Anda di halaman 1dari 12

mungkinkah Infeksi Virus Dengue Dapat

Memprovokasi Terjadinya Hepatitis Autoimun


Fulminant dan Sistemik Lupus Erimatosus ?

Disusun Oleh :
Prof.Dr.dr. Listio Budi Santoso.,Sp.PD
Prof.Dr.dr. Septian Niko., Sp.PD

Pembimbing
dr. Taufiq M Wally.,Sp.PD
• Pendahuluan
Hepatitis autoimun (AIH) adalah hepatitis kronis yang menyerang wanita
empat kali lebih sering daripada pria. Prevalensinya adalah 1,9 per
100.000.Pada 25% AIH, onset akut AIH diamati, dan kasus AIHH fulminan
yang langka telah dilaporkan. Kegagalan hati akut (ALF) terjadi 2000 kasus
per tahun, penyebab yang paling menonjol adalah obat hati yang diinduksi
hati, hepatitis virus, penyakit hati autoimun dan hipoperfusi.
AIH-SLE overlap syndrome jarang terjadi. Hanya 3% pasien dengan
AIH yang memenuhi kriteria SLE (Systemic Lupus Erythematosus) dan
1,7% pasien SLE memiliki AIH atau sirosis hati. Pasien dengan disfungsi
hati dan SLE harus diselidiki untuk AIH karena 2 entitas ini dapat terjadi
bersamaan.
•Presentasi Kasus
Seorang wanita berusia 25 tahun mengalami demam 3 hari, kelelahan dan
mual, tanpa riwayat penyakit hati. Dia menderita leukopenia,
trombositopenia dengan tes serologis Dengue negatif, kadar bilirubin
normal dan peningkatan kadar ALT dan AST (110 U / L dan 144 U / L).
Di minggu kedua, ia menjadi icteric dengan ruam diskoid dan demam. Tingkat ALT
dan AST meningkat dengan cepat menjadi 748 U / L dan 587 U / L, dengan
peningkatan kadar GGT (82 U / L), kadar bilirubin total (15,7 mg / dl), ALP 131 U / L.
Serologi hepatitis virus (A, B, C) negatif. Karena kadar bilirubin total meningkat
menjadi 27,9 mg / dl (bilirubin terkonjugasi 18,3 mg / dl), dia menjadi lebih icteric
pada minggu ketiga, dalam keadaan koma. Tes ANA positif, anti-dsDNA 29 IU / ml.
Gamma globulin meningkat. Tingkat C3 & C $ menurun. Dia mengalami pendarahan
mukosa yang parah dengan perpanjangan aPTT dan PT, INR, 3, D-dimer 1200 ng / ml,
Anti trombin III 0%. Kami mendiagnosis pasien ini dengan ALF karena sindrom overlap
Fulhadan AIH-SLE, yang disebabkan oleh infeksi virus akut. Dia dirawat dengan
kortikosteroid dosis tinggi, Atithrombin III, Fresh Frozen Plasma, Vitamin K, dan
tindakan suportif lainnya. Pasien meninggal karena pendarahan yang parah.

KESIMPULAN
ALF karena AIH memiliki prognosis yang buruk, oleh karena itu diagnosis dan
penanganan segera harus dilakukan. Antiribosomal P antibodi dapat membedakan
hepatitis terkait dengan AIH. Uji AMA, anti-SMA, anti-LKM harus dilakukan sebagai
Sarana subkelas AIH.
Kata kunci: Gagal Hati Akut, Hepatitis autoimun, Lupus Erythematosus Sistemik.
DISKUSI
Saya tidak berhasil mendapatkan naskah lengkap dari pasien tersebut di atas.
Walaupun demikian saya berpendapat bahwa abstrak tersebut cukup jelas untuk
dapat menjadi bahan diskusi dan sangat penting untuk didiskusikan. Untuk
menjawab apakah infeksi virus Dengue dapat memprovokasi terjadinya hepoatitis
autoimun dan SLE, kita harus membuktikan dulu bahwa pasien tersebut pada saat
waktu masuk rumah sakit memang menderita DBD. WHO mengatakan 2,5 miliar
penduduk dunia atau 2/5 bagian dunia atau >100 negara di dunia potensial untuk
terinfeksi virus Dengue (World Dengue Potential Infected/WDPI). Dari jumlah itu,
70%nya berada di Negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, Timor Leste, Laos dan Brunei).
Karena itu sudah sepantasnya, bila ada pasien dengan panas ?7 hari, harus
dianggap sebagai infeksi Dengue sampai dengan dibuktikan bukan. Kecurigaan
akan adanya infeksi Dengue bertambah besar bila pada pasien tersebut didapatkan
trombositopenia. Sebab harus diakui secara kenyataan bahwa pada negara-negara
tersebut penyebab tersering trombositopenia adalah infeksi Dengue. Bahkan pada
pasien tanpa panaspun tapi didapatkan trombositopenia, menurut hemat saya
sudah selayaknya tetap harus dianggap disebabkan infeksi Dengue sampai dengan
dibuktikan bukan.
Ada atau tidaknya panas pada prinsipnya disebabkan dari berapa banyak
asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamaus. Dan rangsangan
hipotalamus untuk mengeluarkan asam arakhidonat ini tergantung berapa
banyaknya kerusakan di sirkulasi. Trombosit yang jatuh sedikit misalnya
125.000/mm3 bisa tidak menimbulkan panas bila kerusakan lain di sirkulasi
belum terjadi seperti plasma leakage yang luas, DIC, konsumtif koagulopathi,
dsb. Dan sering terjadi, terutama pada orang tua yang terinfeksi Dengue,
trombosit 125.000/mm3 itu dengan cepat naik sendiri tanpa terapi apapun.
Kembali pada paisen yang tertulis pada abstrak di atas, pasien tersebut secara kritetria
WHO 2009 telah dapat dimasukkan sebagai Dengue infection with warning sign
karena adanya panas, trombositopenia, mual dan kelemahan, betapapun serologic tes
Denguenyanegatif
Pada infeksi primer dari virus Dengue IgM baru positif pada hari ke 5 sakit dan
IgG positif pada hari ke 14 sakit. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG positif pada hari
ke 2 sakit. Dengan dasar ini mendiagnosa pasien tersebut dengan Dengue infection
with warning sign atau diyakini adanya infeksi Dengue tidak dapat disalahkan. Dan
kemungkinan pasien tersebut mengalami infeksi primer dari virus Dengue. Kebenaran
akan diagnosa tersebut akan bertambah besar pula bila kita mendapatkan adanya
perdarahan pada pasien walaupun hanya minimal misalnya didapatkan tes bendungan
yang positif atau Rumple Leed (RL) test yang positif.
Pada abstrak tidak terlihat pemeriksaan RL tersebut. Tetapi walaupun test RL negatif adanya
infeksi Dengue tidak dapat disingkirkan berdasarkan uraian di atas. Dan harus diingat pula RL tes
itu bisa saja akan positif bila diulang beberapa jam kemudian (oleh karena pada saat itu baru saja
terjadi kerapuhan dinding kapiler di daerah tersebut). Kita juga harus mencoba pada lengan yang
lain test RL tersebut karena mungkin saja di lengan yang lain tersebut test RLnya positif. Bahkan
sering terjadi test RL yang negatif pada awalnya setelah dilihat kembali pada lengan tersebut
berubah menjadi positif beberapa menit kemudian. Test RL yang positifpun pada pasien yang
panas harus selalu dianggap diakibatkan oleh infeksi Dengue sampai dengan dibuktikan bukan.
Pada pasien DM, malnutrisi, defisiensi vitamin C, test RL dapat pula positif walaupun tidak
terinfeksi virus Dengue. Selain hal-hal di atas apabila ditemukan pada laboratorium limfosit count
<20%, monosit count <3%, Ht/Hb >3x, dan limfosit plasma biru yang >1% kecurigaan adanya
infeksi Dengue makin bertambah besar. Hal tersebut telah saya bicarakan panjang lebar dalam
situs saya www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
Cara diagnosa adanya infeksi Dengue berdasar kriteria WHO 2009 jauh lebih baik ketimbang
diagnosa adanya infeksi Dengue berdasar kriteria WHO 1997 terutama pada daerah-daerah hiper
endemis Dengue. Sebab pada kriteria tahun 2009 kita tidak harus menunggu panas s/d 2 hari
dulu atau menunggu trombosit sampai jatuh <100.000/mm3 untuk mendiagnosa adanya infesi
Dengue . dan kita tidak harus memisahkan antara Dengue fever dengan Dengue hemorrhagic
fever. Menunggu panas s/d harus 2 hari dulu, adalah satu hal yang sangat berbahaya. Segala hal
yang buruk dapat terjadi dalam tempo satu hari tersebut. Begitu juga menunggu sampai
trombosit turun di bawah 100.000 adalah hal yang bebahaya pula.
Sebab trombosit yang jumlahnya 140.000 pada awalnya bisa saja langsung
turun 5.000 dalam tempo sebentar saja. Begitu juga membagi infeksi Dengue
menjadi demam Dengue dan demam berdarah Dengue termasuk hal yang
berbahaya. Dalam waktu singkat demam Dengue dapat menjadi demam
berdarah Dengue dan kemudian diikuti dengan Dengue Shock Syndrome yang
menyebabkan kematian pasien. Begitu juga dengan jumlah hematokrit
yang harus meningkat >20% saesuai dengan umur dan jenis kelamin seperti
kriteria 1997 sangat sulit dilakukan. Karena kita belum sepakat berapa hematokrit
standar untuk Bangsa Indonesia sesuai umur dan jenis kelamin. Begitupun
menunggu turunnya hematokrit s/d 20% setelah mendapat cairan akan
memperlambat diagnosa adanya infeksi Dengue.
Dengan alasan-alasan di atas jumlah kematian akibat infeksi Dengue bila para
dokter mendiagnosa infeksi Dengue berdasarkan kriteria 1997 seharusnya tinggi.
Tapi kita melihat bahwa laporan kematian DBD adalah rendah hanya berkisar 1-
2% saja bahkan kurang dari 1%. Hal ini terjadi oleh karena kematian yang
terhitung itu hanyalah kematian pada pasien DSS/DBD dan kebanyakan yang
mati tersebut dirawat di rumah sakit. Pasien dengan diagnosa Dengue fever tidak
dirawat atau dipulangkan dan bila kemudian pasien tersebut berubah menjadi
DBD/DSS di rumahnya dan kemudian pasien tersebut meninggal dunia maka
secara statistik pasien tersebut tidak tercatat mati karena DBD. Itulah sebabnya
apabila kita memakai criteria tahun 1997 untuk mendiagnosa DBD maka kita
hanya akan melihat puncak gunung es yang pendek dan badan gunung es yang
tidak terlihat.
Bila kita menggunakan kriteria 2009 kita akan melihat seluruh gunung es
tersebut dan puncaknya yang tinggi. Sehingga kita akan lebih berhati-hati dan
berusaha supaya puncak gunung es tersebut tidak sampai tinggi (GAMBAR 1&2).
Tapi menurut saya tetaplah tidak seluruh gunung es tersebut akan terlihat. Sebab
kriteria WHO 2009 masih mensyaratkan adanya panas untuk mengatakan adanya
infeksi Dengue. Sedangkan saya berdasarkan keterangan-keterangan di depan
mengatakan bahwa diagnosa infeksi Dengue dapat ditegakkan tanpa harus
adanya panas. Baru dengan demikian seluruh gambar gunung es akan terlihat.
Contoh dari penerapan teori T.MUDWAL pada berbagai macam kasus dapat
dibaca pada situs saya www.dhf-revolutionafankelijkheid.net.
Dengan uraian-uraian di atas adanya infeksi Dengue pada pasien saat
masuk rumah sakit sangat sulit untuk dibantah. Atau mungkin ada
sebagian dari sejawat yang mengatakan bahwa panas pada pasien ini
disebabkan oleh hepatitis akut dan trombositopenia yang terjadi
disebabkan gangguan dari trombopoitin disebabkan hepatitis akut
tersebut. Dasar untuk mengatakan hal tersebut karena pada
kepustakaan disebutkan fungsi dari trombopoitin adalah stimulasi
sumsum tulang untuk trombopoisis, mulai dari stimulasi sumsum tulang
untuk membuat trombosit s/d terbentuknya trombosit. Dan
trombopotin dihasilkan oleh sel hepatosit.
Pada pasien ini yang meningkat adalah GOT dan GPT, sedangkan bilirubin
totalnya tidak meningkat. GOT/GPT dihasilkan oleh banyak jaringan tubuh.
Dengan tidak naiknya bilirubin total berarti GOT dan GPT tersebut merupakan
jumlah dari organ-oragan yang meradang dari infeksi Dengue dan organ-organ
tersebut menghasilkan GOT dan GPT (hati, jantung, otot, paru, ginjal, otak). Pada
pasien ini kerusakan sel hati yang sangat berat baru terlihat setelah minggu ke 2
di mana GOT/GPT naik s/d ratusan dan bilirubin totalnya sangat tinggi (15,7).
Berdasarkan hasil laboratorium ditegakkan diagnosa bahwa hal tersebut
disebabkan adanya reaksi autoimun dimana sel hepatosit menjadi antigen dan
kemudian dihancurkan
Berdasar hal itu panas yang terjadi pada pasien saat masuk rumah sakit
bukanlah disebabkan oleh hepatitis. Bagaimana dengan trombopoitin ?
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
diantara jumlah trombopoitin dengan beratnya trombositopenia. Tetapi
hubungan menjadi sangat signifikan antara beasarnya limpa dengan beratnya
trombositopenia. Pada pasien ini pada saat masuk tidak terjadi kerusakan sel hati
yang berat berarti jumlah trombopoitinnya kemungkinan masih normal. Sehingga
trombositopenia yang terjadi bukan karena gangguan trombopoitin. Bahkan pada
keadaan kerusakan sel hati yang beratpun trombositopenia yang terjadi pada
pasien ini yaitu pada minggu ke 3 bukan pula disebabkan oleh trombopoitin.
(sesuai dengan kepustakaan yang saya baca seperti yang tertulis di atas).
Bila kita telah menyakini bahwa memang pada pasien ini jelas ada infeksi Dengue
maka kita baru dapat masuk ke diskusi utama seperti yang tertulis pada judul
yaitu: “Mungkinkah infeksi virus Dengue dapat memprovokasi terjadinya hepatitis
autoimun fulminant dan sistemik lupus erimatosus ?”
Sistim imun normal, seharusnya mampu untuk dapat beraeaksi dengan berbagai
mikroba tanpa bereaksi terhadap sel atau jaringannya sendiri (self antigen).
Bereaksi terhadap self antigen atau kegagalan dalam membedakan self dan non-
self antigen adalah dasar dari terjadinya reaksi autoimun. Setiap individu
mempunyai limfosit autoreaktif yang siap untuk bereaksi dengan self antigen.
Tetapi reaksi ini tidak terjadi oleh karena adanya mekanisme homeostasis sistem
imunologi kita (self tolerance). Kegagalan dalam memelihara self tolerance dapat
dipacu oleh segala hal yang bersifat antigenik termasuk juga virus Dengue.
Masalahnya adalah apakah memang virus Dengue itu potensial untuk
menyebabkan itu ataukah tidak ? Saya mengabaikan kekuatan virus Dengue itu
.Kesalahan terletak pada respon yang berlebih dari diri kita sendiri terhadap
virus Dengue (hipersensitif).
Reaksi hipersensitifitas inilah yang memudahkan terjadinya reaksi autoimun bahkan
terjadinya SLE. Jadi membicarakan apakah virus Dengue memprovokasi suatu reaksi
autoimun seperti tertulis pada judul diskusi kita sebenarnya adalah membicarakan
kemungkinan reaksi hipersensitifitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan
patofisiology infeksi Dengue. Dan bila hal ini diakui, maka pemberian steroid dosis
tinggi (dosis immunosupressif) harus diberikan secepatnya setelah diagnosa infeksi
Dengue ditegakkan. Pemberian kortikosteroid dosis immunosupressif ini diharapkan
dapat mencegah terjadinya reaksi autoimun (kapal tidak menabrak gunung es yang
jelas-jelas telah berada di depan mata). Karena itu kita akan mendiskusikan teori-teori
patogenesis dan patofisiologi Dengue dan silahkan pada kita untuk memilih mana
teori yang paling kuat.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai