Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POST OPERATIF SETELAH OPERASI


PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION
DAN AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

AHMAD KHEIRHAN, RAHMAN NAZARI, MOJGAN NIKDEL, HAMED GHASSEMI, HASSAN HASHEMI, DAN MAHMOUD
JABBARVAND BEHROUZ
AMERICAN JOURNAL OF OPHTHALMOLOGY VOL 152 N0. 5 PAGE 733-738 NOVEMBER 2011

Alivia Febianita
162.0221.175

Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata


RST Tk. II Dr. Soedjono Magelang
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
• Untuk membandingkan inflamasi konjungtiva post operatif pada
daerah operasi setelah operasi pterygium dengan menggunakan
transplantasi selaput amnion dan autograft konjungtiva
TUJUAN

• Penelitian retrospektif, random, intervensi.


DESAIN

• 42 pasien dengan pterygium primer menjalani operasi eksisi dgn


pengangkatan jaringan fibrovaskular subkonjungtiva dan
penggunaan mitomicin C 0.02%. Kemudian pasien secara acak
mendapatkan AMT (21 mata) atau Autograft konjungtiva (21
mata), dengan menggunakan jahitan pada kedua metode tsb. Hasil
METODE akhir meliputi kemunculan inflamasi konjungtiva pada daerah
operasi setelah 1 bulan pasca operasi dan kekambuhan dari
pterygium
• FU 12 bulan, dilakukan pada 39 mata dari 39 pasien (19 dari
kelompok AMT dan 20 dari kelompok Autograft konjungtiva).
1 bln pertama post op inflamasi konjungtiva ditemukan pada
16 (84.2%) mata pada AMT dan 3 mata (15%) kelompok
Autograft konjungtiva. Injeksi subkonjungtiva triamcinolone
HASIL ditemukan pada infamasi mata derjat sedang-berat, yaitu 12
mata (63.1%) pada AMT dan 2 mata (10%) pada Autograft
konjungtiva. Kekambuhan pterygium ditemukan pada 2 mata
(10.5%) di kelompok AMT dan 2 mata (10%) pada kelompok
Autograft konjungtiva. Setelah operasi, piyogenik granuloma
ditemukan pada 3 mata di kelompok AMT (15.8%) dan 1 mata
(5%) pada kelompok Autograft Konjungtiva

• Setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva secara


signifikan ditemukan lebih sering pada AMT dibandingkan
Autograft konjungtiva. Walaupun demikian dengan kontrol
inflamasi dan penggunaan mitomicyn C intraoperasi, hasil
KESIMPULAN akhir yang sama ditemukan pada kedua tehnik tersebut
PENDAHULUAN

Pterygium merupakan keadaan dimana terdapat pertumbuhan


jaringan fibrovaskular pada konjungtiva bulbar hingga ke kornea.

Didapatkan peningkatan angka marker inflamasi pada pterygium


dan peningkatan kekambuhan post operasi pterygium

Untuk mengurangi angka kekambuhan pterygium dilakukan


beberapa teknik operasi autograft konjungtiva, AMT, radiasi B
termasuk MMC atau Mitomycin C untuk menghambat proliferasi
Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan operasi
pterygium adalah inflamasi konjungtiva post operatif.

Inflamasi konjungtiva pada daerah operasi ditemukan 31% - 40%


pasca operasi pterygium dengan AMT

Tatalaksana inflamasi mempengaruhi hasil akhir keberhasilan post


operatif. Tetapi tidak diketahui apakah inflamasi konjungtiva post
operatif ini juga muncul setelah operasi pterygium dengan tehnik
selain AMT

Dilakukan penelitian untuk membandingkan kemunculan inflamasi


konjungtiva di sekitar daerah operasi setelah operasi pterygium
dengan AMT dan free Autograft kongungtiva dan untuk mengetahui
kemungkinan munculnya inflamasi sebagai hasil akhir operasi
pterygium dari kedua tehnik tersebut.
• Penelitian prospektif . Diambil
42 mata dari 42 pasien dengan
pterygium nasal primer . Secara
JENIS acak dipilih. 21 mata dari 21
pasien mendapatkan free
PENELITIAN Autograft konjungtiva dan 21
mata dari 21 pasien mendapatkan
tehnik AMT Kemudian dipilih
secara acak bentuk murfologi
pterygium pada tiap kelompok.
PRE dan POST OPERATIF :

Pre OP  Informed Consent Sebelum Operasi, bentuk morfologi


pterygium dikelompokkan berdasarkan
1. Pemeiksan Slit Lamp
grade  T1, T2, T3
2. Koreksi Visus
3. Penilaian TIO

Saat operasi, kepala dan badan pterygium dilepaskan dengun


tehnik yang sama pada setiap pasien, yaitu dengan reseksi
badan 2 mm didepan plica Somilunaris. Kemudian diikuti
pengangkatan jaringan fibrovascular subkonjungtiva 2 mm
dari tepi konjungtiva dan pertemuan kornea setelah perdarahan
minimal, diberikan 0,02% MMC pada sclera dan dibawah tepi
konjungtiva menggunakan WecK-Cel surgical sponge yang
diregam dalam larutan 0,02% MMC.

Durasi pemberian MMC bedasarkan grade bertuk morfologi Pterygium. 1 menit untuk grade 1,
3 menit untuk grade 2, dan 5 menit untuk grade 3. Setelah itu permukaan mata dibasuh dengan
100 ml larutan garam fisologis
 Untuk menutupi permukaan selaput amion sklera yang digunakan adalah
satu lapisan dengan stromal terbalik disambung dengan nylon 10-0 dengan
jahitan interuptus. Sedangkan Autograph konjungtiva didapatkan dari
supero-temporal konjungtiva bulbar disambung dengan jahitan interuptus
dengan nylon 10-0.

0,1% betametasol
Beri AB & 4x1
Post Operatif
Steroid Topikal 0,1%
fluorometolon 4x1

FU post op dilakukan1 hari, 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, 3,6,9,12


bulan. Jahitan dilepas setelah 1 minggu pada autograft konjungtiva
dan setelah 2 minggupada AMT
 Timbulnya inflamasi konjungtiva postoperatif pada sekitar daerah operasi dalam 1
bulan setelah operasi menggunkan grade 0 ( tidak ada, I (ringan), II (sedang), dan III
(berat). Mata dengan imflamasi grade II dan III mendapatkan injeksi subkonjungtiva
8 mg triamcinole acentonide disekeliling daerah operasi.
 Kekambuhan peteregium postoperatif mengunakan system grading. Grade I yaitu
tidak ada kekambuhan, grade II munculnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan
fibrovaskular pada daerah operasi, grade III adalah munculnya jaringan fibrovascular
pada daerah operasi namun tanpa adanya invasi pada kornea dan grade IV
kekambuhan sebenarnya yaitu jaringan fibro vascular menginfasi hingga ke kornea
(kekambuhan kornea) mata dengan kekambuhan pterygium konjungtiva (grade III)
mendapatkan satu injeksi subkonjungtiva 8 mg triamcinole acentonide tunggal atau
injeksi intralesi 5– fluorouracil selama dua minggu.
HASIL
• Dari 42 mata dengan 12 bulan fu didapat 39 mata dari 39 pasien (22
laki laki dan 17 perempuan dengan usia rata rata 19 samai 83 tahun)
meliputi 19 mata di kelompok AMT dan 20 di kelompok Autograft
konjungtiva.

• Secara statistik Tidak ada perbedaan secara signifikan mengenai umur,


jenis kelamin, dan grede bentuk morfologi pterygium sebelum operasi
antara metode AMT dan autograft konjungtiva.

• Setelah operasi, pada pemeriksaan ditemukan inflamasi konjungtiva


disekitar daerah operasi pada 16 mata (84,2%) dalam kelompok AMT
dan 3 mata (15%) dalam kelompok autograft konjungtiva
LANJUTAN HASIL
• Pada kelompok AMT grade inflamasi postoperatif berupa grade I
(ringan ditemukan 4 mata (21,1% grade II (sedang 7 mata (36,8%, dan
grade III (berat) 5 Mata (26,3%) sedangkan pada kelompok autograft
konjungtiva ditemukan inflamasi grade I (ringan) di 1 mata (5%), grade
II (sedang) 2 mata (10%).

• Injeksi subkonjungtiva triamcinolone acetonide dilakukan pada 12 mata


(63,21%) pada kelompok AMT dan 2 mata (10%) pada kelompok
autograph konjungtiva. Pemberian injeksi menunjukan pebaikan
inflamasi pada mata tersebut.

• Perkembangan pyogenic granuloma pada daerah operasi ditemukan


pada 3 mata (15,8%) di kelompok AMT dan 1 mata (5%) di kelompok
autograph konjungtiva
• Tidak ada komplikasi yang berhubungan graft selapute amnion atau
graft konjungtiva pada mata selama follow up postoperatif
DISKUSI
 Infeksi konjungtiva ditemukan lebih sering pada AMT dibandingkan Autograft
konjungtiva.
 Walaupun dengan pengontrolan inflamasi dan penggunaan MMC introperatif,
didapati hasil akhir yang kurang lebih sama pada kedua teknik tersebut.
 1 bulan post op pterygium, respon inflamasi disekitar daerah operasi muncul 84,2%
pada mata di kelompok AMT dan 15% pada mata Autograft Konjungtival. Inflamasi
secara signifikan lebih sering didapati pada AMT dibaandingkan autograph
konjungtival dimana sesuai dengan Sumber sebelumnya melaporkan infeksi
konjungtival muncul setelah operasi prepterygium dengan AMT.
 Eksisi pterygium, penggunaan MMC, dan AMT mengunakan benang atau lem fibrin
+ pemberian injeksi triamsinolon intraoperatif menunjukan angka inflamasi sebesar
40,7%. Pemberian injeksi triamsinolon intraoperatif berdampak pada tingginya angka
kejadian inflamasi.
 Setelah operasi pteregium dengan AMT ditemukan angka kejadian inflamasi yang
lebih tinggi pada penggunaan benang dibandingkan dengan penggunaan lem fibrin
(61,5% disbanding 21,4%)
LANJUTAN DISKUSI
 Benang dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograft konjungtival dan
setelah 2 minggu pada kelompok AMT. walaupun kemunculan inflamasi di evaluasi
pada satu bulan setelah operasi, durasi benang yang lebih lama tinggal pada
kelompok AMT mungkin merupakan penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang
dilepaskan.
 Mistosin C, yang diketahui memiliki efek anti proliperatif digunakan pada seluruh
mata dalam penelitian ini tetapi tidak diketahui penggunaan MMC dapat
menurunkan angka kejadian inflamasi konjungtiva post op pterygium.
KESIMPULAN

• Inflamasi konjungtiva postoperatif lebih sering


1 muncul secara signifikan pada operasi pterygium
dengan tehnik AMT dibandingkan tehnik
Autograft konjungtiva.

• Tingginya angka kejadian inflamasi konjungtiva

2
postoperasi pterygium berbanding lurus dengan
angka kejadian piogenik granuloma setelah
teknik AMT dibandingkan dengan autograft
konjungtiva

• Serta penggunaan MMC intraoperatif

3 menimbulkan hasil yang sama pada kedua


kelompok terhadap angka kekambuhan
pterygium.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai