CJR Perspektif Global Nurul Khovifa
CJR Perspektif Global Nurul Khovifa
SKOR NILAI :
DISUSUN OLEH :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “CRITICAL JOURNAL REVIEW” ini dengan
tepat waktu. Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu pengampu
Bapak Husna Tambunan, S.Pd., M.Pd yang telah memberikan tugas laporan ini.
Harapan saya semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca serta untuk kedepannya saya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi laporan agar menjadi lebih baik lagi.
Nurul Khovifa
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Perspektif global adalah suatu pandangan, di mana guru dan murid secara bersama-
sama mengembangkan perspektif dan keterampilan untuk menyelidiki suatu yang berkaitan
dengan isu global. Yang dimaksud dengan isu global antara lain isu lingkungan, hak asasi
manusia, keadilan, studi tentang dunia, dan pengembangan pendidikan. Peserta didik harus
belajar tentang dirinya dan dunia. Dalam era globalisasi adalah era mengejar keunggulan dan
kualitas, sehingga masyarakat menjadi dinamis, aktif dan kreatif. Sebaliknya, globalisasi juga
bisa menjadi ancaman terhadap budaya bangsa. Globalisasi akan melahirkan budaya global dan
akan menjadi ancaman bagi budaya lokal, atau budaya bangsa. Rendahnya tingkat pendidikan
akan menjadi salah satu penyebab cepatnya masyarakat terseret oleh arus globalisasi dengan
menghilangkan identitas diri atau bangsa.
1
D. Identitas Jurnal Pembanding
1. Judul artikel : Pendidikan Dan Kearifan Lokal Era Perspektif Global
2. Jurnal : SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah
3. Penulis : Agus Susilo & Yadri Irwansyah
4. Tahun terbit 2019
5. Edisi : Vol. 1 No. 1
6. ISSN : 2623-2065
7. Alamat URL :http://ojs.stkippgri-lubuklinggau.ac.id/index.php/JS/index
2
BAB II
ANALISIS JURNAL
Masyarakat Indonesia yang dikenal dengan plural akan mudah mengalami gejolak dis-
itegrasi bila tidak ada kesepahaman nilai-nilai multikultur, salah satu contohnya adalah
banyaknya kerusuhan dan bentrokan antar warga di tengah gejolak masyarakat, jika tidak ada
solusi pencegahan akan berdampak pada bahayanya nilai-nilai kesatuan dan keutuhan bangsa
serta tegaknya NKRI. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis
yang begitu beragam dan luas (Ali, 2000).
3
Pendidikan multicultural adalah meningkatkan produktivitas karena tersedianya
berbagai sumber daya mental untuk menyelesaikan pendidikan tugas yang sama dan
mendorong pertumbuhan kognitif dan moral di antara semua orang. Pendidikan multikultural
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah secara kreatif melalui perspektif berbeda yang
diterapkan pada masalah yang sama untuk mencapai solusi. Pendidikan multikultural
meningkatkan hubungan positif melalui pencapaian tujuan bersama, rasa hormat, penghargaan,
dan komitmen terhadap kesetaraan di antara para intelektual di lembaga pendidikan tinggi.
Pendidikan multikultural mengurangi stereotip dan prasangka melalui kontak langsung dan
interaksi antar individu yang beragam. Pendidikan multikultural memperbaharui ketahanan
masyarakat melalui kekayaan budaya yang berbeda dari anggotanya dan mendorong
perkembangan pandangan dunia yang lebih luas dan canggih.
Sampai saat ini, pandangan utama pendidikan multikultural di dunia adalah asimilasi
atau perspektif “melting-pot” (McNergney et al., 2001) di mana budaya mikro diharapkan
melepaskan identitas budaya mereka untuk berbaur atau terserap. Oleh masyarakat arus utama
atau budaya makro (Bennett, 1986). Dalam perspektif asimilasi atau "melting-pot".
Pada pengembangan budaya bersama (shared cultures), anggota budaya mikro diterima
hanya setelah mereka melepaskan identitas asli, nilai-nilai, gaya perilaku, bahasa, dan gaya
komunikasi nonverbal mereka. Dalam perspektif asimilasi, kekhasan budaya lainnya dan
identifikasi dengan cara hidup yang berbeda dianggap tidak dapat diterima,rendah, dan
merupakan ancaman bagi persatuan bangsa.
Segala sesuatu yang mungkin adalah dilakukan oleh budaya populer untuk menekan
budaya lain dan kontribusi kelompok lain (Bennett, 1986). Menurut data Sensus di Amerika
Serikat, 2002, meskipun tujuan awal perspektif asimilasi atau “melting-pot” adalah untuk
menciptakan kesatuan melalui pengembangan budaya bersama karena setiap mikrokultur
diserap ke dalam makrokultur bersama, dalam kenyataannya menjadi lebih sulit untuk
mencapai demokrasi luas di antara mikrokultur karena budaya yang dihasilkan tidak
mencerminkan budaya dan keragaman dalam bangsa.
4
Mengapa Institusi Pendidikan Tinggi?
Menurut Waston dan Abdullah Aly (Waston, 2018) pendidikan yang ramah terhadap
keragaman menjadi semakin dibutuhkan dalam kondisi tersebut. Salah satu konsep yang paling
banyak diterima oleh masyarakat internasional adalah pendidikan multikultural. Model
pendidikan tersebut menjamin terwujudnya pencapaian optimal dalam pendidikan sehingga
5
setiap entitas dapat meraih prestasi sesuai upayanya. Pendidikan multikultural bahkan
menjanjikan kesetaraan dalam prosesnya sehingga setiap budaya dan agama tidak ada yang
mengalami diskriminasi, bahkan minoritas tidak akan terdesak oleh mayoritas. Hubungan di
antara populasi yang beragam di pendidikan tinggi ini sekarang lebih penting dari pada
sebelumnya. Institusi pendidikan tinggi telah menjadi model masyarakat di mana mereka
berada, dan dengan demikian telah menjadi pilar keunggulan akademik, model untuk
kompetensi multicultural dalam masyarakat, dan model untuk dunia yang saling bergantung,
serta model untuk kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi. Institusi Pendidikan Tinggi adalah
model keunggulan akademik.
B. Komentar
Sampai saat ini, pendidikan multikultural difokuskan terutama pada pedagogi
kesetaraan sebagai sarana untuk mengatasi masalah yang diciptakan oleh asimilasi atau
perspektif "melting-pot" dari pendidikan multikultural. Hari ini, dengan interkoneksi yang
meningkat pesat di antara semua negara-negara di dunia, terutama saat kita menghadapi isu-
isu global terkait isu lingkungan, nuklir senjata, terorisme, hak asasi manusia, dan sumber daya
nasional yang langka, ruang lingkup pendidikan multikultural harus diperluas untuk
memasukkan perspektif global. Institusi pendidikan tinggi adalah model bagi masyarakat dan
negara di mana mereka berada dan dapat berfungsi sebagai lokus untuk merangkul perspektif
global tentang pendidikan multikultural.
Empat prinsip dan dimensi interaktif dari perspektif global pendidikan multikultural
yangmemungkinkan perspektif global menjadi lebih berguna dalam mempromosikan nilai-
nilai inti kemanusiaan daripada dibanding perspektif “melting-pot” adalah kompetensi
multikultural, pedagogi kesetaraan, kurikulum ulang bentuk, dan pengajaran untuk keadilan
sosial. Institusi pendidikan tinggi memiliki perspektif global dalam pendidikan multikultural
tidak hanya akan menuai manfaat dari multikultural. Namun juga akan tetapi menjadi pilar
keunggulan akademik, model demokrasi masyarakat yang pluralisistik, dan daya tarik untuk
ekonomi internasional dan sumber daya manusia karena mereka hubungan manusia yang lebih
baik dalam bangsa mereka sendiri dan dengan negara-negara lain di hari ini dunia yang
semakin saling bergantung.
6
terhadap keragaman budaya, serta menghormati martabat manusia. Tujuan kedua adalah
mengembangkan beragam perspektif sejarah, tujuan selanjutnya adalah untuk memperkuat
kesadaran budaya dan memperkuat kompetensi antar budaya. Tujuan ketiga untuk memerangi
rasisme, seksisme, bentuk prasangka lainnya, diskriminasi. Terakhir adalah untuk untuk
meningkatkan kesadaran kondisi dan dinamika global.
Dalam Perspektif Global Mutu pendidikan dengan sendirinya akan tercermin dari mutu
sumber daya manusia, dimana sumber daya manusia kita pada umumnya masih rendah, berarti
mutu pendidikan saat ini mayoritas masih rendah. Pemahaman tentang perilaku siswa dalam
proses belajar merupakan yang sangat penting terutama bagi guru. Ada kecenderungan saat ini
untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan
mengetahuinya. Pembelajaran berorientasi pada penguasaan materi yang bertujuan memotivasi
siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi
tersebut dengan konnteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural)
sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan
(ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya (Daryanto &
Rahardjo, Muljo, 2012: 156).
Guru mengajar dan mendidik membaktikan profesinya untuk mengubah dirinya sendiri
dan hidup orang lain. Sebab apa hakikat pendidikan karakter, yaitu mengubah individu agar
7
tumbuh menjadi manusia yang semakin utuh. Melalui ajaran dan didikannya guru mengubah
anak didiknya menjadi manusia yang berkembang dan tumbuh sebagai manusia secara utuh
dan semakin baik, mengantar mereka ke sebuah masa depan yang penuh tantangan agar mereka
dapat terlibat secara aktif membentuk dan menata masyarakat menjadi lebih baik (Koesoema
A, Doni, 2015: 148).
Arti nilai itu sendiri yaitu sesuatu yang memiliki nilai guna (memiliki keindahan),
kebenaran atau kebaikan (Chotib, 2006: 153). Nilai juga memiliki arti lain yaitu kumpulan
sikap atau perasaan atau anggapan tentang sesuatu hal mengenai baik atau buruk,benar atau
salah, patut atau tidak patut, mulia atau hina, dan penting atau tidak penting. Nilai juga
dianggap sebagai sesuatu yang selalu diinginkan, dicitapcitakan, dan dianggap penting oleh
seluruh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kearifan itu sendiri merujuk pada sebuah nilai universal tentang keadilan sosial,
kesejahteraan masyarakat dan kelestraian sumberdaya penghidupan masyarakat yang
melandasi pola hubungan antar warga maupun dengan komunitas yang lain. Tidak disebut
kearifan bilamana yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, kerusakan
ekositem dan penindasan (Widjajaputra, 2008: 2-3). Dengan demikian hal tersebut menjadi
sangat penting untuk meninjau kembali keberadaan sistem lokal serta dinamika perubahannya
untuk dapat dikatakan sebagai suatu kearifan (Haris, 2010).
Kearifan Lokal terdapat dalam semua aspek kehidupan karena berasal dari unsur
budaya yang ada pada suatu daerah tertentu. Oleh karena itu, kearifan lokal dapat digunakan
sebagai solusi alternatif dalam menangani permasalahan kehidupan. Kearifan lokal yang
berasal dari unsur budaya daerah yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, yaitu
Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan model pendidikan yang memiliki
relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada
pemberdayaan ketrampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah, Dalam model
8
pendidikan ini, materi pembelajaran harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap
pemberdayaan hidup mereka secara nyata, berdasarkan realitas yang mereka hadapi.
Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan
hidup, minat, dan kondisi psikis peserta didik juga harus memerhatikan kendala-kendala
sosiologis dan kultural yang mereka hadapi. Dalam pembelajaran, harus ditanamkan pada
pikiran anak-anak, bahwa manusia tidak sekedar hidup (to live), namun juga bereksistensi
untuk berusaha mengatasi situasi serba terbatasnya.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik
untuk selalu dekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi sehari-hari. Model pendidikan
kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi
kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta
potensi pada setiap daerah. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media
untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari
potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu
daerah tertentu.
Oleh karena itu, pendidikan harus sedapat mungkin memberikan independensi kepada
peserta didik untuk menghargai dan mengembangkan potensinya. Mengenalkan kembali nilai-
nilai kearifan lokal di Sekolah-Sekolah setidaknya dapat terus menguatkan budaya lokal agar
tidak hilang dan ditinggalkan oleh masyarakat.
B. Komentar
Di era globalisasi saat ini, dengan maraknya produksi budaya asing yang bebas masuk
ke wilayah Indonesia dengan mudah mempengaruhi karakter anak bangsa, tentu perlu dicegah
keberadaannya. Dunia pendidikan juga terkena dampak globalisasi, anak bangsa lebih suka
yang instan, meninggalkan budaya lama yang dianggap sudah usang.
Keinginan untuk belajar budaya sendiri sangat berkurang, padahal ciri khas bangsa
Indonesia adalah keanekaragamannya di dunia. Karakter generasi muda yang sangat
memprihatinkan tentunya membutuhkan sebuah perhatian yang lebih untuk mengurangi
dampak negatif globalisasi. Untuk mengembangkan karakter anak bangsa tentunya
membutuhkan perjuangan dan kerjasama yang lebih erat. Pengenalan budaya lokal bagi
generasi muda sangat baik untuk mengenalkan sekaligus membentuk generasi muda lebih
mencintai budaya bangsanya sendiri.
9
BAB III
Ini semua membawa implikasi bagi dunia pendidikan, bahwa semua manusia
perlu saling belajar dan tidak membiarkan diri berfikir sempit dan terkotak-kotak.
Bagaimanapun, kesadaran baru tentang segala konsekuensi dan dampak globalisasi tidak
dapat tumbuh tanpa proses belajar yang konstruktif.
10
DAFTAR PUSTAKA
Agus Susilo, Y. I. (2019). PENDIDIKAN DAN KEARIFAN LOKAL ERA PERSPEKTIF GLOBAL.
SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, 1-11.
11
LAMPIRAN
A. Jurnal utama
12
13
14
B. Jurnal pembanding
15
16
17
18
19
20