Chapter 2
Chapter 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Halusinasi
1. Pengertian
Gangguan persepsi sensori adalah perubahan persepsi terhadap
stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon
yang berkurang, berlebihan atau terdistorsi (SDKI, 2017) Halusinasi
merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien merasakan suatu
stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami perubahan
sensori persepsi: merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penciuman (Sutejo, 2017)
Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa
stimulus ekstren atau persepsi palsu. (Prabowo, 2014).
2. Etiologi Halusinasi
Menurut Yosep (2014) terdapat dua faktor penyebab terjadinya
halusinasi, yaitu:
a. Faktor presdisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak
mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri,
dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi
sehingga akan merasa disingkirkan, kesepian, tidak percaya
pada lingkungannya, konflik sosial budaya, kegagalan, dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2
3) Faktor Biokimia
Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di
dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat
halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya
terjadi ketidakseimbangan acetylchoin dan dopamine.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan klien mengambil keputusan
tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia . Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangatberpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock (dalam Yosep, 2014) dalam
hakekatnya seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas
dasar unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi. Halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup menentang sehingga klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3
3) Dimensi Intelektual
Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan
fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan,namun
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku
klien.
4) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial di dalam fase awal
dan comforting menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat
membahayakan. Klien halusinasi lebih asyik dengan
halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk bersosialisasi.
5) Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, dan hilangnya aktivitas
beribadah. Klien halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya.
e. Haluinasi perabaan
1) Data objektif: menggaruk-garuk permukaan kulit
2) Data Subjektif: menyatakan ada serangga di permukaan kulit,
atau merasa tersengat listrik
6. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya. Menurut Kusumawati & Hatono (2014) membagi fase
halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasi klien, semakin berat mengalami ansietas dan makin
dikendalikan oleh halusinasinya.
a. Fase Comforting
1) Pada tahap ini pasien mengalami ansietas tingkat sedang, secara
umum halusinasi bersifat menyenangkan.
2) Karakteristik: Klien mengalami keadaan emosi seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, dan takut, serta mencoba untuk
berfokus pada penenangan pikiran untuk mengurangi ansietas.
Individu mengetahui bahwa pikiran dan pengalaman sensori
yang dialaminya tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya
bisa diatasi (Non psikotik).
3) Perilaku pasien: Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa menimbulkan suara, pergerakan
mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan dipenuhi
oleh sesuatu yang mengasyikan.
b. Fase Condemning
1) Pada tahap ini pasien mengalami ansietas tingkat berat,
secara umum halusinasi menjadi menjijikkan.
2) Karakterisitik: Pengalaman sensori bersifat menjijikkan dan
menakutkan, klien mulai lepas kendali dan mungkin
mencoba untuk menjauhkan dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin merasa malu karena
7
c. Waktu Halusinasi
Data ini didapatkan melalui wawacara dengan tujuan untuk
mengetahui kapan saja halusinasi tersebut muncul.
d. Frekuensi Halusinasi
Data ini didapatkan melalui wawacara dengan tujuan untuk
mengetahui seberapa sering halusinasi tersebut muncul pada klien.
e. Respon terhadap Halusinasi
Data ini didapatkan melalui wawacara dengan tujuan untuk
mengetahui respon dari klien saat mengalami halusinasi.
2. Diagnosis Keperawatan
Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
adalah menetapkan diagnosis keperawatan. Menurut Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) diagnosa keperawatan gangguan
persepsi sensori halusinasi dapat ditetapkan jika terdapat gejala dan
tanda seperti:
a. Gejala dan tanda mayor
1) Secara subjektif adalah mendengar suara bisikan atau melihat
bayangan, merasakan sesuatu melalui panca indera perabaan,
penciuman, atau pengecapan sedangkan
2) Secara objektif adalah respon tidak sesuai, bersikap seolah
melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu.
b. Tanda dan gejala minor
1) Secara subjektif adalah menyatakan kesal
2) Secara objektif adalah menyendiri, melamun, konsentrasi
buruk, disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi, curiga,
melihat ke satu arah, mondar mandir, bicara sendiri.
Menurut Yosep (2014) diagnosis keperawatan yang muncul pada
klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
adalah:
a. Risiko perilaku kekerasan
b. Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi
c. Isolasi Sosial
10
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan rencana tindakan yang akan
diberikan kepada klien sesuai dengan kebutuhan berdasarkan diagnosis
keperawatan yang muncul. Rencana tindakan keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan masalah utama gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran meliputi tujuan yang ingin dicapai dan
rencana tindakan, dengan mengacu pada Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI, 2019) dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI, 2018).
11
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan yang
disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah disusun
berdasarkan SIKI (2018). Menurut Stuart (dalam Suhermi, 2021)
intervensi yang diberikan pada pasien halusinasi bertujuan menolong
mereka meningkatkan kesadaran tentang gejala yang mereka alami dan
16
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah suatu proses dalam keperawatan
untuk menilai hasil dari implementasi keperawatan. Menurut Keliat
(2016) evaluasi keperawatan diperoleh dengan cara wawancara
ataupun melihat respon subjektif atau objektif klien. Evaluasi terbagi
atas dua jenis, yaitu:
a. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan
dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna
menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang
dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan
klien), objektif (data hasilpemeriksaan), analisa data (perbandingan
data dengan teori), dan Planning (perencanaan).
b. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi
sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digunakan
pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir
layanan, menanyakan respon pasien dan keluarga terkait layanan
keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
C. Web Of Causation (WOC)