Anda di halaman 1dari 23

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDAHULUAN

 Fraktur maksilofasial menyumbang proporsi yang cukup besar dalam kunjungan ke


unit gawat darurat dan sering berakhir pada tindakan pembedahan.
 Jika tidak memperoleh tatalaksana yang tepat, fraktur maksilofasil akan berdampak
negatif baik pada aktivitas psikososial maupun fungsional dari pasien, karena wajah
merupakan faktor utama dalam identitas manusia, estetik, dan kesejahteraan secara
umum
 Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa dan
penentuan tatalaksana definitif.
ANATOMI TULANG WAJAH

 Batas orbital superior dan area diatasnya dibentuk oleh os


frontalis, yang mana di dalamnya terdapat sinus-sinus
frontalis.
 Batas orbital lateral dibentuk oleh os zigomatikum
 Batas orbital inferior dibentuk oleh os zigomatikum dan
os maksilaris.
 Batas orbital medial terbentuk di atas prosesus maksilaris
dari os frontalis dan di bawah prosesus frontalis dari os
maksilaris.
ANATOMI TULANG WAJAH

 Sistem penopang kerangka wajah


memberikan kekuatan di sepanjang daerah
sepertiga tengah wajah, dengan penopang
terkokoh berada pada garis vertikal dan
penopang horizontal (transversal) bertindak
sebagai penyokong sekunder
DEFINISI FRAKTUR MAKSILOFASIALIS

Fraktur maksilofasial merupakan berbagai bentuk fraktur yang melibatkan tulang-tulang


wajah yang dibagi dalam 3 daerah anatomis:
 fraktur sepertiga atas yang meliputi fraktur orbita superior dan sinus frontalis.
 fraktur sepertiga tengah yang meliputi fraktur os nasalis, daerah naso-orbito-
etmoidalis, kompleks zigomatikomaksilaris, maksila, dinding orbita medial, lateral
dan inferior serta fraktur Le Fort I, II dan III.
 Fraktur sepertiga bawah yang meliputi seluruh fraktur pada os mandibula.
DEFINISI FRAKTUR MAKSILOFASIALIS

Fraktur Le Fort merupakan sekelompok trauma yang menyebabkan diskontinuitas pada sepertiga tengah
wajah (midface), sebuah struktur yang dibentuk oleh os maksilaris, rima orbita inferiolateral, os
etmoidalis, dan os zigomatikum. Secara anatomis fraktur Le Fort diklasifikasikan sebagai berikut.

 Le Fort I, merupakan fraktur horizontal yang melibatkan maksila


anterior yang terjadi di atas palatum dan alveolus dan memanjang
hingga dinding nasal lateral dan lempeng pterigoid.
 Le Fort II, merupakan fraktur berbentuk piramid yang melibatkan
sutura zigomatikomaksilaris, sutura nasofrontalis, prosesus
pterigoid dari os sfenoidalis, dan sinus frontalis.
 Le Fort III, merupakan fraktur yang melibatkan os nasalis,
dinding orbita medial, inferior dan lateral, prosesus pterigoid, dan
arkus zigomatikum.
EPIDEMIOLOGI FRAKTUR MAKSILOFASIALIS

 Diantara sejumlah kasus trauma yang tercatat di sentra trauma di perkotaan, trauma
wajah merupakan salah satu yang terbanyak.
 Fraktur maksilofasial yang diakibatkan baik oleh kecelakaan lalu lintas maupun
kekerasan paling sering terjadi pada pasien dengan rentang usia 20 hingga 29 tahun.
 Sekitar 80,7% pasien merupakan laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki cenderung
lebih banyak yang menggunakan kendaraan, melakukan aktivitas fisik, dan
penyalahgunaan obat-obatan dan /atau alkohol sebelum berkendara.
ETIOLOGI FRAKTUR MAKSILOFASIALIS

 Fraktur maksilofasial pada umumnya terjadi setelah trauma yang


menyebabkan tulang-tulang wajah menerima energi dari benturan yang
kuat.
 Etiologi dari fraktur maksilofasial bervariasi antara satu lokasi geografis
dengan lokasi lainnya dan juga berbeda antara kelompok usia.
 Kecelakaan lalu lintas telah seringkali dilaporkan sebagai penyebab
utama dari fraktur maksilofasial terutama di negara-negara berkembang
 penyerangan atau kekerasan merupakan etiologi tersering yang
dilaporkan di negara-negara maju.
 Selain trauma dan kekerasan, penyebab umum lainnya meliputi trauma
olahraga, kecelakaan kerja, kekerasan rumah tangga, terjatuh dari
ketinggian, dan serangan binatang.
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS FRAKTUR
MAKSILOFASIALIS
 Tanda umum dari fraktur maksilofasial meliputi ekimosis, edema, nyeri pada palpasi, krepitus, maloklusi
dental, deformitas atau asimetris pada wajah, instabilitas pada tulang-tulang wajah, gangguan pada
pergerakan okular, dan gangguan penglihatan

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Penunjang


• Riwayat trauma yang • Inspeksi wajah • Pada trauma multipel,
berkaitan dengan • Palpasi tulang-tulang pencitraan dada,
kepala atau wajah wajah panggul dan servikal
• Fungsi sensoris lebih didahulukan
• Periksa rongga mulut • Pencitraan wajah dapat
dan mata dilakukan dengan x-ray
atau CT-scan
TATALAKSANA FRAKTUR MAKSILOFASIALIS
 Trauma maksilofasial seringnya terlihat dramatis dan dapat mengancam nyawa akibat gangguan pada
nasofaring dan orofaring serta menyebabkan morbiditas jangka panjang yang signifikan. Oleh karena itu
penanganan yang agresif namun penuh dengan kehati-hatian sangat ditekankan dalam tatalaksana trauma
maksilofasial.

Tatalaksana Kegawatdaruratan Tatalaksana Definitif


• Prinsip ATLS • Rawat inap diperlukan pada
• Pastikan patensi jalan napas sekitar 84,5% kasus fraktur
maksilofasial.
• Tatalaksana definitif dan
spesifik pada fraktur
maksilofasial bergantung pada
jenis fraktur.
RADIOLOGI FRAKTUR MAKSILOFASIAL
 Modalitas pencitraan radiologis untuk fraktur maksilofasial adalah foto polos (x-ray) konvensional, CT-
scan, dan MRI.
 Foto polos rutin yang umum dikerjakan untuk wajah ialah posisi Waters, Caldwell, Towne’s, dan lateral,
yang biasanya juga ditambahkan proyeksi khusus seperti proyeksi arkus zigomatikum atau basal.
 Jika memungkinkan, semua foto polos harus dilakukan dengan pasien dalam posisi berdiri tegak. Hal ini
memungkinkan radiologis untuk mengidentifikasi batas udara-cairan (air-fluid level) dan mencegah dasar
orbital terhalang oleh densitas difus yang disebabkan oleh cairan di dalam sinus maksilaris.
 Viserokranium terdiri dari anatomi tulang yang kompleks pada ketiga aksis, dan kemampuan evaluasi pada
foto polos sangat terbatas, sehingga CT-scan seringkali diperlukan dalam kasus fraktur maksilofasial untuk
memvisualisasi struktur anatomis yang releval dan memperlihatkan sejumlah abnormalitas.
 Magnetic resonance imaging dapat sangat membantu untuk menilai trauma pada bola mata dan pada kasus
adanya kecurigaan terjadinya hematoma orbita atau kerusakan nervus optikus.
ANATOMI RADIOLOGI PADA WAJAH
RADIOGRAFI (X- RAY)
 Posisi Caldwell (Occitofrontal)

Proyeksi Caldwell diperoleh dengan sinar sentral diarahkan sekitar 25⁰ di bawah bidang kantomeatal untuk
memvisualisasikan dasar orbita di atas tonjolan os petrosus.
RADIOGRAFI (X- RAY)
 Posisi Waters (Occipitomental)

Proyeksi Waters menggunakan sinar sentral occipitomental dengan hidung dan dagu pasien menempel ke film. Sinus-
sinus maksilaris diproyeksikan di atas tonjolan os petrosus. Seluruh arkus zigomatikus dapat terlihat apabila tampilan
radiografi diperoleh dengan proyeksi posterioanterior.
RADIOGRAFI (X- RAY)
 Posisi Lateral

Pada posisi lateral, struktur-struktur pada kedua sisi cenderung saling tumpang tindih dan menghalangi satu sama lain.
Sella tursika tervisualisasi dengan baik dan memberikan panduan ke planum spenoidal (atap sinus spenoidalis). Posisi
lateral, seperti Caldwell, merupakan proyeksi utama untuk evaluasi tomografi pada trauma wajah.
RADIOGRAFI (X- RAY)
 Posisi Basal

Posisi submentoverteks berguna untuk menilai arkus zigomatikum dan mandibula, tapi mungkin tidak dapat dilakukan
pada kasus trauma wajah yang berat.
CT-SCAN
 Potongan Transaksial

Pemeriksaan tomografi basal memperlihatkan struktur yang sama dengan ;potongan transaksial pada CT-scan. Potongan
ini dibuat dengan ketebalan 0,5 cm dan dalam bidang yang berdekatan dimulai dari level alveolus maksilaris dan berlanjut
melalui area sinus frontalis. Posisi ini memberikan ilustrasi terbaik dari penopang struktur wajah.
ABNORMALITAS RADIOLOGI PADA
FRAKTUR MAKSILOFASIAL
KASUS 1

A B

 A. Radiografi (posisi Waters) wajah pada kasus trauma kepala yang memperlihatkan dengan jelas fraktur-fraktur pada
malar dekstra dan os maksilaris (panah pendek); tampak juga adanya cairan pada sinus maksilaris (panah panjang). B.
CT-scan (bone window) dari kasus yang sama, terlihat fraktur pada os maksilaris dekstra (panah panjang), sejumlah
besar cairan di sinus maksilaris (asteriks), edema pada jaringan lunak sekitar (panah pendek), dan emfisema subkutan
(segitiga).
KASUS 2

A B

 A. Radiografi (posisi Waters) wajah pada kasus kecelakaan lalu lintas yang memperlihatkan fraktur pada sinus
maksilaris sinistra dan cairan di dalam sinus (panah panjang), dan adanya gigi di dalam sinus maksilaris sinistra (panah
pendek). B. CT-scan (bone window) pada kasus yang sama, terlihat fraktur pada sinus maksila sinistra (panah panjang)
dan sejumlah cairan yang terakumulasi di dalam sinus (asteriks), juga terlihat adanyya gigi di dalam sinus maksilaris
sinistra.
KASUS 3

A B

 A. Radiografi (posisi Waters) pada kasus kecelakaan lalu lintas yang memperlihatkan fraktur multipel pada aspek
medial dari orbita sinistra dan dekstra, aspek lateral dari orbita dekstra, os nasal, dan sinus maksilaris sinistra (panah
pendek). Terlihat juga sejumlah cairan yang terakumuluasi di dalam sinus maksilaris bilateral, sinus etmoidalis, dan
sinus frontalis dekstra. B. CT-scan (bone window) pada kasus yang sama memperlihatkan fraktur pada sinus maksilaris
bilateral dan cairan di dalam kedua sinus (asteriks).
KESIMPULAN

 Fraktur maksilofasial menyumbang proporsi yang cukup besar dalam kunjungan ke unit
gawat darurat dan sering berakhir pada tindakan pembedahan. Secara umum fraktur
maksilofasial terjadi setelah trauma dan jika tidak ditangani dengan benar, akan
berdampak negatif baik pada aktivitas psikososial maupun fungsional dari pasien.
 Fraktur maksilofasial pada umumnya terjadi setelah trauma yang menyebabkan tulang-
tulang wajah menerima energi dari benturan yang kuat.
 Modalitas pencitraan radiologis untuk fraktur maksilofasial adalah foto polos (x-ray)
konvensional, CT-scan, dan MRI.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai