Anda di halaman 1dari 12

DIAGNOSIS LABORATORIS DBD TERKINI

Author : Dr.Aryati,dr, MS, Sp.PK(K)

Year : 2004

Abstact :

PENDAHULUAN
Sampai saat Demam Berdarah Dengue ( DBD ) masih merupakan masalah kesehatan,
bersifat endemis dan timbul sepanjang tahun. Penyakit ini walau banyak terjadi pada anak-anak,
namun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita dewasa serta menyebabkan
morbiditas dan mortalitas.

Diagnosis laboratoris DBD baik pada anak maupun dewasa belum pernah dibedakan
secara jelas, di mana masih memakai kriteria umum yaitu isolasi virus dengan cara kultur,
pemeriksaan serologis dengan mendeteksi antibodi anti-dengue, maupun pemeriksaan asam
nukleat dari RNA virus dengue yang sekaligus dapat mendeteksi jenis serotipe virus dengue
yang diperlukan tidak saja untuk keperluan epidemiologi, namun salah satu faktor yang
kemungkinan dapat mengarah pada gradasi berat ringannya gejala infeksi virus dengue.

Konsekuensinya, diperlukan pemahaman prosedur pemeriksaan yang dapat dilakukan


secara rutin maupun untuk penelitian, beserta interpretasi hasil uji laboratorisnya. Pengertian
mengenai kinetik replikasi virus dengue dan respons terhadap host, demikian juga untuk
pengumpulan dan penanganan spesimen diperlukan untuk mengklarifikasi kekuatan dan
kelemahan dari berbagai uji/metode diagnosis infeksi virus dengue.

Diagnosis infeksi virus Dengue, selain dengan melihat gejala klinis, juga dilakukan
dengan pemeriksaan darah di laboratorium. Pada Demam Dengue
(DD), saat awal demam akan dijumpai jumlah leukosit (sel darah putih) normal, kemudian
menjadi leukopenia (sel darah putih yang menurun) selama fase demam. Jumlah trombosit pada
umumnya normal, demikian pula semua faktor pembekuan, tetapi saat epidemi/wabah dapat
dijumpai trombositopenia (jumlah trombosit yang menurun ). Enzim hati dapat meningkat
ringan. Pada Demam Berdarah Dengue (DBD), pemeriksaan laboratorium menunjukkan
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada kasus syok/SSD, selain ditemukan hasil
laboratorium seperti DBD di atas, juga terdapat kegagalan sirkulasi ditandai dengan terjadi
penurunan demam disertai keluarnya keringat, ujung tangan dan kaki teraba dingin, nadi cepat
atau bahkan melambat hingga tidak teraba serta tekanan darah tidak terukur. Seringkali sesaat
sebelum syok, penderita mengeluh nyeri perut, beberapa tampak sangat lemah dan gelisah.

Dalam menegakkan diagnosis infeksi virus Dengue diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya antibodi spesifik terhadap virus Dengue di dalam serum penderita baik berupa IgM
antidengue maupun IgG antidengue.

Penting diketahui bahwa IgG antidengue bersifat diagnostik, dapat menjadi parameter terjadinya
dugaan infeksi dengue sekunder akut. Hal ini sesuai dengan teori yang masih dianut sampai saat
ini, yaitu teori heterologous infection maupun ADE (Antibody Dependent Enhancement).Jadi IgG
yang terdeteksi dalam pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya proteksi atau
sekedar infeksi virus dengue di masa lampau.

Diagnosis yang telah ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris (WHO,1997),
ditunjang dengan pemeriksaan serologis adanya baik IgM anti dengue ataupun IgG anti dengue
yang idealnya diikuti kadarnya ( apabila memungkinkan ), hal ini akan mempertajam diagnosis
DBD. Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui serotipe Den1,2,3,4 dari virus dengue saat ini
banyak dilakukan dengan metode molekuler yaitu nested RT-PCR ( Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction ).Untuk wabah DBD yang sekarang merebak di Indonesia saat ini,
idealnya pemeriksaan dilanjutkan tidak hanya sampai serotipe namun untuk melihat subtipe,
yang akhir-akhir ini diduga sebagai strain baru.

IMUNOPATOGENESIS

Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan
target utama virus dengue adalah APC ( Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya
berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar
( hepatosit) juga dapat terkena.Viremia timbul pada saat menjelang tampak gejala klinik hingga 5
- 7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel
limfosit B dan sel limfosit T.

Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody
dependent enhancement ( ADE ). Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap
infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama, tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang
berat. Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells
enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi
terhadap terjadinya DBD dan SSD.Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut,
bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.

Infeksi dari salah satu serotipe dengue menimbulkan imunitas seumur hidup, namun
hanya sebagian kecil yang memiliki imunitas silang protektif terhadap infeksi serotipe lain. Pada
anak, infeksi virus dengue sering bersifat subklinis atau dapat menyebabkan penyakit demam
yang self-limited, namun apabila suatu saat penderita terkena infeksi virus dengue berikutnya
dengan serotipe yang berbeda, penyakit ini akan lebih berat, menjadi demam berdarah dengue
ataupun dengue syok sindrom ( anamnestic dengue infection ).Di daerah endemis, penderita yang
terdiagnosis demam dengue seringkali terbukti infeksi sekunder.

Infeksi primer ditandai dengan timbulnya antibodi IgM terhadap dengue sekitar tiga
sampai lima hari setelah timbulnya demam, meningkat tajam dalam satu sampai tiga minggu
serta dapat dideteksi sampai tiga bulan. Antibodi IgG terhadap dengue diproduksi sekitar dua
minggu sesudah infeksi. Titer IgG ini meningkat amat cepat, lalu menurun secara lambat dalam
waktu yang lama dan biasanya bertahan seumur hidup.Pada infeksi sekunder terjadi reaksi
anamnestik dari pembentukan antibodi, khususnya dari kelas IgG di mana pada hari ke dua saja,
IgG ini sudah dapat meningkat tajam. Pada berbagai penelitian di daerah di mana dengue primer
dan sekunder terjadi keduanya, didapatkan suatu angka signifikan yang menyatakan bahwa pada
pasien dengan infeksi sekunder dengue, antibodi IgM tidak terdeteksi dalam waktu lima hari
sejak infeksi timbul, bahkan pada beberapa kasus tidak menunjukkan suatu respon hingga hari ke
20.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam dengue
adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ( metode cell
culture ) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR ( Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction ), namun karena teknik yang rumit yang berkembang
saat ini adalah tes serologis ( adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total,
IgM maupun IgG ).

Pemeriksaan serologis ditujukan untuk deteksi antibodi spesifik terhadap virus dengue.
Pemeriksaan yang banyak digunakan adalah berupa uji HI ( hemagglutination inhibition test= uji
hambatan hemaglutinasi ) yang merupakan standar WHO, kemudian uji Indirect ELISA, uji
Captured ELISA untuk Dengue baik IgM Captured-ELISA
( MAC-ELISA ) maupun IgG Captured ELISA, Dengue blot/Dengue Stick/ Dot imunoasai
Dengue, dan uji ICT ( Immuno-chromatographic Test ) antara lain Dengue Rapid Test
,sedangkan uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi sudah lama ditinggalkan karena rumit dan
tidak praktis.

Uji HI yang merupakan uji serologis yang dianjurkan menurut standar WHO, dapat mendeteksi
antibodi anti-dengue, di mana infeksi virus dengue akut ditandai dengan terdapatnya peningkatan
titer empat kali atau lebih antara sepasang sera yaitu serum akut dan serum konvalesen, di
samping itu titer 1:2560 menunjukkan interpretasi infeksi flavivirus sekunder.

1.Uji Rumpel Leede ( RL )

Pemeriksaan RL ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskuler.


Perlu diingat bahwa bila uji ini positif tidak selalu disebabkan oleh virus dengue saja, namun
juga dapat oleh penyakit virus lainnya .Hasil dikatakan normal bila petekia yang timbul dalam
lingkaran berdiameter 5 cm yang terletak 4 cm di bawah lipatan siku berjumlah 5 atau kurang.

2.Kadar hematokrit

Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan
indikator terjadinya perembesan plasma. Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan
hematokrit 20% atau lebih. Harga normal hematokrit di laboratorium PK RSUD Dr.Sutomo
,wanita 35-45%, pria 40-50%.

3.Jumlah trombosit

Penurunan jumlah trombosit ( trombositopenia ) pada umumnya terjadi sebelum ada


peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Trombositopenia
100.000/Ul atau kurang dari 1-2 trombosit per lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-
rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, biasanya dapat dijumpai antara hari sakit ketiga
sampai ketujuh. Apabila diperlukan, pemeriksaan trombosit perlu diulangi setiap hari sampai
suhu turun.

4.Isolasi virus

Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur sel.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang
awal biasanya dalam lima hari setelah timbulnya demam , penanganan spesimen serta
pengiriman spesimen yang baik ke laboratorium. Bahan untuk isolasi virus dengue dapat
berupa serum, plasma atau lapisan buffy-coat darah-heparinized.

Kultur sel yang banyak digunakan adalah dari sel AP/61, C6/36 dan TRA-284-SF. Hasil
kultur diidentifikasi dengan menggunakan metode imunofloresen DFA ( Direct
Immunofluorescent Assay ) atau IFA ( Indirect Immunofluorescent Assay ) dengan
menggunakan antibodi monoklonal spesifik. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya
peralatan serta memerlukan waktu dua sampai tiga minggu untuk mendapatkan hasil.

5.Uji serologis

5.1.Uji Inhibisi Hemaglutinasi ( Haemagglutination Inhibition Test )

Uji serologi HI merupakan gold standard WHO untuk diagnosis infeksi virus dengue.
Uji ini untuk menetapkan titer antibodi anti-dengue yang dapat menghambat kemampuan
virus dengue mengaglutinasi sel darah merah angsa. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh
sampai bertahun-tahun, sehingga uji ini baik untuk studi sero-epidemiologi.

Sayangnya uji ini membutuhkan sepasang sera dengan perbedaan waktu fase akut dan
konvalesen paling sedikit 7 hari, optimalnya 10 hari.Uji ini dapat digunakan untuk
membedakan infeksi primer dan sekunder berdasarkan titer antibodinya.

Tabel 1. Interpretasi Uji HI (Hambatan Hemaglutinasi ; WHO , 1997 )

Kenaikan titer Interval Serum I- Titer konvalesen Interpretasi


II
4kali 7 hari 1 : 1280 Infeksi flavivirus akut,
primer

Infeksi flavivirus akut,


4 kali spesimen apapun 1 : 2560
sekunder

Infeksi flavivirus akut,


primer atau sekunder
4 kali < 7 hari 1 : 1280

Infeksi flavivirus baru,

Sekunder
Tidak ada kenaikan spesimen apapun 1 : 2560
Bukan dengue

Tidak ada kenaikan 7 hari 1 : 1280

Tdk dpt diinterpretasi

Tidak ada kenaikan < 7 hari 1 : 1280

Tdk dpt diinterpretasi

Tidak diketahui spesimen tunggal 1 : 1280

5.2.Uji ELISA

Uji ELISA tidak membutuhkan sepasang serum, cukup dengan serum tunggal dapat untuk
mendeteksi IgG maupun IgM anti-dengue.Uji ini bersifat kuantitatif, biasanya hasil yang dibaca
berupa absorbans yang kemudian dikonversikan menjadi satuan unit atau rasio.

Prinsip uji ELISA untuk deteksi antibodi terhadap virus dengue, tehnik dapat berupa ELISA tak
langsung ( Indirect ELISA ) maupun Captured ELISA.

Di pasaran Indonesia saat ini terdapat pemeriksaan ELISA baik yang Indirect ELISA untuk
mendeteksi IgG anti-dengue maupun yang Captured ELISA yang dapat mendeteksi IgG anti-
dengue serta IgM anti-dengue dalam serum penderita.MAC ELISA adalah istilah dari singkatan
IgM Captured ELISA, dengan prinsip dasar goat atau rabbit antihuman IgM yang dilapiskan
pada fase padat ( microtiter plate ELISA ) akan berikatan dengan IgM anti-dengue dari serum
penderita .Langkah berikutnya ditambahkan antigen dengue, selanjutnya diberi konjugat anti
viral IgG-HRP dan substrat lalu diukur kadar absorbansnya sehingga dapat diketahui konsentrasi
IgMnya.

Keuntungan uji Captured ELISA dibandingkan uji HI pada infeksi dengue akut yaitu lebih cepat
dan dengan hanya spesimen serum tunggal didapatkan sensitivitas ELISA 78% sedangkan uji HI
53%, di mana pada sepasang serum sensitivitas uji ELISA ini meningkat menjadi 97% melebihi
uji HI.
Pemeriksaan Captured ELISA untuk IgM dan IgG sekaligus pada pemeriksaan dengan metode
Dengue Duo ELISA ( Panbio, Australia) dapat untuk membedakan infeksi primer dan infeksi
sekunder, walaupun hanya memakai serum tunggal.

Tabel 2. Interpretasi uji ELISA Dengue ( Panbio, Catalogue No. E-DEN02G )

Rasio Hasil Interpretasi


IgM < 0,9 negatif tidak ada infeksi dengue
IgM 0,9-1,1 ekuivokal perlu tes ulang
IgM > 1,1 positif dugaan infeksi baru dengue
IgG < 1,8 negatif tidak ada infeksi sekunder
IgG 1,8-2,2 ekuivokal perlu tes ulang
IgG > 2,2 positif dugaan infeksi sekunder aktif

5.3.Uji Dengue Blot/Dot imunoasai/Dengue Stick

Prinsip dasar uji dengue blot/ dengue stick/ dot imunoasai adalah uji ELISA, baik uji ELISA tak
langsung ( Indirect ELISA ) atau menggunakan Captured-ELISA. Yang membedakan uji dengue
blot/dengue stick/dot imunoasai dibandingkan dengan ELISA yaitu pada fase padatnya,
menggunakan kertas nitroselulose yang bersifat high capacity. Pemeriksaan ini dilakukan pada
serum tunggal dengan hasil kualitatif.

Pada uji dengue blot/dengue stick/dot imunoasai dapat menggunakan metode ELISA tak
langsung yaitu antigen virus dilekatkan langsung pada fase padat, di mana setelah diberikan
blokade untuk menutup celah-celah di antara antigen pada kertas nitroselulose, langsung
diberikan serum penderita. Bila di dalam serum penderita terdapat antibodi anti-dengue dapat
berupa IgG anti-dengue atau IgM anti-dengue , yang dikerjakan secara terpisah yaitu IgG
Indirect ELISA saja atau IgM Indirect ELISA, maka antibodi tersebut akan berikatan dengan
antigen yang terikat pada kertas nitroselulose. Setelah tahap inkubasi dan pencucian, ikatan
antigen-antibodi ini dapat dilacak dengan menggunakan konjugat yaitu antibodi yang berlabel
enzim AP (alkalinefosfatase), HRP (horseradish peroxidase) maupun colloidal gold yang akan
memberikan dot berwarna biru keunguan setelah ditambah substrat berkromogen.

Selain dengan metode ELISA tak langsung, uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode
Captured ELISA , misalnya pada IgM Captured ELISA di mana antihuman IgM dilekatkan pada
fase padat kertas nitroselulose. Antihuman IgM ini akan menangkap IgM di dalam serum
penderita. Tahap berikutnya diberikan antigen dengue, selanjutnya diberikan pelacak seperti
yang terdapat pada metode ELISA tak langsung di atas dan akan memberikan hasil dot berwarna
biru keunguan yang menunjukkan hasil positif.

5.4.Uji Imunokromatografi (ICT)

Dewasa ini di pasaran berkembang pemeriksaan dengue cara cepat dengan menggunakan
metode imunokromatografi, antara lain Dengue Rapid Test (Dengue Duo IgM and IgG Rapid
Strip Test Catalogue No. DEN-25S ) dari PanBio Pty Ltd. Uji ini menggunakan protein envelop
rekombinan dengue, serta digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder.

Uji ini dapat mendeteksi baik IgM dan IgG anti-dengue sekaligus dalam serum tunggal dalam
waktu 15-30 menit.

Pada Dengue Rapid Test (uji ICT) berbentuk strip ini telah distandardisasi sedemikian rupa
sehingga pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgGnya negatif, sebaliknya pada
infeksi sekunder hasil IgG positif dapat disertai dengan atau tanpa hasil IgM yang positif.

Prinsip pemeriksaan yaitu Captured ELISA dengan fase padat nitroselulose/dipstick


dengan daya kromatografi maka antibodi IgM atau IgG anti-dengue yang terdapat di dalam
serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau antihuman IgG yang telah
diimobilisasi pada fase padatnya membentuk garis melintang pada membran tes.Secara
bersamaan antibodi monoklonal anti-dengue yang berlabel gold bereaksi dengan antigen dengue
(rekombinan). Konjugat ini ( antibodi monoklonal anti-dengue yang berikatan dengan antigen
dengue ) akan berikatan dengan antibodi IgM atau IgG dari serum penderita tersebut
membentuk garis berwarna ungu.

Nuryati, 2001 mendapatkan sensitivitas diagnostik Dengue Rapid Test 97,36% dan
spesifisitas diagnostik 84,38% pada penderita demam berdarah dengue.

Tabel 3. Hasil penelitian Dengue Rapid Strip Test Panbio Pty Ltd

Peneliti Sensitifitas diagnostik Spesifisitas diagnostik


Cuzzubo AJ et al 99 % ( 149/150 ) 87% ( 85/98 )
Nuryati S 97,36 % ( 37/38 ) 84,38 % ( 27/32 )
Aryati et al 98,28 % ( 57/58 ) 81,82 % ( 36/44 )

Tabel 4. Analisis Spesifisitas Dengue Rapid Strip Test

Sampel Jumlah IgM- Jumlah IgG- Jumlah IgM & IgG


Tifoid 15/19 (78,95%) 19/19 (100%) 15/19 (78,95%)
Bronkopnemoni 8/8 (100%) 8/8 (100%) 8/8 (100%)
Difteri 4/4 (100%) ( 75% ) ( 75% )
ISK 1/1 (100% ) 1/1 ( 100% ) 1/1 ( 100% )
Malaria 9/12 ( 75% ) 12/12 ( 100 ) 9/12 ( 75% )
Total (spesifisitas ) 37/44 ( 84, 09% ) 43/44 ( 97,73% ) 36/44 ( 81,82% )

Berpijak dari data penelitian Dengue Rapid Test ( strip ) baik yang dilakukan oleh Cuzzubo et al,
Nuryati S dan kami sendiri , terdapat hal-hal yang perlu dicermati yaitu pada infeksi sekunder
tidak perlu harus menunggu timbulnya garis IgM antidengue yang positif, cukup bila timbulnya
garis IgG antidengue yang karakteristik untuk infeksi sekunder sudah dapat dikatakan indikasi
infeksi dengue sekunder ( hanya 25-78% IgM positif pada infeksi sekunder akut ).Di samping itu
perlu pula dicermati bahwa pada infeksi primer kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis,
terutama kecurigaan pada tifoid dan malaria, perlu dikonfirmasi dengan klinis dan pemeriksaan
laboratorium lainnya.

Uji imunokromatografi ini baik untuk digunakan di lapangan karena cepat dan praktis serta
lebih berguna pada daerah di mana infeksi sekunder lebih sering terjadi misalnya di Asia
Tenggara dan Amerika Selatan.

6. Nested RT-PCR ( Reverse Transcriptase- Polymerase Chain Reaction )


Virus dengue merupakan virus RNA, sehingga untuk melakukan PCR harus dilakukan
reverse transcription agar terbentuk cDNA ( complementary DNA ) yang kemudian akan
diamplifikasi dengan menggunakan alat DNA Thermal Cycler.

Deteksi RNA virus dengue menggunakan teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction ( RT-PCR ) ini sekaligus juga dapat untuk menentukan serotipe virus dengue ( D1, D2,
D3, D4 ).Teknik yang digunakan adalah nested PCR, di mana pada PCR tahap kedua
menggunakan type specific primer ( TS1-4 ) sesuai dengan serotipe virus dengue.

Prinsip PCR terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi untai ganda DNA, selanjutnya
annealing ( penempelan ) primer pada DNA targetnya, terakhir primer extension
( pemanjangan primer ) dengan adanya DNA polimerase. Hasil DNA yang terjadi merupakan
akumulasi eksponensial dari DNA target yang spesifik, sekitar 2n di mana n adalah jumlah siklus
yang diatur dalam proses PCR ini. Visualisasi proses penggandaan DNA ini dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain dengan elektroforesis gel atau dengan menggunakan DNA
probe.

Primer yang dipakai pada nested RT-PCR untuk deteksi virus dengue di TDC ( Tropical Disease
Centre ) Unair adalah sebagai berikut.

Primer Sekuens Posisi genom Jumlah dlm bp

D1 5-TCAATATGCTGAAACGCGCGAGAAACCG-3 134-161 511

D2 5-TTGCACCAACAGTCAATGTCTTCAGGTTC-3 616-644 511

TS1 5-CGTCTCAGTGATCCGGGGG-3 568-586 482


TS2 5-CGCCACAAGGGCCATGAACAG-3 232-252 119

TS3 5-TAACATCATCATGAGACAGAGC-3 400-421 290

TS4 5-CTCTGTTGTCTTAAACAAGAGA-3 506-527 392

RINGKASAN

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam dengue
adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ( metode cell
culture ) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR ( Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction ), namun karena teknik yang rumit yang berkembang
saat ini adalah tes serologis ( adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi tota

Anda mungkin juga menyukai