Anda di halaman 1dari 75

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)


Kantor: Rektorat UNNES Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229
Rektor: (024)8508081 Fax (024)8508082, Warek I: (024) 8508001
Website: www.unnes.ac.id - E-mail: rektor@mail.unnes.ac.id
FORMULIR MUTU
BAHAN AJAR/DIKTAT
No. Dokumen No. Revisi Hal Tanggal Terbit
FM-01-AKD-07 04 1dari 75 1 Februari 2019

BAHAN AJAR

TARJAMAH NAZHARIYAH

(TEORI TERJEMAH)

2 SKS

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Senin tanggal 15 bulan Agustus tahun 2019 Bahan Ajar Mata Kuliah Tarjamah
Nazhariyah Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Bahasa dan Seni telah
diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab.

Semarang, 15 Agustus 2019

Koordinator Program Studi Tim Penulis

Hasan Busri, S.Pd.I., M.S.I Nailur Rahmawati, S.Pd., M.Pd.I.


NIP. 197512182008121003 NIP. 198801152015042002
PRAKATA

Suatu kebudayaan tidak lahir dari kekosongan. Ia didahului oleh kebudayaan-


kebudayaan lain yang menjadi unsur pembentuknya. Kebudayaan suatu bangsa selalu
merupakan ikhtisar dari kebudayaan sebelumnya atau seleksi dari berbagai kebudayaan
lain. Dengan demikian kebudayaan dapat dipandang sebagai proses memberi dan
menerima (Majid, 1997:2). Proses di atas terjadi dan berkembang melalui berbagai sarana,
di antaranya penerjemahan.
Penerjemahan merupakan kegiatan kebahasaan yang sangat kompleks yang
meliputi proses dan produk. Dengan demikian, kajian atas terjemahan memerlukan
pengetahuan umum yang mendalam tentang penerjemahan sebagai sebuah proses, produk,
serta didukung dengan keterampilan menggunakan bahasa lisan dan tulisan, serta
pengetahuan akan latar belakang budaya, kemampuan atau penguasaan bahasa sumber dan
bahasa sasaran.
Pada era globalisasi ini kita dituntut untuk menguasai sekurang-kurangnya lebih
dari satu bahasa Asing. Kajian terjemahan menjadi sarana yang paling baik untuk saling
bertukar informasi tentang budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi diantara bangsa-
bangsa yang ada di dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Bahan ajar ini disusun untuk memberikan gambaran yang berkaitan dengan
pedoman penerjemahan Arab Indonesia yang meliputi strategi, metode, prosedur, dan
teknik. Diharapkan dengan bahan ajar ini dapat memberikan bekal dasar mengenai
penerjemahan Arab Indonesia.
Bahan ajar ini tersusun dari 5 bab, yang masing-masing akan membahas topik yang
berbeda namun tetap saling berhubungan. Dimulai dengan bahasan mengenai istilah dalam
penerjemahan, strategi penerjemahan, urgensi makna dalam penerjemahan, problematika
penerjemahan, dan evaluasi terjemahan. Bahan ajar ini juga bukan sebagai satu-satunya
sumber dalam proses pembelajaran, sehingga bahan lain terutama yang berkaitan dengan
jurnal penelitian akan ditambahkan untuk memperkaya konteks kajian penerjemahan Arab
Indonesia.
Melalui bahan ajar ini diharapkan mahasiswa dapat muncul ketertarikan dalam
memahami penerjemahan Arab Indonesia sehingga mampu memberi pengetahuan dasar
tentang penerjemahan. Selanjutnya, masukan dan tanggapan terhadap bahan ajar ini akan
sangat membantu untuk mengembangkan dan menyempurnakan isi dalam bahan ajar ini.
Semoga bahan ajar ini dapat berguna bagi dosen maupun mahasiswa yang mempelajari
matakuliah teori penerjemahan.
Selamat Membaca!

Tim Penulis
DAFTAR ISI
Lembar verifikasi ii
Prakata iii
Daftar Isi iv
Bab I Istilah dalam Penerjemahan
Bab II Strategi Penerjemahan
Bab III Urgensi Makna dalam Penerjemahan
Bab IV Problematika Penerjemahan Arab Indonesia
Bab V Evaluasi terjemahan
BAB I
ISTILAH DALAM PENERJEMAHAN

1. Selayang pandang

Semua orang di dunia ini mempunyai dan mempergunakan bahasa. Dengan berbahasa
inilah menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Dardjowidjojo dalam Sumarlan
(2017: 23) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem simbol lisan yang arbitrer yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Bahasa adalah alat komunikasi antar manusia, W.J.S. Poerwadarminta dalam Tata
Taufik (2001: 4) mengartikan bahasa sebagai sistem dari pada lambang, tanda yang berupa
sebarang bunyi. Selanjutnya ia terangkan bunyi bahasa yang dipakai orang untuk melahirkan
pikiran dan perasaan.

Maka bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah milik manusia yang telah menyatu
dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala
aspek dan kegiatan manusi, tidak terkecuali kegiatan penerjemahan.

Kalau menyaksikan bahwa manusia ada yang menguasai dua bahasa sekaligus atau
lebih dalam segala kemahirannya;mendengar, berbicara, membaca dan menulis, orang
tersebut apakah disebut mahir berbahasa atau mahir menterjemahkan. Dalam istilah linguistik
kenyataan tadi disebut bilingualis seorang yang mampu menguasai dua bahasa dengan lancar.
Pertanyaan berikutnya apakah kemahirannya tersebut mengandung arti ia menterjemah dari
satu bahasa ke bahasa lain, katakanlah dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab atau sebaliknya.
Kalau dijawab tidak, maka dalam kasus ini tidak ditemukan adanya kegiatan terjemah, jadi
seorang dwibahasawan, ketika mengucapkan sesuatu itu tidak merumuskannya dalam bahasa
ibunya kemudian ia ungkapkan dalam bahasa kedua. Karenannya menurut teori ini aktivitas
terjemah nyaris tidak ada.

2. Konsep penerjemahan

Kata terjemah berasal dari bahasa Arab ‫ رشجَخ‬yang diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi terjemah atau tarjamah. Menurut asal katanya kata tersebut mengandung
arti : menjelaskan dengan bahasa lain, atau memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa
lain. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan terjemah = terjemahan salinan
sesuatu bahasa kepada bahasa lain. Menterjemahkan berarti menyalin atau memindahkan dari
satu bahasa pada bahasa lain. Secara definitif terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan
yang terdapat di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan
padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language). Dari dua
pengertian tadi terlihat ada dua kata kunci dalam kegiatan terjemah; teks dan padanan. Yang
dimaksud teks di sini adalah teks dalam pengertian yang luas bisa berarti wacana atau juga
satuan bahasa yang paling lengkap bisa berupa tulisan ataupun lisan. Kemudian yang
dimaksud dengan padanan juga dalam pengertian yang luas, bukan saja padanan kata per
kata atau frase-per frase malainkan mencakup juga makna. Makna tersebut mencakup semua
pengertian; makna sentral atau makna denotatif dan makna konotatif serta makna kiasan
(transferred meaning) serta makna gramatikal. Jadi terjemah dalam pandangan ini berarti
proses pemindahan kata atau teks dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan jalan mencarikan
padanan maknanya. Dari sini jelas bahwa kegiatan terjemahan adalah kegiatan yang
menuntut kemahiran dua bahasa, atau dalam istilah linguistiknya disebut bilingual.
Az-Zarqani (t.t. II:107–111) mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah
memiliki empat makna:
(a) Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. Makna ini
terdapat dalam puisi berikut:

Usia 80, dan aku telah mencapainya,


pendengaranku memerlukan penerjemah
(b) Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan
dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula.
Sekaitan dengan terjemah yang berarti penjelasan, Ibnu Abbas diberi gelar
yang berarti Penerjemah Alquran.
(c) Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan
lebih lanjut dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. Dengan demikian, penerjemah
disebut pula sebagai penjelas atau penafsir tuturan.
(d) Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain seperti mengalihkan bahasa
Arab ke bahasa Indonesia. Karena itu, penerjemah disebut pula pengalih bahasa.

Makna etimologis di atas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan


keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan
tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda.
Adapun secara terminologis, menerjemah didefinisikan seperti berikut:

Menerjemah berarti mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam


bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu.

Pengertian di atas mengandung beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan lebih
lanjut. Kata mengungkapkan merupakan padanan untuk at-ta‟bîr yang asal katanya adalah
„abara, yaitu melewati atau melintasi, misalnya „abaras sabîl berarti melintas jalan. Karena
itu, air mata yang melintas di pipi disebut „abarah. Teksihat atau pelajaran yang diperoleh
melalui suatu peristiwa atau kejadian dikenal dengan „ibrah.
Konsep yang terkandung dalam kata at-ta‟bîr yang dipadankan dengan mengungkapkan
menunjukkan bahwa ujaran atau teks itu merupakan sarana yang dilalui oleh seorang penerjemah
untuk memperoleh makna yang terkandung dalam teks itu. Ungkapan „âridhah azyâ` berarti
seorang perempuan yang menampilkan model-model pakaian. Kemudian seorang penerjemah
mengungkapan makna ungkapan itu dengan peragawati melalui seorang perempuan yang
menampilkan model-model pakaian. Demikianlah, yang diungkapkan oleh penerjemah adalah
makna teks, sedangkan teks itu sendiri hanya merupakan sarana, bukan tujuan.
Kata kunci lainnya ialah makna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa makna berarti
segala informasi yang berhubungan dengan suatu ujaran. Makna ini bersifat objektif. Artinya,
informasi itu hanya diperoleh dari ujaran tersebut tanpa melihat penuturnya. Adapun istilah
maksud merujuk pada informasi yang diperoleh menurut pandangan penutur. Dengan
demikian, maksud itu bersifat subjektif. Jika seseorang bertanya, ―Apa kabar?‖ Makna
pertanyaan ini ialah bahwa orang itu menanyakan keadaan kesehatan seseorang. Namun,
maksud pertanyaan itu dapat bermacam-macam, misalnya ingin berbasa-basi, untuk
membuka pembicaraan, atau untuk menyapa.
Menurut pengertian di atas, seorang penerjemah dituntut untuk memenuhi seluruh
makna dan maksud teks yang diterjemahkan. Namun, karena masalah makna ini sangat luas
cakupannya dan memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan penerjemahan, maka
ihwal makna akan dibahas dalam bab tersendiri.
Kata kunci terakhir ialah bahwa terjemahan itu bersifat otonom. Artinya, terjemahan
dituntut untuk dapat menggantikan teks sumber atau teks terjemahan itu memberikan
pengaruh dan manfaat yang sama seperti yang diberikan oleh teks sumber. Namun, sifat
otonom ini tidak dapat diberlakukan kepada seluruh teks terjemahan, misalnya terjemahan
Alquran.
Demikianlah, pengertian di atas menunjukkan bahwa penerjemahan merupakan
kegiatan komunikasi yang kompleks dengan melibatkan (a) penulis yang menyampaikan
gagasannya dalam bahasa sumber, (b) penerjemah yang merepro-duksi gagasan tersebut di
dalam bahasa penerima, (c) pembaca yang memahami gagasan melalui penerjemahan, dan
(d) amanat atau gagasan yang menjadi fokus perhatian ketiga pihak tersebut. Bagaimanakah
keempat komponen tersebut berinteraksi dalam proses penerjemahan? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, berikut ini dipaparkan hakikat penerjemahan.

3. Hakikat Penerjemahan

Moeliono (1989:195) berpandangan bahwa pada hakikatnya penerjemahan itu


merupakan kegiatan mereproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang
paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya.
Idealnya terjemahan tidak akan dirasakan sebagai terjemahan. Namun, untuk mereproduksi
amanat itu, mau tidak mau, diperlukan penyesuaian gramatis dan leksikal. Penyesuaian ini
seharusnya tidak menimbulkan struktur yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.

Pandangan Moeliono di atas sejalan dengan Nida (1982:24) yang menilik


penerjemahan sebagai reproduksi padanan pesan yang paling wajar dan alamiah dari
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan mementingkan aspek makna, kemudian
gaya. Walaupun gaya itu penting, makna mestilah menjadi prioritas utama dalam
penerjemahan. Ekuivalensi ini selanjutnya diistilahkan dengan ekuivalensi dinamis, yaitu
kualitas terjemahan yang mengandung amanat teks sumber yang telah dialihkan
sedemikian rupa ke dalam bahasa sasaran sehingga tanggapan dari reseptor sama dengan
tanggapan reseptor terhadap amanat teks sumber. Dengan perkataan lain, ekuivalensi
dinamis menghasilkan tanggapan yang sama antara pembaca terjemahan dan pembaca teks
sumber.

Ekuivalensi ini harus cocok dengan dunia bahasa penerima. Jika tidak sesuai, maka
yang terjadi bukanlah penerjemahan melainkan pemindahan (transference) (Catford, 1965:
42). Karena itu, kajian-kajian teoretis ihwal kualifikasi penerjemah selalu menyaratkan
penguasaan penerjemah akan bahasa sumber dan bahasa penerima serta aspek-aspek
budaya di antara keduanya.

Ekuivalensi tersebut merupakan tujuan dan sekaligus sebagai produk


penerjemahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakanlah metode dan beberapa
prosedur tertentu. Sementara itu Catford (1965) memandang penerjemahan sebagai
penggantian teks bahasa kedua dengan bahasa pertama yang ekuivalen. Takrif ini
menegaskan bahwa penerjemahan hanya berlaku bagi bahasa tulis, karena yang dialihkan
adalah teks bahasa sumber dengan teks bahasa penerima yang sepadan. Hal itu pun
menyiratkan bahwa penerjemahan dilakukan pada tataran wacana, bukan pada tataran
kalimat yang terpisah-pisah.

Pengertian terjemah yang dikemukakan oleh Moeliono, Catford, dan Nida sangat
mementingkan aspek ekuivalensi. Bahkan Catford menegaskan bahwa kegiatan utama
penerjemahan ialah pencarian ekuivalensi tersebut, sebab kegiatan ini terdapat pada setiap
tahap dalam proses penerjemahan yang terdiri atas analisis linguistik, adaptasi makna dan
struktur bahasa sumber dengan bahasa penerima, restrukturisasi padanan yang dihasilkan
oleh tahap kedua (Nida, 1982), dan revisi atau evaluasi (Suryawinata, 1982).

Hewson dan Martin (1991: 28–29) memayungi konsep ekuivalensi dengan


konversi. Istilah ini merujuk pada pengoperasian hubungan antarlinguistik. Konsep
ekuivalensi itu sendiri berada di bawah tataran konversi. Dengan perkataan lain, konversi
dibangun dari berbagai tingkat ekuivalensi. Bagi kedua pakar ini penerjemahan identik
dengan konversi antarlinguistik. Uraian di atas sejalan dengan kesimpulan Larson (1984:3)
yang menegaskan bahwa proses ekuivalensi merupakan kegiatan utama dalam
penerjemahan. Karena itu, penerjemahan berarti pengkajian leksikon, struktur gramatika,
situasi komunikasi, dan kontak budaya antara dua bahasa. Kemudian aspek-aspek tersebut
dianalisis untuk menetukan makna. Akhirnya, makna tersebut diungkapkan dengan
leksikon dan struktur yang sesuai dengan bahasa penerima dan kebudayaannya.

Kemudian, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekuivalensi? Catford (1965:94)


memandang bahwa istilah ini merujuk pada ciri-ciri situasional yang relevan antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran dalam melahirkan terjemahan yang komunikatif. Sementara itu
Mouakket (1988:162) memandang ekuivalensi sebagai nilai komunikatif. Baginya
penerjemahan berarti proses penyesuaian nilai-nilai komunikatif antara bahasa sumber dan
bahasa penerima. Ekuivalensi itu bukan berarti persamaan antara dua bahasa. Hal demikian
tidak pernah ada. Kridalaksana (1984:45) memandang ekuivalensi sebagai makna yang
sangat berdekatan. Adapun ekuivalensi dinamis, sebuah istilah yang dikemukakan oleh
Nida dan Taber, berarti kualitas terjemahan yang mengandung amanat teks asli yang
dialihkan ke dalam bahasa penerima.

Menurut Moeliono (1989:195) unsur-unsur linguistik yang diekuivalensi-kan


dengan bahasa penerima mencakup hal-hal berikut. Pertama, masalah ejaan dan tanda
baca. Masalah ini berkaitan dengan transliterasi dan transkripsi kata-kata yang dipungut
dari bahasa sumber. Kedua, morfologi. Di sini penerjemah dihadapkan, di antaranya, pada
dua masalah: perbedaan kelas kata dan perbedaan kategori gramatis. Ketiga, tata kalimat.
Pada tataran ini penerjemah berhadapan dengan masalah urutan kata dan frase, hubungan
koorditeksi dan suborditeksi, dan aposisi. Keempat, leksikon. Di antara masalah yang
dihadapi penerjemah pada aspek ini ialah pemadanan istilah-istilah khusus, bukan kata-
kata yang bersifat umum.

Untuk memperoleh ekuivalensi yang paling wajar dan tepat dalam bahasa penerima
pada keempat tataran linguistik di atas, perlu diperhatikan (a) penyampaian pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan menyesuaikan kosa kata dan
gramatikanya, (b) pengutamaan padanan isi daripada bentuk, (c) pemilihan padanan yang
paling wajar dalam bahasa penerima yang mempunyai makna paling dekat dengan makna
aslinya dalam bahasa sumber, (d) pengutamaan makna, meskipun gaya bahasa juga
penting, dan (e) pengutamaan kepentingan pendengar atau pembaca terjemahan (Nida,
1982).
BAB II
STRATEGI PENERJEMAHAN

Penerjemahan sangat penting dalam kehidupan global saat ini. Kita dapat
berhubungan dengan dunia luar dengan adanya penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam
bahasa yang dituju. Orang yang berbeda bahasa dengan kita, akan terbantu dengan adanya
penerjemahan. Selain itu, berbagi pengetahuan dari berbagai penjuru dunia bisa kita tahu
dengan adanya penerjemahan. Penerjemahan sangatlah penting dalam segala bidang
kehidupan. Seperti kita ketahui, penerjemahan melibatkan bahasa dan sistem kebahasaan
yang cukup kompleks yang pastinya berkembang dan berbeda antara satu bahasa dengan
bahasa yang lainnya. Karena tidak semua penerjemah mengetahui sistem yang berlaku
pada bahasa sumber, hal tersebut tentunya menjadikan kesulitan tesendiri bagi seorang
penerjemah dalam menerjemahkan. Di samping itu, penerjemah pun akan mengahadapi
satu permasalahan lagi dimana bahasa jug berkembang dan itu menyebabkan munculnya
kata, frase, idiom ataupun sistem kebahasaan yang baru pada suatu bahasa yang mungkin
tidak diketahui oleh penerjemah. Jelaslah bahwa kompleksitas dan perkembangan dari
sistem kebahasaan menimbulkan suatu permasalahan dalam penerjemahan. Maka dari itu
seorang penerjemah perlu memahami metode penerjemahan mengingat seorang
penerjemah adalah pelaku utama dalam komunikasi interlingual. Dalam kapasitas sebagai
pelaku ilmiah penerjemah mengambil keputusan, baik menyangkut pemilihan padanan
maupun pengungkapan padanan dalam bahasa target. Keputusan yang dibuat tidak terlepas
dari ideologi yang dianutnya. Ideologi inilah yang menjadi dasar pemilihan metode
penerjemahan (Al Farisi, 2014: 51). Ihwal mengapa sebuah teks diterjemahkan dan apa
fungsi teks terjemahan juga turut menentukan pemilihan metode penerjemahan.

1. PENGERTIAN METODE PENERJEMAHAN

Istilah metode berasal dari kata method dalam bahasa Inggris. Macquarie Dictionary
(dalam Machali, 2000: 48) a method is a way of doing something, especially in accordance
with a definit plan (metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan
dengan rencana tertentu). Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa pertama, metode adalah
cara melakukan sesuatu, yaitu ―cara melakukan penerjemahan‖. Kedua, metode berkenaan
dengan ―rencana tertentu‖, yaitu rencana dalam pelaksanaan terjemahan.

Penerjemahan selama ini didefinisikan secara beragam oleh para pakar bahasa yang
bergelut atau berkecimpung dalam penerjemahan. Sebagian pakar bahasa mendefinisikan
terjemahan berdasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa
lain. Ada juga sebagian pakar bahasa yang menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti
dan pesan dari suatu bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), atau bahkan
berdasarkan persepktif bahwa terjemahan sebagai suatu proses transfer budaya. Berikut ini
beberapa definisi dari pakar bahasa tentang penerjemahan yang seringkali dijadikan sebagai
acuan para penerjemah dan pengamat penerjemahan.

Catford (dalam Amalia, 2010: 10) mendefinisikan terjemahan: translation is the


replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another
language. Dari definisi tersebut Catford menekankan bahwa wacana alihan haruslah sepadan
dengan wacana aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan,
dengan sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana
aslinya. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacana asli tidak sepadan, wacana alihan
tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan.

Berbeda dari Catford, Levy (dalam Amalia, 2010: 11) mengemukakan bahwa
terjemahan adalah suau proses kreatif yang selalu memberi kebebasan atau pilihan kepada
penerjemah dalam menghasilkan makna situasional. Lebih lanjut Levy mengatakan sebagai
sebagai suatu proses kreatif, terjemahan memberikan peluang kepada penerjemah dalam
bentuk kebebasan atau otonomi untuk menentukan kesepadanan yang persis menurut konteks
situasi. Dengan otonomi ini, seorang penerjemah memiliki peluang yang besar dan signifikan
dalam mengembangkan keterampilan dan kebisaanya. Dia bebas untuk berkreasi
mengintrepretasikan apa yang telah dituliskan oleh penulis asli selama tidak keluar dari
konteks.

Dari beberapa pendapat para ahli bahasa tentang penerjemahan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa terjemahan, baik lisan maupun tulisan memberikan penekanan lebih
kepada makna atau pesan yang akan disampaikan. Bukanlah pada masalah prinsipil, apakah
hasil terjemahan patuh kepada bentuk bahasa sumbernya, melainkan yang terpenting adalah
hasil terjemahan mempunyai maksud dan makna yang sama persis dengan pesan bahasa
sumbernya. Jadi terdapat keakuratan, kewajaran dan kejelasan makna antara bahasa sumber
dan bahasa sasaran.

Metode penerjemahan adalah cara yang digunakan oleh seseorang penerjemah saat
hendak memutuskan menerjemahkan sesuatu Tsu (bahasa sumber). Secara umum metode
penerjemahan merupakan cara teknik, atau prosedur yang dipilih penerjemah ketika
melakukan kegiatan penerjemahan atau menangani masalah-masalah yang dihadapi selama
proses penerjemahan. Terjemahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari metode
penerjemahan yang dipergunakan. Metode penerjemahan merupakan pilihan yang bersifat
umum. Pemilihan metode ini turut menentukan corak dan warna teks terjemahan secara
keseluruhan. Menurut Molina dan Albir (Al Farisi, 2014: 51), translation method refers to the
way of particular translation process that is carried out in terms of the translator‟s
objective,‟metode penerjemahan merujuk pada cara tertentu yang digunakan dalam proses
penerjemahan sesuai dengan tujua penerjemah‘. Pemilihan metode juga berhubungan dengan
tujuan penerjemaham itu sendiri. Dalam menangani sebuah teks, boleh jadi penerjemah
menggunakan lebih dari satu metode. Hanya saja biasanya terdapat satu metode yang
dominan, yang menjadi kecenderungan penerjemah selama proses penerjemahan.

Pada umumnya, dilihat dari metode yang digunakan dan hasil yang diperoleh, karya
terjemahan oleh sebagian pihak dikelompokkan pada dua ketegori yang salingberlawanan,
yakni terjemah harfiyah (literer) dan terjemah bi al-tasharruf (bebas). Dapat kita lihat
pengertian masing-masing dalam penjelasan berikut ini:

1. Terjemah Harfiyah (Literer)

Kategori ini meliputi terjemahan yang sangat setia dan taat asas terhadap teks
sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan dengan ketaatasasan penerjemahan
terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase,
bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan model
ini adalah, hasil terjemahannya menjadi kaku, rigit dan saklek karena penerjemah
memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal,
keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Hasilnya, dapat dibayangkan, yakni
bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk
dibaca penutur bahasa sasaran (bahasa Indonesia).

Berikut contoh terjemah harfiah yang diambil dari teks kitab tafsir Fath Al-
Qorib:

‫واىششغ ىغخ اىؼالٍخ وششػب ٍب رزىقف صحخ اىصالح ػيُه وىُظ جضأ ٍْهب‬

Jika teks ini diterjemahkan secara harfiah maka akan menjadi sebagai berikut:

Dan Syarat dalam bahasa yaitu alamat, dan dalam syara` yaitu sesuatu yang
behenti sahnya shalat kepadanya dan bukan syarat itu bagian dari shalat.

2. Terjemah Bi al-Tasharruf/Tafsiriyah atau Bebas

Kategori ini menunjuk kepada terjemahan yang kurang mempedulikan aturan


tata bahasa dari bahasa sumber. Orientasi dan sasaran yang ditonjolkan adalah
pemindahan makna. Adanya perbedaan dua kategori ini hanya ada pada tataran
teoritis konseptual. Pada kenyataannya, hampir tidak ditemui satu pun terjemahan
yang benar-benar murni harfiyah atau tafsiriyah. Penerjemah yang kaku dan saklek
sekali pun, tentu akan memperhitungkan hasil terjemahannya agar tetap bernas dan
lugas dibaca oleh penutur bahasa sasaran. Demikian pula sebaliknya, penerjemah
bebas juga akan mempertimbangkan terjemahannya pada kaidah dan aturan-aturan
kebahasaan teks sumber. Singkat kata, dua kategori tersebut belum cukup memadai
untuk memotret hasil terjemahan. Yang ada dalam kenyataan adalah, terjemahan
selalu mengambil jalan tengah, di antara dua titik ekstrim tersebut. Wajar bila
kemudian muncul dua istilah lain, yakni terjemah semi harfiyah dan terjemah semi
tafsiriyah )‫(شجه اىحشفُخ و شجه اىزفغُشَخ‬. Penerjemahan semi harfiyah, berarti ada
"kecenderungan literer", lebih mungkin terjadi pada terjemahan di antara dua bahasa
yang memiliki kekerabatan yang sangat dekat. Sedangkan penerjemahan semi
tafsiriyah, atau "cenderung bebas", biasanya dianut pada penerjemahan di antara dua
bahasa yang memiliki perbedaan yang cukup signifikan (Burdah, 2004: 16-17).

Jika dilihat dari aspek metode, intensitas penerjemah, maka terjemah sering
dikelompokkan dalam kategori lain, yakni kategori ‗terjemah langsung‘ (al-tarjamah
alfauriyah) dan ‗terjemah tidak langsung (al-tarjamah al-tahdhiriyah).

1. Terjemah Langsung )‫ح‬ٝ‫(ف٘س‬

Makna terjemah ini adalah terjemahan yang dilakukan secara langsung atau
tanpa suatu persiapan, seperti interpreter yang menerjemahkan atau meringkas pidato,
diskusi atau seminar. Jika demikian, yang lebih tepat adalah merupakan jenis
terjemahan yang dihadirkan langsung begitu teks sumber selesai diucapkan atau
dituliskan.

2. Terjemah Tidak Langsung )‫ح‬ٝ‫(اىتحعش‬

Model ini sering disebut dengan terjemah biasa atau tidak langsung. Artinya
penerjemahan yang dilakukan dengan persiapan terlebih dahulu. Begitu teks sumber
dihadirkan tidak langsung diterjemahkan. Terjemahan model ini biasanya yang paling
banyak dilakukan untuk menerjemahkan naskah-naskah tulisan, terutama buku.

Newmark dalam (Al Farisi, 2014:53) membagi penerjemahan berdasarkan


penekannya pada bahasa sumber dan penekanannya pada bahasa target. Dua penekanan ini
berbeda kemudian dikelompokkan menjadi delapan metode penerjemahan yakni sebagai
berikut:
Tabel 1. Metode Penerjemahan berdasarkan pada bahasa sumber dan bahasa target
Penekanan Pada Bahasa Sumber Penekanan Pada Bahasa Target
Penerjemahan kata demi kata Adaptasi
Penerjemahan literal Penerjemahan bebas
Penerjemahan setia Penerjemahan idiomatik
Penerjemahan semantic Penerjemahan komunikatif
2. METODE PENERJEMAHAN PENEKANAN PADA BAHASA SUMBER

Ada empat metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber. Keempat
metode tersebut ialah metode penerjemahan kata demi kata (word for word translation),
metode penerjemahan literal (literal translation), metode penerjemahan setia (faithful
translation), dan metode penerjemaham semantik (semantic translation).
1. Metode Penerjemahan Kata demi Kata (word for word translation)

Penerjemahan kata-kata seringkali digambarkan sebagai terjemahan


antarbaris dengan bahasa target berada langsung di bawah kata-kata sumber.
Metode ini berfokus pada kata demi kata dalam bahasa sumber, dan sangat terikat
pada tataran kata. Susunan kata-kata pada teks sumber dipertahankan sedemikian
rupa, kata-kata diterjemahkan satu persatu pada makna yang paling umum tanpa
mengindahkan konteks pemakaiannya. Sampai-sampai kata-kata yang memiliki
nuansa budayapun diterjemahkan secara harfiah.

Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata.
Penerjemahan cara ini dilakukan secara interlinear. Susunan kata dalam
kalimatdipertahankan, kata-kata diterjemahkan, kata-kata diterjemahkan
berdasarkan pada urutan kata dalam bahasa sumber dan bahasa aslinya. Pada
hakekatnya penerjemahan dengan model ini dapat digunakan hanya pada bahasa
sumber yang mempunyai struktur yang sama dengan bahasa sasaran. Metode ini
biasanya hanya digunakan oleh para pemula yang tidak mempunyai wawasan
bahasa sumber yang cukup baik, atau digunakan untuk kegiatan prapenerjemahan
(analisis dan tahap prapengalihan) untuk bahasa sumber yang sukar dipahami.

Contoh:

‫و ػْذٌ ثالثخ مزت‬

5 4 32 1

Klausa tersebut bila diterjemahkan dengan menggunakan metode ini maka


hasil terjemahannya kan menjadi seperti berikut:

Dan di sisiku tiga buku-buku

1 23 4 5

Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini karena jumlah


kata dalam bahasa sumber yang hanya lima kata juga diterjemahkan setara 5
kata tanpa mengubah posisinya sedikitpun. Metode ini memang tidak
mempertimbangkan dan memperhatikan sapakah karya terjemahan yng
dihasilkan terasa janggal atau tidak bagi penutur bahasa target. Karenanya,
klausa di atas seharusnya bisa diterjemahkan menjadi saya punya tiga buku.

Contoh lain

ُِِ‫اىٌ َرىِل اى ِنزَتُ ال َسَْت فُِه هُذًي ىِ ْي َُزَّق‬

1. Alif lam mim

2. Itulah al kitab, tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa.

‫َلا‬ َ‫اى ِنتاة‬ ‫ارىِل‬ ٌ‫اى‬

Tidak ada Al kitab Itulah Alif lam mim


M
ْ
ِِٞ‫ىِيَتَّق‬ ًٙ‫ٕذ‬ ِٔٞ‫َف‬ ‫ة‬ْٝ ‫اس‬
e
Bagi torang-orang Petunjuk Di dalamnya Keraguan
yango bertakwa
d
e ini pun digunakan pesantren-pesantren tradisional di Indonesia, terutama di
Pulau Jawa. Pada saat memberi makna kitab kuning, pesantren-pesantren itu
menggunakan metode ini agar santri memeiliki pembendaharaan makna
kosakata bahasa Arab semakin hari semakin banyak. Para ustad atau kyai
biasanya memberi penjelasan tambahan atas makna kata demi kata yang sudah
digunakan.

Metode penerjemahan kata demi kata bisa digunakan dengan baik


manakala struktur, terutama urutan kata, bahasa sumber tidak berbeda dengan
struktur bahasa target. Penggunaan metode ini sebagai contoh bisa dilihat pada
buku Al Kalam Terjemah Lafzhiyyah Muqaddam Al Quran dan Al Mubin
Terjemah Lafzhiyyah Juz Amma yang disusun oleh M. Zaka Al Farisi.
Kelebihan metode ini antara lain dapat memudahkan pembaca menghafal arti
kata per kata dalam sebuah kalimat.

Terdapat kelebihan dan kekurangan pada metode penerjemahan kata


demi kata ini, yaitu:

a. Kelebihan

Kelebihan dari jenis penerjemahan ini adalah sifatnya yang mampu


menghadirkan presisi terjemahan yang mensyaratkan suatu susunan kata dalam
kalimat terjemahan sama persis dengan susunan kata dalam kalimat aslinya.
Dalam penerjemahan ini penerjemah hanya berusaha mencari padanan kata Bsu
ke dalam Bsa tanpa mengubah strukturnya. Jadi, penerjemahan ini hanya bisa
dilakukan jika antara Bsu dan Bsu mempunyai kaidah dan struktur yang sama.

b. Kekurangan

Kelemahan dari jenis penerjemahan ini adalah ketidakmampuannya di


dalam menerjemahkan jenis teks bahasa yang mempunyai bentuk frasa dan
kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Penerjemahan jenis ini sebaiknya
dihindari karena hasilnya akan sulit dipahami dan tampak kaku. Sebagai
gambaran mengenai jenis penerjemahan ini bisa dilihat contoh sebagai berikut.

Bsu: Two third of the applicants are interested in studying technology


management.

Bsa: Dua ketiga dari itu pelamar-pelamar adalah tertarik dalam


mempelajari teknologi manajemen.

Terjemahan diatas urutan kata demi katanya masih terikat dengan urutan
kata demi kata seperti dalam Bsu, karena itu terjemahan itu tampak tidak wajar
dan tidak berterima dalam Bsa sehingga maknanya sulit dipahami. (Masduki,
2011: 3)

2. Metode Penerjemahan Literal (Literal Translation)

Metode penerjemahan selanjutnya ialah dengan metode penerjemahan


harfiah, atau penerjemahan literal (literal translation) atau disebut juga
penerjemahan lurus (linier translation) dan disebut juga sebagai terjemahan
struktural. Secara umum, harfiah biasa dimengerti dengan pemahaman sesuatu
yang saklek, berdasarkan mutlak dari teks asli dan sesuai dengan arti leksikal suatu
teks. Maka, dalam metode penerjemahan, harfiah dilakukan dengan mengalihkan
konstruksi gramatika bahasa target yang memiliki padanan paling dekat. Namun,
unsur leksikal yang ada pada bahasa sumber tetap diterjemahkan satu persatu dan
tidak mengindahkan konteks yang melatarinya. Atau bisa dikatakn bahwa
penerjemahan kata-kata masih dilakukan secara terpisah dengan konteks yang
menyertainya.

Al Farisi (2014: 54) mengemukakan penerjemahan harfiah dilakukan


dengan mengalihkan konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi
gramatika bahasa target yang memiliki padanan paling dekat. Namun demikian
unsur leksikal tetap diterjemahkan satu persatu tanpa mengindahkan konteks yang
melatarinya.

Metode penerjemahan harfiah hampir sama dengan metode penerjemahan


kata perkata / kata demi kata, dan memang mula-mula dilakukan seperti
penerjemahan kata demi kata, namun selanjutnya diadakan perubahan seperlunya
mengenai tata bahasa sesuai dengan bahasa target. Urutan kata yang ada pada
bahasa target tidak lagi sama persis dengan bahasa sumber, karena telah
disesuaikan dengan bahasa target. Namun, tidak menutup kemungkinan terjadinya
penerjemahan yang kadang terasa kaku dan kurang natural. Hal tersebut terkadang
disebabkan karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa dari bahasa
sumber ke bahasa target. Padahal keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.
Metode ini biasanya digunakan dalam tahap penerjemah awal.

Metode penerjemahan Harfiah sangat popular dipraktekkan di Eropa abad


pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama digunakan pada naskah ang
dianggap sakral: seperti kitab-kitab suci. Terjemahan ini masih digunakan dalam
penerjemahan terhadapa kitab suci, misalnya Injil dan Al Quran.

Contoh penerjemahan menggunakan metode harfiah:

‫جبء سجو ٍِ سجبه اىجش واإلحغبُ إىً ٍغشثً ىَغبػذح ظحبَب اىضىضه‬

Seorang pria baik datang ke Maroko untuk membantu korban-korban


goncangan.
Penerjemahan tersebut terlihat menggunakan metode harfiah karena
penerjemahannya hanya mencari padanan konstruksi gramatikal. (Hidayatullah,
2017: 38). Dalam penerjemahan kalimat tersebut, penerjemah tidak lagi
menerjemahkan dengan datang seorang pria dari pria-pria baik dan berbuat baik
tapi diterjemahkan dengan seorang pria datang. Namun, dalam terjemahan klausa
itu, dia masih dilepaskan dengsn konteks. Dia seharusnya mengetahui orang yang
sukarela terlibat dalam membantu korban bencana alam itu diterjemahkan sebagai
‖relawan‖. Oleh karena itu, klausa di atas seharusnya diterjemahkan menjadi
seorang relawan datang ke Yogyakarta untuk membantu korban gempa.

Terdapat kelebihan dan kekurangan pada metode penerjemahan harfiah,


yaitu:

a. Kelebihan
Kelebihan dari jenis penerjemahan ini bahwa penerjemahan harfiah sudah
melakukan penyesuaian bentuk dalam Bsa. Sebagai contoh penerjemahan harfiah
bisa dilihat terjemahan berikut:

Bsu: His heart is in the right place

Bsa: Hatinya ada ditempat yang benar.

Terjemahan di atas adalah terjemahan harfiah dimana terjemahan ini masih


terikat pada kata-kata seperti yang ada dalam Bsu, tetapi susunan kata-kata dalam
terjemahan tersebut telah disesuaikan dengan gramatikal Bsa.

b. Kelemahan

Kelemahan dari jenis penerjemahan ini adalah sifatnya yang berubah-ubah


secara mendadak dan cenderung tidak setia. Sekali waktu jenis ini melakukan
proses rank-boud translation dengan tetap pada tataran (rank) yang sama (morfem,
kata, klausa, atau kalimat) dan suatu saat akan sangat melebar menjadi unbounded
translation sehingga akan sulit dikontrol. (Masduki, 2014:4)

3. Metode Penerjemahan Setia (faithfully translation)

Penerjemahan dengan menggunakan metode setia, seorang penerjemah


memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur
gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi
penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Dengan
kata lain, metode ini berupaya untuk setia (faithful) sepenuhnya kepada maksud
dan realisasi teks bahasa sumber penulisnya (Al Farisi, 2014: 55). Penerjemahan
ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks bahasa sumber, sehingga hasil
terjemahannya kadang-kadang terasa kaku dan seringkali asing, tapi tidak
berkompromi dengan kaidah bahasa target. Metode ini biasanya digunakan pada
tahap awal pengalihan atau digunakan oleh mereka yang mementingkan
penonjolan unsur gramatikal dan kultural bahasa sumber.

Contoh:

‫ه َُى َمثِ ُْ ُش اى َّش ٍَبد‬

Dia (lk) dermawan karena banyak abunya

Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode setia karena


penerjemahannya sudah memperhatikan makna kontekstual dengan
menerjemahkan ‫ َمثُِْشُ اى َّش ٍَبد‬dengan dermawan. Meski demikian, penerjemahannya
masih nampak mempertahankan arti literalnya. Yakni dengan menambahkan kata
karena banyak abunya. Padahal klausa tersebut cukup diterjemahkan menjadi dia
dermawan, karena memang itu pesan yang hendak disampaikan bahasa sumber.
(Hidayatullah, 2017: 39)

Metode setia merupakan metode yang sering digunakan untuk menerjemah


teks-teks kegamaan, seperti Al quran dan hadis. Sehingga tak heran jika beberapa
bagian masih terasa asing dalam penerjemahan teks-teks keagamaan.

4. Metode Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)

Metode penerjemahan semantis berfokus pada pencarian padanan pada


tataran kata, tetapi terikat budaya bahasa sumber. Namun begitu, penerjemah berusaha
mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber sedekat mungkin dengan struktur
sintaksis dan semantis bahasa tarhet. Penerjemahan semantis sangat memperhatikan
nilai estetika teks bahasa sumber, kompromi makna agar selaras dengan asonansi,
serta permainan dan pengulangan kata yang menggetarkan. Berbeda dengan
penerjemahan setia, metode penerjemahan semantis lebih luwes dan memperkenankan
intuisi penerjemah untuk berempati dengan teks sumber (Al Farisi, 2014:55). Dalam
penerjemahan menggunakan metode semantic penerjemah telah mempertimbangkan
unsur estetika bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam
batas wajar. Kata yang hanya sedikit bermuatan budaya diterjemahkan dengan kata
yang netral atau istilah fungsional.

Contoh:

‫سأَذ را اىىجهُِ أٍبً اىفصو‬

Aku lihat si muka dua didepan kelas

Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode semantik karena penerjemahannya


saat berhadapan dengan frasa ُِ‫ اىىجه‬mampu menerjemahkannya dengan si muka dua,
yang kebetulan juga dikenal dalam masyarakat penutur bahasa target. Dia tidak terjebak
dengan menerjemahkannya menjadi orang yang memiliki dua muka meskipun secara
idiomatis, frasa itu bisa saja diterjemahkan dengan si munafik. Namun, kalau
diterjemahkan menjadi si munafik maka metode yang dipakai adalah metode ideomatis
(Hidayatullah, 2017: 40).
Metode semantik berorientasi pada keakuratan bahasa sumber, para ahli menyebutkan
bahwa metode ini merupakan metode yang paling baik untuk digunakan karena metode ini
menjamin keteralihan pesan dengan baik dengan tetap mempertahankan sebisa munhkin
keakuratan bahasa sumber.
Terdapat kelebihan dan kekurangan pada metode semantic yakni sebagai berikut:
a. Kelebihan
Kelebihan dari jenis penerjemahan ini adalah lebih berfokus atau berpenekanan yang
kuat dan ketat pada pencarian padanan pada tataran kata yang terikat pada budaya bahasa
sumber.

b. Kelemahan

Kelemahan dari penerjemahan semantik adalah kelemahan pada saat menerapkannya,


karena keterikatan penerjemah pada budaya bahasa sumber pada saat dia melakukan
tugasnya. Padahal, bahasa yang melatar belakangi bahasa sumber dan bahasa sasaran pasti
berbeda. Akibatnya, penerjemahan tipe ini seringkali sulit diterapkan terutama dalam
menerjemahkan kata-kata yang bermakna abstrak atau subjektif (Masduki, 2011: 7-8).

3. METODE PENERJEMAHAN PENEKANAN PADA BAHASA SASARAN


Newmark (dalam Hidayatullah, 2017: 36) menawarkan delapan metode yang
dapat digunakan oleh seorang penerjemah saat melakukan proses penerjemahan
bahasa sumber ke bahasa target. Dari delapan metode tersebut ada empat di antaranya
yang berorientasi pada keakuratan Tsu (teks sumber) dan empat lainnya yang
berorientasi pada keakuratan Tsa (teks sasaran). Empat metode yang berorientasi pada
keakuratan Tsu, ialah: (1) metode kata demi kata; (2) metode harfiah; (3) metode setia;
dan (4) metode semantik. Sedangkan empat metode yang berorientasi pada
keakuratan Tsa, ialah: (1) metode adaptasi; (2) metode bebas; (3) metode idiomatik;
dan (4) metode komunikatif.
1. Metode Penerjemahan yang Berorientasi pada Keakuratan Tsa
Termasuk ke dalam metode ini ialah: (1) metode penerjemahan adaptasi; (2)
metode penerjemahan bebas; (3) metode penerjemahan idiomatis; dan (4) metode
penerjemahan komunikatif.
a) Metode Penerjemahan Adaptasi
Metode penerjemahan adaptasi dikenal dengan penerjemahan teks yang paling
bebas dan yang paling dekat dengan Tsa. Biasanya pada metode ini seorang
penerjemah tidak terlalu memperhatikan keteralihan sruktur Tsa atau berusaha
mengubah dan menyelaraskan budaya bahasa sumber dalam bahasa target (Al-Farisi,
2011: 56), dan lebih memperhatikan apakah hasil terjemahnnya dapat dipahami
dengan baik oleh si penutur Bsa atau tidak (Hidayatullah, 2017: 40). Metode ini lebih
sering digunakan dalam menerjemahkan naskah drama, puisi, atau film dengan tetap
mempertahankan tema, karakter, dan alur cerita. Budaya bahasa sumber dikonversi ke
dalam budaya bahasa target. Teks tersebut kemudian ditulis ulang. Oleh karena itu,
hasil penerjemahan umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan. Hasil
terjemahan sesungguhnya lebih merupakan penulisan kembali pesan teks bahasa
sumber dalam bahasa target (Al-Farisi, 2014: 56). Ciri lain dari metode ini ialah
terjadinya peralihan budaya Tsu ke budaya Tsa. Dengan kata lain, terdapat
penyesuaian kebudayaan dan struktur kebahasaan (Hidayatullah, 2017: 41). Contoh :

‫عاشت بعيدا حيث الختطو قدم‬


‫عند الينابع بأعلي النهر‬
Dia hidup jauh dari jangkauan
Di atas gemercik air sungai yang terdengar jernih
Bila memperhatikan terjemahan di atas, terdapat upaya dari penerjemah untuk
melepaskan diri dari kungkungan struktur gramatikal Tsu meskipun struktur
maknanya masih dipertahankan. Penerjemah menginginkan untuk memunculkan
corak baru dalam pemaknaan terhadap Tsu tanpa menghilangkan pesan yang hendak
disampaikan oleh penulis Tsu. Penerjemah berusaha menampilkan Tsu menjadi
dinamis mengikuti perkembangan pemaknaan pada Tsa, apalagi teks tersebut
terkategorikan sebagai teks syair, yang mana membutuhkan pemahaman makna yang
sangat jeli dan teliti. Apabila tidak demikian, terjemahan di atas dapat berupa dalam
bentuk seperti berikut.
Dia hidup jauh sehingga kaki tidak bisa menjangkaunya
Pada mata air di bagian sungai paling atas
b) Metode Penerjemahan Bebas
Penerjemahan bebas berupaya memproduksi materi tertentu tanpa
menggunakan cara tertentu. Dalam hal ini, penerjemah memproduksi isi semata tanpa
mengindahkan bentuk atau lebih mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks
Tsu. Sehingga didapati hasil teks terjemahan (teks target) yang tidak lagi mengandung
gaya atau bentuk teks sumber. Pada metode penerjemahan bebas ini, didapati
perubahan yang begitu drastis antara struktur luar Tsu dengan struktur luar Tsa
(Hidayatullah, 2017: 41). Sehingga dalam praktiknya, penerjemahan bebas tidak
terikat dengan pencarian padanaan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan
cenderung terrfokus pada teks. Biasanya metode ini merupakan parafrase yang lebih
panjang atau lebih pendek dari pada bahasa aslinya dan terkesan bertele-tele.
Biasanya, metode ini digunakan untuk kepentingan media massa. Selain untuk
kepentingan media massa, media ini juga digunakan dalam penerjemahan judul bab
dalam bahasa Arab, sehingga memaksa penerjemah untuk menggunakan metode ini
agar didapati hasil terjemahan yang lebih menarik dalam bahasa target. Melihat dari
sifatnya yang demikian, banyak para ahli yang meragukan metode ini sebagai salah
satu metode penerjemahan bahasa (Hidayatullah, 2017: 42). Contoh:

‫يف أن املال أصل عظيم من أصول الفساد حلياة الناس أمجعني‬


“Harta sumber malapetaka”
Bila dicermati, teks di atas tampak sekali bahwa penerjemahannya tidak
menginginkan selalu terkungkung dalam struktur gramatika dan struktur makna Tsu.
Penerjemah menginginkan untuk memunculkan perspektifnya sendiri tanpa
menghilangkan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis Tsu. Apabila dilihat dan
dicermati ulang, maka akan nampak sebuah distorsi makna, akan tetapi pokok
pemikiran penulis Tsu tetap tersampaikan atau terjembatani. Terjemahan di atas juga
tampak lebih ringkas atau lebih pendek dibanding dengan Tsu. Apabila teks di atas
diterjemahkan secara lengkap sesuai dengan Tsu, maka akan didapati hasil terjemahan
“bahwa harta merupakan sumber terbesar kehancuran bagi kehidupan umat
manusia.” (Hidayatullah, 2017: 42)
Al-Farisi (2011: 57) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara metode
penerjemahan adaptasi dengan metode penerjemahan bebas. Yaitu bahwa metode
penerjemahan bebas tetap mempertahankan pesan atau makna yang sesuai dengan
pesan yang termaktub dalam teks bahasa sumber. Selain itu pada metode adaptasi,
seorang penerjemah diperkenankan untuk membuat sejumlah modifikasi, seperti
mengubah nama pelaku dan tempat kejadian.
c) Metode Penerjemahan Idiomatis
Metode penerjemahan idiomatis ini berusaha untuk memproduksi pesan
bahasa sumber, akan tetapi lebih cenderung mendistorsi nuansa makna atau seorang
penerjemah lebih mereproduksi pesan dalam teks Bsu. Metode ini serasa
mengharuskan bagi seorang penerjemah untuk menggunakan kesan keakraban dan
ungkapan idiomatis yang tidak didapati pada versi aslinya (Hidayatullah, 2017: 42).
Mengapa demikian? Karena hal ini disebabkan oleh seorang penerjemah yang lebih
menyukai pemakaian aneka kolokial dan idiom-idiom yang tidak terdapat dalam
bahasa sumber (Al-Farisi, 2011: 57).
Pada metode ini, banyak terjadi distorsi nuansa makna, tetapi lebih mudah
dipahami dan lebih nyaman dibaca. Contoh:

‫وما اللذة إال بعد التعب‬


Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Terjemahan teks di atas sangat memperhatikan pengalihan idiom Tsu ke dalam
idiom Tsa yang kebetulan memiliki makna yang sejenis. Tanpa memperhatikan aspek
idiomatis pada Tsu maka terjemahan yang didapati ialah “setiap kenikmatan itu
hanya bisa diraih dengan kerja keras.” Meskipun tetap dapat dipahami, akan tetapi
hasil terjemahannya tidak semudah dicerna oleh pembaca apabila dibandingkan
dengan terjemahan yang menggunakan metode idiomatis. Pemerjemahan dengan
menggunakan metode ini, merupakan metode yang berterima dikalangan para ahli
karena menjamin keteralihan pesan dan ide pada Tsu (Hidayatullah, 2017: 42-43).
d) Metode Penerjemahan Komunikatif
Metode penerjemahan komunikatif ini berupaya untuk mengungkapkan makna
kontekstual bahasa sumber secara tepat (Al-Farisi, 2011: 57). Atau dengan kata lain,
seorang penerjemah mereproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa
(Hidayatullah, 2017: 43). Pengungkapan dilakukan dengan menggunakan cara-cara
tertentu sehingga aspek kebahasaan dan aspek isi berterima dan mudah dipahami oleh
pembaca target. Metode penerjemahan komunikatif ini sangat mengindahkan efek
terjemahan terhadap bahasa target dan mengharuskan bagi seorang penerjemah untuk
memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi yang dikaitkan dengan siapa calon
pembaca dan apa tujuan dari penerjemahan teks tersebut. Hal ini perlu dilakukan serta
diupayakan, agar hasil terjemahan mempunyai bentuk, makna, dan fungsi yang
selaras dalam bahasa target (Al-Farisi, 2011: 57). Sebab, boleh jadi suatu kalimat
terjemahan sudah benar secara sintaksis, tetapi dari maknanya tidaklah logis, bentuk
dan maknanya boleh jadi telah sesuai, tetapi makna pragmatik penggunaannya tidak
tepat atau pas dan tidak alamiah.
Hidayatullah (2017: 43) menambahkan bahwa metode ini dapat memberikan
variasi penerjemahan yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip komunikasi yang
menjembatani hal-hal yang tidak terlalu dipahami oleh kelompok pembaca tertentu.
Dengan demikian, metode ini mengharuskan seorang penerjemah untuk menentukan
terlebih dahulu target pembaca calon terjemahannya sehingga seorang penerjemah
dapat memiliki diksi, struktur tata bahasa, dan teknik penyampaian pesannya. Contoh:

‫نتطور من نطفة مث من علقة مث من مغةة‬


Bagi kalangan awam, “kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan
kemudian segumpal daging.”
Bagi kalangan terpelajar, “kita berproses dari dari sperma, lalu zigot, dan
kemudian embrio.”
Tsu di atas dapat diterjemahkan dengan dua versi, disesuaikan dengan siapa
target pembaca dan untuk tujuan apa Tsu itu diterjemahkan. Pesan yang sama akan
selalu dapat disampaikan dalam versi yang berbeda-beda. Metode penerjemahan
komunikatif ini merupakan metode yang berterima bahkan disarankan oleh para ahli.
Apabila dalam kelompok metode yang berorientasi pada keterbacaan Tsu, maka
metode semantiklah yang dianggap sebagai metode yang paling terbaik. Sedangkan
dalam kelompok yang berorientasi pada keterbacaan Tsa, maka metode
komunikatiflah yang dianggap sebagai metode yang paling terbaik.

4. PROSEDUR PENERJEMAHAN
Prosedur penerjemahan adalah teknik atau cara yang pakai penerjemahan selama
proses penerjemahan berlangsung pada tataran kata, frasa, dan kalimat.

Istilah prosedur, menurut Newmark (dalam Syihabuddin, 2005), merujuk pada


proses penerjemahan kalimat dan unit-unit terjemah yang lebih kecil, sedang metode
mengacu pada proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Dengan kata lain,
prosedur penerjemahan terkait dengan penanganan teks pada tataran mikro (Al farisi,
2014: 60). Objek metode penerjemahan adalah wacana, sementara objek prosedur
penerjemahan berupa kalimat yang notabene merupakan unit paling kecil dalam ranah
sintaksis.

1) Prosedur Literal

Prosedur penerjemahan literal merupakan prosedur penerjemahan yang


dilakukan dengan menerjemahkan frasa atau kata BSu secara lurus. Penerjemahan
disini berusaha memaknai setiap kata yang ada dalam kalimat bahasa sumber serta
menyesuaikannya dengan kaidah bahasa sasaran. Jika dengan prosedur ini makna
telah tersampaikan, maka tugas penerjemah telah selesai. Jika makna belum
tersampaikan maka perlu menerapkan prosedur lainnya.

Dalam kebanyakan terjemahan Al-Quran, termasuk Al-Quran dan


Terjemahnya terbitan Departemen Agama, prosedur ini banyak digunakan. Biasanya,
penggunaan prosedur ini diterapkan manakala makna bahasa sumber memiliki
kedekatan dengan makna bahasa target atau relatif mendekatinya. Prosedur ini sangat
text-cocered, dipertahankan sedemikian rupa. Itulah sebabnya, penerapan prosedur ini
sering kali menghasilkan terjemahan yang kurang berterima. Dalam banyak kasus,
hasil terjemahan relatif sulit dipahami khalayak pembaca.
Kiranya tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa prosedur literal ini sulit
diterapkan, terlebih lagi manakala dihadapkan pada unit terjemahan yang panjang.
Sulit diterapkan, sebab setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri. Bahasa sumber
dan bahasa target tidaklah sama, baik pada tataran struktur ataupun kultur. Atau
meminjam ungkapan Nida dan Taber (1984) dalam Al farisi (2014: 62), each
language has its own genius ‗setiap bahasa memiliki kegeniusannya tersendiri‘.
Kendatipun begitu dalam praktiknya penggunaan prosedur literal ini tidak dapat
dihindari. Sering kali prosedur ini ditempuh oleh penerjemahan ketika menghadapi
teka yang rumit. Kerumitan sebuah teks sering kali memerlukan analisi struktur dan
semantis secara literal terlebih dahulu.

2) Penerjemahan Transkripsi

Prosedur transkripsi dilakukan untuk mengalihkan suatu unit linguistik dari


bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan menyalin huruf. Alih huruf atau aksara
ini lazim dinamakan transliterasi. Prosedur transkripsi merupakan proses pengalihan
kata atau frase dari bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan cara menyalin
bentuk hurufnya. Proses penyalinan huruf lantas diikuti dengan proses naturalisasi
dan adaptasi dalam bahasa target. Disinilah terjadi penyesuaian kata yang ditransfer
dengan sistem fonetik dan fonologi bahasa target. Penyesuaian dimaksudkan unutk
menghasilkan kata yang selaras dengan kaidah fonotaktik dan morfotaktik yang
berlaku.

Menurut Syihabuddin (2005) dalam Al farisi (2014: 63), prosedur transkripsi


biasanya digunakan penerjemah karena beberapa alasan, yaitu (1) untuk menarik
perhatian pembaca; (2) kata yang ditranskripsi memiliki pengertian khusus yang
penjelasannya dipandang terlalu panjang; (3) kata tersebut tidak dapat dipadankan
dalam bahasa target.

Umumnya penggunaan prosedur transkripsi ini terkait dengan nama orang,


nama georafis, nama koran atau majalah, nama jalan, judul penerbitan, nama institusi,
objek kebudayaan atau konsep yang berhubungan dengan kelompok tertentu, dan
sebagainya. Istilah-istilah kebudayaan juga sering ditranskripsi demi mempertahankan
kekhasan dan nuansa lokal, sehingga menarik perhatian pembaca untuk mengapresiasi
budaya bahasa sumber. Syihabuddin (2005) dalam Al farisi (2014: 63)
mengungkapkan, paling tidak terdapat empat keuntungan penggunaan prosedur
trasnkripsi dalam penerjemahan Arab-Indonesia: (1) memberi kelengkapan pengertian
dibidang semantik, (2) mengisi kekosongan leksikon bahasa indonesia, (3) dan
memenuhi kebutuhan khusus suatu register.

3) Prosedur Modulasi

Istilah modulasi awalnya dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet (dalam


Newmark, 1988: 88-89) untuk menunjukkan variasi dalam strategi penerjemahan
melalui perubahan atau pergeseran sudut pandang (Al farisi 2014: 68). Tidak jarang
modulasi berupa pergeseran kategori pemikiran seperti pergeseran dari abstrak
menjadi konkret, sebab menjadi akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi waktu,
jamak menjadi tunggal atau sebaliknya, verba menjadi nomina, dan semacamnya.

Menurut Hidayatullah Modulasi atau pergeseran makna, pergeseran ini terkait


variasi melalui suatu perubahan sudut pandang, perspektif, atau segi maknawi yang
lain Machali (2000) (dalam Hidayatullah (2017: 56). Pergeseran ini terbagi lagi
menjadi pergeseran sudut pandang dan pergeseran medan makna.

Pergeseran makna dalam tingkat sudut pandang terjadi bila pergeseran tersbut
menghasilkan Bsa yang berupa unsur dengan sudut pandang semantis yang berbeda,
misalnya kata ‫غجُت‬. dalam bahasa arab, kata ini berada dalam sudut pandang untuk
semua orang yang berprofesi atau mempunyai pekerjaan menyembuhkan orang yang
sedang sakit, sedangkan dalam bahasa indonesia berada dalm sudut pandang hanya
untuk orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara tradisional, seperti
dukun atau tabib. Namun, keduanya berada dalam medan makna yang sama terkait
pengobatan.

Sementara itu, pergeseran makna dalam tingkat medan makna terjadi bila
pergeseran itu menghasilkan unsur Bsa yang medan maknanya lebih luas atau lebih
sempit. Contoh kata ٌ‫‗ ػبى‬orang berilmu‘. Dalam bahasa arab kata itu berada di medan
makna yang luas, mencakup semua ilmuwan dalam segala disiplin ilmu pengetahuan
dan terkadang bermakna pakar atau ahli suatu bidang, seperti ‫‗ ػبىٌ اىفُضَبء‬pakar fisika‘
ُ‫ ػبىٌ اىقبّى‬atau ‗ahli hukum‘. Padahal kata ulama dalam bahasa indonesia terbatas pada
medan makna ahli ilmu-ilmu agama islam.

Terdapat dua jenis modulasi, yakni modulasi bersifat wajib dan modulasi yang
bersifat bebas. Yang pertama merujuk pada perubahan yang harus dilakukan sebagai
akibat tidak adanya padanan atas suatu struktur, kata, frase, atau hanya sebagian
makna saja yang dapat diungkapkan dalam bahasa target. Sedangkan yang kedua
mengacu pada strategi penerjemahan yang dilakukan karena alasan non-linguistik,
seperti untuk kepentingan menjelaskan makna (machali, 2000: 69-71 dalam Al farisi
(2014: 68).

4) Prosedur Ekuivalensi Budaya

Pengertian ekuivalensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu keadaan


sebanding (senilai, seharga, sederajat, sama arti, sama banyak), keadaan sepadan.
Sedangkan pengertian budaya secara umum yaitu seseuatu yang sudah menjadi ciri
dan khas daerah tertentu.

Dalam suatu penerjemahan, prosedur ekuivalensi ini penerjemah berupaya


mencari padanan yang pas dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan kebudayaan
bahasa sumber. Padanan diupayakan sesuai dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan
yang berlaku dalam bahasa target. Sebagai contoh ungkapan ِ‫قجو اىشٍبء رَأل اىنْبئ‬
‗sebelum memanah isi dahulu tabung anak panah‘, lebih berterima jika diterjemahkan
menjadi sedia payung sebelum hujan. Terjemahan ini lebih dikenal dan mudah
dipahami ketimbang terjemahan harfiahnya. Struktur lahir keduanya memang
berbedda, tetapi struktur batin keduanya jelas sama. (Al Farisi 2014: 64)

Contoh lain dari penerjemahan menggunakan prosedur ini yaitu pada salah
satu hadist nabi yang berbunyi: ‫ وال َْغً ٍزؼففًب‬، ‫ وال ََْغ غبىجًب‬، ‫عبئال‬
ً ‫أّه ال َشد‬

“Beliau (Rasulullah) tidak pernah menolak pengemis, tidak pernah menolak


orang yang meminta-minta , dan tidak pernah melupakan orang yang menjaga
diri.”

Kalimat tersebut adalah potongan dari satu paragraf yang menerangkan


adanya teladan- teladan baik yang dicontohkan oleh Rasulullah Sallallahu ‗alaihi
wasallam tentang memperlakukan orang-orang yang lemah dalam hal ekonomi.
Dalam terjemahan awal, peneliti menerjemahkan kalimat ‫ ٍزؼففًب‬dengan ‗orang yang
menjaga diri‘, secara literal terjemahan tersebut benar, akan tetapi jika dilihat dari
prosedur dan teknik penerjemahan makna tersebut masih menyisakan pertanyaan,
yaitu menjaga diri dalam hal apa?. Hal seperti ini dikategorikan sebagai frasa yang
perlu adanya teknik pemadanan bercatatan. Sesuai dengan permasalahan dalam
kalimat tersebut perlu diterapkan teknik pemadanan bercatatan untuk menghilangkan
kesan ketidakjelasan pada pembaca. ( Kamil, dkk 2018: 88).

Oleh karena itu, untuk memperoleh makna yang terkandung dalam bahasa
ً
sumber perlu dilihat fokus pada konteks kalimat sepenuhnya yaitu ‫ وال ََْغ‬، ‫عبئال‬ ‫ال َشد‬
‫ غبىجًب‬, ‗tidak pernah menolak pengemis, tidak pernah menolak orang yang meminta-
minta‘. Dari konteks ‗pengemis dan orang yang meminta-minta‘ tersebut dapat
diambil makna dari kata ‫ ٍزؼففًب‬sebagai ‗orang yang menjaga diri untuk tidak meminta-
minta‘ sehingga permasalahan pada terjemahan kata ‫ ٍزؼففًب‬dapat difahami. Oleh karena
itu, penerjemah merevisi terjemahan tersebut sebagai berikut, ―Beliau tidak pernah
menolak pengemis dan orang yang meminta-minta, dan tidak melupakan orang-orang
yang „iffah (yang menjaga harga dirinya untuk tidak meminta-minta)”.

Dalam praktiknya, prosedur ekuivalensi budaya ini kerap dilengkapi dengan


prosedur ekuivalensi fungsional dan deskriptif. Ketika prosedur literal dan prosedur
transkripsi kurang pas diterapkan pada kosakata kebudayaan tertentu, dapatlah
digunakan prosedur deskripsi tentang ekuivalensi atau fungsi kebudayaan itu. Jadi,
prosedur ekuivalensi budaya, transkipsi, dan deskripsi ekuivalensi atau fungsi
merupakan rangkaian prosedur yang dapat saling menggantikan dalam
menerjemahkan kosakata atau ungkapan yang beruansa budaya tertentu. (Al Farisi
2014: 64)

Prosedur ekuivalensi dapat dijabarkan ke dalam tiga teknik penerjemahan


yaitu: 1) teknik korespondensi, 2) teknik deskripsi, 3) teknik integrasi.

a) Teknik Korespondensi

Dengan teknik ini penerjemah menyamakan konsep bahasa sumber dalam


bahasa target. Penerjemah berasumsi bahwa antara bahasa sumber dan bahasa target
terdapat kesamaan konseptual. Operasionalisasi teknik ini dilakukan dengan
menyamakan konsep bahasa sumber dan bahasa target melalui penerjemahan kata
dengan kata atau frase dengan frase.
Menurut Syihabudin (dalam Al Farisi 2014: 65), teknik korespondensi
memiliki tiga pola:

Pertama, penerjemah menyamakan makna kata (Kt) bahasa Arab dengan


makna kata (Kt) dalam bahasa Indonesia. Pola korespondensi yang pertama ialah Kt =
Kt. Misalnya kata ‫ َجَّْخ‬diterjemahkan menjadi ‗surga‘; kata ‫ ّبس‬menjadi ‗neraka‘.

Kedua, terdapat dua buah kata dalam bahasa Arab yang dipandang bersinonim
dengan sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Korespondensi yang kedua ini berpola
Kt1/ Kt2 = Kt. Maksudnya, dengan makna dua buah kata dalam bahasa Arab di
anggap bersinonim dengan makna sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Sebagai
contoh dalam Surah Hud (11) ayat 76 terdapat penggalan ‫إَّّهُ قذ َجبء اٍَ ُش‬
‫‖سثَّل‬sesungguhnya
َ telah datang ketetapan Tuhanmu‖. Penerjemahan kata ‫ َسثَّل‬dengan
‗Tuhanmu‘ menggunakan korespondensi pola ini. Hal ini dilandaskan pada asumsi
bahwa terdapat kesamaan konseptual antara kata َّ‫ ( َسة‬Kt1) atau ‫( إىَه‬Kt2) dalam
bahasa Arab dengan kata Tuhan dalam bahasa Indonesia. Namun, tentu saja struktur
makna kata Tuhan ini tidak mempresentasikan struktur makna kata َّ‫ َسة‬dan ‫إىَه‬. Dalam
bahasa Arab, kata َّ‫ َسة‬bermakna Tuhan dalam pengertian yang mengurus, memelihara,
dan mengatur, kata ‫ إىَه‬bermakna Tuhan dalam pengertian wajib dipuja, disembah, dan
diibadati. Adapun dalam bahas Indonesia, kata Tuhan bermakna yang di yakini,
dipuja, dan disembah, oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa
(Lihat KBBI, 1999: 1076)

Ketiga, makna sebuah frase (F) dalam bahasa Arab disamakan dengan makna
sebuah frase (F) dalam bahasa Indonesia. Pola korespondensi yang ketiga ini ialah F =
F. Sebagai contoh dalam Surah Al- Fatihah (1) ayat 6 terdapat frase ٌُِ‫ص َشاغ اى َُ ْغزَق‬
ِّ ‫اى‬
diterjemahkan menjadi ‗jalan yang lempeng‘. Frase ٌُِ‫ص َشاغ اى َُ ْغزَق‬
ِّ ‫ اى‬dalam bahasa Arab
oleh penerjemah dipandang sama dengan frase jalan yang lempeng dalam bahasa
Indonesia.

b) Teknik Dekripsi

Penggunaan teknik deskripsi dilakukan dengan cara menjelaskan makna kata


bahasa sumber dalam bahasa target. Dengan teknik ini, sebuah kata bahasa sumber
diterjemahkan menjadi frase, atau frase yang sederhhana menjadi frase yg kompleks.
Teknik ini, menurut Syihabudin (dalam Al Farisi 2014: 66), dapat dicandrakan dalam
beberapa pola:

Pertama, penerjemah menjelaskan makna kata (Kt) bahwa sumber dengan


sebuah frase (F) dalam bahasa target, yang terdiri atas beberapa kata (Kt+Kt). Cara ini
bisa digambarkan dalam pola Kt → F = (Kt+Kt). Sekedar contoh, ٌُ‫َّح‬
ِ ‫( اىش‬Kt)
diterjemahkan menjadi Maha (Kt) dan Penyayang (Kt).

Kedua, penerjemah menjelaskan makna kata (Kt) bahasa sumber dengan


seebuah frase bertingkat satu (F1) dalaam bahasa target yang terdiri atas dua kata
(Kt+Kt). Cara ini bisa digambarkan salam pola Kt —> F = F1 (Kt+Kt). Kata ‫اىحُْف‬
َ
umpamanya, diterjemahkan menjadi ‗orang yang lurus‘; ٍ‫اىح‬
َ diterjemahkan menjadi
‗Yang Hidup Kekal‘.
Ketiga, penerjemah menyamakan sebuah kata (Kt) dengan kata lain (Kt)
dalam bahasa sumber. Makna kedua kata ini lentas dijelaskan dengan sebuah frase (F)
dalam bahasa target yang terdiri atas dua kata (Kt+Kt). Cara ini bisa bisa digambarkan
dalam pola Kt = Kt —> F (Kt+Kt). Dalam Al-Quran misalnya terdapat kata ‫ اىخَجُش‬dan
ٌُ ُِ‫ اى َؼي‬. makna Penerjemah menyamakan mkna kedua kata ini, sehingga keduany
diterjemahkan menjadi ‗Maha Mengetahui‘.

Keempat, penerjemah mendeskripsikan makna kata (Kt) bahasa sumber


dengan frase bertingkat dua (F2) . Cara ini digambarkan dalam pola Kt —> F= F1 {Kt
= F2 ( Kt+ Kt)}. Contoh untuk pola ini tampak pada kata ُ‫ اى َُحغُْى‬yang diterjemahkan
menjadi frase ‗orang – orang yang berbuat kebajikan‘

Kelima, penerjemah mendeskripsikan frase yang sederhana dalam bahasa


sumber dengan frase yang kompleks dalam bahasa target. Cara ini bisa digambarkan
dalam pola F —> F bertingkat. Pemakaian pola ini, mislnya, tampak dalam
penerjemahan frase ‫صشد اىطَّشف‬
ُ َ‫ق‬, yang termaktub dalam surah Ar- Rahman (55) ayat
(56), menjadi ‗bidadari- bidadari yang sopan menundkan pandangan‘ merupakan fase
nominal yang didalamnya terkandung frase adjektiva dengan pemodifikasi penegas.

c) Teknik Integrasi

Teknik ketiga ini merupakan cara penerjemahan kata atau istilah dengan
menggunakan dua teknik (kuplet) dalam mereproduksi makna bahasa sumber dalam
bahasa target. Pemakaian teknik ini dimaksudkan supaya makna yang terdapat dalam
bahasa sumber menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca bahasa target.
Dalam praktiknya biasa digunakan teknik deskripsi sebagai cara yang pokok,
sementara teknik integrasi ini penerjemah mendeskripsikan frase dengan frase (Al
Farisi 2014: 67).

Dalam hal ini penerjemah menjelaskan frase (F) bahasa sumber dengan frase
(F) dalam bahasa target. Cara ini tampak pada pola F (Kt+Kt) -> F {F1 (Kt+Kt).
Sebagai contoh frase ‫ أوىىا األىجبة‬yang termaktub dalam surah Ali Imron (3) ayat 7,
diterjemahkan menjadi ‗orang-orang yang berakal‘. Di sini penerjemah
mendeskripsikan konsep yang terkandung dalam bahasa sumber dengan memakai
beberapa kata, yang salah satunya bersinonim dengan kata lain (Kt=Kt). Dengan kata
lain, makna ‫ أوىىا األىجبة‬diterjemahkan dengan menggunakan deskripsi dan sinonim.
Cara sinonim digunakan penerjemah dengan menyamakan makna ‫األىجبة‬ dengan
‫ اىؼقىه‬yang berarti ‗akal‘ (Al Farisi 2014: 67)
Lebih jauh Syihabuddin (2005) (dalam Al Farisi, 2014:67-68)
mengungkapkan bahwa dari ketiga teknik di atas, pemakaian deskripsi dan teknik
integrasi lebih mampu mengungkapkan makna kata bahasa Arab dalam bahasa
Indonesia ketimbang teknik korespondensi. Bisa dimaklumi, sebab teknik deskripsi
dan teknik integerasi berupaya menjelaskan makna sebuah kata bahasa sumber
dengan frase di dalam bahasa target, sedangkan teknik korespondensi hanya
menyamakan makna sebuah kata bahasa sumber dengan makna sebuah kata di dalam
bahasa target.

5) Prosedur Transposisi

Menurut Al Farisi (2011: 69) transposisi adalah prosedur penerjemahan yang


dilakukan dengan mengubah aspek gramatikal bahasa sumber kedalam bahasa target.
Menurut Rohana (2017: 162) transposisi adalah teknik penerjemahan yang dilakukan
dengan cara mengubah kategori gramatika teks bahasa sumber kedalam kategori
gramatika teks bahasa sasaran. Menurut Akiriningsih dkk. (2017: 4) transposisi adalah
suatu prosedur penerjemahan yang melibatkan pengubahan bentuk gramatikal dari
BSu ke BSa. Menurut Vinay dan Darbelnet (dalam Haroon&Omar, 2013)
mendefinisikan prosedur transposisi sebagai ―proses penggantian satu kelas kata
dengan kelas kata yang lain tanpa mengubah makna mesej‖

Transposisi merupakan teknik penerjemahan dengan mengubah kategori


gramatikal (Sutopo, 2012: 84). Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori,
struktur, dan unit. Kata kerja dalam teks bahasa sumber, misal, diubah menjadi kata
benda dalam teks bahasa sasaran. Teknik pergeseran struktur lazim diterapkan jika
struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran berbeda satu sama lain.

Penggunaan prosedur transposisi akan melahirkan perubahan fungsi sintaksis


dan kategori kata dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Seperti diketahui dalam
bahasa Indonesia, fungsi-fungsi sintaksis meliputi subjek (S), predikat (P), objek (O),
pelengkap (P), dan keterangan (K). Sedangkan kategori kata terdiri dari nomna (N),
verba (V), adjektiva (A), pronomina (P), kata sarana (KS) dan numeralia (Num.) (Al
Farisi, 2011: 69).

Pergeseran kategori merujuk pada perubahan kelas kata bahasa sumber dalam
bahasa sasaran, dan dalam banyak kasus, pergeseran kelas kata dapat bersifat wajib
(obligatory) dan bebas (optional). Pergeseran kategori yang bersifat wajib dilakukan
sebagai upaya untuk menghindari distorsi makna, sedangkan pergeseran kategori yang
bersifat bebas pada umumnya diterapkan untuk memberikan penekanan topik
pembicaraan dan untuk menunjukkan preferensi stilistik penerjemah
(etd.repository.ugm.ac.id/potongan/S2-2017-389049-introduction).

Pergeseran unit merujuk perubahan satuan lingual bahasa sumber dalam


bahasa sasaran. Pergeseran unit yang dimaksudkan dapat berbentuk pergeseran dari
unit yang rendah ke unit yang lebih tinggi dan dari unit yang tinggi ke unit yang lebih
rendah. Bahkan pergeseran tersebut dapat pula berupa pergeseran dari konstruksi
yang kompleks ke konstruksi yang sederhana, dan dari konstruksi yang sederhana ke
konstruksi yang kompleks (etd.repository.ugm.ac.id/potongan/S2-2017-389049-
introduction).

Penerapan dari teknik pergeseran ini dilandasi oleh suatu konsepsi atau
pemahaman berikut ini. Pertama, penerjemahan selalu ditandai oleh pelibatan dua
bahasa, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bahasa sumber dan bahasa sasaran
tersebut pada umumnya berbeda satu sama lain baik dalam hal struktur maupun
budayanya. Dalam kaitan itu, perubahan struktur sangat diperlukan. Kedua, dalam
konteks pemadanan, korespondensi satu lawan satu tidak selalu bisa dicapai sebagai
akibat dari adanya perbedaan dalam mengungkapkan makna atau pesan antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Dalam kondisi yang demikian diperlukan pergeseran unit.
Ketiga, penerjemahan dipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan suatu
keputusan yang diambil oleh penerjemah dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti
kompetensi yang dimilikinya, kreativitasnya, preferensi stilistiknya dan pembacanya
(etd.repository.ugm.ac.id/potongan/S2-2017-389049-introduction).

Istilah teknik penerjemahan merujuk pada langkah-langkah yang dilakukan


penerjemah dalam menerjemahkan (Fahrurrozi dan Wicaksono, 2016: 324). Teknik
penerjemahan adalah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari Bsu ke Bsa,
diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat (Dhyaningrum dkk. 2016:
212). Molina dan Albir (2002: 511) mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai
prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan
terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual.

Menurut Molina dan Albir (2002: 509) teknik penerjemahan memiliki 5


karakteristik yaitu:

1. Mempengaruhi hasil terjemahan


2. Diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks bsu
3. Berada pada tataran mikro
4. Tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu
5. Bersifat fungsional
Menurut Al Farisi (2011: 69-75) dalam prosedur transposisi terbagi ke dalam
enam jenis teknik penerjemahan sebagaimana berikut :

a) Teknik Transfer
Teknik transfer merupakan teknik penerjemahan yang diterapkan dengan cara
mengalihkan fungsi sintaksis, kategori, dan kata sarana dari bahasa sumber ke dalam
bahasa target. Teknik transfer sebenarnya merupakan realisasi dari metode
penerjemahan kata demi kata, metode penerjemahan literal, dan metode penerjemahan
setia. Ketiga metode ini cenderung mementingkan dan mempertahankan bahasa
sumber. Struktur dan urutan kata bahasa sumber, misalnya dipertahankan sedemikian
rupa.
Asumsi yang mendasari teknik ini adalah adanya persamaan sejumlah aspek
lingual antara bahasa sumber dan bahasa target. Aspek kesamaan ini antara lain
meliputi fungsi, kategori sintaksis, dan kata sarana yang ada pada kedua bahasa.
Inilah yang memungkinkan teknik transfer dalam penerjemahan.

Dalam penerjemahan teknik transfer menghasilkan pengalihan fungsi


sintaksis, kategori, dan kata sarana dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Pengalihan ini menurut Syihabbudin (dalam Al Farisi, 2011: 70) bisa terjadi pada pola
S-P menjadi S-P, P-S menjadi P-S, KS menjadi KS, KS+KS menjadi KS+KS, N
menjadi N, V menjadi V, Pro. Menjadi Pro., KS (F) menjadi KS (F), FN menjadi FN,
KS+P menjadi KS+P dan KS+S menjadi KS+S.

Operasionalisasi teknik transfer antara lain terlihat pada penerjemahan Surah Al-
ِِ
Baqarah (2) ayat 10. Pada ayat ini terdapat penggalan ٌ ‫ ِيف قُلُوِب ْم َمَر‬yang diterjemahkan
‫ض‬
menjadi ―dalam hati mereka ada penyakit‖. Penerjemahan menggunakan teknik
transfer. Dalam hal ini terjadi pengalihan fungsi sintaksis P-S menjadi PS dari bahasa
Arab ke bahasa Indonesia. Selain itu urutan kata dipertahankan dan kategori sintaksis
relatif sama.

b) Teknik Transmutasi
Adakalanya penerjemah dihadapkan pada situasi dimana ia tidak dapat
mengalihkan pola fungsi sintaksis dan kata sarana dari bahasa sumber ke dalam
bahasa target. Situasi ini yang mengharuskan penerjemah mengubah pola bahasa
sumber dengan memindahkan urutannya. Pemindahan urutan dimaksudkan agar
struktur kalimat sesuai dengan pola yang berlaku dalam bahasa target. Pengubahan
pola urutan ini dimungkinkan terjadi dengan menggunakan teknik transmutasi.
Perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa target meniscyakan adanya
transmutasi dalam proses penerjemahan. Transmutasi adalah teknik penerjemahan
yang diterapkan dengan mengubah pola urutan fungsi dan kategori sintaksis bahasa
Arab dalam bahasa Indonesia. Pengubahan dilakukan dengan cara memindahkan
tempat, baik dengan mendahulukan ataupun mengakhirkan salah satu unit gramatikal.

Dalam praktiknya, sebagaimana disebutkan Syihabbudin (dalam Alfarisi,


2011: 71) teknik transmutasi ini mempunyai beberapa pola, antara lain:

Pertama, Transmutasi berpola S-P menjadi P-S. Contoh dalam surat Al-

ِ ‫هُوَ الَّ ِذي خَ لَ َق ُك ْم ِم ْن‬. Kalimat nominal yang berpola S-P (subjek-
An‘am (6) ayat 2 ‫طين‬
predikat) ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pola P-S
(Predikat subjek) yakni ―Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah‖

Kedua, Transmutasi berpola P-S menjadi S-P. Dalam bahasa Arab pola ini
biasanya terjadi pada kalimat verbal aktif. Pola semacam ini tentu saja harus
mengalami penyesuaian dalam bahasa Indonesia. Pola P-S (Predikat subjek) ini lazim
menjadi S-P (Subjek Predikat) dalam bahasa Indonesia. Contoh dalam surat As-
ِ ‫اَف جنوب هم ع ِن الْمغ‬
‫اج ِع‬
Sajdah (32) ayat 16 َ َ َ ْ ُ ُ ُ ُ َٰ ‫تَتَ َج‬ yang diterjemahkan menjadi ―lambung

mereka jauh dari tempat tidurnya‖. Ayat tersebut berpola P-S dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan pola S-P.

Ketiga, Transmutasi berpola KS+P menjadi KS+S. Pola ini sesungguhnya


konsekuensi dari perubahan predikat (P) bahasa sumber menjadi Subjek (S) dalam
bahasa target. Dalam bahasa Arab kata sarana (KS) ini menyertai predikat (P), dalam
bahasa Indonesia KS menyertai Subjek (S). Contoh dalam surat Al-Anfal (8) ayat 37
ِ ِّ‫يث ِمن الطَّي‬
‫ب‬ ِ ْ ُ‫لِيَ ِم َيز اللَّه‬.
َ َ ‫اْلَب‬ Penggalan ini diterjemahkan menjadi ―supaya Allah

memisahkan yang buruk dari yang baik‖. Terlihat bahwa dalam bahasa Arab, KS (‫)ه‬
menyertai P (‫ ;)يميز‬dalam bahasa Indonesia, KS (supaya) menyertai S (Allah).

c) Teknik Reduksi
Teknik reduksi merupakan cara penerjemahan dengan menghilangkan unsur
gramatikal bahasa sumber dalam bahasa target. Dalam penerjemahan Arab-Indonesia
menurut Syihabbbudin (dalam Al Farisi, 2011: 72) penggunaan teknik reduksi dapat
terlihat pada pengurangan pola P-S menjadi P dan pola P-(S) menjadi P- tanda kurung
menunjukkan bahwa keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.
Kalimat imperatif bahasa Arab meniscayakan adanya unsur S yang tersirat di
dalam verba. Sementara dalam bahasa Indonesia seperti dikatakan Moeliono (dalam
Al Farisi, 2011: 72) subjek yang umumnya berupa pronomina persona II mesti
dihilangkan dari kalimat imperatif. Pengurangan unsur S baik yang tersirat maupun
yang tersurat, perlu dilakukan karena dapat mengganggu kewajaran dan tidak

ِ ٰ‫َف ْأتُوا َحرْ ثَ ُك ْم َأنَّى‬


menambah kejelasan. Contoh dalam surah Al-Baqarah ayat 223 ‫ش ْئتُ ْم‬
yang diterjemahkan ―maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
kamu kehendaki‖. Dengan teknik reduksi, frase ‫ فَأْرُىا‬cukup diterjemahkan menjadi
―maka datangilah”, tanpa menghadirkan unsur S, yakni pronomina persona II jamak.

d) Teknik Ekspansi
Dalam banyak kasus, tidak setiap fungsi dan kategori sintaksis bahasa sumber
bisa dialihkan secara langsung ke dalam bahasa target. Kasus semacam ini
memerlukan penanganan khusus. Penerjemah perlu mendeskripsikan makna suatu
kata bahasa sumber dalam bahasa target. Pendeskripsian ini mengakibatkan perluasan
fungsi sintaksis dalam bahasa target. Secara teoretis penanganan masalah seperti ini
dapat dilakukan dengan teknik ekspansi.
Teknik ekspansi merupakan cara penerjemahan yang ditandai dengan
perluasan fungsi dan kategori yang disebabkan adanya deskripsi makna bahasa
sumber dalam bahasa target. Jadi, ekspansi merupakan kebalikan dari reduksi.
Dengan teknik yang pertama, penerjemah mengekspansi keterangan dalam bahasa

target dengan konsekuensi adanya ‫‗ ِصََبدَح‬penambahan‘ fungsi dan kategori sintaksis.


Penambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterbacaan makna kata bahasa
sumber dalam bahasa target. Adapun dengan teknik yang kedua, penerjemah

mereduksi keterangan dalam bahasa sumber dengan konsekuensi adanya ‫َّ ْقص‬
‗pengurangan unsur linguistik dari bahasa sumber.

Dalam penerjemahan Arab-Indonesia, perluasan fungsi dan kategori sintaksis


dapat terjadi dari pola P-S menjadi K-P-S, kategori A menjadi FA, dari N menjadi
FN, dari V menjadi FV, dari V menjadi FN, dan KS (F) menjadi F (lihat Syihabuddin,
2005). Sebagai contoh dalam Surah Al-Baqarah ayat 235 terdapat penggalan

‫الَرُ َىا ِػ ُذوْ هُ َِّ ِع ًّشا‬ diterjemahkan dengan menggunakan teknik ekspansi menjadi

‗janganlah kamu mengadakan janji dengan mereka secara rahasia‘. Di sini terjadi
perluasan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh deskripsi makna bahasa Arab
dalam bahasa Indonesia. Frase َِّ ُ‫الَرُ َىا ِػ ُذوْ ه‬ yang secara harfiah berarti ‗janganlah

kamu mengadakan janji dengan mereka‘, diperluas dengan menambah kata kawin,
sehingga menjadi ‘janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka‘.

Lebih jauh Syihabuddin (2005) mengungkapkan bahwa keterangan (K)


merupakan fungsi sintaksis yang banyak ditambahkan dalam terjemahan. Perluasan

juga terjadi pada fungsi KS menjadi F. Sebagai contoh KS ِْ َ‫ى‬ berfungsi negasi dan

lazim disertakan pada verba mudhari‟. Jadi selain menegasikan perbuatan, KS ِْ َ‫ ى‬juga

berfungsi menegasikan verba mudhari‟ pada kala mendatang. Dua fungsi ini tidak
memiliki padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, penerjemah perlu

mendeskripsikan KS ِْ َ‫ى‬ , umpamanya, diterjemahkan menjadi frase (sekali-sekali)

tidak akan. Frase ini merepresentasikan makna KS ِْ َ‫ى‬ , yang menegaskan bahwa

suatu perbuatan tidak akan dapat dilaksanakan untuk selamanya.

Ekspansi merupakan kebalikan dari reduksi. Ketika berhadapan dengan suatu


unit terjemahan, kadang-kadang penerjemah mereduksi unsur gramatikal atau
informasi dari BS. Namun, dalam kesempatan lain dia harus menambah penjelasan di
dalam BP. Penambahan ini berwujud perluasan fungsi dan kategori dalam BP. Gejala
ini diistilahkan dengan penambahan atau az-ziyâdah. Dalam penerjemahan BA ke BI,
penambahan atau perluasan ini terlihat pada perluasan fungsi yang berpola P-S
menjadi K-P-S, sedangkan pada tataran kategori, penambahan terlihat dari pola A
menjadi FA, V menjadi FA, N menjadi FN, V menjadi FV, dan V menjadi FN.
Perluasan kategori ini tidak membentuk suatu pola, karena perulangannya sangat
minim.
Penambahan atau perluasan ini dilakukan untuk menjelaskan dan menerangkan
makna BS kepada pembaca agar mudah dipahami. Penambahan itu sama sekali tidak
berkaitan dengan penambahan konseptual dari apa yang dikemukakan penulis di
dalam BS.
e) Teknik Eksplanasi
Secara implisit, setiap verba dalam bahasa Arab sudah mengandung ‫ظ َُِْش‬
َ
‗pronomina‘. Sesuai dengan varian konjugasi verba, baik dalam fi‟il mudhari‟,
terdapat 14 pronomina dalam bahasa Arab. Keempat belas varian pronomina ini
dipilah berdasarkan aspek persona, numeralia, dan jantina (jantan-betina). Misalnya

‫ هُ َى‬adalah pronomina persona III tunggal betina. Yang pertama, misalnya, terkandung
َ ‫( فَ َؼ‬madhi) dan ‫( ََ ْف ِؼ ُو‬mudhari‟), sedang yang kedua dalam verba ‫ذ‬
dalam verba ‫و‬ ْ َ‫فَ َؼي‬
ُ ‫( رَ ْف ِؼ‬mudhari‟).
(madhi) dan ‫و‬

Alhasil, penggalan ayat ke-110 ٌْ ُ‫ََ ْؼيَ ٌُ ٍَب ثَ َُِْ أَ َْ ِذ َْ ِه ٌْ َو ٍَب َخ ْيفَه‬ dalam Surah

Thaha (20) mesti diterjemahkan menjadi ‗Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka‘. Kemunculan pronomina Dia dalam
terjemahan sebagai akibat dari penggunaan teknik eksplanasi, sebab secara implisit

verba ٌُ َ‫ََ ْؼي‬ sudah mengandung pronomina ‫هُ َى‬ (dia). Boleh juga penerjemahan

dilakukan dengan cara mengeksplisitkan pronomina Dia dengan memunculkan unsur


dieksis yang dirujuknya, yaitu Allah. Dengan begitu, terjemahan penggalan ayat ini
menjadi ‗Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di
belakang mereka‘.

Konstruksi kalimat di atas, khususnya verba ٌُ َ‫ََ ْؼي‬ , mesti ditangani dengan

teknik eksplanasi dengan cara mengeksplisitkan fungsi subjek dalam bahasa target.
Cara ini diterapkan supaya struktur teks terjemahan berterima dan mudah dipahami
pembaca target. Dengan demikian, eksplanasi merupakan teknik penerjemahan yang
ditandai dengan pengeksplisitan unsur linguistik bahasa sumber dalam bahasa target.
Pengeksplisitan ini, seperti disebutkan Syihabuddin (2005), ditunjukkan oleh
perubahan pola P-(S) menjadi S-P dan (S)-P menjadi S-P – tanda kurung
menunjukkan bahwa keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.
Dalam bahasa Arab dikenal konsep al-istitar dan al-hadz-fu. Tamam (dalam
Syihabuddin, 2016) memadankan kedua istilah dengan morfem zero yang ada dalam
linguistik umum. Dia menerangkan bahwa istilah pertama mengacu pada pelesapan
pronomina yang berfungsi sebagai S dalam kalimat verbal. Adapun istilah kedua
merujuk pada penghilangan salah satu unsur dari kontruksi frase yang saling
melengkapi, yaitu frase endosentris distributif dan frase endosentris atributif.

Pada saat konstruksi demikian direproduksi ke BP, pada umumnya penerjemah


mengeksplisitkan dan menerangkan apa yang implisit di dalam BS. Menurut Didawi
(dalam Syihabuddin, 2016), praktik seperti ini di dalam teori terjemah dikenal dengan
penjelasan (assyarhu). Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Frasher (dalam
Syihabuddin, 2016) ihwal penerjemahan kata kebudayaan dan oleh hasil penelitian
Emery (1985:173) tentang kontrastif bahasa Arab dan bahasa Inggris. Keduanya
menegaskan bahwa apa yang implisit di dalam BS akan dieksplisitkan di dalam BP.
Gejala inilah yang dimaksud dengan mengeksplisitkan fungsi S BA di dalam BI.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa eksplanasi merupakan teknik
penerjemahan yang ditandai dengan mengeksplisitkan unsur linguistik BS di dalam
BP, sebagaimana terlihat dari pola perubahan P-(S) menjadi S-P.
f) Teknik Substitusi
Penggantian fungsi sintaksis bahasa sumber dalam bahasa target adakalanya
perlu dilakukan oleh penerjemah, seperti penggantian predikat (P) dengan keterangan
(K). Penggantian P dengan K, menurut Syihabuddin (2005), terjadi pada kalimat
nominal, baik yang menggunakan kopula maupun tidak, dengan pola P-S yang P-nya
berupa preposisi. Hubungan antara P dan S dapat dieksplisitkan dengan
menambahkan kata ada atau terdapat, yang dalam bahasa Indonesia berfungsi sebagai

P. Misalnya penggalan ayat ً‫ل ىَ ِؼج َْشح‬


َ ِ‫إِ َُّ فًِ َرى‬ yang berpola P-S diterjemahkan

menjadi ‗sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran‘ yang berpola K-P.
Penanganan dengan cara semacam ini lazim disebut teknik substitusi. Walhasil,
teknik substitusi merupakan cara penerjemahan yang dilakukan dengan mengganti
fungsi sintaksis bahasa sumber dengan fungsi lain dalam bahasa target. Menurut
Syihabuddin (2005), terkadang penerjemah mengganti fungsi sintaksis bahasa sumber
dalam bahasa target, seperti mengganti objek (O) dengan subjek (S) dan objek (O)
dengan keterangan (K).
BAB III
URGENSI MAKNA DALAM PENERJEMAHAN

1. BAHASA DAN BUDAYA


Bahasa dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan sebagai 1) sistem lambang bunyi
berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh
suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan
santun; tingkah laku yang baik (Kuswardono, 2013:14).
Bahasa memiliki peran yang sangat sentral dalam peradaban umat manusia. Bahasa
merupakan instrumen pokok untuk berpikir, dan berpikir merupakan wasilah bagi manusia
untuk membentuk budaya. Teori bahasa dengan semiotika sosial memandang berbahasa
sebagai interaksi sosial dengan latar budaya tertentu. Budaya, sebagaiman dikatakan
Newmark adalah jalan hidup beserta perwujudannya yang khas dalam suatu masyarakat yang
menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana ekspresinya.
Berkat bahasa manusia dimungkinkan mengikat konsep-konsep di dalam minda
secara simbolik. Kemampuan inilah yang menjadikan manusia bisa menggapai kemajuan
secara mencengangkan. Karena itu, penguasaan bahasa merupakan conditio sine quo non
bagi manusia (Al farisi, 2011: 88).
Hubungan bahasa dan kebudayaan adalah bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Namun ada pula yang berpandangan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang
berbeda tetapi tidak dapat terpisahkan. Ada pula yang berpendapat bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan tercermin di
dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang berpandangan bahwa bahasa sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan, cara berpikir manusia, dan masyarakat penuturnya (Kuswardono, 2013:65)
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya. Bahasa adalah budaya, dan budaya
direalisasikan melalui bahasa. Atau meminjam istilah Newmark, no language, no culture ‗tak
ada bahasa, tak ada budaya‘. Manusia mungkin tidak dapat berpikir tanpa menggunakan
bahasa. Berkat bahasa, manusia dapat mengingat, memecahkan masalah, membuat
kesimpulan dengan mudah. Sistem bahasa memungkinkan bahasa mencoding berbagai
pengalaman, peristiwa dan realitas dalam wujud kata-kata. Keberadaan bahasa
memungkinkan manusia tidak hanya mengekspresikan hal-hal yang berkaitan dengan matra
kekinian dan kedisinian, tetapi juga dapat membuat jejak rekam perjalanan di masa lalu dan
memperbaiki berbagai macam peristiwa di masa mendatang. Pendek kata, language is mirror
of the society ‗ bahasa merupakan cerminan masyarakatnya‘ atau a mirror of the culture ‗
cermin budayanya‘.
Bahasa sejatinya dipandang sebagai bagian dari suatu budaya yang erat kaitannya
dengan modus berpikir suatu masyarakat. Cara pandang masyarakat Indonesia, misalnya, bisa
dipstikan berbeda dengan cara pandang dunia masyarakat Arab. Ada matra budaya yang
tercerminkan dalam bahasa. Mempelajari suatu bahasa berarti mempelajari budayanya.
Bahasa mesti dipelajari dalam konteks budaya, dan budaya bisa dipelajari melalui bahasa.
Perbedaan budaya menghasilkan kosakata yang berbeda. Ini bisa dimaklumi mengingat setiap
budaya memiliki konsep-konsep khas dan unik yang berbeda satu sama lain. Walhasil, bahasa
hanya mempunyai makna bila dibingkai dalam latar budayanya (Al farisi,2011: 89).
Sapir (1949) berpendapat bahwa secara tidak sadar dunia yang kita huni ini pada taraf
tertentu dibentuk oleh kebiasaan berbahasa suatu kelompok. Pada taraf tertentu pula cara kita
melihat dunia bergantung pada bahasa yang kita pergunakan. Sekali lagi, kita
mengkategorikan objek-objek pengalaman kita dengan bantuan bahasa. Oleh karena itu,
dunia kita sebagian ditentukan oleh bahasa kita. Pandangan ini diperjelas lagi oleh Whorf,
sehingga kemudian dikenal sebagai hipotesis Shapir-whorf. Whorf berpendapat bahwa kita
tidak menyadari latar belakang karakter bahasa kita, sebagaimana kita tidak menyadari latar
belakang karakter bahasa kita, sebagaimana kita tidak menyadari kehadiran udara sampai kita
mengalami tercekik. Jika kita memperhatikan bahasa-bahasa yang ada, tahulah kita bahwa
bahasa bukan sekadar citra bunyi.
Bahasa juga merupakan pemandu atas realitas sosial. Manusia hidup dalam realitas
sosial tertentu, sekaligus juga dipengaruhi oleh bahasa yang menjadi media pertuturan bagi
masyarakatnya. Kita dapat membedah dunia dengan bahasa kita. Inilah yang kemudian
mengantarkan Whorf pada prinsip relativitas yang baru. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap
observer tidak diarahkan oleh bukti fisik yang sama menuju gambaran yang sama tentang
semesta, kecuali kalau latar belakang linguistik mereka sama atau dalam berbagai hal
disesuaikan. Tidak ada dua bahasa yang dianggap cukup persis untuk mewakili realitas sosial
yang sama (Al farisi,2011: 90-91).
Hipotesis Sapir-Whorf ini relatif terkenal, khususnya dikalangan para linguis, tetapi
hipotesis tersebut tidak banyak diikuti orang. Pendapat sebaliknya yang justru banyak diikuti
orang, yakni budaya mempengaruhi bahasa. Dalam bahasa Indonesia yang memiliki budaya
makan nasi, misalnya, terdapat sejumlah kosakata yang berkiatan dengan nasi, seperti padi,
gabah, beras, nasi (liwet, goreng, dll.), bubur, ketupat, lontong, dsb. Nah, dalam bahasa Arab
dan bahasa Inggris variasi kosakata semacam itu tidak ada. Sebab, bangsa Arab atau bangsa
Inggris tidak begitu akrab dengan budaya makan nasi. Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab
hanya terdapat kata ‫ سص‬, dan dalam bahasa Inggris hanya terdapat kata rice, untuk menyebut
konsep-konsep tersebut (Al farisi,2011: 93).
Contoh lainnya adalah bahasa Eskimo. Masyarakat Eskimo mempunyai empat kata
unuk menyebut salju yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia (Al farisi,2011: 92).
Hal yang sama juga berlaku dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab terdapat beraneka
kosakata yang berhubungan dengan unta. Pasalnya, masyarakat Arab memang hidup akrab
dengan unta. Mereka mengenal umpamanya kosakata ‫‗ جَو‬unta‘, ‫‗ جبٍو‬pemilik unta‘, ‫ج َّبه‬
‗orang yang menuntun unta‘, ‫‗ عيُو‬anak unta yang belum jelas jantan atau betinanya‘, ‫عجق‬
‗anak unta yang jantan‘, ‫‗ حبئو‬anak unta yang betina‘, ‫‗ حىاس‬anak unta yang belum disapih‘, ِ‫اث‬
‫‗ ٍخبض‬anak unta jantan berumur satu tahun‘, ‫‗ ثْذ ٍخبض‬anak unta betina berumur satu tahun‘,
ُ‫‗ اثِ ىجى‬anak unta jantan berumur dua tahun‘, ُ‫‗ ثْذ ىجى‬anak unta betina berumur dua tahun‘,
selanjutnya ada ‫حق‬, ‫حقخ‬, ‫جزع‬, ‫جزػخ‬, ٍْ‫ث‬, ‫ثُّْخ‬, dan seterusnya. Dalam kasus semacam inilah
biasanya penerjemah Arab-Indonesia mengalami kesulitan mencari padanan kosakata yang
berhubungan dengan unta, sebab dalam bahasa Indonesia hanya terdapat kata unta.
Alhasil, bahasa mempengaruhi budaya. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi cara
berpikir dan cara berperilaku masyarakat penuturnya. Jadi menurut principle of linguistic
relativity ini, bahasalah yang membuat kita melihat realitas dengan cara tertentu. Konon
masyarakat penutur bahasa yang mempunyai kategori kala sangat menghargai waktu. Jika
masyarakat Amerika mengungkapkan, a clock run ‗jam berlari‘; masyarakat Indonesia
mengatakan, waktu berjalan. Dari ungkapan ini tercermin bahwa masyarakat penutur bahasa
yang tidak mempunyai kategori kala, semisal masyarakat Indonesia, kurang menghargai
waktu. Istilah jam karet, molor juga mencandrakan betapa masyarakat penutur bahasa
Indonesia sering menyia-nyiakan waktu. Bagaimana dengan masyarakat Arab yang
menyatakan, ‫‗ اىىقذ مبىغُف إُ ىٌ رقطؼه قطؼل‬waktu bagaikan pedang; jika tak kau tebas, ia yang
akan menebasmu‘.
Bahasa berkembang sesuai dengan tantangan-tantangan budaya yang ada. Karena itu
bahasa mencerminkan perhatian kultural masyarakat pemakainya. Whorf menyebutkan
contoh bahasa Hopi (salah satu bahasa Indian). Dalam bahasa Hopi setiap kejadian yang
berdurasi singkat direpresentasikan dengan verba. Bahasa Indian lainnya malah ada yang
sama sekali tidak membedakan antara nomina dan verba. Masyarakat Hopi hanya mempunyai
satu kata yang dipakai untuk menyebut serangga, pilot, dan kapal terbang. Whorf juga
menyebutkan bahwa bahasa Hopi tidak mempunyai gagasan tentang kala. Mereka hanya
membedakan subjektiva dan objektiva. Subjektiva meliputi hal yang akan datang dan
meliputi segala sesuatu yang bersifat mental. Selain itu, dalam bahasa Hopi juga tidak ada
perbedaan antara jarak, waktu, dan jarak tempat (Al farisi,2011: 91).
Fishman (1993) mengatakan bahwa bahasa mempunyai keterkaitan dengan budaya: 1)
sebagai bagian dari budaya, 2) sebagai indeks budaya. 3)
sebagai simbol budaya. Keberadaan bahasa merupakan manifestasi perilaku verbal manusia.
Berbagai ritual keagamaan dan upacara adat, misalnya, bisa dipastikan tidak terlepas dari
tindak tutur (speech act) masyarakat yang terlibat didalamnya. Oleh sebab itu, siapapun yang
ingin mendalami dan memahami budaya suatu kaum, mestilah menguasai bahasa mereka.
Sebagai indeks budaya, bahasa menunjukkan cara berpikir penuturnya, yang dalam kadar
tertentu muncul pada tataran leksikon dan gramatika. Dan sebagai simbol budaya, bahasa
menunjukkan identitas budaya suatu kelompok (Al farisi,2011: 94).
Dalam proses penerjemahan, pesan atau makna yang telah dialihkan diungkapkan
dalam bahasa sasaran harus memperhatikan kaidah-kaidah dan norma-norma bahasa dan
budaya yang berlaku. Karena terdapat perbedaan tata bahasa antara bahasa sumber dan
bahasa sasaran, maka sering kali struktur frasa, klausa, dan kalimat teks terjemahan berbeda
dengan struktur yang ada dalam teks sumbernya (Perdana: 2017 ).
Keterkaitan bahasa dan budaya melahirkan implikasi bahwa penerjemahan tidak saja
dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna, tetapi juga sebagai pengalihan budaya.
Konsekuensinya, kegiatan penerjemahan tidak saja dapat mengalami kendala bahasa, tetapi
juga kendala budaya. Dalam kaitan inilah tugas penerjemah sesungguhnya tidak sekadar
mencari padanan leksikal dan gramatikal, tetapi juga menemukan cara yang sesuai untuk
mengungkapkan sesuatu dalam bahasa target. Menurut Triveni (2002), makna berkonteks
budaya terajut sangat ruwet (intricately woven) dalam tekstur bahasa, sehingga ppenerjemah
dituntut memiliki kejelian dalam menyikapi dua budaya yang berbeda. Penerjemah harus bisa
menangkap warna budaya yang terdapat dalam bahasa sumber seraya mengungkapkannnya
dalam terjemahan yang dapat dipahami oleh pembaca bahasa target (Al farisi,2011: 94).

2. ASPEK PRAGMATIK
Menurut Levinson (1983) pragmatik adalah ilmu yang mengkaji relasi bahasa dengan
konteks yang menjadi dasar untuk memahami suatu bahasa. Senada dengan ini Yule (1996:
127) menyebutkan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang dikehendaki oleh
penutur. Fokus kajian pragmatik adalah makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis
teks, yang ditafsirkan oleh mitra tutur atau pembaca teks tersebut. Studi pragmatik
melibatkan penafsiran apa yang dimaksudkan oleh si penutur dalam konteks tertentu, dan
bagaimana konteks tersebut memengaruhi pertuturan. Singkat kata, pragmatik mengkaji
makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.
Jika sintaksis menangani masalah dalam wujud kalimat yang statis dan abstrak,
pragmatik mengurusi tindak tutur yang berlangsung dalam situasi ujaran tertentu. Sekaitan
dengan ini Huang (2007: 258) menegaskan bahwa pragmatics without syntax is empty; syntax
without pragmatic is blind ‗pragmatik tanpa sintaksis itu hampa; sintaksis tanpa pragmatik itu
buta‘. Dalam telaah makna ujaran pragmatik memberikan perangkat yang saling melengkapi
dan prinsip-prinsip eksplanasi yang menjelaskan produksi atau interpretasi suatu tuturan yang
representasi linguistiknya telah ada sebelumnya. Dalam analisis pragmatik, pemahaman
konteks menjadi sangat penting. Sebab, berangkat dari pemahaman konteks inilah satuan-
satuan bahasa dalam suatu tuturan bisa diungkap secara lengkap. Walhasil, pragmatik
sesungguhnya berurusan dengan bahasa pada tataran yang lebih konkret ketimbang sintaksis
(Al farisi,2011: 103).
Dalam proses penerjemahan, pertama-tama penerjemah melakukan analisis sintaksis,
terutama secara sintagmatik. Dengan analisis ini akan teridentifikasi satuan-satuan lingual,
seperti kata, frase, klausa, dan kalimat. Tahap ini diteruskan dengan melakuka analisis
semantik. Dengan analisis semantik, penerjemah menentukan makna yang terkandung dalam
satuan-satuan lingual tadi. Diperlukan penggunaan nalar ketika memahami sebuah teks.
Setelah itu, penerjemah melakukan analisis pragmatik untuk mengetahui maksud sebuah teks
sumber sesuai dengan konteksnya, baik kontes linguistik (linguistic context) yang bisa
disebut ko-teks, konteks situasi (context of situation), maupun konteks budaya (context of
culture). Tahap-tahapan ini dapat diulang-ulang sampai penerjemah merasa telah
menghadirkan makna yang sepadan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target (Al
Farisi,2011: 104).
Sekaitan dengan ini, Hasan (1979) mengklasifikasikan makna ke dalam dua kategori,
yaitu 1) ٍ‫‗ اىَؼٍْ اىَقبى‬makna tekstual‘ dan 2) ٍٍ‫‗ اىَؼٍْ اىَقبا‬makna kontekstual‘. Yang pertama
terdiri atas makna fungsional dan makna leksikal. Adapun yang kedua, berkenaan language
in use atau performansi suatu tuturan dengan aneka situasi yanng melatarinya. Makna yang
kedua inilah yang menjadi kajian pragmatik.
Hymes memilah konteks dalam beberapa matra, yang terajut dalam sebuah akronim
mnemonik S.P.E.A.K.I.N.G (Setting, Participant, Ends, Act sequence, Keys, Instrumentality,
Norms, Genre).
1) Setting ‗seting‘ mengacu pada keadan, ruang, dan waktu, termasuk didalmnya
keadaan psikologis dan kultural yang terkait dengan pertuturan;
2) Participant ‗peserta tutur‘ mencakup kombinasi penutur-petutur, seperti dosen dan
mahasiswa, penjual dan pembeli, dosen dan pasien, dsb.
3) Ends ‗tujuan‘ berhubungan dengan maksud dan harapan yang ingin dicapai dalam
pertuturan, seperti bertanya, menjawab, menjelaskan, memuji, menyuruh dan lain-
lain;
4) Act sequence ‗urutan tindakan‘yang meliputi bentuk dan isi pesan;
5) Keys ‗cara‘, antara lain terkait dengan mmasalh intonasi dan nada dalam pertuturan;
6) Instrumentality ‗sarana tutur‘ berhubungan dengan pemakaian kaidah-kaidah bahasa
dan alat yang digunakan dalam pertuturan. Seperti telepon, surat, faksimile, e-mail,
dsb;
7) Norms ‗norma-norma‘ dalam melakukan interaksi dan interpretasi;
8) Genre ‗terkait dengan jenis tuturan‘, seperti ceramah, konsultasi, dsb.

Dalam bahasa Arab, makna pragmatik ini antara lain, menjadi kajian ilmu ma‘ani.
Ilmu ma‘ani, sebagaimana kata Al-Hasyimi (2001:31), adalah prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah yang digunakan untuk mengetahui cara agar suatu tuturan sesuai dengan tuntutan
situasi, sehingga tuturan tersebut sejalan dengan maksud diungkapkannya tuturan tersebut.
Ilmu ma‘ani mengkaji tuturan dalam kaitannya dengan penyampaian makna kedua yang
menjadi tujuan penutur dalam mengungkapkan suatu tuturan, yang memuat karakteristik
tertentu, yang menjadikan tuturan tersebut sesuai dengan konteks situasi.
Analisis pragmatik dapat melengkapi kekurangan analisis sintaksis dan semantik
dalam penerjemahan. Pelibatan suatu konteks tertentu dalam analisis pragmatik dapat
mengungkapkan aspek-aspek nonsintaksis dan nonsemantik, sehingga pemahaman atas suatu
teks menjadi lebih utuh. Leech (1983) mengatakan bahwa seseorang hanya akan benar-benar
memahami karakteristik suatu bahasa manakala ia memahami pragmatik, yakni bagaimana
suatu bahasa dipergunakan dalam komunikasi. Dalam hal ini, situasi ujaran menjadi prasyarat
yang dibutuhkan untuk melakukan analisis pragmatik atas suatu tuturan. Situasi ujaran ini
mencakup beberapa unsur berikut, yaitu 1) penutur, 2) mitra tutur, 3) konteks, 4) tujuan, 5)
tindak tutur, 6) tuturan sebagai produk tindak verbal, 7) waktu, dan 8) tempat.
Berikut disajikan beberapa aspek pragmatik, seperti deiksis, prinsip kooperatif, lokusi,
ilokusi, dan perlokusi (Al farisi,2011: 106-108).
1) Dieksis
Dieksis secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, yakni deiktikos yang berarti to
show atau to point out 'menunjukkan' (Huang,2007). Term ini kemudian dipakai untuk
menyebut suatu kata yang memiliki rujukan berganti-ganti, bergantung pada saat atau tempat
diutarakannya kata itu. Senada dengan ini, Nirmala (1988: 51) mendefinisikan deiksis
sebagai suatu ungkapan yang memiliki suatu makna, tetapi merujuk pada aneka entitas
selaras dengan perubahan konteks ekstralinguistik.
Kridalaksana (2008: 45) menyebut deiksis sebagai hal atau fungsi yang merujuk
sesuatu di luar bahasa: kata tunjuk pronomina (‫)ظَُش‬, ketakrifan (‫)ٍؼشفخ‬, dan sebagainya
memiliki fungsi diekais. Terlebih dalam bahasa Arab, pemakaian deiksia peraona, misalnya,
dalam satu kalimat atau paragraf, bisa banyak. Karena itu, tidak mudah mencari anteseden
untuk pronomina yang dipergunakan dalam sebuah kalimat.
Deiksis persona ‫' أّذ‬kamu' dalam bahasa Arab, umpannya, bisa menghasilkan
padanan yang beragam dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh kalimat ‫ ٍبرا رنزت؟‬antara lain
bisa diterjemahkan 1) apa yang kamu tulis? 2) apa yang anda tulis? Apa yang bapak tulis?
Sebagaimana diketahui, pada kata ‫' رنزت‬menulis' tersirat deiksis persona ‫' أّذ‬kamu'. Namun,
realisasi terjemahan dalam bahasa Indonesia bisa beragam, tergantung pada kedudukan mitra
tutur. Jika mitra tutur sederajat dengan penutur, tentu diksi kamu yang sesuai; jika mitra
tutur orang yang baru dikenal penutur, diksi anda yang pas; jika mitra tutur berkedudukan
lebih tinggi dari penutur, diksi bapak tentu lebih tepat. Pemilihan kata bapak pada terjemahan
(3) tentu saja mempertimbangkan maksim kesopanan dalam pertuturan.
Menurut Hwang (2007: 136), secara garis besar terdapat tiga kategori
dieksis. Pertama, deiksis persona (persona deixis) berhubungan dengan pemahaman mitra
tutur tentang kategori persona atau pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur. Kategori
persona atau pemberian peran ini kemudian dibedakan menjadi persona I, persona II, dan
persona III. Dalam bahasa Arab terdapat 14 pronomina (‫ )ظَُش‬yang dikelompokkan berdasar
pada aspek jantina (‫ ;)رزمُش و رأُّث‬aspek numeralia (‫ )ػذد‬meliputi tunggal (‫)ٍفشد‬, dual (ًْ‫)ٍث‬,
dan plural (‫ ;)جَغ‬dan fungsi sintaksis (‫)وظُفخ‬.
Kedua, dieksis ruang (place deixis) bertalian dengan pemahaman lokasi atau tempat
yang disebutkan penutur dan mitra tutur dalam sebuah pertuturan. Dalam bahasa Arab
terdapat kategori deiksis ruang yang bersifat 1) lokatif seperti ‫' هْب‬di sini' yang merujuk pada
tempat yang dekat, ‫' هْبك‬di sana' yang merujuk pada tempat yang jauh, dsb.
Ketiga, deiksis kala (time deixis) berkaitan dengan pemahaman waktu saat tuturan
dibuat. Termasuk deiksis kala antara lain, ‫' ثبألٍظ‬kemarin', ‫' غذا‬besok', ‫' اىجبسحخ‬tadi malam', ً‫اىُى‬
'hari ini', dsb (Al-Farisi: 108-111).

2) Prinsip Kooperatif
Intisari dari prinsip kooperatif terangkum dalam rumusan 'buatlah kontribusi
percakapan anda sesuai dengan kebutuhan saat percakapan tersebut berlangsung, dan sesuai
dengan tujuan keterlibatan anda dalam percakapan'.
Gagasan prinsip kooperatif (co-operative principle) ini pertama kali dilontarakan oleh
H. Paul Grace pada 1967. Dalam serangkaian kuliahnya, Grace mengkasifikasikan prinsip
koopertaif ini ke dalam empat kategori yaitu maksim kuantitas (maxims of quantity), maksim
kualitas (maxims of quality), maksim gayutan (maxims of relation), dan maksim cara (maxims
of manners). Prinsip koopertif dengan keempat maksimnya ini, menurut Grace, dapat
menjamin pertuturan berlangsung secara jujur, relevan, gamblang, dan gampang. Keempat
maksim ini dapat dijelaskan lebih jauh sebagi berikut ini.
a) maksim kuantitas (‫ )مَُخ‬dimaksudkan agar penutur memberi mitra tutur informasi
sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang disampaikan jangan sampai kelebihan
atau kekurangan. Di satu sisi kelebihan informasi dapat menyebabkan mitra tutur
mengira bahwa mitra tutur mempunyai tujuan tertentu dengan informasi yang
berlebihan tersebut. Di sisi lain, kekurangan informasi dapat menimbulkan
ketaksaan dan ketakjelasan maksud.
b) Maksim kualitas (‫ )مُفُخ‬meniscayakan agar penutur bersikap jujur dalam
menyampaikan informasi. Informasi yang disampaikan jangan sampai berisi
kebohongan. Selanjutnya, penutur tidak menyampaikan informasi yang ia sendiri
tidak yakin akan kebenarannya. Sebab, penyampaian informasi yang tidak benar
itu menyalahi tujuan pertuturan, yakni untuk menyampaikan informasi atau
memperkukuh relasi.
c) Maksim gayutan (‫ )ػالقخ‬mengharuskan penutur agar mengindahkan topik
pembicaraan. Jangan sampai penutur beralih topik pembicaraan tanpa
memberikan isyarat yang jelas kepada mitra tutur. Sebab, pengalihan topik
pembicaraan tanpa sepengetahuan mitra tutur akan mengakibatkan pembicaraan
jadi tidak nyambung.
d) Maksim cara (‫ )أعيىة‬mensyaratkan penutur menyampaikan pembicaran secara
jelas serta menghindari tuturan yang membingungkan. Sejatinya penutur
menyampaikan informasi secara runtut dan tidak bertele-tele.

Menurut Cluver, sebuah teks terjemahan tidak akan benar-benar ekuivalen dengan
teks aslinya. Bisa dipastikan ia mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang
berlebihan (redundant) jika dibandingkan dengan teks sumbernya. Sekaitan dengan ini,
penerjemah harus memutuskan bagian mana yang harus dikorbankan, baik dikurangi maupun
ditambahi, dari sebuah teks terjemahan. Pengurangan dan penambahan suatu terjemahan
mesti mempertimbangkan keempat maksim di atas. Pengurangan dan penambahan sejatinya
tidak sampai merambas maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim gayutan, dan maksim
cara. Dalam penerjemahan, pelanggaran atas maksim-maksim ini terkait dengan sampai-
tidaknya amanat teks sumber dalam bahasa target.

3) Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi


Pengertian mengenai tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi memang agak sukar,
tetapi kalau dijelaskan dari segi semantik tindak tutur (speech act semantic) lebih bisa
dipahami. Apabila seseorang mengutarakan sebuah ―kalimat‖, ada kemungkinan bisa terjadi
tiga macam tindak tutur itu, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi memiliki
makna secara harfiah, seperti yang dimiliki oleh kmponen-komponen kalmat itu. Jadi, tindak
tutur lokusi ini mengacu pada makna linguistik. Tindak tutur dengan kalimat yang sama
mungkin dipahami secara berbeda oleh pendengar. Makna sebagaimana ditangkap oleh
pendengar ini adalah makna tindak tutur ilokusi. Sebaliknya, pembicara pun sebenarnya
mempunyai harapan bagaimana si pendengar akan menangkap makna sebagaimana yang
dimaksudkannya. Makna ini disebut tindak tutur perlokusi (Chaer: 53-54).
Austin (1978) mengkategorikan tindak tutur (speech act) ke dalam tiga jenis tuturan,
yakni 1) locutionary act ‗tindak lokusi‘, illocutionary act ‗tindak ilokusi‘, dan perlocutionary
act ‗tindak perlokusi‘. Ketiganya terjadi secara serenatak. Menurut Wijana (1996), lokusi
berupa tindakan untuk menyatakan sesuatu. Di sini berlangsung tindakan mengaitkan suatu
topik dengan suatu keterangan dalam suatu tuturan, yakni hubungan predikatif antara musnad
dan musnad ilaih ‗subjek dan predikat‘. Illousi berupa tindakan untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan perlokusi berupa tindakan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini
perlokusi, merupakan efek suatu tutran terhadap mitra tutur sesuai dengan situasi saat tuturan
tersebut diungkapkan.
Sekaitan dengan ini, tindak tutur tak langsung sebenarnya merupakan cara untuk
melakukan tindak tutur lain. Kalimat rumah saya jauh, satuan gramatikanya berlokusi
menginformasikan fakta. Ini merupakan pernyataan bahwa rumah si penutur memang jauh.
Akan tetapi, kalimat ini bisa melahirkan makna lain jika dikemukakan dalam suatu rapat
organisasi. Si penutur mengimplikasikan ke dalam satuan pragmatik ini ilokusi yang meminta
mitra tutur untuk memaklumi kalau iya tidak bisa terlalu aktif dalam berorganisasi. Untuk ini,
si penutur berputar dulu dengan mengatakan rumah saya jauh sebagai tuturan tak langsung
untuk sampai pada tujuan akhir yang dikehendakinya. Dalam hal ini, misalnya, si penutur
berharap supaya mitra tutur tidak membebaninya dengan tugas-tugas yang banyak dan berat
karena faktor jarak (tindak perlokusi) (Al-Farisi,2011: 114).
Pemahaman ihwal tindak lokusi, perlokusi, dan khususnya tindak ilokusi, kiranya
dipandang perlu dalam penerjemahan. Tujuannya supaya teks terjemahan dapat
menghadirkan efek yang sama dengan efek yang ditimbulkan oleh teks sumbernya. Dalam
bahasa Arab, misalnya, dikenal ‫‗ رؼشَط‬sindiran‘, yakni suatu ungkapan yang mengisyartkan
adanya suatu makna yang tersirat dalam suatu tuturan. Kata yang digunakan untuk merujuk
pada makna tertentu biasanya terjadi melalui isyarat atau pemahaman dari konteks suatu
tuturan. Untuk mempermudah pemahaman ini dihadirkan beberapa contoh tindak lokusi,
ilokusi, dan perlokusi dalam Al-Qur‘an sebagimana berikut ini.

‫قاَ َل بَ ْل فَ َعلَهُ َكبِْي ُرُه ْم َه َذا فَ ْسئَ لُ ْوُه ْم إِ ْن َكانُ ْوا يَْن ِط ُق ْونض‬
Artinya : Ibrahim menjawab, “sebenarnya patung yang besar itulah yang
melakukannya. Tanyakan saja kepada patug-patung itu, jika mereka dapat
berbicara”. (QS. Al-Anbiya [21]: 63)
Fraseُ ‫‘ فَ َؼيَه‬melakukannya‘ pada ayat tersebut dikaitkan pada frase ٌْ ُ‫‗ َمجِ ُْ ُشه‬patung yang
besar‘, yang dianggap sebagai tuhan. Seolah-olah Nabi Ibrahim as mengatakan bahwa pelaku
perusak itu ialah patung yang besar lantaran murka dengan patung-patung kecil yang juga
disembah-sembah. Lebih jauh beliau mengatakan, ٌْ ُ‫‗ فَ ْغئَيُىْ ه‬tanyakan saja kepada patung-
patung itu‘. Dengan ungkapan ini beliau bermaksud menyadarkan orang-orang kafir yang
mempertuhankan patung-patung yang tidak berdaya, termasuk patung yang besar sekalipun,
dengan menggunakan ungkapa ta‟ridl (tindak ilokusi). Dengan kata lain, tidak sepatutnya
patung-patung yang tidak berdaya dan tidak bisa berkata-kata itu diagung-agungkan dan
disembah-sembah layaknya tuhan. Allah, tuhan yang sesungguhnya, mustahil lemah dan
tidak berdaya seperti itu (tindak perlokusi).
Ungkapan ta‟ridl yang disampaikan seorang penutur, menurut Ath-Thibiy,
sebenarnya tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagai contoh seseorang
mengatakan ‫‗ ٍِ َزىقّغ صيخ وهللا إٍّ ٍحزبج‬siapa yang mau bersilaturahmi? Demi Allah, saya
sedang membutuhkan‘ (tindak lokusi). Maksud tuturan ini sebenarnya adalah untuk meminta
sesuatu (tindak ilokusi). Hanya saja permintaan tersebut diungkap secara tak langsung dan
tak literal melalui ungkapan lain yang bisa dipahami oleh mitra tutur dengan harapan si mitra
tutur memberinya sesuatu (tindak perlokusi) (Al Farisi,2011: 116-117).

3. KETAKSAAN
Ketaksan atau ambiguitas termasuk masalah yang relatif sulit dalam penerjemahan.
Dalam sebuah teks sering kali ditemukan kalimat-kalimat yang memiliki makna lebih dari
satu. Tentu saja hal ini bisa menjadi kendala tersendiri dalam proses penerjemahan.
Penanganan kalimat-kalimat yang taksa berbeda dengan penanganan kalimat-kalimat tedas.
Ketaksaan memaksa penerjemah mengernyitkan kening. Diperlukan waktu yang relatif lama
untuk memahaminya. Boleh jadi setelah penerjemah memahami kalimat-kalimat yang taksa,
ternyata pemahamannya keliru. Ia harus mundur lagi ke belakang untuk menlaah ulang teks
sumber secara lebih mendalam.
Secara umum, terdapat dua macam ketaksan. Pertama, ketaksaan leksikal. Sesuai
dengan namanya, ketaksaan leksikal berhubungan dengan bentuk leksikal yang dipergunakan
dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Arab, terdapat kata-kata yang memiliki ketaksaan
makna. Sering kali satu kata memiliki dua makna atau lebih, bahkan tidak jarang pula
berlawanan pula maknanya. Dalam kaitan ini penerjemah tentu saja harus dapat memastikan
makna yang dikehendaki dalam sebuah kalimat. Misalnya kata ‫ قشوء‬yang termaktub dalam
‫ص َن بِأَنْ ُف ِس ِه ْم ثَالَثَةَ قُ ُرْوء‬ ِ
surah Al-Baqarah (2) ayat 228 ْ َّ‫‗ َواملُطَلَّ َقات يَتَ َرب‬istri-istri yang

ditalak hendaklah meunggu selama tiga kali quru‘‘. Ketaksaan ini timbul semata-mata karena
bentuk leksikal ‫ قشوء‬yang memiliki dua makna: suci atau haid.
Bahkan, satu huruf saja bisa memiliki arti lebih dari satu makna. Sebagai contoh,
dalam bahasa arab huruf ‫ و‬mempunyai aneka makna.
1) Ada ٌ‫ واو اىقغ‬yang menunjukkan makna sumpah sekaligus men-jarr-kan nomina
atau ajektiva yang ada sesudahnya. Misalnya huruf ‫ و‬yang termaktub dalam surah
Al-‗Ashr (103) ayat 1 ‫‗ واىؼصش‬demi masa‘.
2) Ada ‫ واو اىَؼُّخ‬yang menunjukkan makna penyertaan. Nomina atau ajektiva yang ada
sesudahnya dibaca mashub sebagai maf‟ul ma‟ah. Misalnya huruf ‫ و‬pada kalimat
‫‘سجؼذ وغشوة اىشَظ‬aku pulang bersamaan dengan terbenamnya matahari‘.
3) Ada ‫ واو اىؼطف‬yang dari segi i‘rab mengharuskan kata sesudahnya mengikuti
harakat kata sebelumnya. Misalnya pada surah An-Nashr (110) ayat 1, ‫إرا جبء ّصش‬
‫‗ هللا واىفزح‬Apabila pertolongan Allah dan kemenangan telah datang‘.
4) Selain itu, ada pula ‫ واو اإلعزئْبف‬yang tidak berfungsi mengubah i‘rab suatu kata.
Dalam penerjemahan huruf ‫ و‬ini bisa berfungsi sebagai pemarka awal kalimat.

Sekaitan dengan ini, penerjemah harus jeli menentukan ‫ و‬yang ada dalam sebuah
kalimat. Penerjemah pemula sering kali tidak mengindahkan jenis ‫ و‬yang ada. Semua ‫و‬
diterjemahkan dengan ‗dan‘, sehingga dalam terjemahan didapati banyak kata dan. Setiap
awal kalimat dimulai dengan dan. Pemaknaan ‫ و‬yang tidak tepat tentu saja dapat membuat
terjemahan menjadi janggal dan kurang berterima. Dari penerjemahan huruf ‫ و‬saja sudah
menunjukkan bahwa itu adalah teks terjemahan. Padahal, terjemahan yang baik mestinya
tidak terasa sebagai terjemahan (Al Farisi,2011: 119-120).
Kedua, ketaksaan garamatikal, ketaksaan jenis ini lazim disebabkan oleh bentuk

struktur kalimat yang dipergunakan. Penggalan ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديَ ُه َما‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َ yang

termaktub dalam surah Al-isra (17) ayat 38 dapat melahirkan ketaksaan gramatikal jika
diterjemahkan ‗pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah kalian potong tangan
mereka‘. Farse pencuri laki-laki dan pencuri perempuan bisa berarti ‗orang yang mencuri
laki-laki‘ dan ‗orang yang mencuri perempuan‘ atau ‗pencuri yang berjenis kelamin laki-laki‘
dan ‗pencuri yang berjenis kelamin perempuan‘. Ketaksaan semacam ini timbul akibat word
order (urutan kata) dan struktur kata yang dipakai dalam kalimat tersebut. Lain halnya kalau
frase tersebut dibalik menjadi ‗laki-laki pencur dan perempuan pencuri‘. Atau akan lebih
tedas kalau diterjemahkan ‗laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri‘.
BAB IV
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN ARAB INDONESIA

Dalam menerjemahkan teks ke dalam bahasa target tidak hanya mengalihkan kata tapi
juga mengalihkan maksud pesan si pembuat teks, sehingga muncul problematika-
problematika penerjemahan, diantaranya:
1. KOLOKASI
Seorang linguis Inggris, Firth yang mempopulerkan istilah kolokasi (sanding kata) ini.
Menurut Firth (1957) (dalam Al Farisi, 2014), memaparkan bahwa telaah meaning by
collocation ‗pemaknaan berdasarkan kolokasi‘ bermanfaat untuk mendekati makna secara
formal dan kontekstual. Firth menuturkan kolokasi merupakan suatu pengabstraksian pada
tataran sintagmatik, dan tidak secara langsung berhubungan dengan pendekatan konseptual
atau gagasan terhadap makna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) (dalam Al Farisi, 2014) menakrifkan
kolokasi sebagai asosiasi tetap dengan kata lain dalam lingkungan yang sama. Dalam bahasa
Arab, kolokasi lazim disebut ‫ رىافق اىنيَخ‬,‫ػالقخ اإلدٍبج‬atau ٌٍ‫ رعب‬. Kolokasi termasuk fenomena
universal yang ada dalam berbagai bahasa di dunia.
Sinclair (1991) (dalam Al Farisi, 2014) mendefinisikan kolokasi sebagai kemunculan
dua kata atau lebih bersamaan dengan kata lain dalam sebuah teks dengan letak yang tak
berjauhan satu sama lain. Pentingnya kolokasi terkait dengan pemaknaan. Sebab, makna
sebuah kata boleh jadi berubah lantaran keberadaan kata lain yang menyandinginya.
Sementara Ghazali menyatakan istilah kolokasi sebagai Al Mutalazimat Al Lafziyyati
‫ اىَزالصٍبد اىيفظُخ‬, yaitu gabungan kata atau struktur tetap yang tidak berubah. Dalam kutipan
Brashi, Ghazala mengklarifikasikan kolokasi berdasarkan tiga kategori, yakni:
1. Kolokasi yang dibuat berdasarkan pada pola atau struktur gramatikal;
2. Hubungan antarunsur pokok kombinasi tersebut;
3. Gaya bahasa kolokasi.
Kolokasi juga dapat diartikan sebagai asosiasi dan pendampingan secara tetap suatu
leksem. Pendampingan atau asosiasi itulah yang kemudian membentuk makna tertentu.
Dengan demikian, makna kolokasi memerlukan keberadaan suatu leksem dalam lingkungan
tertentu. Ia harus didampingi oleh leksem lain yang secara bersama-sama membentuk makna
tertentu. Ada kalanya kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk member efek tertentu,
misalnya dalam karya sastra atau humor, kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan
kolokasi yang baru juga untuk member efek tertentu.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi adalah
sebuah kata atau frasa yang digunakan atau digabung dengan kata lain yang mempunyai
makna benar bagi penutur bahasa tersebut, tetapi mempunyai makna yang lain dan ambigu
bagi penutur bahasa lain, sehingga mengalami kesulitan dalam memahaminya.
Menurut Al Farisi (2014: 125) pada dasarnya setiap bahasa, termasuk bahasa Arab
dan bahasa Indonesia mempunyai karakteristik kolokasi tersendiri yang berbeda satu sama
lain. Misalnya dalam bahasa Arab kata memiliki dua makna yang bertolak belakang,
bergantung dengan presepsi apa ia berkolokasi, kata ‫ سغت‬yang berkolokasi dengan ِ‫ػ‬
bermakna ‗tidak suka‘. Kata ‫ سغت‬yang berkolokasi dengan ٍ‫ ف‬bermakna ‗suka‘. Sebuah
hadits menyebutkan:
)‫ث‬ٝ‫َ(اىحذ‬ٍَْٜ‫س‬ٞ‫َفي‬ٜ‫ٍَِسغةَػَِسْت‬
“Orang yang tidak menyukai sunnahku itu bukan umatku (Al Hadits)”

Dalam bahasa Indonesia, kalimat Udin menyukai ayam kampung dengan udin
menyukai ayam kampus. Pertama, bermakna sejenis unggas yang tidak bias terbang. Kedua,
tidak lagi bermakna ayam dalam pengertian unggas. Kata ayam bekolokasi dengan kata
kampus berubah maknanya menjadi mahasiswi yang suka menjual diri alias wanita
tunasusila. Terlihat bahwa perubahan makna ayam terjadi karena kata lain yang berada di
sampingnya (Al Farisi, 2014: 125).
Secara leksikal kata makan bermakna ‗memasukkan sesuatu seraya mengunyah dan
menelannya ke dalam perut‘. Kata ini akan mempunyai makna lain setelah berklokasi dengan
kata asam garam, misalnya Orang itu sudah banyak makan asam garam. Ungkapan makan
banyak asam garam bermakna ‗banyak pengalaman‘ bukan makan asam dan garam banyak-
banyak. Contoh dalam bahasa Arab, kata ‫ ششة‬bermakna ‗minum‘, namun kata ini berbeda
makna setelah berkolokasi dengan kata َِ‫مُؼبّه‬, sehingga bermakna ―hidup penuh
penderitaan‖
ٔ‫نَوَدساست‬َّٝٚ‫ؼأَّحت‬ٞ‫َٔشابٍَنافحَصث٘سَششبٍََِم‬
ّ ّّ‫أ‬
“Dia itu seorang pemuda yang ulet dan sabar, yang hidupnya penuh dengan penderitaan
hingga berhasil menamatkan studinya”

Tidak salah jika dikatakan bahwa kolokasi termasuk persoalan pelik yang perlu
mendapat perhatian serius dalam penerjemahan. Dalam praktinya sudah barang tentu tidak
mudah mengidentifikasi dan menerjemahkan makna sebuah kata yang berkolokasi dengan
kata lain. Para pembelajar bahasa Arab kemungkinan tahu bahwa ‫ األّف‬bermakna ‗hidung‘.
Namun, belum tentu mereka mengetahui makna kata tersebut setelah berkolokasi dengan kata
ً‫اىقى‬ ‗kaum‘ sehingga menjadi ً‫ أّف اىقى‬mempunyai makna yang sama dengan ً‫عُّذ اىقى‬
‗inohong (tokoh) suatu kaum‘. Dan berkolokasi dengan ‫‗ اىْهبس‬siang‘. Frase ‫ أّف اىْهبس‬memiliki
makna ‫‗ اوه اىْهبس‬awal siang‘ (Al Farisi, 2014: 126).
Contoh lain dalam bahasa Arab kata ‫ ثبه‬semata bermakna ‗keadaan‘. Namun kata ini
bisa beraneka makna bergantung dengan kata apa ia berkolokasi : ‫‗ روثبه‬penting‘, ‫ساحخ اىجبه‬
‗senang‘, ‫‗ غىَو اىجبه‬sabar‘, ‫‗ خبىٍ اىجبه‬tenang‘, ‫‗ ٍشغىه اىجبه‬gundah‘, ‫‗ ّبػٌ اىجبه‬hidup senang‘
(Al Farisi, 2014: 126). Disinilah pentingnya kemampuan penerjemah mengidentifikasi
kolokasi dalam sebuah teks berbahasa Arab, sehingga ia dapat menerjemahkannya secara
tepat.
Contoh lain dari kolokasi, yakni:
1. (ini halal dan ini haram) ً‫هزا حاله وهزا حشا‬
2. (ingin harta yang halal harus bekerja yang halal) ‫اىحاله ثبىحاله‬
Contoh ―ً‫ ‖هزا حاله وهزا حشا‬dan ―‫ ‖اىحاله ثبىحاله‬bukan merupakan bentuk yang ganjil
dalam bahasa Arab. Namun, khusus untuk bentuk ‫اىحاله ثبىحاله‬, yang kemudian diserap
sebagai halal bi halal ―silaturrahim setelah lebaran untuk saling memaafkan‖, menjadi
sesuatu yang janggal bagi penutur bahasa Arab. Apabila untuk tujuan humor, muncul
ungkapan haram bi haram.
Kolokasi sangat penting dikaji dilihat setidaknya dari dua sudut pandang, yaitu (a)
sudut pandang pembelajaran bahasa, dan (b) sudut pandang penerjemahan. Dari sudut
pandang pembelajaran bahasa, kolokasi dianggap sangat penting, karena ada beberapa alasan
yang harus diketahui oleh para pengajar (Hill 2000: 53-56) (dalam Kamalie, 2007):
1) Leksikon Tidak Disusun secara Semena
Alasan pertama dan yang paling tampak mengapa kolokasi itu penting adalah
karena cara kata-kata berkombinasi dalam sebuah kolokasi adalah hal yang sangat
mendasar dalam penggunaan semua bahasa. Leksikon tidak disusun secara semena. Kita
tidak berbicara atau menulis seakan bahasa itu merupakan tabel kosakata yang sangat
besar yang dapat digonta-ganti untuk mengisi slot dalam struktur gramatikal. Suatu kosa
kata penting yang dipergunakan secara luas, kolokasinya dapat diprediksikan.
Ketika seorang penutur bahasa Arab memikirkan minuman, misalnya, ia dapat
menggunakan verba yang umum seperti ‫َششة‬. Pendengar dapat memprediksikan
sejumlah besar kemungkinan kata yang berkolokasi dengan verba tersebut, seperti: ٌ‫اىشب‬
‗teh‘, ‫‗ اىحيُت‬susu‘, ‫‗اىقهىح‬kopi‘, ‫‗ػصُش اىجشرقبه‬jus jeruk‘, tetapi sama sekali pendengar tidak
akan memprediksikan kata-kata ‫‗ صَذ اىَحشك‬oli mesin‘, ‫‗شبٍجى‬syampo‘ ‫‗ حبٍط اىنجشَزُل‬asam
belerang‘.
2) Kolokasi dapat Diprediksi
Dalam bahasa Arab terdapat sejumlah verba yang berkolokasi dengan preposisi
tertentu. Misalnya, verba ‫ قبه‬dan semua kata bentukan daripadanya pasti berkolokasi
dengan preposisi ‫ ىـ‬dan tidak pernah berkolokasi dengan ً‫إى‬.
3) Ukuran Kamus Mental Berkenaan dengan Ungkapan
Kolokasi menjadi penting karena area yang dapat diprediksikan itu sangat besar.
Dua, tiga, empat bahkan lima kolokasi kata akan membuat sejumlah besar teks yang
alami, baik yang berupa tuturan maupun tulisan. Banyak dari yang kita ucapkan, kita
dengar, kita baca atau kita tulis kita temukan dalam ungkapan tetap.
4) Peranan Ingatan
Kita mengenal kolokasi karena kita telah bertemu dengannya. Kita kemudian
mendapatkannya kembali dari leksikon mental kita sama seperti kita memperoleh nomor
telepon atau alamat dari ingatan kita.
5) Kelancaran
Kolokasi dapat menjadikan kita berfikir dan berkomunikasi lebih efisien. Penutur
asli dapat berbicara dengan begitu lancar karena mereka memanggil kembali sejumlah
besar daftar kosa kata dari sebuah bahasa yang sudah jadi yang secara langsung mereka
peroleh dari leksikon mental mereka. Sama halnya, mereka dapat mendengar tuturan
dalam suatu kecepatan tuturan dan membaca dengan cepat karena mereka secara konstan
mengenali satuan multi-kata alih-alih memproses segala sesuatu kata-per-kata.
Salah satu alasan utama mengapa pembelajar bahasa mendapatkan pelajaran
kemahiran mendengar dan membaca begitu sulit adalah bukan karena banyaknya kata-
kata baru tetapi karena banyaknya kolokasi yang tidak dikenali. Perbedaan utama antara
penutur asli dan bukan asli adalah bahwa yang pertama telah akrab dengan sejumlah
kolokasi dengan demikian ia dapat mengenali dan memproduksi pola-pola yang sudah
jadi yang menjadikan mereka mampu memproses dan memproduksi bahasa lebih cepat
dari yang bukan penutur asli.
6) Kolokasi Membuat Berfikir Lebih Mudah
Kita dapat berfikir tentang hal-hal yang baru dan berbicara secepat kita berfikir,
sebabnya adalah karena kita tidak menggunakan bahasa baru selamanya. Kolokasi
membuat kita mampu mengekspresikan gagasan kompleks secara cepat dengan demikian
kita dapat terus memanipulasi gagasan-gagasan tersebut tanpa mempergunakan semua
bagian otak kita guna memfokuskan ingatan pada bentuk kata-kata. Salah satu gagasan
kompleks dalam bahasa Arab adalah tentang akal bulus seseorang dalam memperdayakan
orang lain. Penutur asli bahasa Arab cukup dengan mudah mengekspresikannya dengan
kolokasi yang sudah menjadi peribahasa ‫‗ ٍغَبس جحب‬paku Juha‘. Kedua kata tersebut
sangat akrab di telinga para penutur bahasa Arab dan kolokasi yang dibentukpun
sederhana nomina + nomina. Begitulah, kolokasi merupakan kunci penting menuju
kelancaran berbahasa asing.
Demikian beberapa alasan mengapa kolokasi dianggap sangat penting dilihat dari
sudut pandang pembelajaran bahasa. Berikutnya, kita lihat bagaimana pentingnya kolokasi
dilihat dari sudut pandang penerjemahan.
Kemampuan mengidentifikasi kolokasi dalam suatu teks peranannya sangat besar
dalam proses penerjemahannya. Dalam bahasa Arab terdapat banyak kata yang bermakna
unik manakala berkolokasi dengan kata-kata tertentu. Verba ‫ ششة‬misalnya yang makna
asalnya ‗minum‘, makna tersebut tidak lagi terlihat bila berkolokasi dengan sejumlah kata
yang selanjutnya menjadi peribahasa di kalangan penutur asli bahasa Arab. Bila seorang Arab
berkata, ‫ اِ ْش َشةْ ٍَِِ ْاىجَحْ ِش‬dalam tuturan berikut:
‫ؼجثلَرىلَفا ْيتاش اْش ْبٍََِاىثحش‬ٌَٝ‫َٗإَُى‬،َ‫لَأَُتخعغَىْظََٔٗتْفزٕاَتذقح‬ٞ‫َٕزاَاىَناَُفؼي‬ٜ‫شَف‬ٞ‫ٍاَدٍتا َتؼ‬
maka sama sekali tidak ada kaitannya dengan makna minum sehingga diterjemahkan
“maka minumlah dari laut”

Maksud dari ungkapan tersebut adalah ‗berbuatlah sesuka hatimu. Bagaimana pun
kamu harus menerima kenyataan dan kamu tidak akan dapat mengubahnya‖. Demikian pula
dengan ungkapan yang masih mengandung verba ‫ ششة‬dalam tuturan berikut:
َٔٞ‫َأمَوَتؼي‬ٚ‫ؼأَّحت‬ٞ‫َششبٍََِم‬،َ‫إَّٔشابٍَنافحَصث٘س‬
Nomina ُ‫ؼاا‬ِٞ‫ م‬adalah bentul plural dari ‫„ اىن٘ع‬siku‟. Secara harfiah ّٔ‫ؼا‬ٞ‫ ششبٍََِم‬berarti
„minum dari sikunya‟. Tetapi sekali lagi, verba ini tidak lagi mengandungi makna asalnya
minum. Yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah „penuh penderitaan dan cobaan
dalam menjalani hidupnya‟
(Kamel, 2007)

Maka ketika suatu terjemahan dikritik sebagai terjemahan yang salah atau tidak sesuai
dalam konteks tertentu, kritikan tersebut merujuk pada ketidakmampuan penerjemah dalam
mengidentifikasi pola-pola kolokasi yang bermaka unik dan berbeda dari sejumlah makna
elemen-elemennya secara individual. Bila ada seorang penerjemah memahami ungkapan ً‫ػي‬
‫ اىؼُِ واىشأط‬seperti dalam kalimat ‫ قعبهب ػيً اىؼُِ واىشأط‬،‫ ميَب غيت ٍْه خذٍخ‬sama seperti
memahami kalimat ٍ‫‗ جيظ ػيً اىنشع‬ia duduk di atas kursi‘, maka penerjemah tersebut akan
memberi padanan yang tidak akan difahami pembaca bahasa sasaran. Mungkin ia akan
menerjemahkan kalimat di atas menjadi ‗setiap kali ia meminta pelayanan, ia melakukannya
di atas mata dan kepala‘. Penerjemahan harfiah seperti ini sangat berbeda jauh dari makna
yang dimaksud yaitu ‫ ثشغجخ وحت‬،‫‗ ثنو عشوس‬dengan senang hati‘ (Siniy, 1996) (dalam Kamalie,
2007).
Preposisi dalam bahasa Arab cukup berpengaruh dalam menentukan makna sebuah
kata, bahkan dapat menimbulkan makna yang berlawanan sebagaimana yang diberikan oleh
preposisi ً‫ ػي‬dan ‫ ىـ‬yang tidak selamanya bermakna ‗di atas‘ dan ‗untuk‘. Seorang linguis
Arab yang terkenal, Ibnu Jinniy dalam bukunya ‫ اىخصبئص‬menyatakan bahwa preposisi
digunakan untuk hal-hal yang menyenangkan, sedangkan preposisi untuk kebalikannya.
Seorang penerjemah yang tidak menyadari makna yang berada di balik kata-kata yang
berkolokasi dengan kedua preposisi tersebut tidak mustahil akan menerjemahkan secara
harfiah. Maka doa yang biasa diucapkan kepada pengantin ‫ ثبسك هللا ىنَب وػيُنَب‬sering kita
dengar diterjemahkan menjadi ‗Semoga Allah melimpahkan berkah untukmu dan atasmu‘.
Maka memperlakukan kombinasi kata seperti dalam ungkapan-ungkapan di atas
sebagai sebuah kolokasi adalah sangat penting dalam langkah awal proses penterjemahan
daripada mencari padanan leksikal untuk setiap kata secara terpisah.
Namun, dalam praktiknya, bukanlah merupakan hal yang mudah bagi seorang
penerjemah, khususnya bagi yang tidak berpengalaman, untuk mengidentifikasi dan
menerjemahkan makna kata ketika berkolokasi dengan kata lainnya. Terkadang problematika
ini disebabkan oleh adanya beberapa makna kata ketika berkolokasi dengan suatu kata,
seperti tampak dalam berbagai makna yang berbeda dari kata ‫ ششة‬di atas. Maka makna-
makna yang berbeda-beda tersebut bukan mustahil akan menipu seorang penerjemah yang
tidak berpengalaman yang tidak mampu mengidentifikasi kolokasi dengan maknanya yang
bermacam-macam yang berbeda dari makna kata-kata tersebut manakala muncul sendiri-
sendiri.
Sebab lain dari problematika yang muncul dalam proses penerjemahan kolokasi
adalah adanya makna majazi dalam sebuah kolokasi. Kata ‫ ثبه‬yang makna asalnya adalah
ُ‫‗ اىحبه واىشأ‬keadaan‘ seperti dalam firman Allah ( ٌْ ُ‫) َعَُ ْه ِذَ ِه ٌْ َوَُصْ يِ ُح ثبَىَه‬, makna asal ini tidak
tampak lagi dalam ungkapan-ungkapan sepeti:

‫ٍشغ٘هَاىثاه‬ Gundah
‫َاىثاه‬ٜ‫خاى‬ Tenang
‫رَٗتاه‬ Penting
‫َتاه‬ٛ‫شَر‬ٞ‫غ‬ Tidak Penting
‫ساححَاىثاه‬ Senang
‫َّاػٌَاىثاه‬/‫َاىثاه‬ٜ‫سخ‬ Hidup Senang, Hati Tenang
‫وَاىثاه‬ٝ٘‫غ‬ Bersabar

2. TRANSLITERASI
Menurut KBBI (1991) (dalam Al Farisi, 2014: 127), menyebutkan bahwa transliterasi
adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam
penerjemahan bahasa Arab ditemukan kata asing berupa nama kota, nama orang, nama
tempat, maupun nama buku yang ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab terkait dengan
nama orang dan sebutannya sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi nama tersebut. Selain itu nama untuk orang, kota, maupun untuk sesuatu
yang bersifat khusus tidak dapat dikenali dengan jelas, sebab dalam bahasa Arab tidak
mengenal huruf kapital yang dapat membedakan istilah-istilah nama. Berbeda dengan bahasa
Indonesia menggunakan huruf kapital untuk membedakan nama orang, instansi, maupun
nama untuk sesuatu yang khusus.
Transliterasi adalah penulisan atau pengucapan lambang bunyi bahasa asing yang
dapat mewakili bunyi yang sama dalam system penulisan suatu bahasa tertentu (Ahmad,
2017: 129). Menurut Panuti Sudjiman (1995) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 129), menyatakan
salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa
Indonesia, kenyataan dari bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses
pembaharuan bahasa Indonesia, karena sebagian kata telah melalui proses buatan.
Menurut Juwita (2004) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 126), bahwa transliterasi
mempunyai dua pendapat yang berbeda. Pertama, transliterasi merupakan lambang simbol
huruf Arab saja. Kedua, kelompok lain berpendapat bahwa transliterasi bukan hanya simbol
saja, tetapi huruf yang sudah dibakukan menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Menurut Ruskhan (2006) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128), bahwa kelompok pertama
mendasarkan alasan pertama pada surat Al Qur‘an surat Yusuf ayat 2:
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Qur‟an dalam bahasa Arab, mudah-
mudahan kamu memikirkannya.”

Ayat tersebut menyebutkan bahwa ayat Al Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.
Kata bahasa Arab mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa, huruf cara
membaca, lagak lagu membaca, susunan kata dan artinya. Jadi bahasa Al Qur‘an bukanlah
bahasa Jawa, bahasa Belanda, ataupun bahasa Indonesia, sudah pasti bahasa Al Qur‘an ditulis
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab termasuk membaca dan melakukan harus sesuai dengan
makhraj-makhraj Arab. Atas dasar inilah maka kelompok ini menyatakan bahwa transliterasi
bukanlah hal yang penting. Bahwa keberadaannya bisa mengganggu penguasaan baca tulis
Arab , terutama dalam hal pelafalan.
Menurut Khalaf (2007) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128) bahwa transliterasi Arab-
Latin bukanlah dari ayat-ayat Al Qur‘an, bukanlah Al Qur‘an yang suci itu sendiri. Akan
tetapi, itu hanya alat untuk mencapai dan memahaminya saja. Karena itu dinilai tidak perlu
adanya transliterasi dalam penguasaan baca tulis Arab.
Menurut Beeston (1970) (dalam jurnal Ahmad, 2017: 128), bahwa pengalih huruf-an
istilah-istilah Arab ke tulisan latin menimbulkan lebih banyak masalah daripada tulisan Arab
itu sendiri, walaupun sangat dibutuhkan untuk mencari lambang bunyi bahasa Arab dalam
tulisan Latin, alan tetapi belum dapat ditemukan pedoman yang menggambarkan bunyi huruf
Arab dengan tepat.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa transliterasi adalah
pengalihan huruf istilah-istilah Arab ke huruf Latin, tidak mengubah bentuk huruf maupun
wujud dari huruf tersebut.
Sebagai contoh, yakni:
َٜ‫فاَُتافي٘فَف‬ٝ‫َاىَشٖ٘سَا‬ٜ‫َاىشٗس‬ٜ‫َىَ٘ج‬ٜ‫س‬ٞ‫قَاإلششاغٍََٕ٘اَقاًَتَٔاىف‬ٝ‫٘ظحَػَِغش‬َٝٛ‫َاىز‬ٛ‫ذ‬ٞ‫ٗاىَثاهَاىتقي‬
.‫تجشتتَٔاىَشٖ٘سج‬
(ٜ‫َٗػيٌَاىْفسَىيذَمت٘سٍَحَذَػثَاَُّجات‬ٛ٘‫ثَاىْث‬ٝ‫)اىحذ‬
…Contoh klasik yang menjelaskan metode conditioning adalah apa yang telah dilakukan
oleh fisiolog Rusia kondang, Ivan Pavlov, dalam eksperimennya yang terkenal…
(Hadist Nabi dan Psikologi, karya Dr. Muhammad Ustman Najati)

Pada teks di atas yang tertulis nama pakar psikologi ‫( اَفبُ ثبفيىف‬Ivan Pavlov), bagi
penerjemah yang kurang memahami wacana pendidikan akan kesulitan untuk menentukan
kata tersebut, apakah kata itu berupa nama orang, kata benda, ataukah kata yang lain, karena
di dalam bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital yang dapat membedakan kata untuk nama
orang atau kata untuk sesuatu yang khusus. Bisa saja penerjemah itu mengartikan Aivan
Bavlauv atau Ivan Bavlov, kekeliruan penerjemahan ini dapat merusak citra penerjemah (Al
Farisi, 2014: 128)
ََ...َُ‫نا‬ٞ‫حَمَاَاخثشّاَتفتحَسٍٗاٍَقشَاىفات‬ٞ‫حَاىششق‬ّٞ‫حَػاصَحَاىشٍٗا‬ْٞٞ‫اٍحَ(ٗتششّاَاىشس٘هَصَتفتحَاىقصقْط‬ٞ‫اىق‬
‫َاَُاألشقش‬ٞ‫َىيشَمت٘سَػَشَسي‬ٙ‫)اىصغش‬
Rasulullah SAW member kami berita gembira ihwal penaklukan Konstantinopel, ibu kota
Romawi Timur. Beliau juga mengabari kami mengenai penaklukan Roma, pusat
Vatikan…
(Kiamat Kecil, karya Dr. ‘Umar Sulaiman Al-Asyqar, 2002: 160)

Pada teks tersebut terdapat nama kota ‫ سوٍب ٍقش‬dan ُ‫اىفبرُنب‬. Penerjemah tidak akan
menemukan huruf kapital pada teks bahasa Arab tersebut, penerjemah harus sudah
mempunyai wawasan pendidikan agar dapat mengenali bahwa kata tersebut merupakan nama
tempat atau kota. Selain itu, masalah transliterasinya ke dalam abjad Latin juga menjadi
masalah penerjemahan lantaran perbedaan ejaan aksara Arab dengan aksara Latin (Al Farisi,
2014: 128).
3. PUNGTUASI
Kata Pungtuasi berasal dari bahasa Yunani ―Punctus‖ yang berarti ―poin‖. Pungstuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk memperjelas
arti atau tanda perubahan dalam intonasi. Menurut Gorsys Keraf, pungtuasi yang lazim
digunakan dewasa ini didasarkan atas nada dan lagu (suprasegmental) dan sebagian
didasarkan atas relasi gramatikal, frase dan inter-relasi antar bagian kalimat (hubungan
sintaksis).
Pungtuasi atau tanda-tanda sebagai hasil usaha menggambarkan unsur-unsur
suprasegmental itu, tidak lain dari gambar-gambar atau tanda yang secara konvensional
disetujui bersama untuk member kunci kepada pembaca terhadap apa yang ingin disampaikan
kepada mereka. Kata ―ya!‖ dapat diucapkan sedemikian rupa untuk menyatakan persetujuan
yang bersemangat, atau bernada kemalu-maluan, kebimbangan, dan kekurang percayaan, atau
sebagai suatu penolakan kasar. Banyak sekali warna arti yang dapat diberikan kepada suatu
ucapan dengan perbedaan variasi kecepatan, keras-lembut, dan intonasi yang berlainan.
Menurut KBBI (1991) (dalam Al Farisi, 2014: 129), pungtuasi atau tanda baca lazim
berkenaan dengan penulisan tanda grafis yang digunakan secara konvensional untuk
memisahkan pelbagai bagian dari satuan bahasa tertulis. Jadi Pungtuasi bertalian dengan
pemakaian huruf capital, huruf miring, koma, tanda pisah, tanda petik, tanda seru, tanda
Tanya, dan sebagainya. Masalah ini cukup penting mengingat pungtuasi sedikit banyak dapat
mempengaruhi makna satuan bahasa dalam suatu kalimat. Pungtuasi juga dapat memudahkan
pembaca dalam memahami pesan yang dibawa teks terjemahan.
Dalam buku-buku berbahasa Arab tidak memperhatikan adanya pungtuasi, sebuah
kitab tafsir yang tebalnya berjikid-jilid hanya ditulis dengan satu paragraph saja.. Persoalan
kelangkaan tersebut membuat penerjemah mengerenyitkan kening. Sulit menentukan
pungtuasi yang tepat dalam terjemahan. Untungnya, buku-buku berbahasa Arab kontemporer
yang ada sekarang sudah banyak yang mengindahkan aspek pungtuasi (Al Farisi, 2014: 130).
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa pungtuasi adalah tanda baca yang
terdapat dalam suatu teks bahasa target maupun bahasa Latin guna untuk memperjelas arti,
perubahan maupun intonasi.
Contoh dari pungtuasi berupa huruf miring dalam penerjemahan teks Arab ke dalam
bahasa Latin:
َ‫حثَٖاَهللا‬َِٝٞ‫لَخصيت‬ٞ‫َإَُف‬:َ‫س‬ٞ‫َق٘ىَٔىألشجَأشجَػثذَاىق‬ٜ‫شَف‬ٞ‫فحَاىتفن‬ٞ‫قًَ٘ٗت٘ظ‬َٝٛ‫ٗقذَأشادَاىشس٘هَصَتاىؼقوَاىز‬
َ‫َاىتثثت‬َٜٕ‫َٗإَُاألّاج‬,‫َإَُاىحيٌََٕ٘اىؼقو‬:َ‫ث‬ٝ‫َششحَٔىٖزاَاىحذ‬ٜ‫َف‬ْٛٗ٘‫َٗقاهَاى‬.)ٌ‫َاىحيٌَٗاألّاجَ(أخشجٍَٔسي‬:َٔ‫ٗسس٘ى‬
َ.َ.َ.َ.‫ٗتشكَاىؼجيح‬
(ٜ‫َٗػيٌَاىْفسَىينت٘سٍَحَذَػثَاَُّجات‬ٛ٘‫ثَاىْث‬ٝ‫)اىحذ‬
“Rasulullah memuji akal yang memiliki fungsi untuk berpikir, sebagaimana ucapan
beliau kepada Asyad „Abdul Qais. “Pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya, yaitu al-hilm dan al-anât.” (HR Muslim). An-Nawawi, dalam penjelasannya
atas Hadis ini, mengatakan bahwa al-hilm adalah akal serta al-anat adalah ketekunan dan
ketaktergesaan ….”
(Hadis Nabi dan Psikologi, karya Dr. Muhammad ‘Ustman Najati, 1998: 146)

Mengenai unsur-unsur dalam suatu perincian, bahasa Arab lazim mengunakan ‫واو‬
‫ اىؼطف‬dalam buku-buku berbahasa Arab kontemporer, tanda koma sebagai pengganti ‫واو‬
‫ اىؼطف‬sudah banyak dipakai. Sekaitan dengan ini, cukup ‫ واو اىؼطف‬yang terletak di akhir
perincian saja yang diterjemahkan menjadi dan, sedang sisanya cukup diterjemahkan menjadi
tanda koma.
Penerjemahan semua ‫ واو اىؼطف‬yang ada hanya akan menghasilkan terjemahan yang
kurang wajar dalam wacana bahasa Indonesia. Contohnya sebagai berikut:
َ‫نثشَششب‬َٝٗ‫نثشَاىزّا‬َٝٗ‫نثشَاىجٖو‬ٌَٝٗ‫شفغَاىؼي‬َُٝ‫َإٍََُِأششاغَاىساػحَأ‬:َ‫ق٘ه‬َٝ‫َسَؼتَسس٘هَهللاَص‬:َ‫ٗػَِأّسَ٘قاه‬
‫ٌَاى٘احذ‬ٞ‫َِاٍشأجَاىق‬ٞ‫َىخَس‬ٚ‫قوَاىشجوَٗتنثشَاىْساءَحت‬َٝٗ‫اىخَش‬
(ٌ‫ٍَٗسي‬ٛ‫)سٗآَاىثخاس‬
“Anas menuturkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda : Di antara tanda-tanda
kiamat adalah dicabutnya ilmu, suburnya kejahilan, maraknya perzinahan, meningkatnya
konsumsi khamar, serta sedikitnya laki-laki dan banyaknya wanita, sampai lima puluh
wanita berbanding satu pria.”
(HR Al-Bukhari dan Muslim)

4. URUTAN KATA
Kridalaksana (2008: 251) (dalam Al Farisi, 2014: 134-135) menjelaskan word order
‗urutan kata‘ adalah penempatan kata dalam deretan tertentu menurut norma suatu bahasa,
baik dalam tingkat kalimat dan klausa maupun dalam tingkat frase. Lebih jauh Kridalaksana
memilah urutan kata ke dalam dua jenis:
1) Urutan Kata Bebas (Free Word Order)
Urutan kata yang tidak dipakai untuk menandai hubungan gramatikal dan yang
dapat diubah tanpa mengubah atau merusak makna kalimat. Misalnya:
- Maryam menyalami Elvi dapat diubah menjadi Elvi menyalami Maryam tanpa
mengubah makna.
- ‫ رهت صَذ ثبألٍظ‬dapat diubah menjadi ‫ثبألٍظ رهت صَذ‬
2) Urutan Kata Tetap (Fixed Word Order)
Urutan kata yang dipakai untuk menyatakan hubungan gramatikal dan yang tidak
dapat diubah tanpa mengubah atau merusak makna kalimat. Misalnya: Putra mencubit
Dian berbeda maknanya dengan Dian mencubit Putra. Pada kalimat pertama Putra
berperan sebagai pelaku (subjek), dan Dian sebagai penderita (objek). Sedangkan
kaliamat kedua Dian berperan sebagai pelaku (subjek) sedangkan Putra sebagai penderita
(objek).

Urutan kata memegang peranan penting dalam pembentukan makna dalam sebuah
kalimat. Contoh dalam bahasa Indonesia: ―itu hp baru‖ dengan ―itu baru hp‖ kalimat ini
memiliki perbedaan makna karena urutan kata. Atau kalimat, Memang mudah mencari
kambing hitam, tetapi sulit mencari hitamnya kambing. Frase ―kambing hitam‖ dan
―hitamnya kambing‖ memiliki makna yang berbeda. Contoh dalam bahasa Arab ‫اعزؼو اىشأط‬
‫― شُجب‬kepala telah menyala dengan uban‖ berbeda dengan ‫― اعزؼو شُت اىشأط‬uban kepala telah
menyala‖. Pertama, menunjukan bahwa seluruh kepala itu beruban. Kedua, hanya
menerangkan terlihatnya uban dikepala.

5. ISTILAH-ISTILAH BUDAYA
Salah satu masalah dalam penerjemahan adalah budaya. Persoalan muncul ketika
bahasa target tidak memiliki bahasa sepadan dengan bahasa sasaran. Misalnya, sebagai
berikut:
Ungakapan Kultural Makna Harfiah Makna yang Dikehendaki
‫ط‬ٞ‫اىزٕةَاألت‬ Emas Putih Kapas
ٌ‫اىْاغقَاألتن‬ Si Bisu Pandai Berbicara Pena
ُ‫أحعشَاألسْا‬ Si Gigi Hijau Orang Kampung

Penerjemah idealnya bisa menangkap warna budaya yang terdapat dalam bahasa
sumber seraya mengungkapkannya dalam terjemahan yang dapat dipahami oleh pembaca
bahasa target. Istilah-istilah budaya meniscayakan perlakuan khusus dalam penerjemahannya.
Hal ini terutama terjadi manakala dalam bahasa target tidak ditemukan konsep budaya yang
sepadan, sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam merekonstruksi makna budaya
tersebut secara pas dalam bahasa target.
Newmark (1988) (dalam Al Farisi, 2014: 138-140) membedakan karakteristik bahasa
ke dalam tiga sifat, yaitu:
1) Universal: Kata-kata yang tidak menimbulkan masalah lantaran semua budaya
memiliki kata-kata yang dapat mewakili konsep-konsep yang sama.
2) Kultural: Kata-kata yang hanya terdapat dalam kultur masyarakat daerah tertentu.
Kata-kata semisal ini dalam penerjemahannya ke dalam bahasa lain seringkali
menjadi persoalan rumit akibat adanya kesenjangan dua budaya.
3) Personal: Kata-kata yang terkait dengan cara berekspresi seseorang dalam suatu
bahasa atau yang lazim disebut idiolek.

Newmark juga mengelompokan kosakata yang berkonotasi budaya ke dalam beberapa


kategori :
1) Ekologi
Contoh ‫و‬ٞ‫― سي‬anak unta yang belum jelas jenis kelaminnya‖ ‫― سثق‬anak unta
jantan‖ ‫― حائو‬anak unta betina‖ ‫― ح٘اس‬anak unta yang belum disapih‖ ‫‖اتِ ٍخاض‬anak unta
jantan satu tahun‖ ‫‖تْتٍَخاض‬anak unta betina satu tahun‖ dan seterusnya.
2) Material Culture
Contoh yang berhubungan dengan pakaian ; ‫―ػَاٍح‬serban‖ ‫― جيثاب‬jilbab‖
3) Social Culture
Contoh ‫شَاى ّشٍاد‬ٞ‫ مث‬yang berarti ―dermawan‖ bukan ―banyak abu‖.
4) Organization, Customs, Activities, Procedures, Concepts
Contoh :
‫شجَٗلَسائثح‬ٞ‫ٍاَجؼوَهللاٍََِتح‬
“Allah sekali kali tidak pernah mensyari‟atkan adanya bahirah, saibah washilah
dan ham.”
Kata kata bahirah, saibah, washilah dan ham diterjemahkan dengan
mentransliterasikan dalam bahasa Indonesia, karena kata kata ini tidak mempunya
padanan dalam bahasa Indonesia.
5) Gesture and Habits
Contoh ٔٞ‫قية َمف‬ٝ ―membolak balikkan kedua telapak tangan‖ yang mempunya
padanan kata ―mengelus ngelus dada‖.
Masyarakat Arab menggambarkan penyesalan dengan ungkapan ―membolak
balikkan kedua telapak tangan‖ tentu saja sesuai dengan gestur dan kebiasaan yang
berlaku di kalangan mereka. Ungkapan ini sepadan dengan dengan ―mengelus ngelus
dada‖ yang berlaku di Indonesia.

6. PENGERTIAN IDIOM
Menurut Yusuf dalam Al-Farisi (2018:145) pengertian idiom adalah unit bahasa yang
tersusun dari dua kata atau lebih, yang melahirkan makna baru tertentu yang berbeda sama
sekali dari makna kata perkata.
Menurut Kridalaksana dalam Al-Farisi (2018:145) bahwa idiom merupakan
konstruksi dari unsur-unsur saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang
ada hanya karena bersama lain. Contoh mengenai hal ini dapat dilihat pada kalimat ―dalam
peristiwa tawuran itu seorang siswa yang kebetulan lewat dilokasi kejadian menjadi kambing
hitam. Frase kambing hitam tentu saja tidak bermakna kambing yang berbulu hitam
peliharaan seseorang, akan tetapi bermakna orang yang dijadikan tumpuan kesalahan padahal
tidak bersalah. Idiom disusun sesuai dengan struktur kaidah nahwu-sharf, tetapi ungkapan
dimaksudkan berlainan dengan kahiriahnya struktur itu karena mengikuti konteks (yang
dominan pengaruhnya) (Unsi, 2013:87).
Idiom berasal dari bahasa yunani, idios yang berarti khas, mandiri, khusus atau
pribadi. Menurut keraf dalam (Unsi, 2013:88) yang disebut idiom adalah pola-pola struktural
yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa,
sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan
bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya. Senada dengan pendapat di atas, Chaer
dalam Unsi (2013:88) mengemukakan bahwa idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa
kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal,
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuannya.
Secara fungsional, sebuah idiom dapat meringkas tuturan yang kompleks (Al-
farisi,2018:145). Orang Arab cukup mengatakan ‫( ٍغَبس جحب‬secara harfiah bermakna ―paku si
juha‖) untuk mencandrakan akal bulus seseorang dalam memperdaya orang lain. Makna ini
tentu bersifat kultural sebab dalam tradisi orag Arab sosok Juha dalam tradisi orang sunda
mirip sosok si Kabayan yaitu seorang yang cerdik yang memiliki banyak akal dalam
menangani berbagai persoalan. Setelah berkolokasi dengan kata ‫―ٍغَبس‬paku‖, nama tersebut
kemudian menjadi sebuah idiom makna ―akal bulus‖.
Dari contoh di atas, tampak bahwa sebuah idiom tidak mungkin diterjemahkan secara
harfiah alias kata demi kata, ungkapam-ungkapan idiomatik yang bersifat kultural semacam
ini mesti diterjemahkan sebagai satu kesatuan makna. Oleh karena itu, penerjemah tidaklah
cukup menjadi seorang bilingual, tetapi juga mesti menjadi seorang bikultural yang
memahami dua budaya sekaligus. Dengan kata lain, penerjemah sejatinya memiliki wawasan
budaya yang luas, baik yang berkenaan dengan bahasa sumber maupun bahasa target.
Idiom-idiom dalam bahasa Arab yang memiliki padanan dalam bahasa indonesia lebih
mudah diterjemahkan. Penerjemah tidak perlu repot-repot mencari padanan lain, karena
sudah tersedia dalam bahasa indonesia.
7. PENERJEMAHAN METAFORA
Newmark dalam Al-farisi (2018:148) memandang penerjemahan ungkpan-ungkapan
metafora sebagai masalah khusus yang sangat penting. Dalam kaitan ini, dia memasukkan
setiap ungkapan figuratif ke dalam metafora, termasuk didalamnya pengalihan makna kata
benda, personikfikasi kata yang abstrak, dan penggunaan sebuah kata atau kolokasi yang
tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna denotatif.
Beberapa faktor mempengaruhi penerjemah dalam menerjemahkan metafora, yaitu
pentingnya metafora dalam konteks faktor budaya dalam metafora, tingkat komitemen
pembaca, dan pengetahuan pembaca. Tidak semua metafora dapat diartikan dengan mudah.
Oleh karena itu, jika metafora diterjemahkan secara harfiah, kata per kata sering terjadi salah
pengertian (Widiarti, 2011:182).
Dalam pandangan Newmark dalam Al-farisi (2018:149), metafora dapat berupa
sebuah kata atau kata yang diperluas semisal kolokasi, idiom, kalimat, peribahasa, alegori,
teks imajinatif yang lengkap. Lebih jauh dia mengatakan bahwa pada dasrnya pengungkapan
sebuah metafora mempunyai dua tujuan. Pertama, tujuan referensial (referential purpose)
berfungsi untuk mencandrakan suatu proses mental, keadaan, konsep, objek, kualitas, atau
tindakan secara lebih ringkas dan komprhensif dibanding dengan menguunakan ungkapan-
ungkapan yang bersifat literal. Kedua, tujuan pragmatik (pragmatic purpose) berfungsi untuk
melahirkan makna tertentu, menarik perhatian, memperjelas, menyenangkan,
menggembirakan, dan membuat kejutan. Tujuan yang pertama bersifat kognitif, sedang
tujuan yang kedua bersifat estetis, sebuah metafora yang baik sejatinya mengindisikan dua
tujuan.
Larson dalam Widiarti (2011:182) menyatakan bahwa tidak semua metafora dapat
diartikan dengan mudah. Menerjemahkan metafora secara harfiah sering mengakibatkan
makna yang salah, nihil, atau taksa. Ada sejumlah alasan mengapa metafora sulit diartikan
dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah:
- Citra yang digunakan dalm metafora mungkin tidak dikenal dalam bahasa sasaran
- Topik metafora tidak diungkapkan dengan jelas
- Adanya kenyataan bahwa titik kemiripan dapat ditafsirkan secara berbeda-beda
dalam kebudayaan yang berbeda
- Tiap bahasa berbeda dalam frekuensi pemakaian metafora dan cara
menciptakannya.
Lebih lengkap lagi Ibnu Qutaibah dalam Al-farisi (2018:149) menyodorkan
pendapatnya sekaitan dengan metafora. Menurutnya metafora mencakup isti‘arah
‗peminjaman kata‘, tamtsil ‗perumpamaan‘, qalb ‗pembalikan‘, taqdim ‗pemajuan‘, takhir
‗pengakhiran‘, hadzf ‗pelepasan‘, tikrar ‗pengulangan, ikhfa ‗penyembunyian‘, idzhar
‗penampakan‘, ta‘ridl ‗sindiran‘, ifshah ‗pemfashihan‘, kinayah ‗metomina‘, idhah
‗penjelasan, penggunaan bentuk mufrad ‗tunggal‘ untuk maksud jamak, penggunaan bentuk
jamak untuk maksud tunggal, penggunaan bentuk tunggal dan jamak untuk maksud mustanna
(dual), kata khusus, dan sebagainya.
Ungkapan-ungkapan metafora juga terdapat dalam bahasa Al-qur‘an dengan segala
karakteristik dan keunikannya. Tidak mengherankan kiranya dalam al-qur‘an terdapat banyak
ungkapan metafora yang memiliki kedalaman makna, keluasan cakrawala, serta mengatasi
dimensi ruang dan waktu. Quthb dalam Al-farisi (2018:150) menyebut penggunaan gaya
isbahasa metafora dalam al-quran ini sebagai penggambaran estetis. Menurutnya,
penggambaran artistik ini seseorang yang membaca atau menyimak ayat-ayat al-qur‘an akan
terpesona dan terelna dengan segenap imajinasinya, sehingga ia merasa benar-benar
menyaksikan secara nyata atau merasa benda di tengah-tengah peristiwa yang sedang
berlangsung. Sekaitan dengan hal ini, Quthb menegaskan bahwa dalam al-qur‘an terdapat
kehidupan, dan bukan sekadar kisah tentang kehidupan.
Dari paparan tersebut nyatalah bahwa sesungguhnya ada dimensi yang menjadi
problem utama dalam penerjemahan, yaitu struktur, kultur, dan dimensi ilahiyah yang bersifat
transenden. Dimensi yang pertama berhubungan dengan tataran linguistik, baik yang terdapat
dalam bahasa sumber maupun target. Sementara yang kedua berkaitan dengan ungkapan-
ungkapan kebudayaan, seperti majaz, tasybih, kinayah, dan sebangsanya. Penerjemahan
semacam ini seringkali menjadi masalah yang cukup pelik manakala bahasa target tidak
memiliki ungkapan yang sepadan dengan bahasa sumber, sehingga sulit ditemukan atau tidak
ditemukan padanan yang tepat.
Kenyataan bahwa penerjemahan ungkapan-ungkapan metafora sering kali
menyulitkan penerjemah dalam mencari padanan yang sesuai, berterima, dan mudah
dipahami oleh pembaca teks target. Asosiasi kata yang satu dengan kata yang lain sering kali
melahirkan kerancuan manakala diterjemahkan secara harfiah tanpa mengindahkan makna
sebenarnya. Misalnya frase ‫ ػقشة اىغبػخ‬yang secara harfiah berarti kalajengking jam. Dalam
kultur orang Arab, penanda detik, menit, dan jam lazim diasosiasikan dengan ekor
kalajengking. Seperti ada sebuah jam, ekor kalajengking juga suka berputar ketika
menghadapi musuh atau mangsa. Masyarakat indonesia tentu saja tidak dapat memahami
maksud ungkapan kalajengking jam dengan mudah. Lain halnya jika ungkapan tersebut
diterjemahkan dengan jarum jam yang akrab di telinga orang Indonesia. Secara kultural orang
indonesia mengasosiasikan penanda detik, menit dan jarum jam dengan jarum yang
merupakan alat menjahit pakaian. Oleh karena itu, penerjemahan ungkapan ‫ػقشة اىغبػخ‬
sejatinya dipadankan dengan ‗jarum jam‘ yang notabene berterima dalam kultur orang
Indonesia.
8. RAGAM PENERJEMAHAN KINAYAH
Kata ‫( مْبَخ‬kinȃyah) sendiri, sebagaimana disebutkan Al-Fairuzabadi (dalam Al farizi,
2011:153), merupakan bentuk masdar dari verba ٍ‫ّلَُ ٌ وْ ُُّ ْن‬
ْ ٌ- ‫ل‬
َ َْ‫ى‬yang berati ‗mengatakan
ُ ْْ ََ‫(ح‬penyebutan nama yang diawali dengan kata ‫وثأ‬, ‫ٍأ‬
dengan ibarat, kiasan, sindiran‘. Istilah ‫ل‬
, ‫ّجإ‬atau ‫ )حّجإ‬juga berasal dari verba yang sama. Secara lugowiyah, pengertian kinȃyah adalah
mengatakan sesuatu dengan maksud lain.
Dalam disiplin ilmu balaghah kinȃyah merupakan salah satu bahasan dari kajian ilmu
bayan (kajian gaya bahasa). Kedua bahasan lainnya dari ilmu tersebut adalah tasbiyah dan
majȃz. Dalam ilmu bayan (kajian gaya bahasa arab) terdapat tiga model pengungkapan
ujaran. Pertama, tasybih yaitu penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena ada titik
persamaan. Pada model ini thorofain (kata yang diserupakan dan kata yang diserupai)
disebutkan dengan jelas. Pada model pertama ini musyabbah (kata yang diserupakan) dan
musyabbah bih (kata yang diserupai) keduanya disebutkan. Kedua, majȃz yaitu model
pengungkapan seperti pada tasybih, akan tetapi salah satu dari thorofain-nya dihilangkan,
baik itu musyabbah atau musyabbab bih. Ketiga, kinȃyah yaitu model pengungkapan yang
memiliki arti konotatif. Kinȃyah memiliki kesamaan dengan majȃz karena keduanya
bermakna konotatif. Perbedaan keduanya, kinȃyah bisa difahami atau mengandung makna
denotatif. Sedangkn majȃz tidak diperbolehkan mengambil makna denotative (Nurbayan,
tanpa tahun: 03)
Ragam kinȃyah setidaknya dapat ditilik dari dua aspek. Pertama ditilik dari aspek
makniy‟anhu „hal yang di- kinȃyah-kan‘, dan kedua dari aspek wasȃith ‗sarana‘. Dari aspek
makniy „anhu, Qazwainiy (1998) membagi kinȃyah dalam tiga jenis, yaitu (1) kinȃyah
ghairush shifati wan nisbah, (2) kinȃyah shifat, (3) dan kinȃyah nisbah. Selanjutnya, kinȃyah
shifat ini terbagi lagi menjadi kinȃyah qarȋbah dan kinȃyah ba‟ȋdah. Pada kinȃyah qarȋbah,
peralihan makna dari makna asal ke makna yang dikehendaki terjadi tanpa perantara lantaran
sudah cukup jelas. Sedangkan pada kinȃyah ba‟ȋdah, peralihan makna asal ke makna yang
dikehendaki terjadi melalui sejumlah perantara (dalam Alfarisi, 2011:155).
BAB V
EVALUASI TERJEMAHAN

1. SEGITIGA KUALITAS TERJEMAH

Menurut Newmark (dalam Alfarizi , 2011: 177) memilah segitiga kualitas terjemahan dengan
menyodorkan enam cara pandang terhadap sebuah terjemahan. Yang pertama, ialah translation as a
science. Menurut cara pandangan ini, benar-salah suatu terjemahan didasarkan pada lkreiteria
kebahasaan, sehingga kesalahannya bersifat mutlak. Kesalahan semacam ini boleh jadi disebabkan
kekeliruan dalam mengidentifikasi sebuah kolokasi misalnya, kalimat َ ‫ َه َذا ِمسْ َمار جحا‬menjadi salah jika
diterjemahkan ‗ini paku si Juha‘, sebab َ ‫ ِمسْ َمار جحا‬sebenarnya bermakna ‗akal bulus‘. Bisa juga kesalahan
disebabkan ketakcermatan penerjemah dalam mengidentifikasi fungsi-fungsi sintaksis dalam sebuah
kalimat. Sebagai contoh kalimat ‫ رميت زيد‬keliru jika dibaca ramaitu zaidan seraya diterjemahkan ‗saya
َ sehingga tidak bisa menjadi
melempar si Zaid‘. Sebab kata ‫ زيد‬pada kalimat tersebut tidak ditulis ‫زي ًْدا‬,
maf'ul bih (objek). Yang benar kalimat tersebut mesti dibaca ra maita zaidin dan diterjemahkan ‗lihat
mayat si Zaid‘.

Cara pandang kedua, ialah translation as a craft yang menganggap penerjemahan sebagai suatu
keperigelan. Dalam hal ini, benar-salah suatu terjemahan bersifat relative. Realivitas benar-salaj
terjemahan berhantung pada matra untuk siapa dan untuk apa terjemahan tersebut dibuat. Cara pandang
ketiga, ialah translational as an art, yang melihat penerjemahan sebagai sebuah seni. Cara pandang ini
biasanya terkait dengan penerjemahan sebagai proses penciptaan. Penciptaan dilakukan dengan mencari
kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang lebih mengena dan berterima. Cara pandang keempat ialah
translation as a taste, yang melihat terjemahan sebagai sebuah pilihan berdasarkan selera.

Dalam penelitian Nababan (dalam Alfarizi, 2011: 178) menggunakan dua instrument untuk
menakar kualitas suatu terjemahan. Pertama, accuracy-rating instrument dengan skala 1 sampai 4.
Penilaian keakuratan terjemahan terfokus pada level kalimat dan keterkaitannya dengan kalimat lain dan
sebuah teks. Keterkaitan tekstual diperlukan mengingat kualitas terjemahan sebenarnya berada pada
tataran teks. Kedua, readability-rating instrument yang digunakan untuk menakar derajat keterbacaan
suatu teks terjemahan. Instrumen ini terdiri atas dua sifat pertanyaan: tertutup dan ternuka. Pertanyaan
terbuka dipakai untuk menyibak derajat keterbacaan teks terjemahan dalam rentang skala 1-4. Skor 1
menunjukkan derajat keterjemahan sangat mudah, skor 2 mudah, skor 3 sulit, dan skor 4 sangat sulit.
Adapun pertanyaan terbuka, digunakan untuk meminta pembaca teks terjemahan mengungkapkan alasan-
alasan mengapa teks terjemahan sulit atau sangat sulit dimengerti, disertai contoh-contoh dari teks
terjemahan yang sedang dievaluasi.

67
Menurut Larson (dalam Alfarizi, 2011: 179) demi kualitas terjemahan kiranya perlu
dipertimbangkan tiga hal penting dalam penerjemahan: keakuratan (accurary), kejelasan (clearness), dan
kewajaran (naturalness). Ketiga hal ini kita sebut saja sebagai segitiga kualitas terjemahan.

1) Keakuratan (Accuracy)

Aspek keakuratan mengacu pada sejauh mana tingkat kesepadanan pesan antara teks sumber dan
teks target. Aspek ini harus dijadikan prioritas utama dalam penerjemahan. Sebab, keakuratan merupakan
konsekuensi logis dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks disebut terjemahan kalau teks
tersebut memiliki hubungan padanan dengan teks sumber. Keakuratan berkaitan dengan hasil terjemahan
yang dapat mengantarkanamanat teks sumber kepada pembaca terjemahan. Terjemahan yang akurat
berarti tidak mengalami distorsi makna. Dengan kata lain, makna kata, frase, kalusa, dan kalimat Bahasa
sumber terterjemahkan secara tepat ke dalam Bahasa target. Intinya, apakah hasil terjemahan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya? Pengujian atas tingkat keakuratan teks terjemahan dapat
dilakukan oleh seorang pakar yang menguasai Bahasa sumber, Bahasa target, dan bidang yang
diterjemahkan dengan baik. Pengujian juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan teks sumber
dengan teks target.

Dalam hal ini hasil terjemahan harus dapat mengomunikasikan makna yang sedapat mungkin
mendekati makna yang dibawa teks sumber. Jadi, aspek keakuratan sangat terkait dengan dikotomi benar-
salah hasil terjemahan. Dan benar-salah terjemahan ini berkaitan dengan masalah makna, bukan bentuk.
Keberadaan taklikat, takarir, dan syarah sangat membantu penerjemah dalam mengidentifikasi makna dari
teks sumber yang kurang jelas. Misalnya : sebuah hadits riwayat muslim menyebutkan ‫ الماَء م َِن ال َما ِء‬makna
hadis ini menjadi kabur bila ditrjemahkan secara harfiah, yakni ‗air dari air‘. Pdahal, yang dimaksud hadis
ini adalah mandi junub itu karena keluar mani. Jadi, ‫الماَء‬yang pertama adalah air mandi, dan ‫الماَء‬yang
kedua adalah air mani. Pengertian semacam ini, antara lain, bias didapat dengan membuka kitab syarah
semisal Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhariy karya Ibnu Hajar Al-Asqalaniy. Sekiranya penerjemahan
sudah selesai, membaca ulang hasil terjemahan menjadi keharusan. Selama proses ini berlangsung
penerjemah dapat melakukan proof reading untuk memperbaiki kesalahan ketik dan tata letak. Selebihnya
adalah proses editing ‗penyuntingan‘ untuk membenahi Bahasa terjemahan, mengoreksi ejaan,
memperbaiki preposisi, memangkas kata-kata yang tidak perlu, mendelete pengulangan, mempertajam
diksi, sehingga hasilnya semakin bagus dan enak dibaca.

2) Kejelasan (Clearness)

Aspek kejelasan berkenaan dengan sejauh mana tingkat kemudahan pembaca dalam memahami
maksud sebuah teks terjemahan. Aspek kejelasan menyangkut tingkat keterbacaan hasil terjemahan. Dan
aspek keterbacaan ini menyangkut dengan aspek-aspek linguistic, misalnya penggunaan kategori
sintaksis (subjek, predikat, objek, keterangan, pelengkap); serta pemilihan diksi, preposisi, kopula,
68
kolokasi, pungtuasi, dan semacamnya. Tingkat keterbacaan sebuah teks terjemahan dapat diukur dengan
parameter berikut, yaitu (1) mendaftar kosakata, (2) menganalisis secara subjektif dengan
mempertimbangkan aspek-aspek yang memengaruhi tingkat keterbacaan, (3) menggunakan close
procedure dengan memakai tes pemahaman terhadap teks terjemahan, dan (4) menggunakan formula
untuk mengukur keterbacaan. Aspek ini juga bersinggungan dengan uapaya penerjemah menghindari
ketaksaan. Contoh kalimat : ‫ َه َذا سم‬sebaiknya tidak diterjemahkan menjadi ‗ini bisa‘. Sebab, kata bisa
boleh jadi bermakna dapat atau racun. Ketaksaab menjadi hilang jika diterjemahkan menjadi ‗ini racun‘.
Pemakaian kata racun dapat menepis kemungkinan makna dapat. Namun, kata racun mempunyai fitur
semantik yang berbeda dengan bisa. Ada racun tikus, misalnya, tetapi tidak ada bisa tikus. Dalam hal ini
boleh juga penerjemah menggunakan teknis ekspansi dengan memberi deskripsi tambahan. Terjemahan
ini bisa ular,misalnya, secara sintagmatik dapat menutup kemungkinan munculnya makna dapat dari kata
bisa. Pesan atau informasi implisit semacam ini menuntut kejelian penerjemah.

3) Kewajaran (Naturalness)

Sisi yang terakhir ini berkaitan dengan seberapa alamiah sebuah terjemahan, sehingga dapat
dipahami dan dirasakan dengan baik oleh pembacanya. Aspek kewajaran berhubungan dengan efek uyang
dihasilkan sebuah terjemahan. Apakah sebuah teks terjemahan memiliki efek yang sama dengan efek
yang dihadirkan oleh teks sumber. Dalam Bahasa Arab misalnya pemakaian ‫ َواو االِسْ ِت ْئ َناف‬relative sering
dalam sebuah wacana. Wawu jenis ini biasanya dipakai sebagai pemarka awal kalimat, dan tidak
berkaitan dengan kalimat sebelumnya. Alhasil, jika setiap ‫ َواو االِسْ ِت ْئ َناف‬diterjemahkan dan maka aspek
kewajaran menjadi hilang. Sebab, pemakaian kata dan di setiap awal kalimat kurang berterima dalam
Bahasa Indonesia. Bisa dikatakan bahwa kualitas terjemahan dapat terlihat dari pemakaian kalimat-
kalimat yang berterima, penggunaan tata Bahasa baku, dan pemilihan diksi yang tepat. Di samping itu,
kosakata yang ditransfer langsung dari Bahasa sumber juga dilengkapi dengan npenjelasan, baik dalam
bentuk catatan kaki ataupun glosarium, guna membantu pembaca dalam memahami makna suatu kata
atau istilah.

Penelitian Syihabudin (dalam Alfarizi, 2011: 187) mengungkap aspek-aspek yang dianggap paling
menentukan pemahaman pembaca atas teks terjemahan :

1. Struktur kalimat
2. Pemakaian ejaan
3. Pemilihan kosakata yang lazim dipakai
4. Penjelasan istilah khusus.
5. Kelewatan pemakaian kosakata.
6. Pemanfaatan kata-kata bahasa Arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia
69
2. MENYUNTING DAN MENILAI HASIL TERJEMAHAN
a) Menyunting Hasil Terjemahan
Saat melakukan penyuntingan awal tersebut, seorang penerjemah hars memperhatikan
segi sistematika penyajian atau teknik penulisan, isi, bahasa, yang menyangkut ejaan, huruf ,
tanda baca, kata, diksi, frasa, istilah klausa, kalimat dan wacana. Untuk keperluan tersebut
seiorang penerjemah yang baik harus melengkapinya dengan instrument penyuntingan dalam
suatu karya terjemahan, seperti naskah Tsu, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tata Baku Bahasa
Indonesia, dan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia.
Ada beberapa syarat agar penyuntingan awal ini menjadi bernilai sebagai berikut :.
1. Mengetahui tata bahasa dalam arti luas. Ia memahami struktur kalimat yang baik dan
benar, terutama terkait kalimat efektif.
2. Memiliki kepekaan bahasa yang kuat
3. Menguasai huruf, ejaan, dan tanda baca bahasa Indonesia yang berlaku saat ini.
4. Menguasai pembentukan istilah.
5. Akrab dengan kamus, baik kamus istilah, tesaurus, leksikon, ensiklopedia, maupun kamus
kosa kata.
6. Menguasai bahasa asing internasional.
7. Teliti dan sabar membandingkan hasil terjemahannya dengan maksud dan pesan
Tsu.Caranya dengan selalu mencari tahu dan menandai hal-hal yang belum secara pasti
merupakan pesan dari Tsu.
8. Jujur bila tidak sanggup memperbaiki kualitas naskah.
9. Menghormati gaya penulis.

Untuk Tsu yang berbahasa Arab, penerjemah harus hati-hati karena sistematika dan
teknik penulisannya yang memang berbeda dengan teks yang beraksara latin, seperti bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia.`Ada hal-hal yang harus diperhatikan pada saat menyunting hasil
terjemahannya Arab Indonesia karena kerap kali penerjemah mengabaikannya.. Berikut beberapa
hal menurut Sugihastuti dan Nikmah (dalam Hidayatullah 2017:111-121) menyatakan hal-hal
tersebut:
1) Teknik penulisan kalimat langsung. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Sebelum berangkat,, bapak berpesan, ‗‘Jaga rumah baik-baik, Bu!‘‘
- ‗‘Tujuan saya membuat penelitian ini, ‗‘katanya menjelaskan, ‗‘adalah untuk
melengkapi skripsi saya‘‘
- ‗‘Saya kurang sependapat dengan Anda,‘‘ katanya. ‗‘Barangkali sebaiknya kita
minta pendapat orang ketiga.‘‘

70
- Ketika pintu kubuka, kudengar adik berseru, ‗Mama, kakak pulang!, dan letihku
pun lenyap seketika, ‗‘ujar Rudy‘‘.
- ‗‘Kalian dengar suara ‗plung‘ tadi ?‘‟tanya Pak Sofyan
- Dengar, Pak! jawab kami serempak.

2) Penulisan tentang sesuatu yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan nama
Tuhan, termasuk kata gantinya. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Meskipun Rina beragama Islam, ia membaca juga kitabkitab suci agama yang lain.
- Bimbinglah hambaMu ini, ya Tuhan Yang Mahakuasa, ke jalan yang Engkau beri
rahmat.
- Kita hanya bisa mengharapkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
- Masalah-masalah keislaman dibahas secara mendalam dalam seminar itu.

3) Penulisan gelar kehormatan. Perhatian huruf yang ditulis miring.


- Tidak seorang pun melupakan jasa-jasa Imam Al-Syafi‘i
- Walaupun bergelar syaikh, ia tak pernah menyombongkan diri.
- Pemimpin yang dihormati di masa itu adalah Khalifah Umar bin ‗Abd Al-Aziz.
- Negara Islam pada masa awal dipimpin oleh seorang khalifah.
- Al-Ghazali digelari sebagai Sang Hujatul Islam.
- Ia baru saja dilantik sebagai mursyid di tarekat itu.

4) Penulisan nama bangsa, suku, bangsa, nama hari, bulan, tahun, dan peristiwa sejarah.
Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Bencana alam yang terjadi di masa kaum Tsamud merupakan peringatan dari
Tuhan.
- Ada banyak kabilah di struktur budaya masyarakat Arab tradisional, seperti kabilah
Huzail, kabilah Khajraj, kabilah Ghatafan.
- Di sekolah ini pelajaran bahasa Arab sangat diutamakan.
- Pada tahun 1997, hari Idul Fitri menjadi puncak kebahagiaannya.
- Sejarah kekritenan pernah ternoda oleh peristiwa Perang Salib.

5) Penulisan nama khas dalam geografi. Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Salah satu sungai yang terkenal di dunia Arab adalah Sungai Nil.
- Jangan lengah jika kamu berada di jalan yang ramai itu karena kabarnya Jalan
Diponegoro sering ‗‘makan‘‘ korban.
- Saat ini sungai-sungai di Kota Jakarta sudah tercemar, lebih-lebih Sungai Ciliwung.

71
6) Penulisan nama lembaga, dokumen resmi, dan judul buku. Perhatikan huruf yang
ditulis miring.
- Semua undang-undang untuk mengatur negara ini merupakan penjabaran dari
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
- Kabarnya keberadaan Departemen Agama akan ditiadakan.
- Ia salah seorang kandidat pemimpin sebuah departemen pemerintahan di republik
ini.
- Siapa pernah membaca buku Kaif Nata‟amal ma‟a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah?
- Pelajaran Ilmu Falak untuk Sekolah Lanjutan.

7) Perbedaan penulisan antara kata depan dengan awalan di dan ke, serti partikel pun.
Perhatikan huruf yang ditulis miring.
- Letakkan barang ini di atas meja yang tinggi agar tidak dipegang-pegang oleh
adikmu!
- Semua persoalan harus segera diatasi.
- Ia pergi ke masjid untuk mencari kedamaian hati.
- Siapa nama gadis yang duduk di sampingmu itu ?
- Disamping sebagai guru, ia dikenal juga sebagai artis.
- Tidak seorang pun di tempat ini mampu melakukan hal itu.
- Walaupun hujan, acara tetap berlangsung.
- Sekalipun badannya besar, tetapi nyalinya kecil.
- Sekali pun aku tak pernah pergi bersamanya.

8) Penulisan kata gabung. Perhatikan huruf yang ditulis miring.


- Bus antarkota itu setiap hari sarat penumpang.
- Ayahnya seorang purnawirawan ABRI.
- Setiap kata yang dianggap penting perlu digarisbawahi.
- Kita harus menjadi remaja bertanggungjawab.
- Pertanggungjawaban yang dibacakan presiden kurang memuaskan rakyat.
- Semoga Yang Mahaesa mengabulkan doa Anda.

9) Penulisan kata bilangan. Perhatikan huruf yang yang ditulis miring.


- Peristiwa mengenaskan itu terjadi sekitar tahun 60-an.
- Uang lima ribuan kabarnya akan ditarik dari peredaran.
- Saya anak ke-2 dari tiga bersaudara.

72
- Pada abad kedua puluh inilah puncak kemorosotan moral.
- Lima puluh peserta akan meramaikan acara itu.
- Acara itu akan diramaikan oleh 50 peserta.

10) Penulisan kalimat dengan tanda baca koma, titik koma, dan titik dua. Perhatikan huruf
yang ditulis miring.
- Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
- Satu,dua,tiga,…mulai !
- Fakultas itu mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Tarjamah dan Sastra Arab.
- Malam makin larut, tetapi anakku belum juga pulang.
- Malam makin larut; anakku belum juga pulang.

11) Penulisan kata yang memerlukan tanda hubung (-). Perhatikan huruf yang ditulis
miring.
- … telah dikenal sebagai alat pertahan-an yang canggih.
- … telah dikenal sebagai alat perta-hanan yang canggih.
- … telah dikenal sebagai alat per-tahanan yang canggih.
- Pipinya yang kemerah-merahan itu sangat menggemaskan.
- Para gubernur se-Indonesia berkumpul di tempat itu mengada-kan pertemuan.
- KTP-nya hilang dua hari yang lalu.

12) Penulisan kalimat yang memerlukan tanda ellipsis (…). Perhatikan huruf yang ditulis
miring.
- Kalau begitu … baiklah saya maafkan kamu.
- Saya sudah mengerti bahwa …

13) Penulisan kalimat dengan arti khusus atau bermakna konotasi. Perhatikan huruf yang
ditulis miring.
- Analisisnya terhadap puisi ‗‘Doa‘‘ karya Chairil Anwar benar-benar „‟mendalam‟‟
- Jangan sampai kita „‟tercerabut‟‟ dari akar budaya sendiri.

b) Menilai Hasil Terjemahan


Menilai kualitas terjemahan merupakan salah satu aktivitas penting dalam penerjemahan.
Ada tiga alasan menilai kualitas terjemahan, yakni (1) melihat keakuratan; (2) mengukur
kejelasan; (3) menimbang kewajaran suatu terjemahan. Keakuratan berarti sejauh mana pesan
dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa.

73
Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami
dengan mudah oleh pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap pembaca Tsu sama dengan pesan yang
ditangkap oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikounikasikan dalam bentuk
yang lazim sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang
ditulis dalam Bsa. Karenanya, aspek yang dinilai adalah (1) pesan terjemahkan atau tidak; (2)
kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; dan (3) perhatian terhadap aspek teknis dalam kerja
penerjemahan seperti terkait dengan kaidah tata Bahasa dan ejaan. Berikut pedoman penilaian
menurut (Hidayatullah, 2017 :121) :

No. Kesalahan Pengurangan


Poin
1. Kalimat tidak diterjemahkan 10
2. Metode yang dipilih tidak sesuai dengan 9
peruntukan teks
3. Klausa tidak diterjemahkan 8
4. Terjemahan tidak sesuai topik 7
5. Padanan budaya tidak tepat 6
6. Nama diri, peristiwa sejarah, dan kata- 5
kata asing yang yang tidak tepat
7. Tata Bahasa yang tidak sesuai dengan 4
kaidah Bsa
8. Terjemahan frasa, idiom, atau makna 3
figurative tidak tepat
9. Diksi, konotasi, atau kolokasi tidak tepat 2
10. Kesalahan ejaan, penyingkatan, dan tanda 1
baca

Untuk menggunakan model penilaian tersebut, penilai harus memperhatikan tahapan


penilaian sebagai berikut.

1. Penilaian di atas digunakan untuk tiap 10 kalimat


2. Setiap 10 kalimat hasil terjemahan diberi skor awal 100 poin
3. Skor kesalahan dihitung sesuai dengan pedoman di atas
4. Jumalahkan semua skor kesalahan dalam setiap` 10 kalimat yang dinilai.
5. Skor awal (100 poin) tiap 10 kalimat kemudian dikurangi skor kesalahan

74
6. Hasil dari pengurangan tersebut, dijadikan nilai yang digunakan untuk mengelompokkan
apakah hasil terjemahan tersebut. Termasuk , terjemahan istimewa (90-100), sangat baik
(80-89), baik (70-79),sedang (60-69), kurang (50-59), atau buruk (0-49).
Untuk menilai hasil terjemahan yang lebih dari 10 kalimat., misal ada 50 kalimat yang
hendak dinilai kualitas terjemahannya. Lalu setelah dilakukan penilaian, masing-masing per 10
kalimat mendapat hasil 61,74,80,85. Setelah dijumlahkan, hasil keseluruhannya menjadi 378,
kemudian dibagi 5 (sesuai jumlah keseluruhan kalimat dibagi 10) sehingga nilai akhirnya adalah
75,6.

75

Anda mungkin juga menyukai