Anda di halaman 1dari 7

A.

Faktor Berbahasa/ Komponen Peristiwa Tutur


Peristiwa tutur merupakan gejala yang bersifat sosial, serta dapat dikatakan
bahwa peristiwa tutur ini merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur. Chaer dan
Leonie Agustina (1995) dalam Purba (2011:87) mengemukakan, bahwa yang dimaksud
dengan peristiwa tutur (speechevent) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yakni petutur
dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat dan situasi tertentu, jadi,
interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu
tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah
peristiwa tutur.

Memperhatikan pengertian peristiwa tutur itu, terlihat bahwa salah satu


percakapan antara penutur dengan petutur yang dapat disebut peristiwa tutur, meliputi: (1)
ada partisipan (penutur dan petutur), (2) satu pokok tuturan, (3) harus dalam waktu
tertentu, (4) tempat tertentu, dan (5) situasi tertentu. Dengan demikian apabila ada
percakapan yang tidak memenuhi kelima kriteria itu, bukanlah suatu peristiwa tutur. Dell
Hymes, seorang pakar sosial linguistik mengemukakan delapan komponen itu
dirangkaikan menjadi sebuah akronim; SPEAKING", seperti yang dikutip oleh
Wardhaugh (1990) dalam Purba (2011: 88-90) berikut:

S = Setting and scence (waktu dan tempat serta situasi)

P = Participants (Partisipan)

E = Ends (Tujuan)

A = Act Sequence (Bentuk dan isi ujaran)

K Key (Cara atau nada)

I = Instrumentalites (Ragam bahasa)

N-Norm of interaction and interpretation (Norma atau aturan berinteraksi)

G Genre (Jenis atau bentuk penyajian)

Pada akronim itu huruf pertama yakni (S) menandakan setting and scence. Hal ini
berarti berkenaan dengan persoalan waktu, tempat dan situasi berlangsungnya tuturan.
Apabila kita mengadakan percakapan di pasar, ditempat suatu tempat pertunjukan atau
ditempat keramaian lainnya tentunya situasinya berbeda dengan mengadakan
pembicaraan pada suatu ruangan, seperti di kamar.
Huruf kedua pada akronim itu adalah (P) menandai participants. Hal ini
menunjukkan para penutur, siapa yang menjadi penutur dan petutur. Antara penutur dan
petutur, tentunya saling berinteraksi dan saling bertukar peran. Penutur sebagai pemberi
informasi, akan berganti menjadi petutur, dan petutur akan menjadi penutur, demikian
seterusnya silih berganti sampai pembicaraaan berakhir.

Kemudian huruf ketiga para akronim itu (E) yang menandai ends. Hal ini
menunjukkan pada persoalan maksud dan tujuan percakapan atau tuturan. Maksud dan
tujuan pertuturan ini, kadang-kadang tergantung pada masing- masing partisipan. Namun
demikian, dalam suatu percakapan bukan berarti secara total maksud dan tujuan
diadakannya pembicaraaan itu antara masing- masing partisipan berbeda-beda, tetapi
pasti ada maksud dan tujuan yang sama.

Selanjutnya pada huruf keempat akronim itu terlihat (A) yang menandai Aer
Sequence. Hal ini berarti apa isi ujaran ini berkaitan dengan topik ataupun persoalan apa
yang dibicarakan. Sedangkan bentuk ujaran itu mengacu pada diksi atau pilihan kata yang
digunakan.

Huruf kelima pada akronim itu adalah (K) yang menandai key. Hal ini berarti
bagaimana gaya dan penampilan para paritisipan dalam menuturkan. isi pembicaraan.
Apakah mereka menyampaikan secara santai serius atau tampak adanya ketegangan.

Selanjutnya huruf keenam pada akronim itu adalah (I) yaitu intrumentalites. Hal
ini menunjukkan ragam bahasa apa yang digunakan pada percakapan itu. Dengan kata
lain, kode ujaran yang bagaimana digunakan dalam percakapan atau pertuturan itu.
Apakah ragam maupun kode-kode ragam bahasa formal atau non-formal dan sebagainya.

Huruf ketujuh pada akronim itu adalah (N) yang menandai Norm of interaction
and interpretation. Hal ini berarti adanya norma ataupun aturan yang harus diperhatikan
dalam pertuturan. Bagiamana cara mengemukakan pendapat, menyangkal maupun
bertanya yang sopan sehingga tidak menyinggung perasaan petutur.

Kemudian huruf terakhir pada akrononim itu adalah (G), yakni gence. Hal ini
mengacu pada jenis bentuk penyampaian. Apakah bentuk bahasa dalam penyampaian isi
pokok pembicaraan dengan menggunakan bentukan narasi, eksposisi, deskripsi maupun
argumentasi. Bahkan, apakah berbentuk bahasa sastra seperti pantun, pepatah ataupun
melalui sebuah puisi.

Tata cara dalam bertutur mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di


masyarakat tutur (speech community). Di dalam masyarakat tutur terkandung pola-pola
kegiatan tutur yang juga menggambarkan kompetensi komunikatif seseorang. Tata cara
bertutur mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur dan gaya. Tata
cara bertutur antara budaya satu dengan budaya lain berbeda, bahkan pada aspek
mendasar sekalipun. Misalnya pada keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam
pembicaraan dengan orang tua, mereka tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua
apabila belum diminta atau diizinkan. Kalau toh si anak mempunyai kesempatan karena
ada waktu 'senjang', dia biasanya memulai ujarannya yang bernada minta izin, 'nuwun
sewu" (minta beribu maaf).

Peristiwa tutur senantiasa bersifat komunikatif dan diatur oleh kaidah untuk
penggunaan tutur. Peristiwa tutur terjadi dalam situasi tutur dan terdiri dari satu tindak
tutur atau lebih (Sumarsono (2002). Misalnya sebuah contoh yang dapat menjelaskan
kehadiran situasi tutur, peristiwa tutur da tindak tutur adalah sebuah pesta, sepertti pesta
perkawinan, atau pestaulang tahun. Dalam pesta (sebagai situasi tutur) terjadi percakapan
selama pesta berlangsung dengan siapa saja, topik apa saja, barangkali juga terdapat
lelucon di dalamnya (peristiwa tutur).

Selain itu Leech (1991) dalam Putrayasa (2014:94) menyebutkan bahwa ada lima
aspek tutur yang meliputi: (1) konteks, (2) penutur dan lawan tutur, (3) tujuan tuturan, (4)
tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak
verbal. Kelima aspek tutur tersebut akan dipaparkan di bawah ini.

1. Konteks Tuturan

Konteks tuturan linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau latar
sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Mey (Nadar, 2009 dan Cummings, 2005)
dalam Putrayasa (2014:94) mengemukakan bahwa konteks adalah situasi lingkungan
dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang
membuat ujaran mereka dapat dipahami. Sementara itu, Leech (1991) Putrayasa
(2014:94) mendefinisikan konteks sebagai latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh
penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai
apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu. Dengan demikian,
konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tutaran
ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan
tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan. Di dalam pragmatik
konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

2. Penutur dan Lawan Tutur


Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup pemulis dan pembaca bila
tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang
berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi,
jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Terkait dengan aspek tutur penutur dan
lawan tutur, Leech (1991) Putrayasa (2014:95) menegaskan bahwa lawan tutur atau
penutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus
dibedakan dari penerima tutur yang bias saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan
mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa.

3. Tujuan Tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh


maksud dan tujuan. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan
sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Lecch, 1991)
Putrayasa (2014:95). Dalam hubungan itu bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam
dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam
maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara
merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Bentuk-
bentuk tuturan "pagi", "selamat pagi", dan "met pagi" dapat digunakan untuk menyatakan
maksud yang sama, yakni menyapa lawan bicara yang dijumpai pada pagi hari. Selain itu,
selamat pagi dengan berbagai variasinya bila diucapkan dengan nada tertentu, dan situasi
yang berbeda-beda dapat pula digunakan untuk mengecek guru yang terlambat masuk
kelas, atau kolega yang terlambat datang ke pertemuan, dan sebagainya. Jadi, terdapat
perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan
pragmatik gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal,
setiap bentuk lingual yang berbeda bentuk memiliki makna yang berbeda.

4. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas

Putrayasa (2014:95) mengemukakan bahwa ila gramatika mengenai unsur- unsur


kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi
dalam studı semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani
bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan
sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat
pengutaraanya.

5. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal


Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan
dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang
dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat "Apakah
rambutmu terlalu panjang?" dapat ditafsirkan sebagai pernyataan atau perintah. Dalam
hubungan ini dapat ditegaskan terdapat perbedaan mendasar antara kalimat dengan
tuturan. Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasi
lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

Senada dengan pendapat Leech di atas, Gumperz dan Hymes (Nadar, 2009)
Putrayasa (2014:96) membuat akronim SPEAKING untuk menjelaskan aspek atau
komponen tutur dalam kajian sosiolinguistik, yaitu:

S = setting : tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk di dalamnya kondisi


psikologis dan kultural yang menyangkut pertuturan tersebut.

P = participants : menyangkut peserta tutur.

E = ends: menunjuk pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu situasi tutur.

A =acts of sequence: menunjuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan maupun
tertulis.

K =key : menunjukkan cara atau semangat pidato yang disampaikan.

instrumentalitas: menunjukkan penggunaan kaidah bahasa dalam tuturan.

N = norms, menunjuk pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

G = genre: menunjuk pada kategori tuturan yang dapat merupakan puisi, surat, artikel,
dan lain sebagainya.

Aspek tutur atau komponen tutur juga dijelaskan oleh Poedjosoedarmo (1985)
dalam Putrayasa (2014:96-97) dengan menggunakan teknik memo O, O, E SAYA INGIN
BERBICARA. Teknik memo dapat dijelaskan sebagai berikut.

01 = Orang ke-1, yang dimaksudkan di sini adalah pribadi penutur karena sedikit
banyaknya ujaran memang ditentukan oleh pribadi penutur. Seorang penutur
yang pemalu akan memiliki kebiasaan kebahasaan yang berbeda dengan seorang
pemberani. Latar belakang penutur meliputi: jenis kelamin, asal daerah, asal
golongan masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaannya

02 = Orang ke-2, yaitu lawan tutur orang ke-1. Faktor penting kedua yang menentukan
bentuk tutur keluar dari mulut seorang penutur ialah orang kedua, yaitu orang
yang diajak bicara oleh penutur itu. Yang perlu diperhatikan antara lain anggapan
Ol tentang seberapa tinggi tingkatan sosia orang kedua (O2) dan seberapa akrab
hubungan antara kedua orang tersebut. Anggapan terhadap keintiman relasi
antara O1 pada 02 akan menentukan corak bahasa yang dituturkannya.

E = Warna emosi Ol, yaitu suasana emosi Ol pada waktu yang bersangkutan hendak
bertutur. Warna emosi akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya, misalnya
seorang penutur yang gugup akan mengeluarkan tuturan-tuturan yang tidak
teratur, kurang jelas, dan kurang beraturan.

M= Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak Ol juga sangat


menentukan bentuk tuturannya. Misalnya, orang yang ingin meminjam uang
kepada seseorang akan cenderung menggunakan wacana yang strukturya berbelit-
belit.

A= Adanya 03 dan barang-barang lain di sekitar adegan percakapanSuatu tuturan


dapat berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila seseorang
tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur. Misalnya, karena alasan
mengikutsertakan 03 yang berasal dari luar pulau Jawa, Ol dan 02 yang semula
menggunakan bahasa Jawa beralih menggunakan bahasa Indonesia.

U= Urutan tutur. Orang pertama yang memulai suatu percakapan akan lebih bebas
menentukan bentuk tuturannya daripada lawan tuturnyaMisalnyaapabila Ol
menggunakan bahasa Indonesia, maka O2 akan menjawabnya dengan bahasa
Indonesia pula. Demikian pula apabila Ol menggunakan bahasa Jawa halus, maka
O2 juga akan menanggapi dengan bahasa Jawa halus, kecuali dalam situasi
percakapan tersebut O2 yakin status sosialnya lebih tinggi daripada 01.

B= Bab yang dibicarakan, pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan juga akan


mempengaruhi warna suasana bicara. Beberapa orang yang sedang
membicarakan masalah ilmiah, seperti sejarah, atau psikologi dan mereka berasal
dari berbagai daerah di Indonesia akan menggunakan Bahasa Indonesia.
Demikian juga misalnya percakapan mengenai kepercayaan, agama dan bab-bab
yang serius akan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa formal.

I= Instrumen atau sarana tuturSarana tutur seperti telegram, walkie talkie, telepon
juga mempengaruhi bentuk ujaran. Biasanya bahasa yang digunakan harus
ringkas, langsung pada pokok masalahnya.

C= Cita rasa tutur. Cita rasa bahasa juga mempengaruhi bentuk ragam tutur yang
dilontarkan. Kapan akan digunakan ragam bahasa santai, ragam bahasa formal,
dan ragam bahasa indah tentu bergantung pada berbagai faktor. Suasana
perkawinan yang megah tentu akan diisi berbagai pidato yang indah juga.
Sebaliknya, ragam bahasa santai tidak akan digunakan dalam situasi yang serba
tergesa-gesa atau pada saat penuturnya diburu waktu.

A= Adegan tutur, yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat, waktu, dan
peristiwa tutur. Percakapan yang dilakukan di masjid, gereja, kelenteng, atau
tempat ibadah lain akan berbeda dengan percakapan yang dilakukan di pasar.

R= Register khusus atau bentuk wacana atau genre tuturBentuk wacana seperti pidato
akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, misalnya dimulai dengan
sapaan, salam, introduksi, isi pidato, dan penutup.

A= Aturan atau norma kebahasaan lain. Aturan kebahasan atau norma akan
mempengaruhi bentuk tu-mturan. Ada sejumlah norma yang harus dipenuhi,
misalnya kejelasan dalam bicara. Di samping itu juga, terdapat aturan yang berisi
anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur, dan lain-lain yang bersifat
pribadi. Keberadann norma dan aturan tersebut akan menentukan bentuk ujaran.

Anda mungkin juga menyukai