Abstrak
Pendahuluan
Eksisi Pterigium
Metode yang lain untuk mengeksisi pterigium seperti laser argon dan laser excimer. Metode
tersebut digunakan setelah pengangkatan pterigium untuk mendapatkan permukaan kornea yang
baik. Pada beberapa kondisi, laser tersebut digunakan untuk eksisi lengkap pada pterigium.
Tetapi prosedur ini biasanya dihubungkan dengan resiko komplikasi yang tinggi. Masalah yang
dapa terjadi dari eksisi pterigium yang dilakukan untuk mengidentifikasi area yang dipisahkan
baik selama diseksi tumpul dan pada jaringan sisa pterigium pada kornea. Penggunaan etanol
sebelum dilakukannya eksisi pengangkatan pterigium dapat menunjang prosedur ini. Etanol
memisahkan sel epitel kornea dengan menghancurkan ikatannya, yang mana membuat lebih
mudah mengangkat pterigium dari lapisan bawah kornea dengan menggunakan spatula. Pada
akhirnya, penggunaan etanol utama bertujuan untuk memisahkan area yang lebih baik. Metode
ini khususnya cocok untuk pasien dengan pterigium rekuren yang mana memiliki kornea yang
lebih tipis atau dengan pterigium dengan kepala ganda.
Terapi Ajuvan
Angka kekambuhan yang tinggi berhubungan dengan teknik sclera terbuka menimbulkan
perkembangan beberapa prosedur dalam tatalaksana pterigium setelah eksisi. Hal ini termasuk
radioterapi,kemoterapi dan prosedur graf. Meskipun prosedur ini mengkhususkan pada
keamanan, kenyamanan pasien, harga dan lama operasi atau hasil tatalaksana operasi yang
meningkat. Prosedur ini menjadi standar dalam jangka panjang pada pterigium.
Iradiasi Beta
Penggunaan iradiasi beta pada sclera terbuka, biasanya menggunakan dosis tunggal,
menunjukkan terapi post operatif yang efektif, khususnya ketika di aplikasikan setelah operasi
pterigium atau selama 24jam. Pada akhirnya iradiasi beta dapat dikombinasi dengan metode
terapi ajuvan yang lain. Radioterapi menjadi tidak popular dikalangan dokter bedah karena dari
data komplikasi sebelumnya termasuk inflamasi konjungtiva, mencairnya sclera, katarak dan
uveitis. Lambat laun, banyak substansi yang digunakan untuk mencegah kekambuhan setelah
eksisi pterigium. Trietilen pyofosforamit atau Tiotepa merupakan salah satu dari lini pertama
pada agen kemoterapi yang digunakan untuk tujuan tersebut. Selain itu obat lain ditemukan
berhubungan mengurangi angka kekambuhan yang mana tersemasuk doxorubicin dan steroid.
Dan yang terkini adalah penggunaan alcohol dan anti VEGF. Pada akhir tahun dilaporkan bahwa
tingkatan dari VEGF pada jaringan pterigium telah meningkat dibandingkan pada jaringan
normal konjungtiva yang mana anti VEGF diputuskan sebagai terapi pterigium. Hal tersebut
diketahui dengan baik,kekambuhan dari pterigium memiliki bentuk yang lebih agresif yang mana
terlihat sebagai investigator sebagai terapi ajuvan yang kuat pada pencegahan kekambuhan
pterigium. Banyak obat anti VEGF yang digunakan untuk tuuan internasional,akan tetapi
mitomycin c dan 5-fluorouracyl lebih sering digunakan.
Mitomycin C
MMC adalah antineoplastik- antibiotic alami yang terdiri dari Streptomyces caespitosus. Hal
tersebut merupakan agen alkilasi, lebih dari sebuah anti metabolik, yang menghambat khususnya
pada replikasi DNA, mitois dan sintesis protein. MMC menghambat proliferasi fibroblast dan
menekan pertmbuhan vaskuler. Lini pertama diketahui menggunakan MMC pada
penatalaksanaan pterigium pada tahun 1963. Dua metode telah dikembangkan untuk penggunaan
mitomycin C yakni termasuk penggunakan salep mata pada pasien post operasi dan pembersihan
menggunakan spons dengan 0,02% mitomycin C (dosis, 0,2mg/mL) pada intraoperasi dipakai
secara langsung pada sclera terbuka selama 3-5menit. Metode tersebut dapat digunakan sebagai
terapi ajuvan pimer atau graf tambahan pada konjungtiva atau membrane amniotic yang dapat
digunakan untuk menutupi sclera terbuka. Bagaimanapun terapi ajuvan dengan penggunaan
mitomycin C bukan tanpa resiko. Hal ini berhubungan dengan lamanya, kerusakan stem sel yang
irreversibel dapat memicu keratopatik kronik dan keratokonjungtivitis toksik. Hal ini dapat
menyebabkan nekrosis sclera aseptic, infeksi sklerokeratitis, dan glaucoma sekunder. Fakta yang
penting untuk diingat ketika menggunakan MMC adalah kehati-hatian dari komplikasi yang
dapat timbul yang mana dapat terjadi beberapa bulan setelah pemakaian MMC. Hal ini
direkomendasikan menggunakan MMC selama operasi dari pada digunakan pada post operasi
karena lebih baik untuk mengontrol dosis yang berlebihan. Kejadian kelebihan dosis tidak
biasanya terjadi selama post operasi ketika mitomycin C diberikan kepada pasien.
5-FLUOROFURACIL
5-FU sebuah analog pirimidin yang menghambat sintesis DNA. Hal ini mengakibatkan ekspresi
pada fase S pada siklus sel. Hal ini pula menghambat proliferasi sel fibroblast yang mana di
aktifasi sebagai respon untuk terjadinya inflamasi. Sebelumnya disebutkan untuk MMC, 5 FU
dapat digunakan sebagai terapi ajuvan tunggal, atau hal itu dapat dikombnasikan dengan
prosedur graf setelah eksisi pterigium. Pengunaan 5 FU berhubungan dengan sedikit komplikasi
sementara. Tetapi tidak ada pendapat yang menyebutkan selama penelitian pada keamanana
jangka panjang dan keefektivan penggunaan 5 FU dapat dievaluasi secara adekuat pada terapi
pterigium.
BEVACIZUMAB
Bevacizumab adalah gabungan dari monoclonal murin manusia dengan IG G1 yang menghambat
pembentukan anti VEGF- A isoform, pemicu pokok dari angiogenesis. Regresi signifikan dari
neovaskularisasi limbal sampai dengan konjungtiva dan proses kekambuhan yang lambat
dilaporkan pada pasien dengan pterigium rekuren yang mana diberikan terapi bivacizumab.
Selama operasi, bivacizumab sering digunakan sebagai injeksi konjungtiva, pengangkatan
neovaskularisasi dari kornea dan konjungtiva. Metode yang menggunakan bivacizumab dapat
dilakukan sendiri atau kombinasi dengan fototerapi laser argon untuk obliterasi khusus yang
bertujuan untuk pemberian nutrisi pada konjungtiva oleh pembuluh darah. Pemakaian
bivacizumab topical untuk mencegah neovaskularisasi kornea.
LOTEPREDNOL ETABONATE
Peningkatan pemahaman dari alur patogenesis inflamasi dan pembedahan pada pterigium pada
tahun terakhir menyebabkan penggunaan kortikosteroid topical seperti loteprednol etabonat,
pada protocol terapi pterigium. Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, loteprednol etabonat
memiliki struktur yang unik, yang mana mampu menyiapkan penetrasi membrane sel. Pada
akhirnya hal tersebut memiliki potensi yang kuat sebagai reseptor glukoortikoid yang mana
memisahkan obat secara cepat yang dikonfersi dalam metabolit inaktif, mencegah efek samping
yang tidak diinginkan dari kortikosteroid ocular seperti peningkatan TIO dan katarktogenesis.
Saat ini tidak ada penelitian klinis yang signifikan yang dapat mengungkapkan hubungan positif
antara penggunaan loteprednol etabonat dan pengurangan kekambuhan dari pterigium, yang
mana meninggalkan kemungkinan untuk dilakukannya penelitian dimasa depan.
Prosedur Graf
Graf membrane amnion dan autograft konjungtiva menjadi standar terapi pterigium pada banyak
dokter bedah. Setelah eksisi pterigium, graf ini dapat diimplementasi sendiri atau dikombinasi
dengan terapi ajuvan lain. Metode terkini yang disarankan untuk metode graf untuk
menempelkan graf dengan lem fibrin dari pada sutura karena hal ini merupakan operasi unggulan
dan karakterisktik post operasi. Keuntungan metode ini yakni mengurangi waktu operasi,
inflamasi post operasi dan angka kekambuhan.
Data pertama dalam penggunaan graf membrane amnion dilakukan pada tahun 1947. Membrane
amniotic terdiri dari tiga lapisan yang berbeda : sebuah lapisan epitel, membrane dasar, dan
stroma avaskular. Hal ini digunakan sebagai karakteristik termasuk anti inflamasi, anti skar dan
anti angiogenik yang mana membuat membrane amnion sesuai dengan terapi pterigium.
Membrane amniotic dapat dipakai ketika dalam keadaan segar dan kondisi dingin. Pada Negara
berkembang membrane amniotic yang segar biasanya tidak tersedia karena membutuhkan tes
pada banyak macam infeksi. Hal tersebut disediakan alternative pada jaringan konjungtiva pada
kasus dimana terdapat kerusakan konjungtiva yang besar dan menutupi sclera yang terbuka.
Membrane amniotic tidak memiliki antigen leukosit manusia, sehingga tidak memiliki resiko
penolakan. Keuntungan penggunaan transplantasi membrane amniotic yang berlebihan prosedur
graf memiliki waktu operasi yang lebih singkat, nyeri mata yang berkurang,penyembuhan yang
lebih cepat dan biasanya didapatkan hasil kosmetik yang lebih baik.
Autograf Konjungtiva
Pada 30 tahun terakhir sejak diperkenalkan oleh Kenyon et al, autograf konjungtiva menjadi
terapi ekeftif yang paling mungkin untuk pterigium pada transplantasi jaringan autolog.
Menutupi sclera terbuka dapat diselesaikan dengan penutupan primer langsung, flap sleeding
conjungtiva, atau dengan autograph konjungtiva bebas yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi superior. Hal tersebut menunjukkan sleeding dan graf bebas lebih efektif dari pada
penutupan konjungtiva secara langsung. Kejadian kekambuhan yang dlaporkan setelah prosedur
ini adalah sebanya 0-39%. Angka kekambuhan dapat berkurang dengan pemakaian lem fibriin
atau alcohol selama eksisi pterigium dan kemudian menutupi sclera terbuka dengan autograph
konjungtiva. Pengunaan kauter yang minimal memastikan graf tendon bebas dan pengangkatan
dari fibrin yang berlebihan merupakan factor penting pada kesuksesan pada transplantasi graf
konjungtiva. Graf limbal konjuntiva yang mana termasuk sekitar 2mm dari jaringan limbal
pada graf , menerima kerusakan sel limbal yang diisi dengan jaringan segar yang dapat
meminimalisir kekambuhan yang terjadi.
Kesimpulan
Perbandingan langsung selama penelitian ini tetap berbeda karena perbedaan teknik pada eksisi
pterigium, durasi dan tipe terapi ajuvan yang digunakkan. Hal ini dapat diterima sebagai macam
terapi ajuvan dan kombinasinya yang signifikan meningkatkan hasil terapi pada kondisi
kekambuhan, kosmetik dan kepuasan pasien. Banyak dokter bedah meyakini bahwa
menggunakan mitomycin C dan teknif autograph konjungtiva akan mendapatkan hasil yang
signifikan. Agen anti VEGF yang lain, steroid dan etanol akan memungkinkan meningkatkan
pterigium ketika beberapa penelitian telah selesai dilakukan.