Anda di halaman 1dari 43

COST-EFFECTIVE

ANALYSIS
Kelompok 2:
Wafa
S alsabila Ar ya
Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)
◦ AEB digunakan dalam kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009).
◦ Melalui AEB dapat ditetapkan bentuk intervensi kesehatan yang paling efisien dan membutuhkan biaya
termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan intervensi tersebut.
◦ Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai
tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya.
◦ Contohnya: Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan
besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki kemampuan
penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.
Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)
◦ Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi
tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan (non-moneter).
◦ Indikator kesehatan sangat beragam—mulai dari mmHg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat
antihipertensi), banyaknya katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan
prosedur yang berbeda), sampai jumlah kematian yang dapat dicegah (oleh program skrining kanker
payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya preventif lainnya).
◦ Sebab itu, AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki
tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan yang muaranya
sama (Drummond et al., 1997).
◦ Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan
penurunan kadar LDL atau kolesterol total (oleh obat antikolesterol), AEB tak dapat digunakan.
Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)
◦ Oleh pengambil kebijakan, metode Kajian Farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk memilih
alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan, yaitu sistem
yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah tertentu dana.
◦ Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan rasio inkremental
efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-effectiveness ratio/ICER).
◦ Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit
efektivitas biaya. Selain itu, untuk mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang
memberikan efektivitas-biaya terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel
efektivitas-biaya.
Rasio Inkremental Efektivitas-Biaya (RIEB)
◦ Oleh pengambil kebijakan, metode Kajian Farmakoekonomi ni terutama digunakan untuk memilih
alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan, yaitu sistem
yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah tertentu dana.
◦ Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan rasio inkremental
efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-effectiveness ratio/ICER).
◦ Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit
efektivitas biaya. Selain itu, untuk mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang
memberikan efektivitas-biaya terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel
efektivitas-biaya.
Rasio Inkremental Efektivitas-Biaya (RIEB)

◦ Posisi Dominan Kolom G (juga Kolom D dan H): Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan
efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih
rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G), pasti terpilih
sehingga tak perlu dilakukan AEB.
◦ Posisi Didominasi Kolom C (juga Kolom B dan F): Jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan
efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi
(Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), tidak perlu
dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan
AEB.
Rasio Inkremental Efektivitas-Biaya (RIEB)

◦ Posisi Seimbang Kolom E Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang
sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara
pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, misalnya tablet lepas lambat yang
hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori
ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya
kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain
◦ Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitasbiaya Kolom A dan I Jika suatu intervensi
kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah pula
(Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih
tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.
Diagram Efektivitas Biaya
Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram efektivitas-biaya. Suatu alternatif intervensi
kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan dengan intervensi (obat) standar.

1. Kuadran I (Tukaran, Trade-off)


Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi
juga membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar.
2. Kuadran II (Dominan)
Efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah dibanding
intervensi standar, intervensi alternatif ini menjadi pilihan utama.
3. Kuadran III (Trade-off)
Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga
masuk kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III.
4. Kuadran IV (Trade-off)
Intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan
biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak
layak untuk dipilih.
Contoh Perhitungan RIEB
Untuk terapi sebuah penyakit dapat digunakan tiga macam obat yang masing-masing memiliki kinerja
sebagai berikut:
1. Obat A membutuhkan biaya Rp6.000.000/100 pasien, tingkat survival 3%
2. Obat B membutuhkan biaya Rp22.000.000/100 pasien, tingkat survival 5%
3. Obat C membutuhkan biaya Rp30.000.000/100 pasien, tingkat survival 1%
Berapa RIEB jika terapi dialihkan dari menggunakan Obat A ke Obat B?
Contoh Perhitungan RIEB

Dari perhitungan di atas, ditemukan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk setiap alternatif obat. Dengan
membandingkan REB Obat B dengan REB Obat A, RIEB untuk pindah obat dari A ke B dapat dihitung
seperti berikut:
RIEB A ke B = (22.000.000 – 6.000.000) / (5 – 3) = 16.000.000/2 Kematian yang dicegah
Dengan demikian, RIEB untuk pindah obat dari A ke B adalah Rp16.000.000 untuk setiap dua
kematian yang dicegah, atau Rp 8.000.000 / kematian yang dicegah.
Contoh Analisis Efektivitas-Biaya
Asma merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh bronkokonstriksi (penyempitan saluran nafas).
Inhalasi kortikosteroid telah menjadi cara pengobatan rutin. Tetapi, pengobatan inhalasi kortikosteroid
tunggal kadang tidak cukup efektif untuk mengontrol gejala asma. Dua pengobatan baru digunakan sebagai
terapi penunjang, yaitu BreatheAgain® dan AsthmaBeGone®. Pada kasus ini akan dibandingkan
efektivitas-biaya pengobatan dari:
1. Pemberian inhalasi kortikosteroid tunggal
2. Pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid + BreatheAgain®
3. Pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid + AsthmaBeGone®
Contoh Analisis Efektivitas-Biaya
1. Tujuan: Membandingkan biaya dan efektivitas dua terapi penunjang baru bagi pasien asma yang
mendapat pengobatan inhalasi kortikosteroid, yaitu terapi penunjang BreatheAgain® dan
AsthmaBeGone®
2. Cara untuk mencapai tujuan: Membandingkan:
• Inhaler kortikosteroid + Plasebo (A)
• Inhaler kortikosteroid + BreatheAgain® (B)
• Inhaler kortikosteroid + AsthmaBeGone® (C)
Membandingkan jumlah pasien dari masingmasing terapi yang meningkatkan FEV (forcedexpiration
volume)-nya > 12%
3. Identifikasi tingkat efektivitas
Hasil studi literatur menunjukkan:
• Efektivitas Pengobatan A = 35%
• Efektivitas Pengobatan B = 60%
• Efektivitas Pengobatan C = 61%
Contoh Analisis Efektivitas-Biaya
4. Identifikasi dan hitung biaya pengobatan: Biaya yang teridentifikasi dan diukur adalah biaya
medikasi, biaya kunjungan tak terjadwal, biaya kunjungan ke unit gawat darurat, biaya rawat inap:
• Biaya rerata Pengobatan A = Rp320.000/ pasien
• Biaya rerata Pengobatan B = Rp537.000/ pasien
• Biaya rerata Pengobatan C = Rp381.000/ pasien
5. Hitung dan lakukan interpretasi efektivitasbiaya dari pilihan pengobatan

Hitung rasio efektivitas-biaya (REB) setiap pengobatan.


• REB Pengobatan A = Rp 320.000 / 0,35 = Rp 914.286
• REB Pengobatan B = Rp 537.000 / 0,60 = Rp 890.000
• REB Pengobatan C = Rp 381.000 / 0,61 = Rp 624.590
Contoh Analisis Efektivitas-Biaya
6. Tentukan posisi alternatif pengobatan dalam Tabel atau Diagram Efektivitas-Biaya. Biaya yang
dilihat adalah biaya pengobatan, bukan rerata efektivitas-biaya.

Hitung rasio inkremental efektivitas-biaya


(RIEB) setiap pengobatan:
• Untuk Pengobatan C terhadap B, atau
sebaliknya, tidak dilakukan perhitungan
RIEB.
• RIEB Pengobatan B terhadap A
= (Rp 537.000 – Rp 320.000) / (0,60 – 0,35)
= Rp 868.000
• RIEB Pengobatan C terhadap A
= (Rp 381.000 – Rp 320.000) / (0,61 – 0,35)
= Rp 234.615
Contoh Analisis Efektivitas-Biaya
7. Interpretasi
a. Antara Pengobatan B dan C harus dipilih Pengobatan C, karena dengan efektivitas yang sama
Pengobatan C lebih murah.
b. Antara Pengobatan A dan B, bila dipilih Pengobatan B harus dikeluarkan biaya lebih sebesar Rp
868.000 untuk peningkatan 1 unit efektivitas.
c. Antara Pengobatan A dan C, bila dipilih Pengobatan C harus dikeluarkan biaya lebih sebesar Rp
234.615 untuk peningkatan 1 unit efektivitas.
d. Bila Pengobatan B atau C akan dipilih, pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempertimbangkan apakah biaya lebih yang harus dikeluarkan sebanding dengan peningkatan
efektivitas yang diperoleh.
8. Lakukan analisis sensitivitas dan ambil kesimpulan. Analisis dilakukan dengan melihat standar
deviasi dari efektivitas setiap pengobatan, limit atas, dan limit bawah. Setelah itu, hitung biaya satuan
dengan mempertimbangkan variasi volume obat yang digunakan.
JURNAL
Diabetes and Neuropathy
◦ The Diabetes Atlas published by the International Diabetes Federation (IDF), have revealed
that an estimate of 40 million peoples with diabetes live in India.
◦ Neuropathy is a common condition associated with diabetes, affecting 60–70% of diabetic
patients. Diabetic neuropathies are nerve disorders which can be classified as peripheral,
autonomic, proximal, and focal.
◦ Diabetic peripheral neuropathy (DPN) is one of the main complications associated with
diabetics. It is a heterogeneous group of disorders that can affect neuronal function throughout
the body and approximately 16–26% of all diabetic patients can develop this condition.
◦ The pain associated with diabetic peripheral neuropathy may be due to the failure of
endogenous analgesic mechanisms in the descending spinal pathways which control pain
transmission to the brain.
QoL and DSPN Medication
◦ The quality of life (QoL) can be assessed by generic instruments which allow
cross comparison with other chronic medical conditions. The usage of
validated neuropathy-specific measures of QoL, such as Neuro-QoL, are
reliable for capturing the key dimensions of patient’s experience of painful
DSPN (Distal Symmetrical Polyneuropathy)
◦ Neuropathy recommended TCAs, duloxetine, pregabalin, and gabapentin can
be used as first-line agents after having careful review of all the available
literature regarding the pharmacological treatment of painful DSPN, the final
drug of choice are based on particular patient’s demographic profile and
comorbidities.
Pregabalin
◦ Pregabalin is a chemical analogue of the neurotransmitter Gamma Amino Butyric
Acid (GABA) present in mammals. Pregabalin is inactive at GABA receptors and
does not appear to mimic GABA physiologically. Pregabalin binds with alpha2delta
subunit of pre synaptic, voltage dependent calcium channels which probably
contributes to its anticonvulsant properties, since these activities correlates with a
decrease in calcium channel function.
◦ The Pregabalin was developed as an antiepileptic drug but has been reported to have
clinical efficacy as an analgesic for neuropathic pain and fibromyalgia and as an
anxiolytic in patients with generalized anxiety disorder. Dizziness, somnolence, facial
edema, peripheral edema and weight gain are the most common adverse effects
reported in the Pregabalin group.
Dulxetine
◦ The Duloxetine initiate the pharmacological response by reuptake inhibition of
both serotonin and nor epinephrine in the central nervous system, there by
increases the activity of these neurotransmitters and subsequently reduces the
perception for pain by modulating the pain signals
◦ Side effects with Duloxetine are generally mild for the SNRI class which
includes nausea, dizziness, somnolence, fatigue, sweating, dry mouth,
constipation, and diarrhea.
◦ The Duloxetine is a good choice for DPNP treatment in patients with
coexisting depression, anxiety, fibromyalgia, or chronic musculoskeletal pain.
AIM
In the current study we have tried to compare the different class of
drugs which are used for the same condition of DPNP, affecting a
large percentage of patients and significantly increase the costs of
medical care. As a result cost-effectiveness analysis of Duloxetine
and Pregabalin were conducted.
Materials & Methods
Kritria inklusi : pasien terdaftar di
Penelitian diadakan di klinik
klinik diabetes dg diagnosis
diabetes dg 500 perawatan RS
diabetic neuropathic pain dan tdk
tersier utk 6 bulan. Protokol
menggunakan
disediakan dan izin diperoleh dari
Pregabalin/Duloxetine/obat lain
Institutional Ethics Committee.
dari kelasnya.

Kriteria eksklusi : pasien < 18 th, Sumber data : catatan kasus


wanita hamil, intoleran thd pasien, hasil lab, dokumen studi
Pregabalin & Duloxetine, spesifik seperti Neuro-Qol form,
keterbelakangan mental dan cacat skala neuropathic pain dan
fisik. wawancara langsung.
◦ Populasi sampel dihitung berdasarkan studi pendahuluan :

◦ Berdasarkan persamaan tsb, populasi sampel yg diobati dg


Pregabalin adalah 48 dan Duloxetine 47.
◦ Agar perhitungan tepat, populasi sampel menjadi @50 dan total
subjek menjadi 50 x 2 = 100.
Review disiapkan setelah 3 bulan dan Klinik diabetes diadakan setiap rabu di RS.
Kriteria diagnostiik berdasarkan keparahan Pada kunjungan review setelah 3 bulan,
peripheral diabetic neuropathy yg diukur pasien terdaftar dihubungi pada akhir
bulan 1 dan 2 utk memastikan kepatuhan data dikumpulkan lagi. Adverse drug
dg aesthesiometer. events yg dicurigai diobservasi dan biaya
terapi.
obat jg dicatat.

Skala neuropathic pain tdd 9 item, yg akan Pada kuesioner Neuro-Qol, masing2
menilai 2 dimensi global rasa sakit pertanyaan diberi nilai 1-5  1 “tdk
(intensitas dan ketidaknyamanan), 6 Responden dinilai domain rasa sakitnya dg mampu melakukan”, dan 5 “tanpa ada
kualitas sakit spesifik (sharp, hot, dull, skala numerik 0-10. 0tdk ada rasa sakit kesulitan”
cold, sensitive, and itchy), dan 2 lokasi dan 10 level sakit tertinggi. Nilai yg
paling tinggi level sakit paling tinggi. - Nilai tertinggi  kualitas hidup lebih
(dalam dan permukaan ) dari neuropathic baik
pain.
- T score setiap pasien dihitung
Form berisi hasil
Analisis data dan statistik CEA dilakukan dg
aesthesiometer (alat
menggunakan software R. membandingkan efek dari
elektronik utk mengukur
Nilai P < 0,05  sangat agen terapeutik berbeda dan
keparahan diabetic
signifikan scr statistik. menilai biaya yang pantas.
neuropathy.

Biaya setiap obat Efektivitas biaya dihitung


Efek dihitung dg mean
ditentukan dg mengambil 3 dg menilai rasio ICER, dg
difference dari kedua obat
merek umum terkemuka obat 1 (Pregabalin) dan obat
dlm nilai QOL pasien.
dari 2 obat tsb. 2 (Duloxetine).
Hasil
Pada penyelesaian pengumpulan data, 16 dari 100
pasien dikeluarkan, 2 dari pasien yg diobati dg
Pregabalin dan 14 dari pasien yg diobati dg
Duloxetine.

Alasan dikeluarkan karena intoleran, penghentian


terapi, terapi alternatif, sulit utk membayar biaya
terapi dan kegagalan review.

Ukuran sampel akhir penelitian ini adalah 84 dan


hasilnya ditabulasi berdasarkan ukuran sample ini.
Pasien yang Diobati dengan Pregabalin

Total 48 pasien dibagi ke dalam kategori usia berbeda. Mayoritas pasien berasal dari
kelompok usia di bawah 50-59 th (37,5%) dan minoritas pasien berasal dari kelompok usia
di bawah 30-39 th (6,25%). 69% adalah wanita

Pasien dikelompokkan berdasarkan BMI. 45,83% overweight dan 52% memiliki FBS
di atas 150. Penyebab utama diabetic neuropathic pain adalah hiperglikemia.

Hasil menunjukkan bahwa adverse events yg paling umum adalah edema perifer (12,5%).
Total ada 12 adverse events dilaporkan.
Pasien yang Diobati dengan Duloxetine

Jumlah maksimum pasien adalah kelompok di bawah usia 60-69 th (30,55% dari
populasi total). 58% adalah wanita.

Status BMI pasien dicatat dan jumlah maksimum pasien masuk kategori normal dan
overweight 41,66% utk keduanya. Tidak ada pasien yg memiliki FBS di bawah
rentang 100.

Pada penyelesaian follow up 3 bulan, adverse events diobservasi dari feedback pasien
dan mayoritas pasien mengalami mual (19,44%).
Analisis Efektivitas
• Kelompok yg diobati dg Pregabalin dan Duloxetine dibandingkan berdasarkan
Perbandingan Skala nilai NPS.
Neuropathic Pain • Mean difference kelompok Pregabalin = 9,07 dg siginifikansi nilai P 1,61E-08
dan Duloxetine = 11,58 dg signifikansi nilai P 3,18E-13.

Perbandingan • Mean difference Pregabalin 3,21 dg signifikansi nilai P 3,35E-09.

NeuroQoL • Mean difference Duloxetine 4,63 dg signifikansi nilai P 4,46E-09.

Perbandingan • Tidak ada perbedaan pada nilai hasil aesthesiometer utk Pregabalin.
• Hanya ada sedikit perbedaan pada Duloxetine dg perbedaan yg tdk signifikan
Aesthesiometer (nilai P 0,743).
Analisis Farmakoekonomi
Perbandingan biaya

Cost Consequence
Analysis
Analisis
Farmakoekonomi
Perhitungan Rata2
Rasio Efektivitas
Biaya untuk Kedua
Obat

Incremental Cost
Effectiveness Ratio
Pembahasan
Penelitian dilakukan utk membandingkan efikasi dan efektivitas biaya
dari Pregabalin dan Duloxetine pada diabetic neuropathic pain.

Pengumpulan data berhasil dilakukan pada 100 pasien terdaftar. 2


pasien dari kelompok Pregabalin dan 14 pasien dari kelompok
Duloxetin dikeluarkan.

Perbedaan signifikan pada jumlah pasien yg dikeluarkan memberikan


kesan bahwa Duloxetine memiliki kepatuhan terapi yg rendah
disebabkan oleh peningkatan harga dan efek samping relatif lebih
tinggi.
Studi prevalensi global menunjukkan adanya peningkatan kejadian
DPN pada pria daripada wanita.

Pada penelitian ini, mayoritas pasien adalah wanita; 69% pada


kelompok Pregabalin dan 58% pada kelompok Duloxetine.

Obesitas merupakan faktor resiko utama pada diabetes. 45,8% (n=22)


pasien obesitas pada kelompok Pregabalin dan 41,66% (n=15) pada
Duloxetine. Statistik menunjukkan ada hubungan penting antara
peningkatan BMI yg dapat mempercepat komplikasi DPN
Penelitian jg menunjukkan bahwa usia lanjut jg merupakan
faktor resiko kuat untuk diabetic neuropathy.

Mayoritas populasi pasien dg Pregabalin berasal dari


kelompok usia di bawah 50-59 th dan Duloxetine 60-69 th
 pasien diabetes setelah usia 40 th, kesempatan
berkembangnya diabetic neuropathic pain meningkat.

DPN dikenal sebagai komplikasi DM yang tdk terkontrol.


Pada penelitian ini, FBS 52% dari kelompok Pregabalin
dan 36,22% dari kelompok Duloxetine di atas 150.
Pembacaan aesthesiometer digunakan untuk menilai
keparahan DPN pada ekstremitas bawah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai


aesthesiometer ditemukan parah pada mayoritas pasien dan
tdk ada perbedaan signifikan untuk 2 kelompok pasien
setelah pengobatan

Jadi, Pregabalin dan Duloxetine digunakan untuk


meringankan gejala DPNP memiliki efek tdk berarti utk
neuropathy
Perbandingan efikasi 2 obat dianalisis berdasarkan mean
difference nilai NPS dan Neuro-QoL.

Pada penelitian ini, mean difference NPS menunjukkan


perbaikan neuropathic pain pasien dg kedua obat. Obat yg
menghasilkan pengurangan NPS  lebih efektif. Berdasarkan
nilai NPS, efek Duloxetine lebih baik dari Pregabalin.

Perbedaan nilai NPS Pregabalin dan Duloxetine sangat


signifikan. Perbaikan nilai nyeri  dampak positif utk
neuropathic pain pada pasien yg diobati dg 2 obat ini.
Kualitas hidup pasien tergantung pada perbaikan
rasa sakit yg dicapai oleh terapi obat.

QoL pasien dinilai dengan kuesioner Neuro-QoL


ekstremitas bawah  tingkat perbaikan pada nilai
ini terkait dg besarnya keringanan rasa sakit.

Mean difference Pregabalin 3,21 dg nilai P 3,35E-


09 dan Duloxetine 4,63 dg nilai P 4,46E-09 
perbaikan QoL kelompok Duloxetine lebih baik
daripada Pregabalin.
Efektivitas Biaya

Metode pertama : biaya dan outcome setiap terapi obat dicatat dan dianalisis (Cost Consequence
Analysis/CCA)  biaya dan efek setiap terapi alternatif.

Metode kedua : menghitung Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) untuk setiap alternatif terapi.
Menggunakan per unit manfaat klinis dan  perhitungan ini membuat adanya hubungan “doing
nothing” atau tidak ada pengobatan. Rasio ACER Pregabalin 208,3 dan Duloxetine 163,28.

Metode ketiga : menghitung Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)  rasio perbedaan biaya yg
dipisahkan oleh perbedaan outcome. Duloxetine lebih mahal dan lebih efektif dari Pregabalin. ICER
digunakan utk menentukan besarnya biaya tambahan utk setiap unit perbaikan kesehatan. Perbandingan
Pregabalin & Duloxetine akan menghabiskan biaya INR 61,47 utk setiap nilai perbaikan ekstra QoL.
Kesimpulan

ICER  Duloxetine
Pregabalin dan Duloxetine mendominasi Pregabalin,
memiliki efek signifikan dalam namun penelitian dg durasi yg
mengurangi Diabetic Peripheral lebih panjang dibutuhkan utk
Neuropathic Pain  memberikan presisi lebih dg
Duloxetine memiliki efikasi yg mengukur kemungkinan
lebih baik. adverse reactions dari
Duloxetine.

CEA pebaikan QoL pasien


yang lebih baik secara
signifikan dg Duloxetine
dibandingkan dg Pregabalin dg
sedikit kenaikan harga.

Anda mungkin juga menyukai