FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
KLASIFIKASI MASERAL
Maseral pada batubara analog dengan mineral
pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari
batubara yang bisa teramati dengan mikroskop.
Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau
bagian tumbuhan menjadi tiga grup, yaitu :
1. Vitrinit
2. Liptinit (Exinit)
3. Inertinit
KLASIFIKASI MASERAL
1. Vitrinit
Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang
berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan
yang mengandung serat kayu (woody tissue) seperti batang, akar,
daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara di indonesia
(>80 %).
Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna
pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit, namun lebih
gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua
hinggga abu-abu terang.
Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat
pembantubaraanya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan
maka warna akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung
unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasinya berada
diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis 1,3 1,8 dan
kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter
sekitar 35,75 %.
KLASIFIKASI MASERAL
2. Liptinit (Exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari
sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, gangang (algae),
kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi
dan bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan
butiran pollen), cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral
sekunder yang berasal dari getah maseral liptinit lainya yang keluar dari proses
pembantubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), flourinite (degradasi dari
resinit), liptoderinit (detritus dari maseral liptinite lainya), alganitie (gangang)
dan bituminite (degradasi dari material algae).
Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga
sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis :
refletivitas rendah dan flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara
pada tangk rendah sampai tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil
(Taylor 1998) dibawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning
muda hingga kuning tua di bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa
kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinite mempunyai berat
jenis 1,0 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan
maseral lain, sedangkan kandungan volatile matter sekitar 66 %.
KLASIFIKASI MASERAL
3. Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan
liptinite tetapi dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok
inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan
sebagian berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainya atau
proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri.
Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan
karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara
kelompok lainya. Pemanasan pada awal penggambutan
menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas inertinit adalah
reflektinitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresnse, kandungan
hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti
pembakaran (charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur,
gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan.
Sebagian besar inertinit sudah pada bagian awal proses
pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 2,0 dan
kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta
kandungan volattile matter sekitar 22,9 %.
KLASIFIKASI MASERAL
Detrovitrinite Atrinite
Desinite
Desmocolinite
KLASIFIKASI MASERAL
Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia
Gelovitrinite Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Liptinite Sporinite
Cutinite Resinit
Suberinite Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite Alganite
Bituminite
Inertinite Teloinertinite Fusinite
Semifusinite
Scelorotinite
Detroinertinite Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite macrinite
KLASIFIKASI MASERAL
Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya
suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat
penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel,
1992). Navale (1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan
pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinit, batubara dari
lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya
akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan
batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit,
resinit dan inertinit.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
BATUBARA
Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor
kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi
didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap maseral
dalam batubara. Diessel (1992) memperkenalkan dua
parameter utama dalam penertuan fasies batubara
berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu:
1. TPI
TPI (Tissue Presevation Index) menyatakan perbandingan
antara struktir jaringan pada maseral yang terawetkan dan
struktur jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi).
TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang
terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan.
Tingginya derajat humifikasi dapat menyebabkan
terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh
harga TPI yang kecil.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
BATUBARA
Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin
kecil harga GI menunjukan tingkat oksidasi yang semakin besar.
MASERAL DAN LINGKUNGAN
PENGENDAPAN BATUBARA
Tingkat gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :
1. Menunjukan basah keringnya kondisi pembentukan batubara.
Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang
kontinyu.
2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat
berlangsung pada derajat keasaman rendah
3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia
Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan
derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan
batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan
tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering
dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan
dekomposisi aerobik yang terbatas
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
BATUBARA
PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI
Salah satu parameter dalam pembentukan mire / lahan gambut
(rheotophic, mesotropic dan ombrotopic) adalah kondisi
pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI
(Graoundwater Index) yang secara langsung berhubungan
dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi / ion-ion yang
ada pada air.
Rheotropic mire menerima suplai air dari aliran tanah, air dari
lingkungan dan air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan
ion serta kandungan mineral, sementara ombrotropic mire hanya
akan menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi
(oligotropic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi Fen, Swamp,
dan Marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada
lahan gambut. Sementara mire dapat diistilahkan sebagai Bogs
(Moore, 1987 dalam Calder 1991).
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
BATUBARA
Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara dan
gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan yaitu :
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air
tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit dari hasil reduksi ini biasanya
framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat
dalam material yang terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi cleat
karena kation kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam batubara
oleh aliran yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuck
TD, dalam International Journal of Coal Geology, 1992)
Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan
kristal euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh
keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok
bagi pembentukanya (Casagrande, 1987)
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada
lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi
(dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang
dipengaruhi oleh trangresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam
batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase trangresi
(Cohen AD dalam Taylor 1998).
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA
Navael (1981), sulfur organik atau bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan
aktivitas bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Deulfovibrio sedlfurican dan
Clostridium nigrificans mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk
terbentuknya pirit, dimana unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang
terbawa dalam material lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan
pada lapisan lempung sebagai floor / roof maupun sisipan.
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi
dalam menertukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya
melimpah dalam lingkungan marine atau payau kemungkinan besar akan terubah
membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia.
Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen
sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan
desulfotomaculum (Trudinger dalam Mayers, 1982)
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau
molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan
mucul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen
terlarut dalam kisi-kisi air, disamping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas
bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat berekasi dengan asam humik yang terbentuk selama
proses penggambutan. (Mayers, 1982)
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA