah keislaman dibahas secara mendalam dalam seminar itu.
4) Penulisan nama bangsa, suku, bangsa, nama hari, bulan, tahun, dan peristiwa sejarah.
Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Bencana alam yang terjadi di masa kaum Tsamud merupakan peringatan dari
Tuhan.
- Ada banyak kabilah di struktur budaya masyarakat Arab tradisional, seperti kabilah
Huzail, kabilah Khajraj, kabilah Ghatafan.
- Di sekolah ini pelajaran bahasa Arab sangat diutamakan.
- Pada tahun 1997, hari Idul Fitri menjadi puncak kebahagiaannya.
- Sejarah kekritenan pernah ternoda oleh peristiwa Perang Salib.
5) Penulisan nama khas dalam geografi. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Salah satu sungai yang terkenal di dunia Arab adalah Sungai Nil.
- Jangan lengah jika kamu berada di jalan yang ramai itu karena kabarnya Jalan
Diponegoro sering ‗‘makan‘‘ korban.
- Saat ini sungai-sungai di Kota Jakarta sudah tercemar, lebih-lebih Sungai Ciliwung.
71
6) Penulisan nama lembaga, dokumen resmi, dan judul buku. Perhatikan huruf yang
ditulis miring.
- Semua undang-undang untuk mengatur negara ini merupakan penjabaran dari
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
- Kabarnya keberadaan Departemen Agama akan ditiadakan.
- Ia salah seorang kandidat pemimpin sebuah departemen pemerintahan di republik
ini.
- Siapa pernah membaca buku Kaif Nata‟amal ma‟a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah?
- Pelajaran Ilmu Falak untuk Sekolah Lanjutan.
7) Perbedaan penulisan antara kata depan dengan awalan di dan ke, serti partikel pun.
Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Letakkan barang ini di atas meja yang tinggi agar tidak dipegang-pegang oleh
adikmu!
- Semua persoalan harus segera diatasi.
- Ia pergi ke masjid untuk mencari kedamaian hati.
- Siapa nama gadis yang duduk di sampingmu itu ?
- Disamping sebagai guru, ia dikenal juga sebagai artis.
- Tidak seorang pun di tempat ini mampu melakukan hal itu.
- Walaupun hujan, acara tetap berlangsung.
- Sekalipun badannya besar, tetapi nyalinya kecil.
- Sekali pun aku tak pernah pergi bersamanya.
72
- Pada abad kedua puluh inilah puncak kemorosotan moral.
- Lima puluh peserta akan meramaikan acara itu.
- Acara itu akan diramaikan oleh 50 peserta.
10) Penulisan kalimat dengan tanda baca koma, titik koma, dan titik dua. Perhatikan huruf
yang ditulis miring.
- Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
- Satu,dua,tiga,…mulai !
- Fakultas itu mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Tarjamah dan Sastra Arab.
- Malam makin larut, tetapi anakku belum juga pulang.
- Malam makin larut; anakku belum juga pulang.
11) Penulisan kata yang memerlukan tanda hubung (-). Perhatikan huruf yang ditulis
miring.
- … telah dikenal sebagai alat pertahan-an yang canggih.
- … telah dikenal sebagai alat perta-hanan yang canggih.
- … telah dikenal sebagai alat per-tahanan yang canggih.
- Pipinya yang kemerah-merahan itu sangat menggemaskan.
- Para gubernur se-Indonesia berkumpul di tempat itu mengada-kan pertemuan.
- KTP-nya hilang dua hari yang lalu.
12) Penulisan kalimat yang memerlukan tanda ellipsis (…). Perhatikan huruf yang ditulis
miring.
- Kalau begitu … baiklah saya maafkan kamu.
- Saya sudah mengerti bahwa …
13) Penulisan kalimat dengan arti khusus atau bermakna konotasi. Perhatikan huruf yang
ditulis miring.
- Analisisnya terhadap puisi ‗‘Doa‘‘ karya Chairil Anwar benar-benar „‟mendalam‟‟
- Jangan sampai kita „‟tercerabut‟‟ dari akar budaya sendiri.
73
Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami
dengan mudah oleh pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap pembaca Tsu sama dengan pesan yang
ditangkap oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikounikasikan dalam bentuk
yang lazim sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang
ditulis dalam Bsa. Karenanya, aspek yang dinilai adalah (1) pesan terjemahkan atau tidak; (2)
kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; dan (3) perhatian terhadap aspek teknis dalam kerja
penerjemahan seperti terkait dengan kaidah tata Bahasa dan ejaan. Berikut pedoman penilaian
menurut (Hidayatullah, 2017 :121) :
74
6. Hasil dari pengurangan tersebut, dijadikan nilai yang digunakan untuk mengelompokkan
apakah hasil terjemahan tersebut. Termasuk , terjemahan istimewa (90-100), sangat baik
(80-89), baik (70-79),sedang (60-69), kurang (50-59), atau buruk (0-49).
Untuk menilai hasil terjemahan yang lebih dari 10 kalimat., misal ada 50 kalimat yang
hendak dinilai kualitas terjemahannya. Lalu setelah dilakukan penilaian, masing-masing per 10
kalimat mendapat hasil 61,74,80,85. Setelah dijumlahkan, hasil keseluruhannya menjadi 378,
kemudian dibagi 5 (sesuai jumlah keseluruhan kalimat dibagi 10) sehingga nilai akhirnya adalah
75,6.
75