Anda di halaman 1dari 28

UTANG DAN PIUTANG

PAJAK PENGHASILAN
Anggota :
1. Andri Septian
2. Fahmi Isnaeni
3. Nattaya Putri Citra
4. Riska Yuliawati
Utang Pajak

• Utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus,


karena negara (kreditor) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas, siapa
yang akan dijadikan debiturnya. Hal ini terjadi karena utang pajak timbul
karena undang-undang.R. Santoso Brotodihardjo berpendapat bahwa
timbulnya utang pajak tidaklah selalu dinyatakan dengan jelas di dalam
undang-undangnya, pada saat manakah terjadi suatu utang pajak,
melainkan dicurahkannyalah semua perhatian kepada timbulnya keharusan
untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena dalam praktik sehari-hari,
saat yang disebut ini jauh lebih penting.
Sedangkan saat timbul utangk pajak mulai adalah kajian dari hukum pajak
untuk menentukannya, dalam hal ini terdapat dua teori yang membahas
tentang timbulnya utang pajak, yaitu teori materil dan teori formil.
• Teori Materil
Dalam teori materiil utang pajak timbul dengan syarat adanya taatbestand, yaitu
rangkaian perbuatan-perbuatan, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang dapat
menimbulkan utang pajak seperti :
- Perbuatan : Pengusaha mengimpor barang mewah
- Keadaan : memiliki harta bergerak dan harta tidak bergerak
- Peristiwa : meninggalnya pewaris, maka harta wrisan belum terbagi adalah
subyek pajak
Dalam teori Materil menggunakan sistem pemungutan secara Self
Assessment System. Sistem ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besaranya pajak yang terutang.
• Teori Formal
Terjadi diimana utang pajak timbul disebabkan oleh surat ketetapan pajak
oleh fiskus (Inspeksi pajak), meskipun sudah dipenuhi tatbestand namun
belum ada surat ketetapan pajak maka belum ada utang pajak. Ciri-ciri dari
sistem ini adalah :
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak ada pada fiskus
- Wajib pajak bersifat pasif
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Dalam teori Formal menggunakan sistem pemungutan secara Official
Assessment System yaitu, Pemerintah (fiskus) diberi wewenang untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang.
Cara Pengenaan Utang Pajak
1. Cara Pengenaan di Depan ( Stelsel fiksi).
Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di
dasarkan atas suatu anggapan ( fiksi) dan anggapan tersebut tergantung
pada ketentuan bunyi undang-undang.
2. Cara Pengenaan di Belakang ( Stelsel riil).
Pengenaan di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di
dasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang
diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka
pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak.
3. Cara Pengenaan Campuran.
Pengenan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang
mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak diatas ( fiksi dan riil)
Piutang Pajak

• Piutang pajak merupakan piutang yang muncul karena adanya pendapatan


pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perpajakan yang belum
dilunasi sampai dengan akhir periode laporan keuangan. Piutang pajak
diakui pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan
Pajak dan telah dilaksanakan proses penagihannya.
• Kegiatan penagihan piutang pajak secara umum meliputi:
- Surat Teguran
- Surat Paksa
- Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
- Lelang
Dasar Hukum Penagihan Piutang Pajak

• Berdasarkan proses penagihan piutang pajak dalam UU nomor 2008 tahun


2007 diatur beberapa hal sebagai berikut:
1. Hak untuk melakukan penagihan piutang pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan dan biaya penagihan pajak dinyatakan kedaluwarsa setelah
melampaui waktu 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali.
2. Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
tertangguh apabila diterbitkan surat pajak dan dilakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Penghapusan Piutang Pajak

• Prosedur penghapusan piutang pajak diatur dalam Undang-undang No. 16


Tahun 2000 pasal 24 dan dijelaskan lebih lanjut dalam KMK No.
565/KMK.04/2000 dan 539/KMK.03/2002 Pasal 1 Piutang pajak yang
dihapuskan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih
sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT yang meliputi pokok
pajak kenaikan bunga dan denda.
Di dalam sistem self assessment di Indonesia, selain menghitung dan
menyetor pajaknya sendiri, dikenal juga istilah withholding system atau hybrid
system (Irianto dan Rosdiana, 2012), yaitu dimana pajak dipotong atau
dipungut pihak lain pada saat transaksi.

Untuk pemotongan maupun pemungutan ini ada yang bersifat final dan ada
yang bersifat tidak final.
- Bersifat final apabila pemotongan tersebut tidak dapat diperhitungkan lagi
sebagai kredit pajak, baik pada masa tersebut maupun di akhir tahun.
- Sedangkan bersifat tidak final apabila dapat diperhitungkan lagi dengan
pajak yang akan terutang di akhir masa atau akhir tahun pajak.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka pencatatan atas transaksi-transaksi di
atas adalah:
• Pajak-pajak yang dipotong/dipungut oleh sendiri : dicatat sebagai utang
pajak
• Pajak-pajak yang dipotong/dipungut pihak lain: dicatat sebagai piutang
pajak
• Pajak-pajak yang dilunasi sendiri: bersifat sebagai pelunasan pajak
Utang Pajak
Utang pajak timbul ketika perusahaan diharuskan memotong/memungut
pajak orang lain, seperti:
• PPN atas penjualan (PPN Keluaran)
• PPh Pasal 21 atas gaji karyawan
• PPh Pasal 22, jika perusahaan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22
• PPh Pasal 23
• PPh Pasal 26
• PPh Pasal 15
• PPh Pasal 4 ayat (2)
Piutang Pajak
Piutang pajak atau bisa disebut juga uang muka pajak merupakan pajak-pajak
yang dipotong atau dipungut pihak lain atau yang dibayar sendiri oleh
perusahaan yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang pada saat
pengisian SPT Tahunan. Pajak-pajak untuk jenis ini misalnya adalah
• PPh Pasal 22
• PPh Pasal 23
• PPh Pasal 24
• PPh Pasal 25
• PPN Masukan
Pph Pasal 21

• Pph Pasal 21 Sebagai Utang


Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diakui sebagai utang oleh Wajib Pajak adalah
pajak yang telah dilakukan pemotongan oleh Wajib Pajak sendiri berkaitan
dengan transaksinya dengan Wajib Pajak lain.
• Pengakuan PPh Pasal 21 Sebagai Utang
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagai utang pajak dapat terjadi apabila Wajib Pajak
telah melakukan pembayaran gaji dan sejenisnya kepada pegawai, yang atas gaji
dan sejenisnya tersebut terdapat PPh Pasal 21 yang sudah dipotong.
Pph Pasal 21

• Pengakuan PPh Pasal 21 Sebagai Piutang


- Pajak yang diakui sebagai piutang oleh Wajib Pajak adalah pajak-pajak
yang sudah dipotong oleh Wajib Pajak lain atas transaksi terhadap diri Wajib
Pajak, atau pajak yang telah dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
- Apabila pajak yang dipotong oleh pihak lain tersebut bersifat tidak final
maka oleh Wajib Pajak diperlakukan sebagai piutang. Tetapi kalau jenis
pajak yang dipotong oleh pihak lain itu bersifat final, maka akan diakui oleh
Wajib Pajak sebagai pelunasan.
Perlakuan Akuntansi Atas Unsur PPh Pasal 21
• Bagi Pemberi
Gaji, upah, tunjangan dan lainnya yang dibayarkan kepada karyawan
merupakan biaya bagi perusahaan. Pembebanan gaji untuk mendapatkan
Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan cara akrual basis, dalam arti gaji
bulan Desember yang dibayar pada bulan Januari tahun berikutnya
merupakan biaya bulan Desember.
• Bagi Penerima
Gaji, upah dan tunjangan bagi karyawan atau pegawai, sebagai penerima
diakui sebagai Penghasilan sebesar nilai kotor atau nilai sebelum dikenakan
PPh Pasal 21.
PPh Pasal 23

Tarif PPh Pasal 23 terbagi menjadi dua jenis, yaitu 15% dan 2%.
PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dikenakan atas penghasilan-penghasilan di
bawah ini:
• Dividen
• Bunga
• Royalty
• hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21
PPh Pasal 23

Sedangkan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dikenakan atas penghasilan-


penghasilan di bawah ini:
• sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
telah dikenai PPh final Pasal 4 ayat (2)
• imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
PPh Pasal 23
Pemotongan PPh Pasal 23 bersifat tidak final, sehingga bisa dikreditkan
terhadap PPh terutang pada SPT Tahunan PPh sebagaimana diatur di Pasal 28
UU PPh. Sehingga pada saat dipotong, diperlakkan sebagai uang muka; dan
bagi pihak yang memotong dianggap sebagai utang.
Berikut contoh kasus untuk menggambarkan akuntansi PPh Pasal 23:
• Pada tanggal 1 Januari 2015 PT Ibu membayar jasa konsultasi yang dilakukan
oleh PT Ayah sebesar Rp20.000.000,-
• Atas transaksi ini PT Ayah akan memungut PPN sebesar 10% x Rp20.000.000,-
= Rp2.000.000,- dan PT Ibu akan memungut PPh Pasal 23 sebesar 2% x
Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 merupakan PPh yang bersifat transaksional. Artinya kewajiban pemungutan PPh
Pasal 22 akan timbul apabila ada transaksi yang menurut ketentuan harus dipungut/terutang PPh
Pasal 22. Diantaranya:
• Impor (tarif PPh Pasal 22-nya 0,5%; 1,5%; atau 7,5%)
• Pembelian oleh bendahara pemerintah dan kuasa pengguna anggaran (tarif PPh Pasal 22-nya
1,5%)
• Pembelian oleh BUMN yang ditunjuk (tarif PPh Pasal 22-nya 1,5%)
• Penjualan yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak dalam industri semen, kertas, baja,
otomotif, dan farmasi kepada distributor di dalam negeri (tarif PPh Pasal 22-nya 0,25%; 0,1%;
0,3%; 0,45%; dan 0,3%)
• Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh ATPM, APM, dan Importir Umum (tarif PPh
Pasal 22-nya 0,45%)
• Penjualan BBM, BBG, dan pelumas oleh produsen atau importir (tarif PPh Pasal 22-nya 0,25%
atau 0,3%)
• Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul yang dilakukan oleh industri dan eksportir
yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan (tarif PPh Pasal 22-nya 0,25%)
• Penjualan barang yang tergolong sangat mewah oleh Wajib Pajak badan tertentu (tarif PPh
Pasal 22-nya 5%).
PPh Pasal 22
Menurut sifatnya, PPh Pasal 22 terbagi menjadi dua, yaitu
1. PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final , apabila bersifat tidak final, menjadi kredit
pajak bagi pihak yang dipungut dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh
berdasarkan ketentuan Pasal 28 UU PPh).
2. yang bersifat final (hanya penjualan BBM, BBG dan pelumas kepada agen saja).
Apabila PPh Pasal 22 ini bersifat final, maka tidak dapat dijadikan sebagai uang
muka pajak bagi pihak yang dipungut (tidak dapat dikreditkan di SPT Tahunan
PPh sesuai Pasal 28 UU PPh).
Berikut diberikan contoh pemungutan PPh Pasal 22:
PT Segar Bugar membeli baja dari PT Krakatau Steel sebesar Rp300.000.000,-
PT Segar Bugar merupakan distributor baja dalam negeri. Baik PT Segar Bugar maupun PT Krakatau
Steel sudah dikukuhkan sebagai PKP.
Atas transaksi ini, PT Krakatau Steel akan memungut PPh Pasal 22 dari PT Segar Bugar sebesar 0,3%
x Rp300.000.000,- = Rp 900.000,- dan PPN sebesar 10% x Rp300.000.000,- = Rp30.000.000,-
Pph Pasal 24

- PPh Pasal 24 pada dasarnya merupakan kredit pajak atas penghasilan dari
luar negeri. Apabila ada Wajib Pajak Dalam Negeri yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri dan telah dipotong pajaknya di luar negeri, maka
pajak tersebut dapat menjadi pengurang PPh Pasal 29 sebagaimana diatur
dalam Pasal 28 UU PPh
- Yang menjadi catatan penting dalam PPh Pasal 24 adalah tidak semua pajak
yang telah dipotong di luar negeri bisa menjadi kredit pajak di dalam negeri.
Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 164/KMK.03/2002
Pph Pasal 24
PPh Pasal 24 dicatat sebagai pajak dibayar di muka dalam pembukuan. Namun
mengingat akan dilakukan penyesuaian pada akhir tahun, maka perlu dibuat
adjustment di akhir tahun. Contoh pembukuan PPh Pasal 24 adalah:
• PT Mulia memperoleh penghasilan dari Amerika sebesar Rp1.000.000.000,- atas
jasa maklon yang diberikan. PT Mulia sudah dikukuhkan sebagai PKP. Atas
penghasilan ini telah dipotong pajak di Amerika sebesar Rp50.000.000,-. Maka
atas penghasilan dan pajak ini dicatat:
Uraian Debit Kredit
Kas 950.000.000,-
PPh Pasal 24 dibayar dimuka 50.000.000,-
PPN Keluaran 0,-
Pendapatan 1.000.000.000,-
Catatan: jasa maklon merupakan jenis jasa tertentu yang atas ekspornya dikenai
PPN 0% sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
30/PMK.03/2011. Pencatatan PPN Keluaran sebesar Rp0,- hanya sebagai
penggambaran saja. Apabila tidak dijurnal juga tidak apa-apa.
PPh Pasal 25/29

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh tahunan yang terutang, sedangkan


PPh Pasal 29 merupakan pelunasan atas seluruh PPh yang terutang dalam
satu tahun pajak. Besaran PPh Pasal 25 dinyatakan sendiri oleh Wajib Pajak
dalam SPT Tahunan PPh. Oleh karena itu meskipun hanya bersifat angsuran,
namun karena Wajib Pajak sudah menyatakan sendiri besarnya angsuran
tersebut, apabila tidak dibayar dapat dikenai sanksi denda atau bunga sesuai
ketentuan yang berlaku
PPh Pasal 25/29
PT Marga Jaya menyatakan dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun 2013 bahwa
angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan mulai April 2014 adalah sebesar
Rp500.000,- per bulan. Sedangkan angsuran PPh Pasal 25 Januari-Maret 2014
mengikuti angsuran bulan Desember 2013, yaitu sebesar Rp400.000,-
Pada bulan April 2015, PT Marga Jaya sudah menghitung bahwa besarnya PPh
yang terutang untuk satu tahun pajak adalah sebesar Rp9.000.000,-. Kredit pajak
yang dimiliki diantaranya adalah PPh Pasal 23 sebesar Rp1.000.000,- dan PPh
Pasal 22 sebesar Rp750.000,-
Maka pembukuan yang dilakukan oleh PT Marga Jaya adalah:
• Mencatat angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan mulai bulan April 2014:
Uraian Debit Kredit
PPh Pasal 25 (Prepaid tax) 500.000,-
Kas 500.000,-
PPh Pasal 25/29
Mencatat Pelunasan PPh Pasal 29 di akhir tahun pajak:

Uraian Debit Kredit

Beban PPh Tahunan 9.000.000,-

PPh Pasal 25 (Prepaid Tax) 5.700.000,-

Uang Muka PPh Pasal 23 1.000.000,-

Uang Muka PPh Pasal 22 750.000,-

Kas 1.550.000,-

Prepaid tax sebesar Rp5.700.000,- diperoleh dari 3 bulan (Januari, Februari dan
Maret 2014) x Rp400.000,- dan 9 bulan (April-Desember 2014) x Rp500.000,-
PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang dibayarkan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Berdasarkan Pasal 26 UU PPh, atas penghasilan
tersebut di bawah ini yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri dipotong
pajak dengan tarif 20%:
• Deviden
• bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
• royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• imbalam sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun
• pensiun dan pembayaran berkala lainnya
Contoh PPh Pasal 26
PT Roda Tiga menggunakan jasa konsultasi dari Australia. Jumlah yang harus dibayarkan
berdasarkan kontrak adalah sebesar Rp600.000.000,- Atas transaksi ini PT Roda Tiga harus
memungut sendiri PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean sebesar
10% x Rp600.000.000,- = Rp60.000.000,- dan memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran ke
Australia sebesar 20% x Rp600.000.000,- = Rp120.000.000,-
• Jurnal yang dicatat oleh PT Roda Tiga adalah:

Uraian Debit Kredit


Beban Jasa Konsultasi 600.000.000,-
PPN Masukan 60.000.000,-
Utang PPh Pasal 26 120.000.000,-
Kas 540.000.000,-
Kas yang dikeluarkan oleh PT Roda Tiga sebesar Rp540.000.000,- terdiri dari Rp480.000.000,-
dibayarkan sebagai imbalan jasa kepada Subjek Pajak di Australia dan Rp60.000.000,- disetorkan
kepada negara dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak, sehingga bisa dikreditkan sebagai Pajak Masukan di SPT Masa PPN.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai