Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Tafsir Ayat-Ayat Yang Membangun Hukum Jual Beli (Hukum


Produksi Dan Hukum Konsumsi) Dan Investasi

Mata Kuliah: Tafsir Ahkam Muamalat

Dosen Pengampu: Muhammad Arifin, M.H.

Disusun Oleh:

Kelompok 8

1. Klara Agustin (2322000668)


2. Nur Aliza (2322000687)
3. Safa Dwi Paramitha (2322000692)

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Institut Islam Ma'arif Jambi

Tahun 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang " Tafsir Ayat-
Ayat Yang Membangun Hukum Jual Beli (Hukum Produksi Dan Hukum Konsumsi)
Dan Investasi". Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
terutama kepada dosen mata kuliah Tafsir Ahkam Muamalat, Bapak Muhammad Arifin,
M.H. yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Jambi, 07 Mei 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

1.3 Tujuan Makalah ............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 6

2.1 Hukum Jual Beli Dalam Islam ....................................................................... 6

2.2 Hukum Produksi Dan Hukum Konsumsi Dalam Islam ................................. 9

2.3 Hukum Investasi Dalam Islam ..................................................................... 17

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 21

3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 21

3.2 Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jual beli atau bisnis adalah suatu aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh manusia
dalam menjalankan kehidupannya. Namun, secara hukum Islam praktek jual beli
belum direalisasikan secara maksimal oleh masyarakat yang beragama Islam. Bahkan
terdapat beberapa dari umat Islam tersebut yang tidak mengerti sama sekali cara jual
beli yang benar secara hukum Islam. Dalam transaksi jual beli terdapat seperangkat
aturan yang diatur dalam Islam yang mengatur aktivitas jual beli seperti prinsip dasar
jual beli, syarat dan rukun jual beli, hukum jual beli, macam-macam jual beli yang
diperbolehkan dalam Islam dan lain sebagainya. Misalnya bagaimana implementasi
akad yang benar secara Islam lalu kategori barang yang halal untuk dijual belikan.
Salah satu dari kalangan ulama yaitu Abdu Al-Rahman Al-Jaziri, memaparkan
mengenai konsep jual beli dalam Islam terdiri dari beberapa aspek, yaitu (ta’rif) jual
beli, hukum jual beli dan rukun jual beli. Pada sumber utama hukum Islam yaitu
AlQur’an dan Hadist telah memberikan banyak informasi mengenai pedoman dalam
menjalankan bisnis yang benar dalam konsep Islam. Pedoman tersebut tentunya
mengatur kedua sisi, baik penjual maupun pembeli. Pada intinya jual beli adalah suatu
akad saling menukar barang dimana terdapat manfaat untuk orang yang memakainya,
yang mana telah ada suatu kesepakatan yang telah dibuat antar kedua belah pihak.
Pola konsumsi dan perilaku produksi menentukan roda perekonomian. Al-Qur’an
sebagai sumber ajaran, memiliki ajaran tentang konsumsi, produksi dan distribusi
disamping aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya. Dalam konteks produksi, tentu
saja produsen muslim sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku
ekonom-ekonomi yang bersifat menjalankan dosa, memakan harta terlarang,
menyebarkan permusuhan, berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan
kerusakan di muka bumi. Walau bagaimanapun, secanggih alat untuk menghitung
nikmat Allah pasti tidak akan menghitungnya. Dalam konseptual konsumsi ada
beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh konsumen muslim, yaitu prinsip halal dan
baik, prinsip ketiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip sukur. Sistem ekonomi Islam

4
menawarkan sistem penditribusian ekonomi yang mengedepankan nilai kebebasan
dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan
dalam kepemilikan yang disandarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan.
Investasi merupakan komitmen untuk menahan sejumlah dana dengan tujuan
memperoleh sejumlah keuntungan di masa yang akan datang. Namun demikian,
terdapat oknum yang memanfaatkan investasi sebagai alat menghimpun dana dari
masyarakat dengan produk dan aktifitas usaha yang tidak sesuai syariah. Oleh sebab
itu, penjelasan prinsip-prinsip syariah dalam berinvestasi menjadi penting sebagai
panduan bagi masyarakat. Kegiatan investasi secara eksplisit maupun implisit tertuang
di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad saw. yang pernah
menjalankan bisnis dan menjadi mitra investor Mekah pada masanya. Prinsip investasi
syariah adalah semua bentuk muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya, yaitu apabila ditemukan kegiatan terlarang dalam suatu kegiatan bisnis,
baik objek (produk) maupun proses kegitan usahanya yang mengandung unsur haram,
gharār, maysīr, ribā, tadlīs, talaqqī al-rukbān, ghabn, ḍarar, rishwah, maksiat and ẓulm.
Dalam investasi, terdapat aturan syariah mengenai akad apa saja yang dibolehkan, apa
yang dilarang, dan risiko yang timbul dari kegiatan investasi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis pada saat ini akan menjelaskan mengenai konsep ayat
al-qur’an dan hadist tentang jual beli (hukum produksi, hukum konsumsi dan investasi).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum jual beli dalam islam?
2. Apa pengertian dari hukum produksi dan hukum konsumsi dalam islam?
3. Apa hukum investasi dalam islam?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan pentingnya belajar hukum jual beli dalam islam.
2. Menyebutkan ayat dan hadist tentang hukum produksi dan konsumsi.
3. Menganalisis ayat tentang hukum produksi, hukum konsumsi dan investasi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Jual Beli Dalam Islam


Dalam istilah fiqh jual beli sering disebut dengan istilah albai' yang memiliki arti
menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan yang lain. Pengucapan bahasa Arab
Al-bai’ terkadang digunakan dengan arti yang berlawanan, yaitu kata ash syira (beli).
Jadi kata albai' berarti menjual, tetapi bisa juga berarti membeli. Jual beli dalam segi
bahasa dapat diartikan dengan mutlaq al-mubadalah yang berarti pertukaran mutlak.
Dengan kata lain, muqabalah sya'i bi sya'i artinya tukar menukar dengan sesuatu. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah pertukaran uang dengan barang
berdasarkan prinsip saling suka dengan mekanisme yang diatur secara syariat, baik
dengan ijab kabul atau tanpa menggunakan ijab dan kabul, seperti transaksi yang terjadi
di pasar modern/ swalayan. Jual beli ditinjau dari aspek terminology memiliki definisi
yang luas yaitu berbagai macam bentuk yang berhubungan dengan tata cara
pemindahan hak milik asset kepada orang lain. Dalam transaksi jual beli ini bisa
dilakukan dengan saling menukar barang dengan barang (muqayyadah) atau biasa
dikenal dengan barter, pertukaran uang dengan uang, maupun barang dengan uang
(mutlaq). Berikut adalah beberapa pengertian dari para ahli mengenai transaki jual beli:
a. Tukar-menukar barang dengan barang atau uang dengan barang dengan mekanisme
menyerahkan hak milik dari satu pihak ke pihak lain atas dasar saling rela antara
kedua belah pihak.
b. Definisi jual beli yang paling relevan menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al
Ghazzi adalah mempunyai sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas
dasar izin syara, hanya sebatas diperbolehkan untuk memiliki manfaatnya saja yang
dilakukan dengan membayar dengan sejumlah uang.
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al- Akhyar: Proses tukar menukar
asset berupa harta, saling terima dan dikelola dengan didahui proses ijab kabul
dengan cara yang telah diatur oleh syara.

6
d. Pada definisi dari Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al- Wahab jual beli
dapat diartikan sebagai proses penukaran antar benda dengan proses mekanisme
khusus.
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah: Penukaran antar benda dengan
cara pemindahan hak milik yang memiliki subtitusinya melalui cara yang sah.
f. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis), diantaranya:
ulama Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda)
berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam
nawawi dalam al-majmu’ memberikan definisi “Jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan”.
Jual beli di dalam Islam atau dalam perspektif AlQur’an dan Hadist semestinya
direalisasikan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu
dilakukan secara jujur. Hal ini sudah dipraktekkan oleh nabi Muhammad SAW ketika
memulai membangun pasar sebagai tempat jual beli pada tahun pertama Hijriah.
Transaksi jual beli telah disyariatkan oleh Allah sebagai sarana untuk memudahkan
manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pada dasarnya
kebutuhan dari setiap manusia adalah berbeda-beda. Terkadang hal yang dibutuhkan
oleh seseorang dimiliki oleh orang lain. Untuk mencukupi kekurangan kebutuhan
tersebut tentunya tidak gratis dan memerlukan imbalan. Maka dari itu, dalam rangka
pemenuhan kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah dengan melakukan transaksi
jual beli. Dalam ekonomi Islam Al-Qur’an merupakan sumber utama. Di dalamnya
termuat hal-hal penting yang memiliki hubungan dengan ekonomi dan juga dalam Al-
Qur’an dapat ditemukan dalil-dalil mengenai halalnya jual beli serta haramnya riba.
Sebagaimana tercantum pada Q.S. Al-Baqarah ayat 275:

7
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Pada ayat diatas terdapat penjelasan bahwasanya Allah telah menetapkan halalnya
hukum pada jual beli dan transaksi riba merupakan transaksi yang haram. Terdapat ayat
lain dalam Al-Qur’an yang dapat juga dijadikan dasar dalam praktek jual beli. Yaitu
pada Q.S An-Nisa’ ayat 29:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwasanya Allah telah menetapkan hukum memakan
harta milik orang lain secara batil merupakan tindakan yang tercela dan haram
dilaksanakan contohnya seperti melakukan tindakan pencurian, korupsi, dan tindakan
tercela lainnya yang merugikan sesama manusia. Kecuali, apabila saling memiliki harta
tersebut dengan cara yang benar atas dasar saling ridho dan saling menguntungkan
antara kedua belah pihak.

8
Pentingnya jual beli ini juga banyak didasari oleh Hadist nabi Muhammad Saw yang
berbunyi:

Artinya: “Nabi saw pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling
baik (paling ideal)?, Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan
tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim).
Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

Artinya : ”Dari Abi Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar
kerikil dan jual beli garar” (H.R. Muslim).
Dari hadist diatas dapat ditemukan kesimpulan bahwa jual beli secara hukum adalah
mubah. Namun Imam Asy-Syaitibi memberikan pandangan bahwa hukum jual beli
bisa menjadi wajib maupun haram contohnya apabila terjadi praktek ihtikar
(penimbunan) sehingga memberikan efek buruk yaitu membuat harga menjadi naik
secara tidak wajar. Apabila praktek ihtikar ini terjadi maka pemerintah diperbolehkan
untuk melakukan intervensi dengan menetapkan harga sesuai harga yang sewajarnya
dan memaksa para pedagang untuk menaati aturan dari pemerintah tersebut. Bahkan
Pemerintah juga memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap pedagang
yang melakukan tindakan curang tersebut.

B. Hukum Produksi Dan Hukum Konsumsi Dalam Islam


Produksi dalam ekonomi Islam adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan
manusia untuk mewujudkan manfaat atau menambahkannya dengan cara
mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah SWT sehingga
menjadi maslahat, untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini dapat dijelaskan dalam
semua aktifitas produksi barang dan jasa yang dilakukan seorang muslim untuk
memperbaiki apa yang dimilikinya, baik berupa sumber daya alam dan harta dan

9
dipersiapkan untuk bisa dimanfaatkan oleh pelakunya atau oleh umat Islam. Firman
Allah dalam QS Al-Mulk:15

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepadaNya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.”
1. Prinsip-Prinsip Produksi
Prinsip-prinsip produksi secara singkat adalah pedoman yang harus
diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip
produksi dalam Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Berproduksi dalam lingkaran halal.
2. Keadilan dalam berproduksi.
3. Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang
Islami.
4. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan.
5. Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih
kompleks.
2. Faktor-Faktor Produksi
Produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang
memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan
produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam
segala bentuknya, serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha
penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor
produksi. Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui
jenis atau macam-macam dari faktor produksi. Macam faktor produksi secara teori
terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1. Tanah
2. Tenaga kerja
3. Modal
4. Kecakapan Tata Laksana (Manajemen)
10
Al Quran surat Ibrahim ayat 32-34.
1. Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan
menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera
itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula)
bagimu sungai-sungai.
2. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.
3. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).
4. Konsep Hak Milik dalam Islam. Hak milik merupakan setiap individu manusiawi,
fitrah yang melekat dalam setiap individu yang tidak bisa dihilangkan karena telah
menjadi kebutuhan jiwa dalam kehidupan.
Al Quran memandang harta dengan pandangan yang realitis. Dinyatakan harta
itu pandangan hidup dan kecintaan terhadap harta sebagai tabiat manusia. Firman Allah
dalam QS Al Kahfi: 46

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-


amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan.”
Dan dalam QS Al Adiyat: 8

“Dan Sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada


harta.” Hak milik adalah amanat, pemilik yang sebenarnya adalah Allah SWT sendiri.
Hak manusia untuk memanfaatkan barang-barang di dunia adalah dalam
kedudukannya sebagai khalifah dan pengemban amanat Allah”.

11
Hal ini sesuai dengan QS Al Baqarah: 284

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.
Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Menurut Mustafa Husin al-Siba’I, Allah telah menjadikan harta sebagai
perantara untuk memperoleh kebaikan. Oleh sebab itu, harta digunakan untuk kebaikan
atau utuk kepentingan masyarakat.16 Muhammad al Mubarak menyebutkan ada tiga
hal sebab dari pemilikan, sebab-sebab pemilikan itu meliputi:
1. Pemilikan dari hasil usaha individual. Hal ini yang dibenarkan secara syara’
seperti usaha bertani, berdagang, berburu, dan lain-lain.
2. Pemilikan tanpa diusahakan yang ditetapkan syara’, seperti hak atas nafkah,
warisan, dan zakat.
3. Pertukaran pemilikan seperti menukarkan uang dengan pakaian. Dari beberapa
literatur yang membahas tentang hak milik, ada dua kategori hak milik.
Kategori pertama, membagi hak milik menurut sifat umum dan khusus
pemilikannya. Hak milik umum ialah pemilikan oleh umum dan manfaatnya untuk
seluruh individu. Pemanfaatan hak milik umum dilakukan dan diatur oleh Negara,
karena Negara sebagai penanggung jawab atas keberadaan distribusi dan
pemanfaatannya. Pengelolaan hak milik umum ini bisa dilakukan oleh pihak swasta,
namun harus mendapatkan izin negara selaku penanggung jawab. Hak milik umum
ditetapkan berdasarkan atas manfaat umum, sebab pemilikan atau penguasaan oleh
sekelompok orang bisa berdampak negatif. Dalam hak milik umum ini, negara
bertindak sebagai caretaker atau pemegang amanat publik.
Pandangan yang lain menyebutkan hak milik umum adalah hak milik negara.
Pandangan ini menyebut fasilitas umum seperti, jalan, air sungai dan laut, bahan
12
tambang, tanah, dan lain-lain adalah millik negara. Pandangan ini berlaku umum di
kalangan para ahli dan pemikir Islam. Oleh Ibnu Taymiyah, hak milik seperti ini adalah
hak milik sosial. Menurutnya, hak milik negara itu meliputi zakat, waqaf, harta
rampasan perang, pajak, dan denda.18 Hak milik negara atau sumber kekayaan untuk
penyelenggaraan tugas atau kewajiban negara seperti, penyelenggaraan pendidikan dan
penegakkan keadilan. Melengkapi uraian tentang hal milik umum ini, maka akan
dikemukakan beberapa landasan hukum hak milik umum, yaitu QS Al Baqarah: 29

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.”
Dan QS. Al A’Raf: 10

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami
adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Rasulullah saw pada sebuah peperangan pernah bersabda kepada seorang sahabat:
Dari seorang sahabat Rasulluah saw, dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Semua
orang berserikat dalam tiga hal, yaitu dalam hal (pemanfaatan atau pemilikan) rumput,
air, dan api.” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut mengandung arti bahwa air, rumput, dan api tidak boleh dimonopoli
oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan
dibenarkan untuk memiliki barang-barang ini. Air, rumput, dan api diartikan sebagai
barang yang dapat mewakili barang-barang lain. Karenanya, pembatasan pemilikan
tidak hanya berlaku atas barang-barang ini, tetapi juga berlaku untuk barang-barang
lain yang sejenis atau yang menurut pandangan tertentu memiliki kualifikasi yang sama.
Berdasarkan hadist ini dapat dipahami bahwa tidak ada monopoli individu terhadap

13
barang-barang seperti rumput, air, dan api, sebab barang tersebut adalah barang
kebutuhan pokok di masa Rasulullah saw.
Hak milik khusus adalah pemilikan atas sesuatu oleh seseorang dan sekelompok
orang secara bersama-sama. Hak milik khusus ini meliputi hak milik individual dan
kolektif. Dalam hak milik terdapat aturan-aturan kemaslahatan umum dan aturan
pemanfaatan hak milik yang baik. Hak milik individual merupakan salah satu asas
penting dalam Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam, perolehan dan pemanfaatan hak milik harus dengan
jalan ma’aruf. Di dalam harta itu terdapat hak-hak kemasyarakatan yang harus
ditunaikan. Al-Qur’an menegaskan dalam surat Al Baqarah: 188

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Dengan demikian maka jelaslah bahwa sistem ekonomi Islam merupakan sistem
ekonomi yang adil serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya pada satu
individu atau kelompok, tetapi tersebar keseluruh masyarakat.
Konsumsi dalam Ekonomi Islam Menurut Samuelson konsumsi adalah kegiatan
menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama
dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya yaitu :
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tertier.
Sifat barang konsumsi menurut Al Ghazali dan Al Shatibi dalam Islam adalah At-
Tayyibat. Prinsip konsumsi dalam Islam adalah prinsip keadilan, kebersihan,
kesederhanaan, kemurahan hati, dan moralitas. Monzer Kahf mengembangkan
pemikiran tentang Teori Konsumsi Islam dengan membuat asumsi : Islam dilaksanakan
oleh masyarakat, zakat hukumnya wajib, tidak ada riba, mudharabah wujud dalam
perekonomian, dan pelaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan. Konsep
14
Islam yang dijelaskan oleh Hadits Rasulullah SAW yang maknanya adalah, “Yang
kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu infakkan.”
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam
al Qur’an:
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah, yang bermakna bahwa, tindakan
ekonomi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup(needs) bukan
pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi zakat dan mekanismenya pada tataran negara. Selain zakat terdapat
pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah,
wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba; menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan
instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit
system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal, jauh dari maisir dan gharar; meliputi bahan
baku, proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan
konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi
harta. Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi
tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan
(an-Nisa(4) :5) yang merupakan karunia Allah (an-Nisa(4) :32. Islam memandang
segala yang ada di di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa
yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah manusia dituntut
untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses
yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Namun pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat
ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang
yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar.
Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan
menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.

15
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau
berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan
kewajiban.
2. Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak
didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara
signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang
bersifat individualistis.
3. Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja
akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan
rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas
ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan
akherat). Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah mashlahah atas
kebutuhan dan kewajiban.
Sementara itu Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa variabel moral dalam
berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik
(halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan
kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi
manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT
dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah),
baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya
maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Al-Baqarah (2): Ayat 168

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

16
An-Nahl (16): ayat 114

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah”.
Pada kedua ayat secara tegas, terdapat prinsip halal dan baik, prinsip ketiadaan
mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur dan prinsip tauhid. Dengan prinsip-prinsip
demikian, maka pola konsumsi seseorang dan juga masyarakat, diarahkan kepada
kebutuhan dan kewajiban berdasakan standar-standar prinsip di atas.

C. Hukum Investasi Dalam Islam


Investasi merupakan bagian dari fikih muamalah, maka berlaku kaidah “hukum asal
dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”. Aturan ini dibuat karena ajaran Islam menjaga hak semua pihak
dan menghindari saling menzalimi satu sama lain. Hal ini menuntut para investor untuk
mengetahui batasanbatasan dan aturan investasi dalam Islam, baik dari sisi proses,
tujuan, dan objek dan dampak investasinya.Namun demikian, tidak semua jenis
investasi diperbolehkan syariah seperti kasus bisnis yang diungkapkan di atas yaitu
mengandung penipuan dan kebohongan atau mengandung unsur-unsur kegiatan yang
dilarang syariat Islam. Investasi syariah adalah investasi yang didasarkan pada prinsip-
prinsip syariah, baik investasi pada sektor riil maupun sektor keuangan. Sehingga
investasi tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip syariah. Sehingga tujuan atau niat
spekulasi dalam bisnis dan investasi tidak boleh bertentangan dengan syariah. Pada
dasarnya, segala aktivitas bisnis memang tidak bisa lepas dari ketidakpastian, yaitu
kemungkinan untung atau rugi suatu usaha.
Islam adalah agama yang pro-investasi, karena di dalam ajaran Islam sumber daya
(harta) yang ada tidak hanya disimpan tetapi harus diproduktifkan, sehingga bias
memberikan manfaat kepada umat. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:

17
“supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”.
(QS. al-Hasyr [59]: 7)
Oleh sebab itu dasar pijakan dari aktivitas ekonomi termasuk investasi adalah Al-
Qur’an dan hadis Nabi saw. Selain itu, karena investasi merupakan bagian dari aktivitas
ekonomi (muamalah māliyah), sehingga berlaku kaidah fikih, muamalah, yaitu “pada
dasarnya semua bentuk muamalah termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi adalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
1. Investasi Menurut Al-Qur’an
a. QS. al-Baqarah [2]: 268
‫ِيعد من ِرة ف ِ ۡض ۡوف ه وٱ ل للََ و ل ۡشا ۡفح ء ِٱ ويأ ۡب كم مر ِل ۡفق ۡۡشي َّ م ل ك ر ٱ ِيعد ط ن ٱ‬
ۡ ‫ م للََ سٌع ِو‬ٞ‫ علِي‬٢٦٨
‫مغ َّ كم ٱ‬
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada setiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Ayat ini secara implisit memberikan informasi akan pentingnya berinvestasi,
dimana ayat itu menyampaikan betapa beruntungnya orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah. Orang yang kaya secara financial (keuangan) kemudian
menginfakkan hartanya untuk pemberdayaan masyarakat yang kurang mampu melalui
usaha produktif, maka sesungguhnya dia sudah menolong ribuan, bahkan ratusan ribu
orang miskin untuk berproduktif ke arah yang lebih baik lagi.
b. QS. Luqman [31]: 34
َّ ‫ِ ن‬ ‫ۡل ة ِع سا َّ ٱل م عل ِز ِن ٱ وي ث ۡغي عندهۥ ِللََ ٱ إ‬ ‫ۡ حام ر ۡ ِعل ۡٱ وي ۡفي ِما م ل‬ ‫ذا‬
‫ف‬ٞ ‫للََ ٱ تك ۡغدا ب س ِ ۡتدر ما و نف ي ِ ۡس ب ِ أ أ ي ِ ۡت مو ت ض ر ۡإ ِ ن َّ ۡتد ما و ل ۡن ري ِ ۡما َّ س‬
‫ ع ِليٌم ِر ي‬٣٤ ‫خب‬
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat;
dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan
tidak adaseorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya esok. Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia
akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

18
Maksud dari ayat ini adalah, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa
yang akan diusahakannya esok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka
diwajibkan berdoa, berikhtiar dan bertawakal. Salah satu ikhtiar manusia dalam
mendayagunakan hartanya dengan cara berinvestasi sesuai prinsip syariah.
Berdasarkan uraian ayat-ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Islam
memandang investasi sebagai hal yang sangat penting sebagai langkah atisipatif
terhadap kejadian di masa depan. Seruan bagi orang-orang yang beriman untuk
mempersiapkan diri (antisipasi) di hari esok mengindikasikan bahwa segala sesuatunya
harus disiapkan dengan penuh perhitungan dan kecermatan. Dalam perspektif ekonomi,
hari esok dalam ayat-ayat di atas bisa dimaknai sebagai masa depan (future).
2. Investasi menurut Sunnah Nabi saw.
Menurut catatan sejarah, saat masih kecil nabi Muhammad saw. pernah
mengembala ternak penduduk Mekkah. Nabi saw. pernah berkata kepada para
sahabatnya “semua nabi pernah menggembala”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana
denganmu, wahai Rasulallah?” Beliau menjawab, “Allah swt.tidak mengutus seorang
nabi melainkan dia pernah menggembala ternak”. Para sahabat kemudian bertanya lagi,
“Engkau sendiri bagaimana wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku dulu
menggembala kambing penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirāṭ”.
Profesi berdagang nabi saw. dimulai sejak beliau berusia 12 tahun, ketika ikut
magang (internship) kepada pamannya untuk berdagang ke Syiria. Ketika muda, nabi
saw. pernah juga mengelola perdagangan milik seseorang (investor) dengan
mendapatkan upah dalam bentuk unta. Karir profesional nabi saw. dimulai sejak
Muhammad muda dipercaya menerima modal dari para investor yaitu para janda kaya
dan anak-anak yatim yang tidak sanggup mengelola sendiri harta mereka. Mereka
menyambut baik seseorang untuk menjalankan bisnis dengan uang atau modal yang
mereka miliki berdasarkan kerjasama muḍarabah (bagi hasil).
Nabi Muhammad saw. dalam menjalankan bisnisnya senantiasa memperkaya
dirinya dengan kejujuran, keteguhan memegang janji, dan sifatsifat mulia lainnya,
sampai dijuluki sebagai orang yang terpercaya (al-amīn). Para pemilik modal di
Mekkah semakin banyak yang membuka peluang kemitraan dengan nabi saw. salah

19
seorang pemilik modal tersebut adalah Khadijah yang menawarkan kemitraan
berdasarkan muḍarabah (bagi hasil). Dalam hal ini, Khadijah bertindak sebagai ṣaḥib
al-māl (pemilik modal) dan nabi Muhammad saw. sebagai muḍarib (pengelola).
Bahkan sebelum menikah, beliau diangkat menjadi manajer perdagangan Khadijah ke
pusat perdagangan Habashah di Yaman dan 4 kali memimpin ekspedisi perdagangan
ke Syria dan Jorash di Yordania.
Dengan demikian, nabi Muhammad saw. memasuki dunia bisnis dan perdagangan
dengan cara menjalankan modal orang lain (investor), baik dengan upah (fee based)
maupun dengan sistem bagi hasil (profit sharing). Profesi ini kurang lebih bertahan
selama 25 tahun, angka ini sedikit lebih lama dari masa kerasulan Muhammad saw.
yang berlangsung selama kurang lebih 23 tahun. Salah satu hadis beliau yang masyhur
mengenai investasi dan perserikatan adalah:

“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Allah berfirman: Aku
menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari
mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari
(persekutuan) mereka”. (HR. Abu Dawud dan dinilai shahih oleh al-Hakim).
Berdasarkan paparan di atas, praktik investasi sudah ada sejak nabi Muhammad saw.,
bahkan beliau secara langsung terjun dalam praktik binis dan investasi. Beliau
memberikan contoh bagaimana mengelola investasi hingga mengasilkan keuntungan
yang banyak. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman beliau yang lama sebagai
pedagang dan pengelola bisnis (muḍarib). Nabi saw.mempraktikkan bisnis
dengansangat profesional, tekun, ulet dan jujur serta tidak pernah ingkar janji kepada
pemilik modalnya (investor). Kegiatan investasi juga dipraktikkan di jaman amirul
mukminin, Umar bin Khattab dimana ia pernah berkata, “Siapa saja yang memiliki
uang, hendaklah ia menginvestasikannya dan siapa yang memiliki tanah hendaklah ia
menanaminya (mengelolanya)”. Oleh sebab itu, investasi dalam ajaran Islam tidak
dilarang, bahkan dianjurkan supaya memberikan dampak dan manfaat yang luas
dengan terciptanya lapangan pekerjaan dan lapangan usaha baru.
20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jual beli (bisnis) adalah suatu aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh manusia
dalam kehidupannya. Namun, secara hukum Islam praktek jual beli belum
direalisasikan secara maksimal oleh Masyarakat yang beragama Islam. Sebagai agama
yang sempurna Islam tentunya telah memberikan pedoman melalui Al-Qur’an dan
Hadist agar manusia melaksanakan tata cara jual beli yang saling menguntungkan dan
saling ridho antara kedua belah pihak. Pada intinya transaksi jual beli dalam persepektif
Al-Qur’an dan Hadist mesti mengikuti contoh dari Nabi Muhammad SAW yaitu
dilakukan dengan jujur. Dalam konteks produksi, tentu saja produsen muslim sama
sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom yang
bersifat menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan,
berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. faktor
lainnya yaitu konsumsi, tentunya ini berkaitan dengan penggunaan harta. Islam
memandang segala yang ada di di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT,
sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dasar prinsip investasi syariah
adalah semua bentuk investasi pada dasarnya adalah boleh dilakukan sampai ada dalil
yang melarangnya, yaitu apabila ditemukan kegiatan terlarang dalam suatu kegiatan
bisnis, baik objek maupun caranya (prosesnya).

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini sebaiknya penulis banyak melakukan riset di
berbagai media yang ada, agar makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dan
sebaiknya makalah di tulis dengan tata bahasa dan tanda baca yang benar agar mudah
di pahami oleh pembaca dan makalah ini jauh dari kata kesempurnaan.

21
DAFTAR PUSTAKA
Pardiansyah. E. 2017. ”Investasi dalam Perspektif Ekonomi Islam: Pendekatan Teoritis
dan Empiris”. Jurnal Ekonomi Islam.Vol: 8 (2). 337 – 373.

Robbani. B dan Fageh. A. 2023. ”Jual Beli Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadist”.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol: 9 (2). 2047-2051.

Sari. W. 2014. ”Produksi, Distribusi, Dan Konsumsi Dalam Islam”. Jurnal Ekonomi
Islam. Vol: 5 (2). 1-34.

22

Anda mungkin juga menyukai