Anda di halaman 1dari 11

BAB VI PEMBAHASAN Penelitian tentang profil informasi obat pada pelayanan resep isosorbid dinitrat (ISDN) ini dilakukan

di apotek-apotek di wilayah Surabaya. Penelitian ini dilakukan pada Maret dan April 2011. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode simulasi pasien. Penelitian ini mendapatkan persetujuan dari Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Peneliti Universitas juga Airlangga dengan surat nomor 173/PANEC/LPPM/2011. menandatangani pernyataan

kerahasiaan untuk menjamin kerahasiaan terkait apotek yang disurvei. Sebelum dilakukan survei pendahuluan, diketahui bahwa jumlah apotek di wilayah Surabaya adalah 570 apotek. Namun, setelah dilakukan survei pendahuluan, ternyata di wilayah Surabaya terdapat 625 apotek. Dari 625 apotek tersebut kemudian dilakukan random sampling sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 90 apotek. Setelah itu, dipilih 2 apotek (selain yang sudah terpilih sebagai sampel) untuk pilot study. Dari 90 apotek yang terpilih sebagai sampel, terdapat 7 apotek yang termasuk dalam kriteria eksklusi, yaitu 5 apotek karena tutup/tidak beroperasi lagi, 1 apotek tidak melayani resep dari luar dan 1 apotek karena keberadaan peneliti pada saat melakukan penelitian diketahui oleh petugas apotek. Oleh karena itu, dilakukan sampling ulang sebanyak 7 apotek agar besar sampelnya tetap. Sebelum melakukan penelitian, instrumen dan peneliti di validasi terlebih dahulu. Pada instrumen digunakan validitas isi dan peneliti dilakukan validitas rupa. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai keponakan dari seorang pasien yang baru terdiagnosa menderita angina pektoris stabil. Data pasien disusun dengan disesuaikan pustaka dan dikoreksi oleh beberapa dosen. Pada peneliti dilakukan validitas rupa dengan diadakan pelatihan dan pilot study. Pelatihan dilakukan selama dua hari dengan 8 calon peneliti dan 5 dosen. Pelatihan dilakukan secara bergantian, satu orang berperan sebagai klien dan teman yang lain berperan sebagai pemberi informasi. Hal ini dilakukan secara bergantian sampai calon peneliti dianggap mampu berperan sesuai skenario, mampu menangkap informasi yang diberikan serta mampu menuangkan informasi yang diperoleh ke check list tanpa

45

46

ada informasi yang terlewat. Pada pelatihan dengan dosen, dosen berperan sebagai pemberi informasi. Pelatihan dengan dosen ini juga dilakukan berulang-ulang sampai calon peneliti dianggap mampu berperan sesuai skenario, mampu menangkap informasi yang diberikan serta mampu menuangkan informasi yang diperoleh ke check list tanpa ada informasi yang terlewat. Setelah lulus pelatihan, peneliti melakukan pilot study ke 2 apotek. Pada saat pilot study, peneliti didampingi seorang teman sesama peneliti. Teman tersebut bertugas mengawasi dan memastikan apakah peneliti yang sedang melakukan pilot study sudah mampu beperan sesuai skenario yang telah ditetapkan atau belum. Selain itu juga mengawasi apakah keberadaan peneliti pada saat melakukan penelitian menimbulkan kecurigaan dari pihak apotek yang dikunjunginya. Apabila setelah melakukan pilot study, peneliti dianggap mampu berperan sesuai skenario, tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak apotek yang dikunjungi, mampu menangkap informasi yang diberikan serta mampu menuangkan informasi yang diperoleh ke check list tanpa ada informasi yang terlewat, maka peneliti dapat melakukan pengambilan data yang sesungguhnya. Baik pada saat pelatihan maupun pilot study, peneliti menggunakan audiotaping. Pada penelitian ini, salah satu instrumen yang digunakan adalah resep. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Resep di Apotek, pelayanan resep di apotek meliputi skrining resep dan penyiapan obat. Skrining resep yang dimaksud meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Sedangkan untuk penyiapan obat meliputi beberapa tahapan, salah satunya yaitu pemberian informasi obat. Adanya standar pelayanan tersebut dimaksudkan sebagai pedoman apoteker dalam menjalankan praktek di apotek untuk menghindari terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dari 90 apotek yang menjadi sampel penelitian, pada 70 apotek obat tersedia. 66 apotek tersedia obat sesuai resep (Isosorbid dinitrat 5 mg), 4 apotek melakukan penggantian obat dari generik ke merek dagang dan sisanya (pada 20 apotek) obat tidak tersedia. Pada 20 apotek tersebut memang tidak menyediakan ISDN generik, tetapi ada kemungkinan menyediakan ISDN dengan merek dagangnya. Tidak tersedianya ISDN generik ini

47

dimungkinkan karena apotek menyesuaikan permintaan dokter penulis resep yang ada di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk penggantian obat, menurut PP no 51 tahun 2009, mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain harus atas persetujuan dokter dan/atau pasien (Pemerintah RI, 2009a). Dari 4 apotek yang melakukan penggantian dengan merek dagang, 1 apotek mengganti obat dengan persetujuan dari peneliti. Sedangkan 3 lainnya tanpa persetujuan dari peneliti. Merek dagang yang diberikan adalah Vascardin 10 mg oleh 1 apotek, Farsorbide 5 mg oleh 2 apotek dan Cedocard 5 mg oleh 1 apotek. Penggantian obat yang dilakukan dengan persetujuan dari peneliti adalah Farsorbide. Penggantian obat tanpa persetujuan dari dokter ataupun pasien tentunya tidak sesuai dengan peraturan pemerintah tersebut. Dari 3 apotek yang mengganti obat tanpa persetujuan, salah satu diantaranya ada yang mengganti kekuatan obat dari 5 mg menjadi 10 mg. Penggantian kekuatan dari 5 mg menjadi 10 mg harus disampaikan kepada pasien karena berhubungan dengan penggantian aturan pakai. Apabila kekuatan obat yang diberikan lebih tinggi tetapi aturan pakainya tetap, berarti pasien mengkonsumsi obat dengan dosis yang lebih tinggi. Jumlah obat tiap penggunaan termasuk informasi yang penting untuk disampaikan kepada pasien. Tujuannya agar pasien mengetahui berapa jumlah obat yang harus diminum setiap kali penggunaan sehingga tidak terjadi overdose yang dapat menimbulkan toksisitas ataupun underdose yang menyebabkan efek terapi tidak bisa tercapai secara optimal. Dari 70 apotek yang obatnya tersedia, terdapat 12 apotek yang memberikan informasi mengenai jumlah obat tiap penggunaan. Menurut aturan pakai yang tertulis di resep, jumlah obat tiap kali minim untuk ISDN 5 mg adalah 1 tablet. Informasi ini disampaikan oleh 11 apotek. Sedangkan pada 1 apotek yang mengganti kekuatan obat dari 5 mg menjadi 10 mg, petugas menyampaikan bahwa jumlah obat yang harus diminum adalah tablet. Cara penggunaan obat Isosorbid dinitrat ada dua macam yaitu secara peroral dan sublingual (Schull, 1999). Dari 70 apotek yang obatnya tersedia, cara penggunaan obat diberikan oleh 11 apotek. Informasi yang diberikan mengenai penggunaan secara peroral maupun sublingual dapat dilihat pada tabel V.1. Terdapat 7 apotek memberikan informasi cara penggunaan secara peroral, 3 apotek

48

memberikan informasi cara penggunaan secara sublingual dan 1 apotek memberikan informasi cara penggunaan kombinasi peroral dan sublingual. Informasi ini penting disampaikan agar pasien dapat menggunakan obatnya dengan benar. Apabila tidak diinformasikan kepada pasien maka dikhawatirkan pasien akan berasumsi bahwa penggunaan obatnya hanya secara peroral. Penggunaan ISDN secara peroral diinginkan agar efek terapinya berlangsung lama dan sublingual untuk mengatasi jika terjadi serangan. Serangan pada pasien dapat terjadi sewaktuwaktu dan apabila tidak segera mendapatkan obat maka dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, dengan pemberian informasi mengenai penggunaan secara sublingual ini diharapkan dapat membantu pasien ketika pasien terkena serangan. Penggunaan secara sublingual memiliki efek yang cepat karena obat tidak mengalami first past metabolism (Joenoes, 2001b). Di bawah lidah terdapat banyak kelenjar saliva dan pembuluh darah. Adanya kelenjar saliva akan mempercepat penghancuran tablet sehingga tablet cepat larut dan banyaknya pembuluh darah di bawah lidah akan mempercepat absorpsi. Semakin cepat obat diabsorpsi, maka obat juga semakin cepat memberikan efek terapi. Informasi frekuensi penggunaan obat merupakan jumlah informasi terbanyak yang diperoleh dari penelitian yaitu sebanyak 46 apotek. Dari 46 apotek tersebut, informasi yang disampaikan sudah sesuai dengan aturan pakai yang ada di resep, yaitu sehari 2 kali. Frekuensi penggunaan yang terlalu sering akan mengakibatkan dosis yang masuk ke dalam tubuh terlalu tinggi sehingga cepat terjadi toleransi. Sedangkan frekuensi yang terlalu rendah akan menyebabkan dosis yang masuk ke dalam tubuh terlalu rendah sehinga efek terapi tidak bisa tercapai. Waktu penggunaan obat diberikan oleh 8 apotek. Informasi waktu penggunaan obat penting untuk disampaikan kepada pasien agar pasien patuh dalam menggunakan obatnya. Informasi yang dimaksud yaitu 30 menit sebelum makan atau 1 sampai 2 jam setelah makan untuk penggunaan oral. Penggunaannya bisa pagi dan siang, siang dan sore atau pagi dan sore. Sedangkan secara sublingual yaitu ketika terjadi serangan atau saat akan melakukan aktivitas yang berat. Informasi mengenai waktu penggunaan obat yang diperoleh dari penelitian dapat dilihat pada tabel V.1. Dari 7 apotek yang memberikan informasi cara penggunaan oral, terdapat 2 apotek yang memberikan informasi waktu penggunaan pagi dan

49

sore, 5 apotek lainnya tidak memberikan informasi waktu penggunaannya. Sedangkan dari 3 apotek yang memberikan informasi cara penggunaan sublingual, 1 apotek memberikan informasi waktu penggunaan pagi dan malam, 2 apotek lainnya tidak memberikan informasi waktu penggunaan. Selain itu, terdapat 1 apotek yang memberikan informasi cara penggunaan gabungan yaitu secara oral dan sublingual, secara oral pada pagi dan sore/malam serta secara sublingual ketika terjadi serangan. Selain yang sudah disebutkan di atas, ada juga apotek yang tidak memberikan informasi cara penggunaan, tetapi langsung memberikan informasi waktu penggunaannya, yaitu pagi/siang dan malam sebanyak 2 apotek dan setelah makan sebanyak 2 apotek. Berdasarkan referensi disebutkan bahwa penggunaan ISDN dengan aturan pakai 2 kali sehari sebaiknya diminum pada pagi dan siang hari dengan jarak 6 jam dan diberi periode bebas nitrat selama 10 12 jam. Pemberian ISDN sebaiknya diberikan pada pagi dan siang hari karena sebagian besar aktivitas dilakukan pada siang hari, sehingga pada saat tersebut kebutuhan oksigen tubuh meningkat. Apabila dibandingkan dengan referensi tersebut, maka informasi penggunaan selain pada pagi dan siang hari dianggap kurang tepat. Penggunaan Isosorbid dinitrat harus diberi selang waktu. Apabila interval waktu penggunaannya terlalu dekat (kurang dari 4 jam) dan terjadi selama beberapa hari maka dapat menyebabkan toleransi nitrat (Suyatna, 2007). Informasi yang diperoleh yaitu penggunaannya diberikan selang waktu lebih dari 12 jam. Selang waktu tersebut lebih lama bila dibandingkan yang ada di referensi yaitu 4 - 6 jam (Suyatna, 2007). Efek samping yang mungkin timbul serta bagaimana cara mengatasinya harus disampaikan kepada pasien (Rantucci, 2007). Efek samping memang tidak selalu muncul, tergantung kondisi dari masing-masing pasien. Dari penelitian terdapat 1 apotek yang memberikan informasi mengenai efek samping serta pengatasannya. Efek samping yang disebutkan sesuai dengan pendapat Suyatna (2007) yaitu pusing dan cara pengatasannya adalah sesaat setelah minum obat, pasien tidak diperbolehkan langsung beraktivitas karena tekanan darahnya turun. Tekanan darah yang turun dapat menyebabkan pasien pingsan. Efek samping ini perlu disampaikan kepada pasien agar pasien dapat mengantisipasi kemungkinan

50

terjadinya efek samping. Dari hasil penelitian, hanya 1 apotek yang memberikan informasi tersebut. Pengatasan efek samping penting disampaikan meskipun efek samping tidak selalu terjadi. Hal ini untuk antisipasi agar ketika efek samping tersebut muncul, pasien sudah mengatahui apa yang harus dilakukannya. Dari penelitian terdapat 1 apotek yang memberikan informasi pengatasan efek samping obat, yaitu setelah mengkonsumsi obat, pasien tidak diperbolehkan langsung beraktivitas. Hal ini sudah sesuai dengan cara pengatasan efek samping yang disampaikan oleh Suyatna (2007), yaitu pasien disarankan untuk duduk sesaat sebelum dan setelah meminum ISDN. Secara keseluruhan, dari 70 apotek yang obatnya tersedia informasi obat yang paling banyak diberikan yaitu frekuensi (65,70%); jumlah obat tiap penggunaan (17,10%); cara penggunaan obat (15,71%) yang terdiri dari oral (10,0%), sublingual (3,42%) dan gabungan oral dengan sublingual (1,14%); waktu penggunaan obat (11,43%); interval waktu penggunaan obat (1,14%); efek samping obat (1,14%) dan pengatasan efek samping obat (1,14%). Sedangkan informasi lainnya tidak disampaikan. Informasi yang sama sekali tidak disampaikan oleh petugas apotek dapat diliat pada tabel V.2, meliputi nama obat, tujuan pengobatan, indikasi obat, jumlah obat yang diberikan, peringatan, lama waktu penggunaan obat, interaksi obat, kontraindikasi, cara penyimpanan, aktivitas yang harus dihindari, makanan dan minuman yang harus dihindari, rencana pemantauan lanjutan dan saran. Informasiinformasi tersebut seharusnya disampaikan kepada pasien agar tujuan terapi pasien bisa optimal. Nama obat seharusnya disampaikan kepada pasien agar pasien mengetahui dan dapat menyebutkan kembali obat apa yang sedang atau pernah digunakannya ketika berkunjung ke dokter atau akan melakukan pengobatan secara swamedikasi. Sehingga kemungkinan terjadinya drug related problem khususnya interaksi obat dapat diperkecil. Tujuan dan indikasi pengobatan seharusnya juga disampaikan kepada pasien. Dengan mengetahui tujuan dan indikasi pengobatan, diharapkan pasien akan mematuhi terapi yang sedang dijalaninya.

51

Untuk jumlah obat yang diberikan, seharusnya adalah 20 tablet atau 10 tablet jika peneliti hanya mengambil separuhnya. Namun, pada saat penelitian terdapat 1 apotek yang memberikan 18 tablet ketika peneliti meminta obat separuhnya dan pada salinan resep yang diberikan tertulis jumlah obat yang diresepkan adalah 30 tablet. Padahal di resep tertulis dengan jelas sebanyak 20 tablet. Hal ini dimungkinkan karena petugas salah dalam membaca resep, tidak menjalankan standar pelayanan resep yang meliputi skrining resep dan penyiapan obat seperti yang terdapat pada Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004. Jumlah obat penting untuk disampaikan kepada pasien untuk menjamin kesesuaian jumlah obat yang diberikan oleh petugas apotek dengan yang tertulis pada resep. Kalau memang jumlahnya kurang dari jumlah yang ada di resep, seharusnya pasien diberi salinan resep untuk mengambil sisa obatnya. Hal ini diperlukan agar out come terapi dapat tercapai. Peringatan juga merupakan hal yang penting untuk disampaikan, apalagi jika pasien tersebut adalah pasien baru. Dengan memberikan informasi mengenai peringatan, maka terjadinya toleransi nitrat dapat diminimalkan dan diharapkan pasien dapat mengetahui apa yang harus dilakukan ketika terjadi serangan yang tidak segera teratasi. Lama waktu penggunaan obat sebaiknya disampaikan agar pasien mengetahui sampai kapan obat tersebut harus digunakan dan kapan pasien harus periksa lagi ke dokter. Sesuai dengan jumlah obat serta aturan pakai yang tertulis pada resep, ISDN 5 mg sebanyak 20 tablet dengan aturan pakai 2 kali sehari maka lama waktu penggunaan obatnya adalah 10 hari atau 5 hari jika obat diambil separuhnya. Dari penelitian terdapat 1 apotek yang mengganti kekuatan obat dari 5 mg menjadi 10 mg dengan jumlah obat yang diberikan tetap (20 tablet). Jumlah obat tiap kali minum untuk kekuatan 10 mg adalah tablet. Jadi, pada penggantian tersebut seharusnya diinformasikan bahwa obat yang diberikan (sebanyak 20 tablet) digunakan selama 20 hari. Namun, dari penelitian tidak ada yang memberikan informasi lama waktu penggunaan obat. Interaksi obat penting disampaikan kepada pasien (Rantucci, 2007). Adanya interaksi obat dapat meningkatkan bioavailabilitas ataupun menurunkan bioavailabilitas dari obat. Peningkatan bioavailabilitas dapat menimbulkan

52

toksisitas sedangkan penurunan bioavailabilitas dapat menyebabkan efek terapi tidak bisa tercapai. Terkait kontraindikasi obat, ISDN dikontraindikasikan dengan pasien yang hipersensitif terhadap nitrat, hipovolemia, anemia, trauma di kepala, pelebaran pembuluh darah di kepala dan glaukoma (Suyatna, 2007). Apabila pasien dengan kondisi tersebut tetap mengkonsumsi ISDN, maka dikhawatirkan kondisi pasien justru semakin memburuk. Menurut Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004, cara penyimpanan obat sebaiknya disampaikan kepada pasien. Hal ini perlu disampaikan agar pasien dapat menyimpan obat dengan benar selama obat belum digunakan sehingga dapat dipastikan kandungan bahan aktifnya tetap stabil. Aktivitas yang harus dihindari termasuk infomasi yang sekurang-kurangnya harus disampaikan kepada pasien menurut Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004. Tujuan penyampaian informasi ini agar pasien yang sedang dalam masa terapi dengan ISDN tidak melakukan kerja yang berat yang dapat memicu terjadinya serangan secara mendadak. Sesuai dengan Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004, makanan dan minuman yang harus dihindari perlu disampaikan kepada pasien. Makanan dan minuman yang harus dihindari untuk pasien yang mengkonsumsi ISDN adalah makanan dan minuman yang beralkohol karena dapat meningkatkan risiko terjadinya hipotensi postural (McEvoy, 2002). Rencana pemantauan lanjutan penting disampaikan kepada pasien (Rantucci, 2007). Mengingat terapi dengan ISDN ini merupakan terapi jangka panjang, maka seharusnya diinformasikan ke pasien agar periksa lagi ke dokter untuk mengetahui perkembangan pasien setelah menggunakan obat tersebut. Pentingnya menyampaikan rencana pemantauan lanjutan yaitu agar kondisi pasien tetap terpantau dan mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Saran tentunya sangat membantu keberhasilan terapi pasien. Pada penggunaan obat, pasien dapat disarankan untuk mematuhi aturan penggunaan obat. Sedangkan secara nonfarmakologis, sebaiknya pasien disarankan untuk merubah pola hidup yang kurang sehat serta melakukan kegiatan yang ringan-ringan saja. Dengan pemberian saran untuk merubah pola hidup yang kurang sehat, maka

53

diharapkan pasien dapat merubah pola hidupnya menjadi pola hidup yang sehat dan dengan melakukan pekerjaan yang ringan, maka dapat memperkecil kemungkinan terjadinya serangan secara mendadak. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027 Tahun 2004 tentang informasi obat yang harus disampaikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi 4 hal yaitu cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Informasi yang diperoleh tersebut, bila dibandingkan dengan Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004, maka hanya 1 informasi yang diberikan, yaitu cara pemakaian obat yaitu sebanyak 15,71%. Secara keseluruhan, tidak ada satupun apotek yang memberikan informasi secara lengkap sesuai dengan Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004. Pemberian etiket juga termasuk dalam standar pelayanan resep di apotek (Depkes RI, 2004). Pada etiket selain memuat nama dan alamat apotek, juga harus mencantumkan nama dan nomor Surat Izin Pengelola Apotek (SIPA) dari apoteker yang bertanggung jawab; nomor urut dan tanggal resep ditulis; nama pasien dan aturan pakai sesuai dengan petunjuk yang tercantum pada resep asli (Joenoes, 2001a). Dari 70 apotek yang obatnya tersedia, sebanyak 56 apotek menyerahkan obat dengan diberi etiket. Etiket yang digunakan adalah etiket putih. Ini sudah sesuai dengan obat yang diberikan, yaitu untuk obat dalam atau digunakan secara oral (Joenoes, 2001a). Dari 56 apotek tersebut, terdapat 1 apotek yang salah menuliskan nama pasien, 1 apotek tidak menuliskan nama pasien, 24 apotek tidak memberikan nomor urut peracikan dan 7 apotek tidak menuliskan tanggal. 14 apotek menyerahkan obat tanpa diberi etiket. Dari 14 apotek tersebut, terdapat 1 apotek yang menuliskan aturan pakainya pada kemasan strip obat. Berdasarkan hasil penelitian, dari 70 apotek yang obatnya tersedia, 21 apotek memberikan salinan resep. Dari 21 apotek tersebut, 1 apotek memberikan salinan resep karena obatnya diambil sebagian dan 1 apotek menawarkan dulu kepada peneliti apakah peneliti berkenan menerima salinan resep, sedangkan lainnya langsung memberi salinan resep tanpa menawarkan terlebih dahulu. Dari 21 apotek yang memberikan salinan resep, 3 apotek tidak menuliskan nomor, 2 apotek

