Anda di halaman 1dari 24

KONSERVASI EXITU SATWALIAR

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata


Fakultas Kehutanan
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDAHULUAN

 Indonesia sebagai salah satu negara mega biodiversity yang memiliki


tingkat endemisitas spesies tinggi dan laju kepunahan spesies yang
tinggi.
 Faktor-faktor antropogenik yang mengancam kelestarian populasi jenis-
jenis satwaliar di habitat alaminya, antara lain:
‒ Peningkatan laju transformasi atau konversi penggunaan lahan.
‒ Fragmentasi dan degradasi habitat.
‒ Introduksi spesies asing dan invasif.
‒ Pemanfaatan yang berlebihan.
‒ Pencemaran (tanah, air, dan udara).
‒ Perburuan liar (untuk pemenuhan kebutuhan sub-sisten, komersial).
• Lutung jawa (Trachypitecus auratus) sekitar 2.500/tahun.
• Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) sekitar 1.000/tahun
• Kukang (Nycticebus coucang) sekitar 6.000-7.000/tahun
SUMBER SPESIMEN

 Berdasarkan Permenhut RI No.: P.63/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara


Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk Lembaga
Konservasi;
• Spesimen tumbuhan dan satwa liar untuk lembaga konservasi terdiri
atas:
a. Tumbuhan dan satwa liar asli Indonesia
‒ Tumbuhan dan satwa liar dilindungi; dan
‒ Tumbuhan dan satwa liar tidak dilindungi
b. Tumbuhan dan satwa liar asing:
‒ Tumbuhan dan satwa liar asing yang terdaftar dalam apendiks
CITES; dan
‒ Tumbuhan dan satwa liar asing non CITES.
• Perolehan spesimen satwa liar asli Indonesia untuk lembaga
konservasi dapat dilakukan dengan cara:
a. Penyerahan
b. Hibah, pemberian atau sumbangan
c. Tukar menukar
d. Peminjaman
e. Pengambilan
f. Pembelian, dan/atau
g. Pengambilan atau penangkapan dari alam.

• Perolehan spesimen satwa liar asing untuk lembaga konservasi dapat


dilakukan dengan cara:
a. Penyerahan
b. Hibah, pemberian atau sumbangan
c. Tukar menukar
d. Peminjaman, dan/atau
e. Pembelian.
 Lembaga konservasi untuk kepentingan umum dapat memperoleh
spesimen satwa liar asli Indonesia dari Pemerintah Indonesia dengan
cara penyerahan berupa:
• Spesimen satwa liar hasil sitaan atau rampasan
• Spesimen satwa liar hasil penyerahan sukarela dari masyarakat,
dan/atau
• Spesimen satwa liar dari hasil evakuasi bencana alam atau
penyelamatan akibat konflik.

 Spesimen satwa liar asli Indonesia yang diperoleh dengan cara pengam-
bilan atau penangkapan dari alam, dilakukan dengan ketentuan:
• Untuk kepentingan peningkatan varietas genetik dan/atau
penyelamatan jenis.
• Dilakukan oleh tenaga teknis terampil.
• Memperhatikan kelestarian, tidak menyebabkan kematian/luka.
• Tidak menyebabkan terganggunya populasi, habitat dan lingkungan.
• Memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare).
• Hasil tangkapan ditampung di tempat yang telah ditentukan untuk
menghindari resiko gangguan kesehatan dan perilaku.
REHABILITASI SATWA

 Rehabilitasi satwa merupakan proses pengelolaan satwa liar yang meng-


alami sakit, luka, terlantar atau bahkan yatim untuk mendapatkan
perawatan kesehatan dan keterampilan yang dibutuhkan sehingga
mampu berfungsi secara normal dan mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri.
 Proses pengelolaan mencakup perawatan dalam kandang rehabilitasi dan
penyelamatan satwa agar dapat dikembalikan ke alam liar.
 Satwa yang tetap dalam kondisi sakit atau luka setelah rehabilitasi
sehingga tidak memungkinkan satwa tersebut mampu hidup di alam liar,
biasanya dilakukan euthanasia.
 Individu satwa yang berhasil pulih dari luka atau sakit setelah
rehabilitasi, tetapi tidak mampu bertahan hidup di alam liar selanjutnya
ditempatkan di fasilitas-fasilitas pendidikan seperti kebun binatang.
 Individu satwa dikembalikan ke alam liar hanyalah individu yang
memiliki kondisi kesehatan yang baik serta mampu bertahan hidup dan
berperilaku secara alami.
 Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan penyela-
matan satwa melalui rehabilitasi adalah sebagai berikut:
• Tidak semua satwa perlu diselamatkan; Satwa akan mengalami
kematian secara alami akibat umur tua, penyakit, predator, dan
keterbatasan ketersediaan pakan.
• Lebih penting dan lebih baik untuk membiarkan satwa hidup secara
alami; beberapa individu satwa dapat mengalami luka seperti gigitan
dan goresan yang akan sembuh dengan sendirinya secara alami.
• Hati-hati dalam menyelamatkan satwa berumur muda (bayi); Induk
dari bayi seringkali berada di dekat anaknya yang masih berumur
sangat muda dan campur tangan manusia dapat mengakibatkan induk
menjauhi anaknya.
• Melakukan perawatan terlokalisasi; Jika memungkikan, satwa yang
sakit atau luka ditempatkan pada lokasi yang dekat dengan ahli
kesehatan satwa.
• Membiarkan satwa tersebut menemukan kembali jalan ke habitat
asalnya.
PELEPAS-LIARAN SATWA

 Pelepas-liaran (release):
• Pelepas-liaran satwa merupakan upaya pengembalian individu atau
kelompok satwa jenis tertentu dari tempat rehabilitasi ke habitat
alaminya.
• Strategi pelelepas-liaran:
‒ Soft-release: upaya pengembalian satwa ke alam liar secara berta-
hap dimana satwa mendapatkan dukungan, perlindungan, dan pem-
berikan pakan hingga mampu mengurus dirinya sendiri secara
penuh.
‒ Hard-release: pelepas-liaran satwa secara langsung ke alam liar
tanpa adanya dukungan lebih lanjut atau pemberian pakan kepada
satwa tersebut.

 Tujuan Pelepas-liaran:
‒ Reintroduksi
‒ Restocking
 Restocking:

• Pelepas-liaran individu pada populasi yang telah ada dengan tujuan


untuk meningkatkan viabilitas populasi.
• Upaya menambahkan sejumlah individu ke dalam areal tertentu pada
habitat alaminya dari suatu spesies yang sedang mengalami penurunan
populasi untuk membentuk populasi yang mampu bertahan hidup
(Black 1991).

 Reintroduksi:
• Pelepas-liaran individu spesies tertentu ke dalam wilayah sebaran
aslinya dengan tujuan untuk membentuk populasi yang mampu
bertahan hidup dan melestarikan dirinya sendiri.
• Usaha untuk membangun kembali populasi spesies yang pernah ada
tetapi telah hilang atau punah dari wilayah sebarannya terdahulu
(Beck et al. 2007).
 Prasyarat Pelepas-liaran Spesies:

1. Kondisi spesies:
‒ Individu yang akan dilepas-liarkan memiliki nilai genetik yang
tinggi yang mendekati induknya.
‒ Berada pada usia belum produktif atau reproduktif.
‒ Harus memiliki kondisi tubuh yang sehat dan bebas dari penyakit.
‒ Tidak memiliki cacat fisik yang menahun yang dapat menghambat
individu tersebut untuk bertahan hidup di alam.
‒ Telah memiliki kemampuan untuk mengenali, mencari, mengambil
dan memakan jenis-jenis pakan alaminya di alam liar.
‒ Memiliki kemampuan untuk mencari pasangan dan kawin
‒ Memiliki kemampuan untuk Waspada terhadap ancaman dan
gangguan
Owa jawa yang telah menemukan pasangan (Foto: Anton Ario)
Elang jawa dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi (Foto: APK)
Elang brontok yang masih mampu mendeteksi ancaman (Foto: APK)
Rusa timor yang sudah mengalami perubahan perilaku kewaspadaan (Foto: APK)
2. Kondisi habitat:
‒ Habitat pelepas-liaran merupakan daerah penyebaran alami atau
diketahui dalam sejarah hidupnya jenis tersebut pernah ada di
daerah tersebut.
‒ Areal pelepas-liaran merupakan kawasan hutan dilindungi.
‒ Memiliki daya dukung habitat yang cukup untuk kelangsungan
hidup populasi spesies yang dilepas-liarkan.
‒ Tidak terdapat populasi alami dari spesies yang akan dilepas-
liarkan atau jika telah ada kepadatan populasinya harus rendah dan
diketahui ukuran populasi, wilayah jelajah, struktur dan komposisi
populasi.
‒ Ancaman dari manusia tergolong rendah.
‒ Tidak terdapat potensi penyakit yang dapat membahayakan
kesehatan dan keselamatan satwa yang dilepasliarkan.
Sitaan/ Penyerahan Evakuasi
Rampasan Sukarela Bencana/Konflik

Penyerahan
Catatan
Sejarah Hidup
LEMBAGA Penangkapan
KONSERVASI dari Alam

REHABILITASI

Habituasi
Monitoring &
Evaluasi
Pelepas-liaran
(Release)

Skema pelepas-liaran satwa yang berasal dari konservasi eksitu


TAHAPAN PELEPAS-LIARAN SATWA

1). Pengangkutan atau pemindahan satwa (Kasus: Owa jawa)

• Pengangkutan satwa dari kandang penangkaran ke lokasi pelepas-


liaran harus memenuhi prosedur sebagai berikut:
‒ Kandang angkut (transport) dapat berbahan besi, alumunium
atau kayu, berbentuk box dan memiliki kunci.
‒ Kandang angkurt memiliki celah udara (fentilasi) cukup untuk
pengaturan temperatur
‒ Tersedia air dan makanan dalam kandang angkut
‒ Pengangkutan ke lokasi pelepas-liaran yang jauh dapat menggu-
nakan kendaraan bak terbuka yang beratap terpal.
‒ Bila satwa berpasangan, hindari pemisahan kandang untuk
mengurangi stress
‒ Bila satwa berumur muda, satukan dengan induknya untuk
menghindari stress.
Pengangkutan owa ke lokasi pelepas-liaran (Foto: Anton Ario)
2). Habituasi satwa (Kasus: Owa jawa)

• Sebelum dilepasliarkan, satwa harus mendapatkan waktu untuk


habituasi terhadap lingkungan setempat.
• Satwa tidak diperkenankan dilepaskan segera setelah tiba di lokasi
pelepasliaran.
• Beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada masa habituasi
adalah:
‒ Individu ditempatkan pada kandang habituasi semi alami
berukuran minimal 6 m x 6 m dengan ketinggian minimal 6 m.
‒ Kandang habituasi ditempatkan di hutan tempat pelepas-liaran,
jika memungkinkan beberapa pohon pakan terdapat dalam
kandang habituasi.
‒ Pemberian pakan hanya berupa pakan alami (hutan) dan tidak
diperkenankan diberikan pakan yang non-alami.
‒ Pengawasan dan perawatan kesehatan.
‒ Pemantauan perilaku.
Kandang habituasi owa (Foto: Anton Ario)
3). Pelepas-liaran

• Jika satwa atau kelompok satwa dianggap telah layak untuk dilepas-
liarkan, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah:
a). Evaluasi tapak pelepas-liaran
‒ Dilakukan untuk mengetahui kesesuaian habitat bagi spesies
yang akan dilepas-liarkan
‒ Dilakukan untuk mengidentifikasi:
• ketersediaan sumber pakan alami
• areal yang sesuai untuk shelter atau tempat bersarang
• air untuk mandi dan minum
• kelimpahan dan aksesibilitasnya sumber daya
• kondisi populasi di alam atau keberadaan satwa lain sebagai
pesaing atau predator bagi spesies yang dilepas-liarkan
‒ Mengidentifikasi ancaman yang mungkin timbul akibat satwa
peliharaan (misal anjing dan kucing hasil feral).
b). Pemeriksanaan peluang perubahan cuaca dalam jangka waktu
yang tertentu
‒ Perlu diketahui kondisi cuaca seperti suhu udara, kelembaban
udara, intensitas cahaya matahari, dan arah dan kecepatan
angin, agar satwa yang dilepas-liarkan tidak mengalami stres
‒ Kondisi cuaca yang menguntungkan adalah sekurang-
kurangnya berlangsung lima hari tanpa temperatur atau
kondisi yang ekstrim sebelum dilakukan pelepas-liaran.

c). Mempertimbangkan ketepatan waktu pelepas-liaran


‒ Untuk sebagian besar satwa, terutama diurnal, lebih disukai
pelepas-liaran dilakukan pada waktu pagi hari.
‒ Untuk satwa diurnal, lebih disukai pelepas-liaran pada waktu
malam hari.
‒ Dapat memberikan kesempatan satwa untuk mengenal lebih
dalam tentang situasi dan kondisi di sekitarnya, meliputi lokasi
sumber pakan, air, shelter, dan sebagainya.
REFERENSI

Beck B, K Walkup, M Rodrigues, S Unwin, D Travis and T Stoinski. 2007. Best


Practice Guidelines for the Re-introduction of Great Apes. Gland,
Switzerland: SSC Primate Specialist Group of the World Conservation
Union. 48 pp.
Black JM. 1991. Reintroduction and restocking: guidelines for bird recovery
programmes. Bird Conservation International 1:329–334.
Sale JB. 1986. Re-introduction in Indian wildlife management. Indian
Forester 112-Special Issue on Wildlife Management (10):867–73.
Seddon PJ. 1999. Persistence without intervention: assessing success in
wildlife reintroductions. Trends in Ecology & Evolution 14(12):503.
Viggers KL, DB Lindenmayer and DM Spratt. 1993. The importance of
disease in reintroduction programmes. Wildlife Research 20(5):687-
698.

Anda mungkin juga menyukai