Anda di halaman 1dari 15

UKHUWAH DAN KHITTAH NU

MAKALAH

Dosen Pengampu :
Mahdy Ashiddieq, M.AG

Disusun Oleh :
1. Muhammad Fahruq A. (3230023017)
2. Rakuty Ardan P. (3230023019)
3. Risky Akbar (3230023031)
4. Muhammad Idrus Hasni (3230023060)
5. Hidayat Jati (3230023061)
6. Muhammad Dimyati (3230023062)

PRODI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN TEKNOLOGI DIGITAL
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, atas karunia taufik dan hidayah-Nya yang tak ternilai besarnya,
sehingga makalah “Ukhuwah dan Khittah NU” dapat diselesaikan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini supaya bermanfaat. Dengan segala upaya
yang telah kami usahakan makalah ini kami susun dengan maksimal. Garis besardari
makalah ini yaitu Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah (organisasi
Keagamaan) wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab
1344 H/31 Januari 1926 M di Surabaya.
Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
memberi masukan sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Meski penulis
telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup kemungkinan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian. Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat
menambah referensi keilmuan masyarakat.

Surabaya, 05 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI
UKHUWAH DAN KHITTAH NU ......................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3 Tujuan.......................................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................... 2
2.1 Konsep Ukhuwah ........................................................................................ 2
2.2 Macam-Macam Ukhuwwah ........................................................................ 2
2.3 Konsep Khittah ............................................................................................ 4
2.4 Latar Belakang dan Butir - Butir Khittah NU ............................................. 6
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................ 11
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 11
3.2 Saran .......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi
para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926
M di Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya
dapat memenuhi kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat. NU didirikan dengan
tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama'ah dengan menganut salah satu dari empat
madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi'i, serta mempersatukan langkah Ulama
dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan ikut
membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas,
terampil berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita
dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang di dasar oleh dasar dasar faham
keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut
sebagai khittah Nahdlatul Ulama. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926
merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham
kenegaraannya, dan lain-lain.Dalam hal ini penulis akan membahas tentang
Ukhuwah NU dan Khittah NU (Almeida et al., 2016).

1.2 Rumusan Masalah


(1) Bagaimana konsep ukhuwah dalam islam?
(2) Apa saja macam-macam ukhuwah?
(3) Bagaimana konsep khittah dalam islam?
(4) Bagaimana latar belakang dan butir butir khittah NU?

1.3 Tujuan
(1) Untuk mengetahui konsep ukhuwah dalam islam;
(2) Untuk mengetahui macam-macam ukhuwah;
(3) Untuk mengetahui konsep khittah dalam islam;
(4) Untuk mengetahui latar belakang dan butir-butir khittah NU.

1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Ukhuwah
Ukhuwwah biasa diartikan sebagai “persaudaraan‟. Dimana kata ini terambil
dari akar kata yang pada mula nya berarti “memperhatikan‟. Maknia asal ini
memberikan kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian dari
semua pihak yang merasa bersaudara. Asal kata Ukhuwwah adalah akh, yang
artinya dua orang yang bersaudara baik seayah seibu, salah satu diantara keduanya
atau karena susuan. Kata ini juga digunakan untuk orang-orang yang sama
(menyatu) dalam segi ras, agama, karakter, persahabatan, jalinan cinta dan lain-
lain.
Sedangkan pengertian ukhuwwah Menurut Prof. M. Quraish Shihab, dalam
bukunya membumikan al-Qurân fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat mengatakan bahwa: ukhuwwah padamulanya berarti “persamaan dan
keserasian dalam banyak hal”. Oleh karenya, persamaan dalam keturunan
mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat juga mengakibatkan
persaudaraan. Semakin banyak persamaan akan semakin erat pula hubungan
persaudaraan yang tumbuh dihati mereka. Oleh karenanya kesamaan merupakan
faktor penunjang lahirnya persaudaraan, seperti: persamaan dalam rasa dan cita
merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan
yang hakiki, dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita
saudara yang lainnya. Sehingga unsur rela berkorban demi orang lain, ringan tangan
untuk saling menolong tanpa dasar mengambil keuntungan sementara atau meminta
sesuatu imbalan atau balasan dan lain-lain (Ali Mursyid Azisi & Agoes Moh.
Moefad, 2022).

2.2 Macam-Macam Ukhuwwah


Ada perilaku yang harus dijalankan demi terciptanya suasana Ukhuwwah
Islamiyah, Insaniyah dan wathaniyah, yaitu:
1. Ukhuwwah Islamiyah
Merasa dan mengakui bahwa sesama muslim diseluruh belahan dunia
adalah saudara yang patut kita lindungi, kita perjuangkan hak mereka atas
islam jika berada pada negara yang sedang berperang serta mendoakan mereka
untuk kebaikan. Inilah tahapan tahapan berharga dalam Ukhuwah islamiyah:
1) Ta’awun yaitu rasa saling tolong menolong antar umat beragama karena
Allah.
2) Tafahum yaitu rasa saling memahami bahwa tidak ada satu manusiapun
yang bisa lolos dari kekurangan dan kesalahan.
3) Taaruf yaitu yaitu rasa ingin mengenal orang lain dengan maksud
memperbanyak persaudaraan.

2
4) Takaful yaitu saling bersatu dalam suka maupun duka serta besama sama
menyelesaikan segala permasalahan dengan rasa kasih sayang dan rasa
saling menghargai pendapat yang berbeda.
Ukhuwah islamiah sering kali juga dijadikan rujukan ayat Alquran,
“Sesungguhnya orang -orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS al-Hujurat/49:10).
Jumhur ulama mengatakan yang dimaksud kata al- mu‟minun dalam ayat
di atas ialah orang-orang Islam, yang mengimani Allah SWT sebagai Tuhan
Yang Maha Esa dan maha kuasa meskipun ada juga ulama mengatakan kata al-
mu‟minun dalam ayat itu menunjuk kepada orang-orang yang memiliki
keimanan kepada Tuhan. Soal imannya benar atau sesat atau setengah sesat, itu
urusannya dengan Allah SWT dan tentunya bagian dari garapan para mubalig
untuk membenarkan keimanan mereka dengan cara-cara yang dituntunkan
Allah SWT. Sebagai sesama umat Islam, segala bentuk usaha yang bisa
menyebabkan perpecahan harus dihindari. Salah satunya ialah fitnah dan dan
kecurigaan satu sama lain. Nabi menegaskan, “Jauhilah prasangka buruk karena
prasangka buruk adalah pembicaraan yang paling dusta.” (HR Bukhari). Dalam
redaksi lain dikatakan, “Jauhilah prasangka karena prasangka itu ucapan yang
paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, juga janganlah
saling mendengki, membenci, atau memusuhi. Jadilah kalian hamba-hamba
Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari).
2. Ukhuwah Insaniyah
Insan berarti manusia. Maka, ukhuwah insâniyah merupakan persaudaraan
yang cakupannya lebih luas, yaitu antarsesama umat manusia di seluruh dunia.
Salah satu ayat yang menjadi dasar ukhuwah insaniyah adalah surat al-Hujurat
ayat 11. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu
kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-
olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-
wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat,
maka mereka itulah orang- orang yang zalim”. Ayat ini menekankan bahwa
setiap manusia hendaknya tidak saling berburuk sangka dan membenci untuk
memantapkan solidaritas kemanusiaan (Sugiarto, 2016).
3. Ukhuwwah Wathaniyah
Saling Menjaga kerukunan antar umat beragama dan membudidayakan rasa
saling membutuhkan, saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada
didalam negara kesatuan republik indonesia serta bersama sama menjunjung
tinggi martabat bangsa dimata bangsa lain. Tetapi saat ini keberadaan ukhuwah

3
didalam kehidupan nasionalime bangsa indonesia masih jauh dari harapan.
merasa diri adalah yang paling benar selalu ada pada setiap individu dan tidak
memperdulikan rasa kebersamaan ironisnya mereka sudah tahu tentang
ukhuwah dan kaidah islam yang mewajibkan untuk memupuk rasa kasih
sayang dan saling peduli dengan orang lain. Mereka tetap mengabaikan dan
tidak melakukan norma norma kebaikan yang ada pada Ukhuwah islamiyah,
insaniyah dan Wathaniyah Jika ini terus berlanjut dalam jangka panjang
Indonesia bisa mengalami krisis ukhuwah yang bisa saja menjadi bahan
tertawaan oleh bangsa lain.
Tatkala Al-Quran mengisahkan tentang dialog para Rasul terdahulu dengan
kaumya, Al-Quran seringkali membahasakan dengan menggunakan "idz qâla
lahum akhûhum" (saat saudara mereka berkata kepada mereka). Narasi ini
dapat kita temui ada di banyak tempat ayat Al-Quran. Misalnya adalah QS Al-
Syu‟ara [26] ayat 105 - 106. Allah SWT berfirman: "Kaum Nuh telah
mendustakan para Rasul. Ketika saudara mereka (Nabi Nuh )berkata kepada
mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa?" (QS Al-Syu'arâ [26] : 105-106).
Di dalam Surat yang sama, ayat 141-142, Allah SWT juga berfirman"Kaum
Tsamüd telah mendustakan para Rasul. Ketika saudara mereka (Nabi Shalih)
berkata kepada mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa?" (QS Al-Syu'arâ [26]
: 141-142) "Ketika saudara mereka (Lüth) berkata kepada mereka: Mengapa
kalian tidak bertakwa? Sungguh aku adalah seorang Rasul (yang diutus)
kepada kalian yang bisa dipercaya." (QS Al-Syu'arâ [26] : 161-162) Kondisi
yang tergambar dari ayat ini adalah ada dua representasi insan. Yang satu
beriman dan yang satu berbuat ingkar/tidak beriman. Kaum yang berman
diwakili oleh para nabi dan rasul yang bersangkutan, sementara kaum yang
tidak beriman diwakili oleh kaumnya. Lagi-lagi, Al- Qur‟an membahasakan
relasi antara kedua kaum ini sebagai akhun yang berarti saudara. Nabi Nuh,
Nabi Shalih dan Nabi Luth, ketiganya diutus untuk kaum mereka sendiri, yang
setanah air. Ini menandakan bahwa Al- Qur‟an mengakui eksistensi ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan atas nama sebangsa dan setanah air.

2.3 Konsep Khittah


Nahdlatul Ulama didirikan sebagai jamiyyah diniyah ijtima’iyyah (organisasi
keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para
pengikutnya. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sudah barang tentu NU
memiliki aturan main dan pegangan bagi para pengurus dan warganya. NU
didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dengan
menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali serta
mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan-
kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat, kemajuan bangsa
dan ketinggian harkat dan martabat manusia.

4
Dengan demikian NU merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk
ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada
Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU
bergerak mewujudkan cita-cita dan tujuanya melalui serangkaian ikhtiyar yang
didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU.
Inilah yang kemudian dirumuskan sebuah landasan berfikir bagi warga NU yang
tertuang dalam Khittah Nahdlatul Ulama Yaitu garis pendirian, perjuangan dan
kepribadian Nahdlatul Ulama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat kata Khittah yang berarti cita-
cita, langkah, rencana, tujuan dasar, garis haluan, landasan perjuangan dan
kebijakan.Namun dalam perkembanganya kata khittah telah umum dipakai tidak
hanya di kalangan warga NU. Penggunaan kata ini, maknanya mengacu pada
prinsip, dasar-dasar atau landasan pokok. Kemudian disebut oleh KH. Muchit
Muzadi dalam bukunya Mengenal Nahdlatul Ulama kata Khittah artinya garis-garis
yang diikuti, garis yang bisa ditempuh, garis yang selalu ditempuh. Dalam
kaitannya dengan Nahdlatul Ulama, kata Khittah berarti garis-garis pendirian,
perjuangan dan kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan
urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan
maupun berorganisasi.
Materi landasan atau garis-garis termaksud (khittah) adalah paham Islam
Ahlussunnah wal Jamaah yang diterapkan menurut kondisi Masyarakat di
Indonesia. Meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Disebut
juga oleh A. Chumaidi Umar dalam Ke-NU-an aswaja bahwa khittah Nahdlatul
Ulama atau khittah Nahdliyyah adalah garis-garis besar perjuangan Nahdlatul
Ulama dan sekaligus juga pedoman amaliyah kaum nahdliyin sebagai penerapan
ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Khittah sesungguhnya merupakan wawasan,
penghayatan dan pola penerapan ajaran Islam yang sudah membudaya dikalangan
para ulama Ahlussunnah dan para pengikutnya di Indonesia. Ketika para ulama
mendirikan jam’iyyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama, maka wawasan,
penghayatan dan pola penerapan ini dituangkan menjadi khittah bagi jam’iyyah
Nahdlatul Ulama.
Perumusan khittah secara sederhana hanya ada dalam Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan mungkin pada ketentuan lainya. Karena pada kurun
waktu pertama itu, khittah yang belum terumuskan secara tertulis itu masih dihayati
sepenuhnya dan diamalkan oleh para pemimpin Nahdlatul Ulama dan semua kader,
sehingga perjalanan NU dan semua warga Nahdliyyin tetap berada pada garis
khittah.
Jika ingin memahami khittah NU, hakekatnya memang tidak cukup difahami
hanya dengan membaca AD/ART NU dan berbagai dokumen-dokumen yang
terkait, karena pada hakekatnya khittah NU tumbuh berangsur-angsur dengan
proses yang lama dan panjang.8 Hal ini yang mendorong para tokoh ulama NU
untuk merumuskan kembali Khittah NU pada muktamar ke 27 di Situbondo para

5
ulama resmi merumuskan Khittah Nahdlatul ulama secara tertulis. Sesuai dengan
hasil Muktamar NU ke-27 No.02/MNU-27/1984 di Situbondo, Khittah NU 1926
dapat diartikan dan dijelaskan sebagai berikut:
A. Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap danbertindak
warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
B. Landasan tersebut adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang diterapkan
menurut kondisi masyarakat di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.
C. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa
ke masa.
Diungkapkan pula oleh KH. Abdul Muchit Muzadi bahwa dalam mempelajari
apa dan bagaimana NU seringkali terpengaruh oleh penglihatan dan pengamatan
yang sepotong-potong tentang NU, menurut kemampuan yang berbeda-beda.
Masing-masing merasa apa yang dilihatnya sebagai hal yang paling penting.10
Untuk itu, keberadaan, peran, dan fungsi khittah NU dirasa sangat penting untuk
kembali dihayati dan diamalkan, agar nantinya warga NU tetap menjadi generasi
yang sesuai dengan garis pokok ajaran dan memiliki karakteristik yang khas.
Dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa Khittah NU adalah landasan
berfikir, pedoman bersikap dan tingkah laku warga NU dalam setiap indakan
maupun pengambilan keputusan baik secara individu maupun dalam organisasi.
Maka dari itu, pedoman ini sangat penting menjadi pegangan bagi warga NU dan
hendaknya tetap dipahami, dipelajari dan diamalkan agar generasi NU memiliki
karakter yang mulia dan khas sesuai dengan jati diri Nahdlatul Ulama.

2.4 Latar Belakang dan Butir - Butir Khittah NU


Nahdlatul Ulama sebagai organisasi (jam’iyyah) didirikan pada 31 Januari
1926. Sebagai komunitas (jama’ah), NU telah hidup di Nusantara selama ratusan
tahun sebelumnya dalam bentuk faham Ahlussunnah wal Jama’ah. NU didirikan
oleh para ulama pesantren di Jawa yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH. M.
Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan banyak kiai lain. Tujuan NU
adalah untuk mengembangkan Islam berdasar ajaran empat madzhab, sama sekali
tidak bernuansa politik (Rosyadin et al., 2019).
NU mulai terlibat dalam organisasi yang bernuansa politik saat tergabung
dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diwakili oleh KH. A Wahid
Hasyim. Selanjutnya NU terlibat dalam Shumubu (semacam Kantor Urusan Agama
dibawah pemerintah Jepang) yang juga diwakili oleh Kiai Wahid sebagai Ketua
Harian, sedang Ketuanya adalah Hadratussyaikh. Selanjutnya NU terlibat dalam
proses penyusunan UUD 1945 yang diwakili oleh Kiai Wahid dan tokoh-tokoh lain.
Dalam kabinet pertama RI, NU diwakili oleh Kiai Wahid.
Menjadi Partai NU Awal perjalanan politik praktis NU dimulai pada November
1945 ketika bersama ormas Islam lainnya mendirikan Partai Masyumi (Majelis

6
Syuro Muslimin Indonesia). NU menjadi anggota istimewa dan mendapat
kedudukan Ketua Majelis Syuro yang dijabat oleh Hadratussyaikh. Pada 1947
tokoh-tokoh Syarikat Islam mendirikan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Saat
itu NU belum mempunyai tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi menteri,
sehingga hanya posisi menteri agama yang dapat diharapkan oleh tokoh NU.
Ternyata tidak sselamanya posisi itu diisi oleh tokoh NU. Setelah Hadratussyaikh
wafat pada 1947, maka wewenang Majelis Syuro tidak sekuat seperti sebelumnya.
Berdasar antara lain dua hal itu, maka tokoh-tokoh NU merasa lebih baik ormas NU
keluar dari partai Masyumi dan mendirikan Partai NU. Muktamar Palembang 1952
memutuskan berdirinya Partai NU. Diluar dugaan banyak orang, Partai NU keluar
menjadi pemenang ke tiga pemilu 1955 dengan memperoleh suara 18,4% atau 45
kursi. Peristiwa G30S/PKI pada September 1965 membuat perubahan mendasar
dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. NU dan Orde Baru bekerja sama
tetapi hanya berjalan beberapa tahun. Dalam pemilu 1971 juru kampanye NU di
banyak tempat mendapat hambatan luar biasa dari TNI dan Polri. Hal itu dilakukan
karena Partai NU masih memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Walau
demikian, perolehan suara Partai NU tetap bertahan pada angka 18,4%.
Pada awal 1973 Partai NU harus bergabung dengan Parmusi, PSII dan Perti
menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di dalam PPP, walaupun suara NU
paling banyak, tetapi Parmusi lebih berperan karena mendapat dukungan
Pemerintah. Parmusi mendapat 6,3%. PSII mendapat 2,3% dan Perti mendapat
0,7%. Dengan dukungan pejabat Pemerintah, maka pimpinan PPP menggeser
hampir 30 tokoh terkemuka NU dari posisi calon terpilih PPP pada pemilu 1982.
Kembali ke Khittah Peristiwa di atas tentu mengecewakan NU dan memicu
munculnya gagasan untuk meninjau kembali keberadaan NU di dalam PPP.
Sebenarnya keinginan untuk meninggalkan politik praktis itu sudah lama muncul
di antara sejumlah tokoh NU, tetapi tidak mendapat dukungan terlalu besar,
misalnya pada Muktamar 1967, Muktamar 1971 dan Muktamar 1979. Tetapi
ketidakberdayaan NU di dalam PPP menghadapi tokoh-tokoh Parmusi yang
didukung Pemerintah ketika menghadapi pemilu 1982, memperkuat keinginan
untuk mengembalikan NU menjadi ormas keagamaan.
Selain itu ada faktor lain yang memperkuat keinginan untuk melepaskan diri
dari kegiatan politik praktis, yaitu fakta bahwa banyak aktivis NU di dalam
Kementerian Agama dan lembaga pemerintah lainnya harus memilih antara
menjadi aktivis NU atau menjadi PNS. Selain itu juga terdapat fakta bahwa karena
organisasi NU lebih fokus pada kegiatan politik, maka perhatian organisasi NU
terhadapa amal usaha seperti pendidikan, amal sosial, kesehatan dan ekonomi
menjadi terabaikan.
Pada Mei 1983, 24 Kader NU menggelar pertemuan bersejarah di Jakarta.
Mereka memulai pembahasan untuk merumuskan Khittah NU 1926 yang akan
diajukan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo. Dari 24 kader NU itu terdapat
nama Kiai Sahal Mahfudz, Gus Dur, Gus Mus, Mahbub Djunaidi, Tolhah Hasan,

7
Zamroni. Kemudian “Majelis 24” itu membentuk Tim 7 yang terdiri dari Gus Dur
(Ketua), Zamroni (Wakil Ketua), Said Budairy (Sekretaris), Mahbub Djunaidi,
Fahmi Saifuddin, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagja. Dalam Muktamar NU di
Situbondo ditetapkan Keputusan Muktamar XXVII NU tentang Khittah NU.
Khittah NU terdiri dari 9 butir:
A. Mukaddimah
B. Pengertian
C. Dasar-dasar Faham Keagamaan NU
D. Sikap Kemasyarakatan NU
E. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan
F. Beberapa Ikhtiyar
G. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama
H. NU dan Kehidupan Bernegara
I. Khotimah
Dalam butir Pengertian dijelaskan bahwa:
A. Khittah NU adalah landasar berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang
harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta
dalam setiap proses pengambilan keputusan.
B. Landasan tersebut adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan
menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia meliputi dasar-dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.
C. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa
ke masa.
Dari sekian banyak kandungan Khittah NU, tampaknya yang menjadi perhatian
masyarakat ialah butir 8 tentang NU dan kehidupan Bernegara. Di dalamnya
terkandung banyak alinea, tetapi fokus masyarakat hanya pada alinea kelima yang
isinya adalah: “NU sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga NU
adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh
undang-undang”. Awal Perubahan Ketika Pemerintah pada 1998 membuka lebar-
lebar pintu untuk mendirikan partai, spontan minat berpolitik warga NU tumbuh
kembali. Banyak yang mengusulkan supaya PBNU membentuk parpol. PBNU
menanggapi dengan hati-hati mengingat adanya ketentuan di Khittah NU. Tetapi
melihat besarnya tuntutan kepada PBNU, maka akhirnya lima tokoh NU yaitu KH
Munasir Ali, KH Muchith Muzadi, KH Ilyas Ruchyat, KH Abdurrahman Wahid
dan KH Musthofa Bisri mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Keterlibatan tokoh NU dalam mendirikan PKB membuat pemaknaan terhadap
Khittah NU mulai berubah.
Selain di dalam PKB, banyak warga dan tokoh NU yang aktif dalam berbagai
partai yaitu PPP, PNU (Partai Nadlatul Umat), PKU (Partai Kebangkitan Umat),
dan Partai SUNI. PKB memperoleh 12,61% suara, PPP meperoleh 10,71%. PNU,
PKU, dan Partai SUNI memperoleh suara kecil. Selain itu banyak warga NU

8
memilih Partai Golkar. Diperkirakan jumlah suara warga NU di dalam pemilu 1999
dari berbagai partai termasuk Golkar melebihi jumlah suara Partai NU pada pemilu
1955 dan 1971.
Pada saat menjadi cawapres mendampingi Megawati pada 2004, sesuai dengan
ketentuan yang ada maka Kiai Hasyim Muzadi harus non aktif. Gus Dur
menganggap Kiai Hasyim menjadi cawapres dengan memanfaatkan posisi sebagai
Ketua Umum PBNU. Gus Dur ingin supaya Kiai Hasyim mundur dari posisi Ketua
Umum PBNU. Kiai Hasyim menjadi cawapres atas desakan dari banyak PWNU
dan PCNU aktif mendukung tetapi dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka.
Untuk kepentingan bangsa dalam sambutan pada peringatan Hari Lahir Muslimat
NU ke 73 (Januari 2019) di Stadion Utama Senayan, Ketua Umum PBNU Kiai Said
Aqil Siroj menyatakan bahwa dalam pemilu 2019, NU harus menang. Seorang
penyiar TV saat itu langsung berkomentar, NU tidak ikut pemilu kok harus menang.
Kiai Said dalam pidato di depan makam Bung Karno disaksikan Megawati,
menyatakan bahwa warga NU harus memenangkan Saifullah Yusuf supaya bisa
menjadi gubernur Jatim. Dari dua contoh di atas, terlihat bahwa Ketua Umum sudah
terlibat langsung dan terbuka dalam politik praktis. Hal yang sama juga dilakukan
tokoh NU lainnya seperti Ketua Wilayah PWNU Jatim.
Sebaliknya dalam pidato terkait ulang tahun TV One (Februari 2019), Kiai Said
menyatakan bahwa pollitik NU adalah politik kebangsaan bukan politik kekuasaan.
Menurut saya terlihat adanya kontradiksi antara kedua pernyataan itu. Mungkin
menurut Kiai Said kedua pernyataan itu tidak bertentangan. Artinya terdapat
perbedaan tafsir terhadap Khittah NU antara tokoh NU kultural dengan tokoh
struktural. Perbedaan tafsir itu tentu membuat masyarakat bertanya mana yang
benar dan harus dicari titik temunya melalui musyawarah. Hal itu bisa dilakukan
setelah selesai pilpres.
Saya membaca berita bahwa Kiai Marzuki Mustamar Ketua PWNU Jatim
menyatakan bahwa majunya Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapres bukanlah dengan
tujuan meraih kekuasaan tetapi dengan tujuan untuk kepentingan bangsa. Sebuah
video yang saya terima melalui WA, berisi pidato Kiai Marzuki yang menyatakan
bahwa karena paslon no 02 berkolaborasi dengan pihak yang memusuhi NU dan
membenci NU serta menganggap RI negara kafir dan anti Pancasila, maka warga
NU harus memilih paslon no 01. Kita memahami bahwa memang diantara
pendukung paslon 02 terdapat HTI dan kelompok lain yang menganggap bahwa
demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi tidak berarti bahwa Paslon
02 bersikap dan punya pendirian politik seperti mereka, jumlah mereka amat kecil
dan tidak mungkin mempengaruhi sikap paslon 02.
Bahkan ada tokoh NU yang menyatakan kalau paslon 02 menang, maka NKRI
akan menjadi khilafah. Pendapat itu jelas tidak benar. Tidak mungkin Prabowo
seorang Letjen purnawirawan akan mendirikan khilafah. Pernyataan di atas sama
tidak benarnya dengan pernyataan orang yang disebut sebagai Ahmad Dani di

9
dalam sebuah video, bahwa kini muncul Nasakom baru, yang terdiri dari PDI
Perjuangan yang banyak diikuti keturunan PKI, dalam kerja sama dengan NU.
Di dalam banyak kesempatan seperti pengajian dan rapat umum, struktur NU
di Jawa Timur mengahruskan bahkan menekan warga NU untuk memilih paslon no
1. Berarti struktur NU tidak yakin bahwa warga NU akan memilih pemimpin NU.
Menurut saya warga NU harus dibebaskan memilih capres manapun, insya Allah
kebanyakan akan memilih Kiai Ma’ruf Amin. Kalau diharuskan, bisa timbul reaksi
menolak. Selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng, saya tidak melarang atau
mengharuskan alumni, keluarga dan guru di Pesantren Tebuireng, untuk memilh
paslon 01 atau 02.
Sejumlah tokoh NU seperti Plt Rais Aam Syuriah PBNU Kiai Miftachul
Achyar menyatakan bahwa kalau dulu (organisasi) NU adalah “ashabul haq”
(pemegang kebenaran), maka di masa depan NU harus menjadi “ashabul qoror”
(pemegang kekuasaan). Apakah maksudnya organi sasi NU harus menjadi
partai politik atau tokoh-tokoh NU ramai-ramai berusaha menjadi penguasa? Kesan
saya dan banyak tokoh NU kultural lain, NU kini menjadi sub-ordinat PKB, tidak
independen terhadap PKB, padahal seharsunya posisi organisasi NU itu di atas
semua partai. Dalam Muktamar NU ke 33 pada 2015 tokoh-tokoh PKB melakukan
intervensi dengan cara yang lazim dilakukan dalam parpol bukan dengan cara
ormas keagamaan.
Masyarakat Sipil Muhammadiyah dan NU bersama ormas-ormas lain yang
lahir sebelum Proklamasi dan juga bersama tokoh-tokoh bangsa seperti Bung
Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Hadratussyaikh dan lain-lain adalah para pendiri
negara. Partai-partai politik pada saat itu belum berdiri. Muhammadiyah dan NU
adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang menjadi semacam jangkar bagi
kehidupan bangsa Indonesia ketika mengahadapi badai yang amat dahsyat.
Kedua ormas itu bisa berperan sebagai jangkar bagi Indonesia hanya bila
keduanya tidak terlibat dalam politik kekuasaan atau politik kepartaian. Kedua
ormas itu harus tetap mejadi bagian dari masyarakat sipil. Pada awal 1990-an NU
di bawah pimpinan Gus Dur menjadi unsur utama masyarakat sipil. Selain ormas-
ormas, masyarakat sipil juga terdiri dari kaum profesional, akademisi, ulama dan
mahasiswa. Seperti yang disampaikan oleh Lord Acton bahwa “power tends to
corrupt; absolute power corrupts absolutely”.
Pada 2004 pengamat NU Greg Barton mengatakan bahwa NU harus mengisi
“ruang kosong” masyarakat sipil yang mulai ditinggalkan banyak pihak. Ini yang
harus dilakukan NU ke depan, sebagai wakil masyarakat madani, kalau ingin
posisinya terhormat dan bermartabat di tengah pergulatan masyarakat dan bangsa”.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa sesuai
khittahnya, Muhammadiyah tidak akan memihak salah satu pasangan capres.
Walaupun Amien Rais mendesak Haedar Nashir untuk mendukung paslon no 02,
tetapi Haedar tetap pada sikap yang seharusnya sesuai Khittah. Ternyata struktur
Muhammadiyah mempunyyai pemahaman lebih baik.

10
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
1. Ukhuwwah biasa diartikan sebagai “persaudaraan‟. Dimana kata ini terambil
dari akar kata yang pada mula nya berarti “memperhatikan‟. Maknia asal ini
memberikan kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian dari
semua pihak yang merasa bersaudara.
2. Ada perilaku yang harus dijalankan demi terciptanya suasana ukhuwwah
Islamiyah, Insaniyah dan wathaniyah, yaitu ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah
insaniyah, dan ukhuwwah wathaniyah.
3. Nahdlatul Ulama didirikan sebagai jamiyyah diniyah ijtima’iyyah (organisasi
keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan
para pengikutnya. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sudah barang tentu
NU memiliki aturan main dan pegangan bagi para pengurus dan warganya.
4. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi (jam’iyyah) didirikan pada 31 Januari
1926. Sebagai komunitas (jama’ah), NU telah hidup di Nusantara selama
ratusan tahun sebelumnya dalam bentuk faham Ahlussunnah wal Jama’ah. NU
didirikan oleh para ulama pesantren di Jawa yang dipimpin oleh
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan
banyak kiai lain.
3.2 Saran
Perlu adanya bimbingan khusus untuk masyarakat pada umumnya dan pelajar
maupun mahasiswa pada khususnya untuk lebih mempelajari seluk beluk maupun
ukhuwah dan khittah NU. Selain itu, peran tokoh masyarakat yang mendukung
untuk lebih meningkatkan ukhuwah dan khittah NU.

11
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mursyid Azisi, A. M. A. (2022). Nu And Nationalism: A Study Of Kh.
Achmad Shiddiq’s Trilogy Of Ukhuwah As An Effort To Nurture
Nationalism Spirit Of Indonesian Muslims. Islamuna: Jurnal Studi Islam,
9(2), 122–142. Https://Doi.Org/10.19105/Islamuna.V9i2.7373
Almeida, C. S. (2016). Pendidikan Aswaja NU. Revista Brasileira De Linguística
Aplicada, 5(1), 1689–1699.
Https://Revistas.Ufrj.Br/Index.Php/Rce/Article/Download/1659/1508%0A
Rosyadin, I., Mah, Z. ’, Sholeh Iskandar, B. J., Badak, K., Sereal, T., Bogor, K., &
Barat, J. (2019). Manajemen Dakwah Bksppi Dalam Mengembalikan
Khittah Pesantren. Journal Of Communication Science And Islamic
Da’wah, 3(1), 45–60.
Sugiarto. (2016). Nilai - Nilai Aswaja Dan Kaidah Fiqyah. 4(1), 1–23.

12

Anda mungkin juga menyukai