54

salah menuliskan nama obat, 1 apotek salah menuliskan jumlah obat, 1 apotek tidak menuliskan kekuatan obat dan 4 apotek tidak ada tanda tangan apoteker. Joenoes (2001a) menyatakan bahwa preparat nitrat dan nitrit merupakan obat yang masuk dalam daftar obat keras. Sebagaimana kita ketahui, bahwa untuk mendapatkan obat keras tentunya harus dengan resep dari dokter. Tetapi pada penelitian terdapat dua apotek yang menyatakan bahwa obat ini dapat di beli tanpa menggunakan resep. Hal ini dimungkinkan karena petugas apotek menganggap obat ini bukan obat keras dan bisa dibeli secara bebas. Dalam penelitian ada juga yang mengembalikan resep kepada peneliti, yaitu sebanyak 20 apotek. Padahal menurut Kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004 dijelaskan bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi baik administrasi umum yang meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku maupun administrasi pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Depkes RI, 2004). Berdasarkan SK Menkes RI nomor 280/Menkes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek, disebutkan bahwa bila obat sudah diserahkan kepada pasien, kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor unit pembuatan serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Kegunaannya adalah untuk memungkinkan penelusuran kembali bila setelah sekian waktu terjadi sesuatu akibat dari obat yang diberikan. Setelah lewat dari tiga tahun, resep-resep boleh dimusnahkan dengan membuat berita acara pemusnahan. Pengembalian resep tentunya tidak sesuai dengan kedua peraturan tersebut. Pengembalian resep ini kemungkinan karena kurangnya pemahaman petugas apotek terkait peraturan pemerintah, atau bisa juga karena pihak apotek merasa untuk menyimpan resep membutuhkan tempat dan waktu. Pemberian informasi obat merupakan salah satu bentuk interaksi langsung antara apoteker dengan pasien sebagai konsekuensi adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi obat ke pharmaceutical care. Terkait ISDN, terdapat hal-hal yang penting untuk disampaikan kepada pasien. Apabila informasi tersebut tidak disampaikan kepada pasien maka sangat berpotensi menimbulkan drug related problem (DRP) yang berakibat terapi pasien tidak bisa optimal. Untuk

55

meminimalisasi adanya DRP, maka diperlukan peran apoteker sebagai pemberi informasi obat kepada pasien. Agar dapat memberikan informasi yang benar, seorang apoteker dituntut untuk memiliki pengetahuan, ketrampilan dan perilaku berinteraksi langsung dengan pasien (Depkes RI, 2004). Secara umum, hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pelayanan resep di apotek khususnya dalam hal pemberian informasi obat pada pasien masih rendah. Adapun hal-hal yang mugkin menyebabkan rendahnya informasi yang disampaikan tersebut antara lain karena pemberi informasi tersebut belum tentu seorang apoteker, mungkin asisten apoteker atau karyawan yang lain. Keterbatasan bekal keilmuan yang dimiliki oleh asisten apoteker atau karyawan lain menyebabkan informasi obat yang diberikan juga sedikit. Selain itu, rendahnya informasi yang diperoleh kemungkinan juga disebabkan karena tidak adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan resep. Dengan adanya SOP pelayanan resep, maka diharapkan pelayanan resep mulai dari penerimaan resep sampai penyerahan obat serta pemberian informasi obat kepada pasien tidak dipengaruhi oleh kondisi ramai tidaknya apotek. Sehingga pasien mendapatkan informasi yang diperlukan dan terapi yang dijalaninya dapat optimal. Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu peneliti hanya meneliti isi informasi yang disampaikan oleh petugas apotek kepada pasien. Sedangkan siapa yang memberikan informasi, apakah apoteker atau bukan tidak diteliti oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai