Anda di halaman 1dari 16

Dosen : Dibuat Oleh:

Laili Dwi Annisa


Dr. Ir. Atiek Suprapti, MT
21020117410002

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
Teori Antropologi Arsitektur
Rapoport mengungkapkan bahwa arsitektur bermula sebagai tempat
bernaung. Oleh karena itu banyak anggapan di masyarakat bahwa
arsitektur adalah sesuatu yang berhubungan dengan bangunan sebagai
tempat tinggal.

Arsitektur menjadi muara manifestasi berbagai nilai budaya yang ada di


masyarakat. Antropologi Arsitektur dalam hal ini berperan menganalisis
aspek-aspek sosial-budaya dalam pembangunan-penggunaan sebuah karya
arsitektur.

Menurut Rapoport (1969) ada lima aspek yang mempengaruhi rumah


tinggal, sebagai berikut :
1. Kebutuhan dasar manusia
2. Keluarga
3. Posisi wanita
4. Privacy
5. Hubungan Sosial
Rumoh Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam adalah satu provinsi yang berada di paling barat negara
Indonesia. Seperti budaya lainnya, Aceh sendiri juga memiliki ciri khas budaya yang
dinamis dan unik, terutama rumah Aceh. Rumah Aceh sering disebut dengan Rumoh
Aceh. Rumah Aceh dibuat tinggi di atas tanah dibangun dengan jumlah tiang-tiang
bulat besar yang beraturan.

Arsitektur Rumah Aceh merupakan hasil karya cipta dari kearifan masyarakat Aceh
dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius). Arsitektur rumah berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk
adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Struktur rumah tradisi
yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan kepada penghuninya.
Telaah Budaya Tektonika Rumoh Aceh

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi


keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu,
melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai
yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya
dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat
ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak
menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari
rotan.

Ketektonikaan Rumoh Aceh dapat dibaca dari distribusi ruang, struktur dan
ornamentasinya. Dimana kombinasi dari ketiganya menghasilkan tingkat
seni konstruksi yang sempurna bagi kebutuhan masyarakat Aceh pada
zamannya dan seyogianya terus berlangsung hingga sekarang. Rumoh Aceh
memiliki sebuah tipe yang tetap, diantaranya dapat dilihat dari orientasi
bangunan, ruangan dan elemen strukturnya.
1. Distribusi Ruang/ Denah

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada
banyaknya ruweueng (ruang). Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga
sepuluh ruang. Beranda muka disebut seuramo keue (karena di sini ditempatkan tangga
masuk, disebut juga seuramo rinyeuen), serambi belakang disebut seuramo likot. Bagian
utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai
serambi. Bagian utama rumah ini disebut Tungai. Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik
(kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjong. Rumoh inong adalah bilik peurumoh
(master bedroom), sedangkan anjong adalah bilik untuk anak perempuan.

Demikian mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah
hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah
dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara
seuramo rinyeuen dengan seuramo likot, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada
rumoh dapu (dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramo likot. Dapur
mendapat posisi terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai
tambahan ruang pada rumah saja.

Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki.
Secara fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai
ruangan. Hal ini berhubungan dengan struktur yang membentuk ruang menjadi demikian.
Seuramo Keue

Seuramo Likot
2. Anatomi dan Struktur Rumoh Aceh

Seperti banyak rumah-rumah tradisional di Indonesia lainnya, yang memiliki bagian-


bagian yang terdiri atas kepala, badan dan kaki, maka Rumoh Aceh pun demikian.
Namun ada sedikit perbedaan nama sebutan saja. Kepala rumah biasa disebut
bubong. Bubong berarti atap, atau bagian atap. Biasanya atap ini tidak memakai
plafon tetapi langsung menaungi ruangan pada badan rumah yang fungsional. Sebuah
ruang kecil terdapat diantara bubong dan badan rumah, yakni loteng yang disebut
para. Gunanya sebagai gudang.
Bagian badan rumah disebut Ateuh
Rumoh, yang berarti bagian atas.
Dinamakan seperti ini sebab posisinya
memang berada jauh diatas tanah, untuk
mencapai lantai rumah ini perlu
menggunakan tangga. Pada ateuh rumoh
ini terdapat ruang-ruang fungsional
rumah. Bagian bawah rumah disebut yup
moh. Yup moh berarti bagian bawah
rumah. Bagian bawah ini berupa kolong
yang ketinggiannya sekitar 2,5 meter.
Bangunan dibuat berpanggung/ bertiang
tinggi untuk menghindari banjir.
Ruangan kosong pada Yup moh ini bermanfaat sebagai pencegah masuknya binatang
buas ke dalam rumah dan untuk menghindari banjir pada masa lampau. Oleh para
penghuni rumah ruangan ini juga dimanfaatkan sebagai penyimpanan perkakas kerja
sehari-sehari seperti alat tumbuk padi (Jeungki) dan sebagai tempat menaruh padi
(berandang). Saking tingginya tiang-tiang ini terkadang yup moh atau kolong ini juga
dimanfaatkan para penghuni rumah sebagai area bermain anak, kegiatan menenun
para wanita, bahkan sebagai kandang sementara binatang peliharaan maupun ternak.

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh terdiri atas tiang-tiang penopang lantai, tangga, lantai,
dinding, jendela dan atap yang keseluruhannya dibangun tanpa menggunakan paku.
Material yang digunakan yaitu tali pengikat yang berbahan tali ijuk, pasak, rotan dan
kulit pohon waru, papan, enau, kayu dan bambu.
Banyaknya jumlah tiang penopang di rumah aceh bervariasi tergantung dari berapa banyak
ruangan yang terdapat di dalam rumah atau dari seberapa luas ukuran rumah. Biasanya
masyarakat aceh membangun rumah dengan jumlah tiang sebanyak 16, 18, 22 dan 24.
Namun ada pula yang sanggup membangun dengan jumlah tiang mencapai 40 atau bahkan
80.

Jumlah tiang 16 biasanya untuk rumah yang


mempunyai tiga ruangan, sedangkan jumlah
tiang 24 untuk rumah yang mempunyai 5
ruangan. Material yang digunakan untuk
membuat tiang ini biasanya dari bahan kayu
dan bentuknya bulat dengan diameter
kurang lebihnya 20-35 cm.

Tiang penopang ini diletakkan dengan posisi


berjajar sebanyak empat baris dengan jarak
setiap baris sejauh 2,5-4 m. Terdapat dua
buah tiang spesial di dalam barisan tiang ini
karena sebagai penyambut di serambi depan
dan berfungsi sebagai struktur utama, yaitu
tameh raja (tiang raja) dan tameh putrou
(tiang putri).
Sebagai rumah panggung, maka diperlukan tangga untuk mencapai rumah
utama atau lazimnya disebut reunyeun. Tangga ini berjumlah ganjil yaitu
mulai dari 7 hingga 9 tangga. Jumlah ini sesuai dengan kepercayaan
masyarakat Aceh akan pengaruh jumlah terhadap rezeki, pertemuan dan
juga rumaut. Fungsi lain dari tangga ini juga sebagai palang bagi selain
keluarga atau kerabat dekat terutama bila tidak ada penghuni pria di dalam
rumah. Sehingga tangga ini dapat menjadi pengawas dalam hubungan sosial
antar warga.

Berbanding terbalik dengan bangunan yang besar dan juga tinggi, pintu
masuk utama rumoh aceh atau pinto aceh ini sangatlah mungil. Tingginya
hanya sekitar 120-150 cm. Hal ini membuat orang yang hendak masuk
otomatis menundukkan kepala agar tidak terbentur. Konsep ukuran pintu
yang mungil ini menggambarkan bahwa siapa pun orang yang hendak masuk,
kaya atau miskin, tua atau muda hendaknya menghormati sang pemilik
rumah. Karena pintu ibarat hati pemilik rumah, perlu upaya untuk
memasukinya namun apabila telah masuk maka akan diterima dengan penuh
kebesaran hati tanpa sekat sekat seperti luasnya bagian dalam rumah. Hal
ini sesuai dengan pribadi masyarakat aceh yang menjunjung adat, yaitu
tidak suka menyombongkan diri.
Serupa dengan pintu aceh, jendela rumah
aceh pun mungil-mungil, dengan ukuran
0.6x1 m. Biasanya jendela diletakkan di
dinding sebelah barat dan timur yaitu pada
rumoh inong dan rumoh anjoeng serta dua
buah jendela berada di bagian depan rumah.

Material utama lantai pada rumoh aceh adalah papan dan kadang menggunakan kayu
enau. Selain itu terdapat pula bambu yang dimanfaatkan untuk membuat gasen (reng),
alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lainnya. Salah satu keunikan
lantai pada rumoh aceh yaitu adanya gap atau celah antar papan sekitar 1cm. Gap ini
menjadi tempat terbuangnya kotoran yang ada di lantai rumah bila disapu.

Begitu banyak keunikan yang ada di rumah aceh, termasuk dengan atap rumahnya.
Atap rumah pada rumah aceh tidak bersifat permanen atau mudah untuk dilepaskan
karena hanya dihubungkan menggunakan tali ijuk. Hal ini dilakukan mengingat bahan
dasar atap yaitu daun rumbia atau daun enau yang rentan terbakar. Untuk mengurangi
rambatan api maka tali ijuk dapat dipotong dan atap dapat dilepaskan.
3. Ornamentasi Rumoh Aceh

Ukiran yang terpasang sebagai hiasan Rumoh Aceh tidak diukir secara sembarangan.
Setiap ukiran memiliki bentuk-bentuk khas yang diambil dari benda-benda sekitar.
Ukiran yang tedapat pada bidang-bidang penutup fasad rumah ini tidak hanya
berfungsi sebagai penghias rumah, namun dapat juga menjadi tempat masuknya sinar
matahari lewat celah-celah kecil tersebut.
Rumah adat identik dengan motif – motif ukiran yang khas yang tersebar di seluruh
bagian rumah. Begitu pula dengan rumoh aceh. Bentuk ukirannya berupa pola
simetris, belah ketupat, garis silang dan kaligrafi. Umumnya ukirannya berupa ayat
suci Al Quran, flora berupa semua bagian bunga dan lainnya, fauna, dan alam.
Konsep-konsep Islami dalam Arsitektur Rumoh Aceh

Konsep-konsep Islam didalam Arsitektur Rumoh Aceh, sangat kuat menyimbolkan kadar
keislaman rakyat Aceh, dapat kita lihat antara lain sebagai berikut:

1. Arah kiblat
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam
agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat
memanjang ke arah kiblat, yakni ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Itu sebabnya pada seuramo
rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di
sebelah Timur atau di tengah seuramo, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang
Shalat menghadap ke kiblat.

Posisi tangga dapat


menjadi ciri atau
penunjuk arah mata angin
2. Ide Masyrabiyya pada seuramo Rumoh Aceh

Bukaan pada dinding seuramo rumoh Aceh tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan digunakan
screen (lubang-lubang kecil) untuk meredam terik matahari. Lubang lubang kecil pada dinding
ini mengingatkan kita pada ”Masyrabiyya” di Saudi Arabia.

Tidak seperti halnya serambi rumah Betawi yang terbuka lebar, serambi rumoh Aceh itu
tertutup, hanya sedikit saja bagian yang terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke dalam tetapi
orang dari dalam dapat melihat keluar. Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah
memberi pesan agar aurat itu jangan diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan
rumah. Di dalam Rumoh Aceh, ada dua buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan
ajaran Islam, yaitu seuramo keue untuk kaum pria dan seuramo likot khusus untuk kaum wanita.

3. Guci Rumoh Aceh

Nabi mengajarkan thaharah, bersuci dengan mandi, berwudhu dan istinja’, agar badan kita
menjadi bersih. Raga yang bersih sebagai cerminan dari hati yang suci. Orang Aceh menaruh
guci pembasuh kaki dibawah tangga rumoh Aceh. Sebaiknya bersuci dulu, sebelum naik ke
rumah.
Kesimpulan

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi


keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu,
melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai
yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya
dari papan, dan atapnya dari rumbia.

Ketektonikaan Rumoh Aceh dapat dibaca dari distribusi ruang/denah,


anatomi & struktur serta ornamentasinya. Dimana kombinasi dari
ketiganya menghasilkan tingkat seni konstruksi yang sempurna bagi
kebutuhan masyarakat Aceh pada zamannya dan seyogyanya terus
berlangsung hingga sekarang. Rumoh Aceh memiliki sebuah tipe yang
tetap, diantaranya dapat dilihat dari orientasi bangunan, ruangan dan
elemen strukturnya.

Konsep-konsep Islam didalam Arsitektur Rumoh Aceh, sangat kuat


menyimbolkan kadar keislaman rakyat Aceh.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai