Anda di halaman 1dari 25

AnggotA:

• Firda Sari
• Jamin
• Neftriani Azul
• Nurfitri SW
• Nurul Afika
• Riani L. Silalahi
• Sherly Yulita

PSIK UNIVERSITAS RIAU


2013
Teori Masuknya
Islam di Indonesia
A. Teori Makkah

Islam yang masuk dan berkembang di


Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari
Makkah pada abad ke7 M. Teori ini dikemukakan
oleh Hamka (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim
Amrullah), ia adalah seorang ulama’ sekaligus
seorang sastrawan Indonesia. Hamka
mengemukakan pendapat ini pada tahun 1958, saat
orasi yang disampaikan pada dies natalis perguruan
tinggi Islam Negri (PTIN) di Yogyakarta.
Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat
yang mengemukakan bahwa Islam datang di
Indonesia ini tidak langsung dari Arab. Bahkan
argumentasi yang dijadikan rujukan Hamka adalah
sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Selain itu
yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik
lainnya adalah bahwa orang-orang Arab sudah
berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam
rangka berdagang. Hamka percaya dalam perjalanan
inilah mereka singgah di kepulauan Nusantara saat
itu (Budiyanto, 2012).
B. Teori Gujarat

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses


kedatangan Islam ke Indonesia ini berasal dari
Gujarat pada abad ke-13, Islam dibawa dan
disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang
singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh
jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India
dan Nusantara. Pendapat ini dkemukakan oleh
Snouck Hurgronje. Ia mengambil pendapat ini dari
Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden
Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak
peninggalan di Indonesia.
Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P
Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan
kuburan-kuburan raja-raja pasai. Kuburan Sultan
Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik
Ibrahim di Gresik, Jawa Timur juga ditelitinya. Dan
ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan
kuburan yang ada di Cambay, Gujarat. Rupanya
pendapat ini disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat
Fatimi ini adalah bahwa nisan-nisan kuburan yang
ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan
nian-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar
Bangladhes sekarang (Mujahid, 2012).
C. Teori Cina

Teori ini mengungkapkan tentang agama


Islam yang disebarkandi Indonesia oleh orang-
orang Cina. Mereka bermadhab Hanafi, pendapat
ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda
pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Hal ini diperkuat dengan berita Jepang (784 M),
yang menceritakan tentang perjalanan berita
Kashin. (Mujahid, 2012).
Teori ini beranggapan bahwa proses
kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari para
perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan
dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam
dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu Buddha
etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan
penduduk Indonesia, terutama melalui kontak
dagang. Bahkan ajaran Islam telah masuk ke Cina
pada abad ke-7 M, masa dimana agama ini baru
berkembang (Budiyanto, 2012).
D. Teori Persia

Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan


Islam ke Indonesia beasal dari daerah Persia atau Parsi
(Iran). Pencetus dari teori inni adalah Hosein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan
argumentasinya, Hosein lebih menitik beratkan
analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dsn Indonesia.
Tradisi tersebut antara lain : tradisi merayakan 10
Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syi’ah atas
kematian Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti
yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di
Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari
bahasa Arab yang ditranslit melalui bahasa Parsi.
Keadaan masyarakat
Sumatera sebelum
masuknya Islam
Sumatera Utara memiiki letak geografis yang
strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi
pelabuhan yang ramai, menjadi tempat
persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan
menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa
dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera
Utara, masyarakat setempat telah menganut agama
Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang
menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh,
Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama
Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh
Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera
Selatan juga memiliki letak geografis yang strategis.
Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan
pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu pusat
perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu,
otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang
singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah
berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha.
Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa.
Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak
langsung sebagian besar masyarakatnya menganut
Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi
dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus
dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung
banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan
mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem
pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek
moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan
sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama,
menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama yang
berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang
membuat Islam dapat masuk dan menyebar dengan
damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau
Sumatera umumnya.
Kondisi Masyarakat
Masa Kedatangan
Islam
Agama Islam telah masuk ke Indonesia
semenjak abad pertama Hijriyah atau antara abad
ke-7 dan 8 Masehi. Dimulai dari daerah pantai
pesisir Sumatera, kemudian terbentuk kerajaan
Islam untuk yang pertama kali di Aceh. Sebelum
Islam masuk di Aceh, sudah ada kerajaan-kerajaan
seperti Kerajaan Lamuri dan kerajaan lain yang
disebutkan dalam sumber asing seperti Perlak dan
Pasai. Pada masa kerajaan Lamuri telah tercipta
hubungan yang baik dengan luar negri terutama
Cina dan India. Ini memungkinkan karena letak
Aceh yang strategis di jalan lintas perdagangan
internasional (encik, 2012).
Munculnya agama Islam di Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh akan budaya, dari kebudayaan
orang yang membawa pengaruh Islam dengan
Nusantara. Persentuhan hubungan ini terjadi sebagai
salah satu akibat dari hubungan yang dilakukan antara
orang-orang Islam dengan orang-orang yang ada di
Nusantara. Sebab, daerah Nusantara merupakan jalur
perdagangan strategis yang menghubungkan antara
dua negara, yaitu Laut Tengah dan Cina. Hubungan
perdagangan yang semakin lama semakin intensif
menimbulkan pengaruh terhadap masuknya
pengaruh-pengaruh kebudayaan Arab, Parsi, India, dan
Cina di Nusantara. Dengan kata lain, terjadilah proses
akulturasi antara kebudayaan negara-negara itu
dengan kebudayaan Nusantara (Husnayya, 2010)
Kondisi Sosial
Budaya
Kita mengetahui bahwa dalam masa
kedatangan da penyebaran Islam, di Indonesia
terdapat Negara-negara yang bercorak Hindu,
seperti di Sumatera yang terdapat kerajaan
Sriwijaya dan Melayu. Kerajaan-kerajaan di
Sulawesi tersebut tidak menunjukkan pengaruh
India atau Indonesia Hindu, hal ini terlihat dari
struktur birokrasi pemerintahan yang merupakan
federasi limpo-limpo dibawah pimpinan
Arungmatoa yang biasanya dipilih dari arung-
arung, dan system pemerintahan yang mengenal
unsur-unsur demokrasi (Poesponegoro &
Notosusanto, 2010:14).
Dari berita Tome Pire diketahui pula bahwa di
daerah Sumatera di samping banyak kerajaan yang
sudah bercorak Islam juga banyak yang belum
memeluk Islam, dan arena itu sering kali disebut cafre.
Struktur pemerintahan seperti telah diberitakan oleh
Tome Pire situ diperkuat lagi oleh Antonio Galvao
yang menyebut bahwa di Maluku, setiap tempat
merdeka dengan daerah dan batas-batasnya sendiri.
Penduduknya hidup bersama dalam masyarakat-
masyarakat yang memenuhi keperluannya sendiri.
Masyarakat-masyarakat tersebut diperintah oleh orang
tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lain
(Poesponegoro & Notosusanto, 2010:15).
Kondisi Politik
dan Ekonomi
Pada abad ke-12 situasi dan kondisi politik bahkan
ekonomi kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu pada
masa kedatangaan orang-orang muslim ke daerah
Sumatera dan Jawa, Sriwijaya dan Majapahit mulai
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan
karena politik kerajaan-kerajaan di Sumatera dan
Jawa sendiri dan mungkin juga oleh pengaruh
politik perluasan kekuasaan Cina ke kerajaan-
kerajaan di daratan Asia Tenggara (Poesponegoro
& Notosusanto, 2010:19).
Bukti Islam masuk
di Sumatera
Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia tenggara mulai
berkenalan dengan tradisi Islam. Ini terjadi karena para
pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah
untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif,
khususnya di semenanjung Melayu dan nusantara. Di
Indonesia, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi
sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam
Sultan Malik al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di
Aceh utara. Pada makam tersebut tertulis bahwa dia
wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Dalam hikayat
Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks
Melayu tertua Malik Al-Saleh digambarkan sebagai
penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai (Hill, 1960;
Ibrahim Alfian, 1973, dalam artikelAmbary).
Untuk menjastifikasi teorinya, Moquette
membandingkan dengan data historis yang lain,
yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi
Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292 M.
Pada proses islamisasi terjadi, persentuhan
pedagang muslim dengan penduduk setempat
telah terjadi di sana untuk sekian lama hingga
sebuah kerajaan Muslim berdiri pada abad ke-13 M,
Samudra pasai. Pendiri kerajaan tersebut bias
dihubungkan dengan kelemahan kerajaan Sriwijaya
sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana
dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling
Wa-Tai-ta (1178 M) (Tjandrasasmmita, 13-14).
Berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti
masuknya Islam di Sumatera, selain kerajaan Samudra Pasai juga ada kerajaan
Perlak, dan kerajaan Aceh. pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset Arkeologi
Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu Nisan di situs Tuanku Batu
Badan di Barus. Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang
mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar
602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari pusat Riset
Arjeologi Nasional, tapi ada penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar
Amsuri meninggal pada 19 Safar 972. Tapi dari temuan Arkeologis di barus
dikatakan bahwa batu nisan Tuhar Amsuri tertanggal 602 lebih awal dari batu
nisan Sultan As-Salih yang tertanggal 696 H. Ini berarti jauh sebelum kerajaan
Samudra Pasai, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di Barus, salah satu
tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmmita,15-16).

Anda mungkin juga menyukai