Anda di halaman 1dari 84

OLEH :

Dr. Siti Rodhiyah Dwi Istinah, SH., MH.


FAKULTAS HUKUM UNISSULA SEMARANG
REFERENSI BUKU
Mahfud MD, 2004, Politik Hukum di Indonesia
Jimly Asshiddiqie, 2006 Konstitusi & Konstitusionalisme
------------------------,2006 Perkembangan & Konsolidasi
Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi
Ni’matul Huda, 2004, Politik Ketatanegaraan Indonesia
Harjono, 2009, Transformasi Demokrasi
UU No. 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedu Atas UU No 17
Tahun 2014 Tentang MD3
UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa
UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
BAB I
DINAMIKA POLITIK HUKUM KETATANEGARAAN
INDONESIA PASCA REFORMASI
A. Hubungan Hukum dan Politik
* Hukum (Tata Negara) itu merupakan aturan
main politik yang paling mendasar.

* Hukum pasti didasari oleh politik, karena


hukum itu dibentuk oleh negara sebagai
lembaga politik yang paling tinggi.

* Sebaliknya politik baru mempunyai wujud


bilamana sudah dirumuskan dalam bentuk
hukum.
•Hukum Tata Negara adalah bidang hukum
yang erat hubungannya dengan politik. Sa-
tu sisi berpijak pada hukum (bersifat statis)
sisi yang lainnya berpijak pada politik (ber-
sifat dinamis).

•Ada yang mengibaratkan seperti rel dan


kereta api.

•Ada pula yang mengibaratkan seperti sek-


keping mata uang.
1. Hukum determinan (menentukan) atas politik.
Asumsi ini dipakai sebagai landasan das
sollen.
2. Politik determinan (menentukan) atas hukum
dalam arti bahwa penegakan hukum sangat
dipengaruhi oleh politik. Asumsi ini di pakai
sebagai landasan das sein.
3. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan
yang interdependen (saling tergantung).
Hukum tanpa politik tidak berdaya. Politik
tanpa hukum akan rusak/anarki.
B. Problematik politik Hukum
- Antara hukum dan politik dalam kenyata
annya mana yang lebih suprematif?

- Kapankah waktunya hukum itu perlu di-


ubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan?

- Perubahan mana yang perlu diadakan


terhadap hukum yang ada agar supaya
memenuhi kebutuhan baru di dalam ke-
hidupan masyarakat?
C. Hukum sebagai Produk Politik
Hipotesis
Konfigurasi politik yang demokratis akan
melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsive/otonom.

Konfigurasi politik yang otoriter (non-


demokrasi) akan melahirkan produk
hukum yang bekarakter
konservatif/ortodok atau menindas
Variabel Bebas Variabel Terpengaruh

Konfigurasi politik Karakter Produk


Hukum

Demokratis Responsif/otonom

Otoriter/non- Konservatif/ortodoks
demokratis
Konfigurasi Politik Demokratis
Konfigurasi yang memberikan peluang bagi berperannya potensi
rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan
negara.

Konfigurasi Politik Otoriter


Konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang
sangat dominant dengan sifat yang intervensionis.

Produk Hukum Responsive/otonom


Produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas
tuntutan baik individu maupun kelompok dalam masyarakat
sehingga mencerminkan keadilan.

Produk hukum konservatif/ortodoks


Produk hukum yang karakterya mencerminkan visi politik
pemegang kekuasaan dominan sehingga perbuatannya tidak
mengindahkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-
sungguh
D. Pengertian Politik Hukum

SATJIPTO RAHARDJO
Sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.

MOH. MAHFUD MD
kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara
resmi oleh negara tentang hukum yang akan
diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk
mencapai tujuan negara. Arah
IMAM SYAUKANI dan A.AHSIN THOHARI
Kebijakan dasar penyelenggaraan negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di dalam
masyarakat untuk mencapai tujuan negara.

ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA


Kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan
atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan nasional.

Politik hukum memiliki posisi yang strategis, yaitu sebagai


alat analisis dalam memahami dinamika keterkaitan antara
hukum dan politik, terutama, dan jika dikaitkan dengan
proses pembentukan sistem hukum negara.
E. Urgensi Perubahan UUD 1945
1. Secara filosofis ; karena UUD adalah moment
opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi
yang dominan pada saat dirumuskan. Demikian pula
karena di susun oleh manusia yang sesuai kodratnya
tidak pernah pada tingkat kesempurnaan.

2. Aspek historis ; Sejak semula UUD 1945 bersifat


sementara, sebagaimana dinyatakan Soekarno dalam
pada 18 Agustus 1945. Demikian juga karena dibuat
secara tergesa-gesa untuk kebutuhan berdirinya
negara baru Indonesia yang telah diproklamirkan sehari
sebelumnya.
3. Secara yuridis ; Para perumus UUD 1945
sudah menunjukkan kearifan dengan mem-
buat pasal-pasal perubahan di dalam UUD
1945, meski sangat sederhana.

4. Secara substantif ; UUD banyak mengan-


dung kelemahan, a) kekuasaan eksekutif
terlalu besar, b) rumusan pasal multi tafsir,
c) unsur-unsur konstitusionalisme tidak di
elaborasi secara memadahi, d) terlalu me-
nekankan pada semangat para penyeleng-
gara negara, e) atribusi kewenangan besar
kepada presiden untuk mengatur berbagai
hal penting dengan undang-undang.
Menurut Sri Soemantri perubahan konstitusi
mengandung 3 (tiga) macam arti ;

1.Menjadi lain bunyi kalimatnya,


2.Menambahkan sesuatu yang baru,
3.Ketentuan dalam konstitusi dilaksanakan
tidak seperti yang tercantum di dalamnya.

Arti perubahan no. 1 dan no. 2 disebut


perubahan secara formal, sedang arti
perubahan no. 3 di sebut perubahan secara
materiil.
Jellinek membedakan perubahan konstitusi
dalam 2 hal;
1.Verfassungs anderung yaitu perubahan
UUD/Konstitusi yang dilakukan dengan
sengaja dengan cara yang disebutkan dalam
UUD.

2.Verfassungs Wandlung yaitu perubahan


UUD/Konstitusi dengan cara yang istimewa
seperti revolusi, coup d’etat, convention dsb.
Jadi secara formal tidak berubah, tetapi
secara materiil telah mengalami perubahan
dan perkembangannya termasuk melalui
interpretasi.
Perubahan UUD 1945 secara Formal mengandung 4
aspek;
1. prosedur perubahan,
2. mekanisme yang digunakan, 3. sistem perubahan, 4.
substansi yang diubah.
Contoh: perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002
yang dilakukan oleh MPR
Contoh : Perubahan secara materiil ;
-Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945
-Maklumat Pemerintah tgl 14 Nopember 1945
yang mengatur pertanggungjawaban menteri
kepada BP KNIP.
-Tap No. I/MPR/1973 yang berisi MPR mem-
beri penjelasan yang bersifat menafsirkan ter-
hadap putusan majelis.
- MPR Meminta dan menilai pertanggungjawaban
presiden.

Sejak kapan UUD 1945 mengalamui perubahan


Sejarah Ketatanegaraan Indonesia telah tercatat
beberapa upaya :
a.Pembentukan UUD
b.Penggantian UUD
c.Perubahan dalam arti pembaruan UUD

Ad a. Pada tahun 1945, UUD 1945 dibentuk atau disusun


oleh BPUPKI dan PPKI sbg hk dasar bagi NKRI yg
diproklamasikan pd tgl 17 Agustus 1945
Ad b. Pada tahun 1949, ketika bentuk NKRI diubah menjadi
Negara Serikat, diadakan penggantian konstitusi dari UUD
1945 menjadi KRIS 1949.
. Pada tahun 1950, ketika bentuk negara diubah dari
bentuk negara serikat menjadi negara kesatuan, KRIS 1949
diganti dengan UUDS 1950. Setelah itu baru dilakukan
penyusunan UUD baru sama sekali, dibentuklah Lembaga
Konstituante yg bertugas menyusun konstitusi baru.
Badan Konstituante gagal menyusun konstitusi baru,
akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang isinya antara lain
membubarkan konstituante dan menetapkan berlakunya
kembali UUD 1945 sebagai hukum dasar dalam NKRI.

Ad. C. Reformasi pada tahun 1998, memaksa Presiden


Soeharto mengundurkan diri diganti Presiden B.J. Habibie
dilakukanlah perubahan UUD 1945 dari mulai perubahan
pertama tahun 1999 yang dilakukan secara berkelanjutan
hingga perubahan keempat pada tahun 2002.

Kedua bentuk perubahan yaitu penggantian dan


perubahan (perubahan secara formal) pada pokoknya
sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas.
Ada 3 tradisi perubahan
Pertama, kelompok negara yg mempunyai kebiasaan
mengubah materi UUD dengan langsung memasukkan
(insert) materi perubahan ke dlm naskah UUD (Perancis,
Jerman, Belanda)

Kedua, kelompok negara yg mempunyai kebiasaan


mengadakan penggantian naskah UUD (naskah konstitusi
sama sekali diganti dengan naskah yg baru). Pada
umumnya terjadi di negara-negara yg sistem politiknya
belum mapan dan tradisi ini dianggap tidak ideal karena
hanya keadaan keterpaksaan.

Ketiga, perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah


dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen.
Naskah asli UUD tetap utuh, sedang kebutuhan akan
perubahan hk dasar dapat terpenuhi melalui naskah
tersendiri sebagai adendum tambahan thp naskah aslinya.
BAB II
ORGANISASI NEGARA DAN LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

Ragam struktur kekuasaan negara saat ini


sudah berkembang sehingga tidak lagi
terbatas pada 3 fungsi menurut doktrin klasik
Trias Politika.
A.Perkembangan Organisasi Negara Dan
Organisasi Kekuasaan.
Banyak sekali lembaga, komisi, dewan, ko-
mite independen yang dibentuk, karena :
a. Birokrasi pemerintahan dinilai tidak me-
menuhui standar mutu yang baik.
b.Struktur birokrasi yang gemuk dinilai
tidak efisien

c.Birokrasi di nilai cenderung korup, ti-


dak lagi mampu menampung aspirasi
rakyat yang terus berkembang.

Karena itu; Organisasi negara


mengalami perubahan yang semula
didominasi struktur departemen
pemerintahan, sekarang banyak di isi
oleh lembaga yang bersifat ad hoc.
-Lembaga, komisi, dewan, badan yang
bersifat khusus di dalam lingkungan
pemerintahan seperti : KPN, DPN, KHN,
KON, Kompolnas, Komisi Kejaksaan
dsb.
Lembaga-lembaga ini mirip Ornop,
karena; keberadaanya di luar struktur
pemerintahan, bersifat publik, didanai
oleh publik, serta untuk kepentingan
publik. Maka secara tidak resmi di sebut
sebagai Quasi NGO’s (Quasi
Autonomous Non Governmental
Organization)
B. Pemahaman tentang Lembaga Negara

Lembaga apa saja yang di bentuk bukan


sebagai lembaga masyarakat dapat di sebut
sebagai lembaga negara.

Lembaga negara identik dengan sebutan :


Staatsorgaan, badan negara, organ negara,
alat perlengkapan negara. Kadang di sebut
lembaga pemerintahan.

Ada yang dibentuk berdasarkan UUD, UU,


Kepres, Perda dsb.
Komisi, dewan, komite dan nama-nama lainnya
disebut juga sebagai Lembaga Nonstruktural (LNS)
Dalam prakteknya sering LNS dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya saling berbenturan , baik
kewenangannya maupun fungsinya dengan
kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-
Kementerian (LPNK).

Data sampai dengan tahun 2014 sudah ada :


98 Lembaga Nonstruktural,
34 kementerian dan
28 Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian
C. Lembaga Negara atau Organ Negara
Dalam UUD 1945.
Organ, status bentuk atau
Organ wadahnya
Negara
Fungsi, adalah isinya

Organ negara dalam UUD 1945 ada yang


di sebut secara eksplisit namanya, atau
fungsinya saja dan ada yang baik namanya
maupun fungsinya akan di atur dengan
peraturan yang lebih rendah. Maka
terdapat tidak kurang dari 34 organ atau
lembaga yg disebutkannya dalam UUD
1945.
Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah ;

MPR, Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan


kementerian negara, Menter luar negeri sebagai
triumvirat, Menteri dalam negeri sebagai
triumvirat, Menteri pertahanan sebagai triumvirat,
Wantimpres, Duta, Konsul, Pemerintahan
Propinsi, Gubernur, DPRD Provinsi,
Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD
Kabupaten, Pemkot, Walikota. DPRD Kota,
Satuan Pemerintahan yang bersifat khusus,DPR,
DPD, KPU, Bank Sentral, BPK, MA, MK, KY, TNI,
TNI AD, TNI al. TNI AU, Kepolisian Negara RI,
Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan
kekuasaan kehakiman.
D. Pembedaan Lembaga Negara
Ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan
dari 2 segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari
segi hirarkinya.
Mengetahui secara hirarki menjadi penting
karena;

1.Harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum


terhadap orang yang menduduki jabatan.
2.Untuk menentukan tempat duduk dalam upacara dan
besarnya tunjangan jabatan para pejabatnya.
Pembedaan dari segi fungsinya ke-34 lembaga
tersebut ada yang bersifat utama atau primer (primary
constitusional organ), ada yang bersifat penunjang
(auxiliary organ) sekunder.
Lembaga Utama terdiri dari sembilan jabatan
dan dapat disebut atas delapan lembaga tinggi
negara. Secara fungsinya sebagai lembaga
utama dan secara hirarkinya dapat disebut
lembaga lapis pertama, seperti; Presiden dan
Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR,MK, MA, KY
dan BPK.

Lembaga Penunjang adalah lembaga yang


mendukung fungsi utama, seperti Kpu,
Kepolisian, TNI dsb. Meski mempunyai fungsi
penunjang akan tetapi lembaga tersebut sama-
sama memiliki constitutional importance.
Pembedaan dari segi hirarki dapat dibedakan
ke dalam tiga lapis Lembaga ;
Lapis pertama disebut Lembaga tinggi negara,
Lapis kedua disebut lembaga negara saja,
Lapis ketiga disebut lembaga daerah.

Lembaga lapis pertama (lembaga tinggi negara)


1)Presiden dan Wakil Presiden,
2)Dewan Perwakilan Rakyat,
3)DPD,
4)MPR,
5)MK ,
6)MA,
7)BPK.
8)KY
Lembaga lapis kedua dapat disebut
lembaga negara organ konstitusi seperti;

1) Menteri Negara, 2) TNI, 3) Kepolisian


negara, 4) Kpu, 5) Bank Sentral.

Dan lembaga yang sumber


kewenangannya berasal dari UU misalnya;
Komnas HAM, KPI, KPK, ORI, KPPU dsb.
Lembaga lapis ke-tiga atau lembaga daerah,
yang merupakan lembaga negara yang terdapat
di daerah;

1) Pemerintahan Daerah Propinsi, 2) Gubernur,


3) DPRD Propinsi, 4) Pemerintahan Daerah
Kabupaten, 5) Bupati, 6) DPRD Kabupaten, 7)
Pemerintahan Daerah Kota, 8) Walikota, 9)
DPRD Kota.
Dan lembaga negara yang sumber
kewenangannya berasal dari regulator atau
pembentuk peraturan di bawah UU. (didasarkan
atas beleid / kebijakan Presiden) mis : KON,
KHN.
BAB III
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Sejarah terbentuknya MPR dimulai dengan pembentukan KNIP (Komite


Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 29 Agustus 1945.
Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No X (eks) tanggal 16 Oktober
1945, KNIP diserahi kekuasaan legislative untuk ikut menetapkan GBHN.

MPR (S) pertama kali dibentuk dengan Penetapan Presiden No 2 Tahun


1959. selanjutnya pembentukan MPR dengan Pemilu pertama kali pada
tahun 1971 dan mulai bersidang pada tahun 1973.
A. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

MPR adalah PENJELMAAN seluruh MPR adalah lembaga


rakyat dan merupakan LEMBAGA permusyawaratan rakyat
TERTINGGI NEGARA, pemegang
dan pelaksana sepenuhnya
yang berkedudukan sebagai
kedaulatan rakyat. LEMBAGA NEGARA.
SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Mengubah dan menetapkan UUD;


Menetapkan dan mengubah UUD 1945; Melantik Presiden dan Wapres;
Menetapkan GBHN; Memberhentikan Presiden dan/atau Wapres
dalam masa jabatannya menurut UUD;
Memilih & mengangkat Presiden & Wapres;
Melantik Wapres menjadi Presiden apabila
Membuat Putusan yang tidak dapat Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
dibatalkan oleh lembaga negara lainnya; atau tidak dapat melaksanakan
kewajibannya;
Memberikan penjelasan / penafsiran
Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila
terhadap putusan MPR; terjadi kekosongan jabatan Wapres;
Meminta pertanggungjawaban Presiden; Memilih dan melantik Presiden dan Wapres
Memberhentikan Presiden. apabila keduanya berhenti secara
bersamaan.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (Keputusan
MPR No 1/MPR 2010)
Perubahan & Penetapan UUD
•Mempunyai kekuatan hk
1.UUD sebagai UUD Negara RI
•Tidak menggunakan nomor
putusan
B. Putusan Ketetapan MPR
MPR 2.Ketetapan • Bersifat penetapan
(beschikking)
• Mempunyai kekuatan hukum
mengikat keluar.
• Menggunakan nomor putusan
dg angka romawi.
3.Keputusan Keputusan MPR
•Berisi aturan/ketentuan internal
majelis
•Mempunyai kekuatan hukum
mengikat ke dalam majelis
•Menggunakan No putusan
majelis dg angka arab
Keputusan MPR No 1/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI
diganti dengan Peraturan MPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
MPR RI. Dalam Pasal 102 ayat (1) dinyatakan bahwa jenis keputusan MPR
sebagai berikut:
1.Mengubah dan menetapkan UUD ( catatan: ini merupakan kewenangan
MPR/bukan produk hukumnya. Lebih tepat dengan menggunakan istilah
UUD saja)
2.Ketetapan MPR (ketetapan ini merupakan regeling bukan beschikking)
3.Peraturan MPR;
4.Keputusan MPR. (terdapat kerancuan penggunaan istilah keputusan MPR
hasil akhir persidangan MPR dengan Keputusan MPR sebagai salah satu
jenis produk hukum MPR)
Ketetapan MPR setelah perubahan UUD 1945

MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat


penetapan (beschikking) yaitu : lihat Pasal 8 ayat (1, 2, 3)
UUD 1945

•Menetapkan Wapres menjadi Presiden


•Memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan
Wapres
•Memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan
Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersama-sama.
•Pasal 8 ayat (1) (2) (3) UUD 1945 adalah pasal-pasal
dalam rangka usaha membangun keseimbangan politik
dalam kurun waktu tertentu atau menciptakan periodesasi
atau siklus lima tahuanan.
Jenis TAP MPRS & MPR RI Tahun 1960 s/d 2002

Berdasarkan sifatnya;

•Bersifat mengatur dan memberi tugas


kepada Presiden & lembaga tinggi negara
lainnya
•Bersifat penetapan
•Bersifat mengatur ke dalam
•Bersifat deklaratif
•Bersifat rekomendasi
•Bersifat perundang-undangan
KETETAPAN MPR RI NO. I/MPR/2003
Tentang
PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN
STATUS HUKUM KETETAPAN MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEMENTARA DAN KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1960 SAMPAI DENGAN TAHUN
2002
Dasar Hukum Pembentukan TAP MPR RI NO.
I/MPR/2003

1.Pasal 1 Aturan Tambahan UUD Negara RI Tahun


1945.”MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun
2003”.

2. Pasal I Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945


“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.
3. Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945
“Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar dan
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”.

4. TAP MPR RI No II/MPR/1999 sampai perubahan yang


kelima tahun 2002 tentang Tatib MPR RI

5. TAP MPR RI No III/MPR/2002 tentang Penetapan


Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2003
Tujuan Pembentukan TAP MPR RI NO.
I/MPR/2003
• Meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS
dan TAP MPR;

• Menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS


dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan
datang; dan

• Memberi Kepastian Hukum.

Ada 139 TAP MPRS & TAP MPR (1960 s/d 2002 )
dikelompokkan menjadi 6 pasal berdasarkan materi
dan status hukumnya
SUBSTANSI TAP MPR RI NO. I/MPR/2003

Pasal 1
TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)

Pasal 2
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap
berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)

Pasal 3
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya
Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan)
Pasal 4
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11
Ketetapan)------ 6

Pasal 5
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku
sampai dengan di tetapkannya Peraturan Tata Tertib
Baru oleh MPR hasil pemilu 2004 (5 Ketetapan) ----- sdh
tdk berlaku

Pasal 6
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena
bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah
selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)
Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003
Pasal 2
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku
dengan ketentuan. Ada 3 (tiga) TAP, yaitu:
1.TAP MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan
sebagai organisasi terlarang di wilayah NKRI bagi
Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan
faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2.TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik


Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.

3.TAP MPR RI No. V/MPR/1999 tentang Penentuan


Pendapat di Timor Timur.
Pasal 4
TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11
Ketetapan)------ 6

1.TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan


Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI.
3.TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa.
4.TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia
Masa Depan.
5.TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
6.TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
C. Struktur Organisasi Parlemen

Struktur Organisasi Parlemen biasanya dikenal adanya


dua sistem;

1.Sistem Unikameral : Parlemen yang terdiri atas satu


kamar parlemen.
Dalam sistem ini tidak dikenal adanya dua badan
yang terpisah seperti adanya senat dan DPR.

Sebagian besar negara di dunia menggunaan


sistem ini seperti; Vietnam, Kuwait, Singapura, Brunai
Darussalam, Laos, Myanmar. Dan Indonesia sebelum
Perubahan UUD 1945.
Lanjut
2. Sistem Bikameral : Parlemen yang memiliki dua kamar
yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-
sendiri, terdiri dari Majelis Rendah (Lower House)
dan Majelis Tinggi (Upper Hause) yang mempunyai
kedudukan sederajad.
Seperti negara Perancis, Jerman,Belanda, Jepang,
India dan AS.

Meski tidak banyak di kenal ada pula sistem ke-tiga yaitu

Parlemen yang terdiri dari tiga kamar (Thricameral),


yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-
sendiri.
Seperti negara China Taiwan dan Indonesia
setelah adanya perubahan UUD 1945 (Jimly Ashiddiqie).
Perwujudan sistem Perwakilan di Indonesia
dalam bentuk MPR memberi kesan menganut

1.Sistem Unicameral yang berciri Bicameral


(Campuran keduanya): pendapat Ni’matul Huda
a) Ciri bicameral tidak begitu tampak kuat
dibandingkan kamar lainnya.
b) Watak unicameral menonjol karena 60%
keanggotaan MPR diisi DPR (560
anggota). Sehingga MPR kini hanya”DPR
Luas”.
c) Banyak pihak lantas menggunakan
istilah “Sistem MPR”, untuk sistem
perwakilan di Indonesia.
2. Sistem Bicameral yang lemah (Soft
Bicameral) : Tugas dan kewenangan yang
tidak seimbang antara DPR dan DPD. DPR
sebagai lembaga legislatif utama dan DPD
sebagai lembaga penunjang tugas dan fungsi
DPR semata. (Dahlan Thaib)

3. Sistem Trikameral : Masing-masing lembaga


MPR, DPR dan DPD masing-masing
mempunyai tugas dan wewenang sendiri-
sendiri. Meski sebenarnya keanggotaan MPR
terdiri dari anggota DPR dan Anggota DPD.
(Jimly Ashiddiqie)
BAB IV
Lembaga Kepresidenan
A. Presiden
Presiden dan Wakil Presiden adalah satu
kesatuan institusi kepresidenan. Presiden
adalah lembaga utama, dan wakil presiden
adalah lembaga pendukung terhadap
presiden. Apabila presiden berhalangan tetap,
presiden digantikan oleh wakil presiden.
Dasar Hukum; Bab III Tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Pasal 4 s/d Pasal 16
UUD 1945 (ada 17 pasal). Bab IV dihapus,
dimasukkan dalam Bab III yaitu Pasal 16. Bab
V tentang Kementerian Negara, Pasal 17.
Kewenangan atau kekuasaan presiden
yang diatur dalam UUD 1945 mencakup
5 kewenangan :
a.Penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan UUD(to govern based on the
constitution) atau di bidang eksekutif. Pasal
4 ayat (1).
b.Yang bersifat legislatif untuk mengatur
kepentingan publik atau umum. Pasal 5,
Pasal 22.
c.Yang bersifat yudisial dalam rangka
pemulihan keadilan yang terkait dengan
putusan pengadilan. Pasal 14.
d. Yang bersifat diplomatik yaitu
menjalankan hub. dengan negara lain atau
subyek hukum internasional dalam keadaan
perang maupun damai. Pasal 13.
e. Yang bersifat administratif untuk mengangkat
dan memberhentikan orang dalam jabatan
kenegaraan dan jabatan administrasi. Pasal
17 ayat (2), Pasal 24 ayat (3).

Kewenangan di bidang eksekutif dan legislatif


yang menjadi kewenangan pokok presiden
sebagai pelaku utama kedaulatan rakyat.
Presiden sbg penyelenggara kekuasaan
pemerintahan negara:

1.Diatur dlm bab III Kekuasaan Pemerintahan


Negara, Pasal 4 ayat (1) : Presiden RI memegang
keks pemerintahan menurut UUD.
2. Pasal 4 ayat (2) : Dlm melakukan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
3.Presiden membentuk Wantimpres untuk
memberikan nasehat dan pertimbangan kepada
Presiden Pasal 16
4.Bab V tentang Kementerian Negara Pasal 17
ayat (1 s/d 4)
Kekuasaan Presiden yang bersifat legislatif

1.Berhak mengajukan RUU dan membahas


bersama DPR dalam membuat UU;
2.Presiden membuat peraturan perUUan mandiri
(PP (Pasal 5 ayat (2), Perpres Pasal 4 ayat (1))
3.Kekuasaan yg dilaksanakan brdsk asas freies
ermessen/diskresi (kebebasan bertindak) dlm
praktek ketatanegaraan (Presiden berhak
menetapkan Perpu : Pasal 22)
4.Kekuasaan Presiden brdsk pada keadaan
bahaya. Pasal 12 : Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan UU.
Kekuasaan Presiden di Bidang Yudisial

Dalam Pasal 14 ayat (1) (2) Presiden memberi :


1.grasi, dan rehabilitasi dg memperhatikan pertimbg MA
2.Amnesti dan abolisi dg memperhatikan pertimbg DPR

Grasi pd dasarnya grasi merpk bentuk pengampunan


berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yg
diberikan Presiden.( UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi)

Pemberian grasi dari Presiden dapat berupa:


a)Peringanan/perubahan jenis pidana;
b)Pengurangan jumlah pidana;
c)Penghapusan pelaksanaan pidana.
Rehabilitasi adalah hak seseorang untk mendpt
pemulihan haknya dlm kemampuan, kedudukan, dan
harkat serta martabatnya yg diberikan pd tingkat
penyidikan, penuntutan, atau peradilan krn ditangkap,
ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yg yg
berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukuman yg ditetapkan menurut cara
yg diatur dlm UU ini (Pasal 1 angka 23 UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

Alasan pertimbangan MA diperlukan karena:


a)Grasi dan rehabilitasi adlh proses hukum karena itu yg
lebih tahu adalah MA
b)Grasi dan rehabilitasi lebih bersifat perseorangan
c)Grasi menyangkut putusan hakim, sedang rehabilitasi
tdk sell terkait dengan putusan hakim
Amnesti adlh kewenangan Presiden meniadakan
sifat pidana atas perbuatan seseorang atau
sekelompok orang, yg dipandang mereka tdk
pernah melakukan sesuatu perbuatan
pidana.

Pada umumnya amnesti diberikan kpd sekelompok


orang (tdk menutup kemungkinan perorangan) yg
melakukan tindak pidana sebagai bagian dari
kegiatan politik.
Dlm memberikan amnesti Presiden harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
(pertimbangan DPR sifatnya tidak mengikat)
Abolisi adalah kewenangan presiden meniadakan
penuntutan. Abolisi tidak menghapuskan sifat pidana
suatu perbuatan, tetapi presiden dg pertimbangan2
tertentu menetapkan agar tdk diadakan penuntutan
atas perbuatan pidana tsb.
Pada abolisi proses hukum seperti penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan belum dijalankan.

Persamaan amnesti dan abolisi keduanya sama2


menghapuskan akibat hukum.
Perbedaannya
1.amnesti berisi kewenangan presiden utk meniadakan
akibat hk sebelum dilakukan penuntutan; sedang
2. abolisi berisi kewenangan presiden utk menggugurkan
hak penuntutan umum serta akibat hk yg timbul karena
tuntutan itu.
Kekuasaan Presiden dalam Hubungan Luar Negeri

UUD 1945 Pasal 11 ayat (1) Presiden dengan persetujuan


DPR menyatakan perang; membuat perdamaian;
mengadakan perjanjian dg neg lain
Dlm praktek Pasal 11 ini masih didasarkan pada “Surat
Presiden No. 2826/HK/Tahun 1960 tgl 22 Agustus 1960, yg
ditujukan pd pimpinan DPR

Perjanjian2 yg memerlukan persetujuan DPR meliputi


perjanjian2 yg mengandung materi:
1)Hal2 politik yg dpt mempengaruhi politik LN (perjjn
persahabatan, perjjn perubahan wilayah/tapal batas)
2)Kekuatan yg mempengaruhi politik LN melalui kerjasama
ekonomi, teknik atau perjanjian utang.
3)Hal-hal yg menurut UUD dan sistem perUUan hrs diatur dg
UU seperti ttg Kewarganegaraan atau kehakiman.
B. Wakil Presiden

Kedudukan wakil presiden dapat diketahui dari


kewenangannya yang diatur dalam UUD 1945.
Pasal 4 ayat (2) “Presiden dalam melakukan kewajibannya,
presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Pasal 6,
Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) (2) (3)
Wakil presiden mempunyai lima kemungkinan
posisi terhadap presiden;
(1)Sebagai wakil yang mewakili presiden,
(2)Sebagai pengganti yang menggantikan presiden,
(3)Sebagai pembantu yang membantu kewajiban presiden.
(4)Sebagai pendamping yang mendampingi presiden,
(5)Sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Ad 1. Untuk dapat mewakili, wk presiden haruslah
mendapat mandat, baik langsung, resmi, ataupun
tidak langsung (tidak resmi). Hubungan pemberi
mandat dengan penerima mandat sama sekali
tidak mengalihkan kekuasaan kepada penerima
mandat dan pemberi mandat sifatnya tidak mutlak.

Ad. 2 Pengganti Presiden oleh wakil presiden


dilakukan karena dua kemungkinan : a) Presiden
berhalangan sementara, wk presiden menerima
pendelegasian kewenangan dengan keputusan
presiden, ia bertindak sebagai pengganti untuk
sementara waktu.
b) Presiden berhalangan tetap, maka proses
pengalihan kewenangan haruslah dilakukan
dengan pihak lain (MPR), bukan dengan
keputusan presiden. Satu-satunya pewaris jabatan
presiden hanyalah wakil presiden.

Ad 3) Kedudukan wk presiden seolah mirip


dengan menteri negara yang juga bertindak
membantu presiden. Wk presiden membantu
melaksanakan baik sebagai kepala pemerintahan
maupun sebagai kepala negara.
Ad 4 dan Ad 5. Wakil presiden tidak memerlukan
persetujuan, instruksi atau penugasan khusus dari
presiden, kecuali dikehendaki atau diatur lain.
Implikasi Pemilu Presiden dan Wapres sec.
Langsung dalam sistem multi partai
1.Presiden terkesan kuat, akan tetapi presiden berada
dalam konteks politik multi partai dan spektrum politik yang
beragam.
2.Presiden dan partainya hanya mewakili satu segmen
minoritas saja.
3.Dukungan politik presiden tidak benar-benar
mempresentasikan mayoritas komunitas politik baik di
parlemen maupun dalam masyarakat.
4.Peta dukungan suara calon presiden tidak sama dengan
peta dukungan calon-calon wakil rakyat dari parpol ybs.
(dapat terjadi Presiden yang terpilih dari partai A, tetapi
mayoritas suara di Parlemen di kuasai oleh Parpol B
karena mayoritas dukungan di parlemen bukan datang dari
parpol dan spektrum politik Presiden).
C. Urusan Pemerintahan

Urusan pemerintahan adalah setiap urusan


sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4
ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 3 dan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 39 Tahun
2008 Tentang Kementrian Negara

Urusan tertentu dalam pemerintahan terdiri atas :


1.Urusan pemerintahan yang nomenklatur
kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD
1945.
2.Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan
dalam UUD 1945.
3.Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman
koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah.
Ad 1. meliputi : urusan luar negeri, dalam negeri dan pertahanan
negara.

Ad 2. meliputi : urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, HAM,


penduduk, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan,
industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum,
transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan dan perikanan.

Ad 3. meliputi : urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur


negara, kesekretariatan negara, BUMN, Pertanahan,
kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi,
investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan perempuan,
pemuda, olahraga, perumahan dan pembangunan kawasan
daerah tertinggal.

Urusan pemerintahan pada ad 2 dan ad 3 tidak harus dibentuk dalam


satu kementrian tersendiri (Pasal 6) tetapi dapat digabung.
Jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 kementerian.
Kementerian Negara Pasal 17 Bab V UUD 1945
Presiden RI sesungguhnya bukanlah merupakan kepala
eksekutif. Kepala eksekutif yang sebenarnya adalah
menteri yang bertanggungjawab kepada presiden.

Para menteri itulah pada pokoknya yang memimpin


pemerintahan dalam arti yang sebenarnya di bidang
tugasnya masing-masing.

Untuk diangkat menjadi menteri seharusnya seseorang


benar-benar memiliki kualifikasi teknis dan profesional
untuk memimpin pelaksanaan urusan-urusan
pemerintahan berdasarkan prinsip meritokrasi.

Dalam sistem presidensiil lebih menuntut kabinetnya


sebagai Zaken-kabinet.
Organisasi Kementerian Negara
Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 : menteri-menteri negara tidak
selalu harus memimpin organisasi departemen.
Kementerian-kementerian tanpa portofolio departemen
diadakan sesuai dengan kebutuhan, yang lazimnya
disebut dengan istilah menteri negara, atau ada yang
disebut menteri koordinator. Keduanya tidak memimpin
departemen, melainkan hanya memimpin suatu kantor
kementerian di tingkat pusat saja. (kantor kementerian)

Maka semua jabatan menteri dapat dibedakan ;


1.Menteri yang memimpin departemen.
2.Menteri koordinator.
3.Menteri negara yang tidak memimpin departemen.
Semuanya merupakan menteri negara sebagaimana
dimaksud dalam Bab V Pasal 17 UUD 1945.
BAB V
HUKUM DARURAT NEGARA/HUKUM TATA NEGARA
DARURAT
1. Istilah Dan Macam Hukum Darurat Negara
Hak darurat negara adalah :
hak dari penguasa negara untuk mengadakan tindakan
yang tidak menurut atau menyimpang dari peraturan
sehari-hari yaitu manakala negara dalam keadaan bahaya
demi untuk keselamatan negaranya (bangsa ataupun
UUD-nya).
Apabila tindakan tersebut berupa tindakan hukum maka
disebut HUKUM DARURAT NEGARA. Baik hak darurat negara
maupun Hukum darurat negara keduanya dalam bahasa
Belanda disebut Staatsnoodrecht.
Obyek kajianya adalah negara yang berada dalam
keadaan darurat atau “state of emergency” (di AS,
Inggris disebut “martial law”) atau (PBB --- “public
emergency)
Hukum Darurat Negara dapat dibedakan :

1.Hukum Darurat Obyektif : Hukum darurat negara yang


didasarkan pada pengaturan yang telah ada sebelumnya
(Hukum Darurat yang Konstitusional). Konstitusional
karena didasarkan pada peraturan yang telah ada
sebelumnya, sedang Obyektif karena syarat-syarat dan
akibatnya harus ditentukan kepada ukuran-ukuran yang
obyektif menurut peraturan yang telah ada.

2.Hukum Darurat Subyektif (Ekstra Konstitusional) :


Hukum darurat negara yang didasarkan pada keadaan
bahaya yang belum ada peraturannya yang mengatur
lebih dahulu, sehingga tindakannya tergantung kepada
penguasanya sendiri.
2. Syarat-Syarat Staatsnoodrecht

Hukum tata negara darurat sebagai hukum yang sah


harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang
disampaikan Van Dullemen sebagai berikut;

a.Harus menjadi nyata bahwa kepentingan negara


sebagai taruhannya,
b.Bahwa tindakan ini betul-betul perlu dilakukan dan
tidak cukup suatu tindakan yang kurang dari pada itu,
c.Tindakan-tindakan itu sementara sifatnya,
d.Waktu tindakan diambil, parlemen tidak dapat
mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan
sungguh-sungguh.
3. Pengaturan Dalam Konstitusi dan Peraturan
perundang-undangan

• Pasal 12 UUD 1945 “Presiden menyatakan keadaan


bahaya, syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang”

• Pasal 22 UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan .......

* UU No. 52/Prp/1960 tentang Keadaan Bahaya

* UU No. 23 Prp Tahun 1959

• UU No. 76 Tahun 1957


• UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
* Regeling SOB Stb. 1939 No. 582.
Pemakaian istilah UU tentang Keadaan Bahaya sering
disamakan dengan UU Darurat (dalam Pasal 96
UUDS’50).

UU Darurat / Perpu adalah dimaksudkan menyebut


suatu peraturan berderajad UU sebagai pengganti UU
yang dibuat dalam hal-ihwal kegentingan memaksa yang
perlu segera diatur (Pasal 22 UUD 1945). Dalam pasal
ini hal-ihwal kegentingan yang memaksa sering
menimbulkan kesan bahwa perpu ditafsirkan
menjurus pada pengertian keadaan bahaya.

Sedangkan UU tentang Keadaan Bahaya adalah suatu


jenis UU yang mengatur manakala ada keadaan
bahaya, baik mengatur syarat-syarat maupun akibatnya.
BAB VI
HAK PREROGATIF PRESIDEN

1.Istilah dan Pengertian Hak Prerogatif


Prerogatif berasal dari bahasa latin ;

Praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu memberi


suara),

Praerogrativus (diminta sebagai yang pertama),

Praerogare (diminta sebelum meminta yang lain)


Hak Prerogatif (sistem ketatanegaraan Inggris)
merupakan kekuasaan yang masih tersisa di tangan raja
atau ratu dan tidak diatur dalam UU. Hak prerogatif
dipandang sebagai sisa-sisa peninggalan masa
otoritarianisme sebelum era pencerahan di Eropa.
Discresionary power dipersamakan dengan Prerogatif
raja. Istilah tersebut dipergunakan untuk mencakup
sekumpulan besar hak-hak dan previleges yang
dipunyai raja dan dilaksanakan tanpa suatu kekuasaan
perundang-undangan yang langsung.

Pendapat Para Sarjana tentang Hak Prerogatif


Solly Lubis : Presiden mempunyai hak prerogatif lihat
Pasal 10 s/d Pasal 15.
S Toto Pandoyo : Presiden mempunyai hak prerogatif
yang tercantum secara tegas dalam konstitusinya,
supaya ada kejelasan.
Mahfud MD : Hak prerogatif merupakan konsekuensi
dari paham negara hukum (kesejahteraan).
Padmo Wahyono dan Bagir Manan : UUD tidak
mengenal hak prerogatif (Pasal 10 s/d 15 merupakan
konsekuensi logis presiden sebagai kepala negara.
2. Pembatasan Hak Prerogatif dalam UUD / UU

Kadang orang memandang hak prerogatif sebagai undemocratic


and potentially dengerous, maka penggunaanya dibatasi :
1.Dimasukkan dalam UUD/UU
2.Kemungkinan diuji melalui peradilan (judicial revieu)
3.Terlebih dahulu mendengar pendapat atau pertimbangan
lembaga negara.

Bagir Manan menyebutnya sebagai kekuasaan / hak yang


berdasarkan UUD/UU.

Jadi kekuasaan prerogatif mengandung beberapa karakter ;


1.Sebagai residual power,
2. Merupakan kekuasaan discresi (kebebasan bertindak dari
pejabat pblik),
3.Tidak ada dalam hukum tertulis,
4. Penggunaan dibatasi,
5. Akan hilang apabila telah diatur dalam UU atau UUD.
3. Imunitas Presiden
Dalam sejarah dunia kepala pemerintahan negara (raja,
kaisar, presiden, atau sebutan lainnya) selalu memiliki
imunitas (kekebalan dari tuntutan hukum) yang sering
dimaknai sebagai Beyon the reach of judiciary
process.
Untuk menjelaskan itu, muncul doktrin The King can do
no wrong, yang di Amerika disebut The Presidential
immunity from judiciary direction.

Oleh karena itu, kepala pemerintahan negara tidak boleh


diadili, tetapi boleh dikalahkan melalui proses politik
(political struggle).
Untuk mengatur masalah tersebut, dalam norma hukum
dikenal delik kudeta (coup d’etat), pemakzulan
(impeachment)
Sejarah Doktrin Imunitas Presiden

Pertama muncul dalam putusan Court in Mississippi vs


Johnson tahun 1867.
Putusan tersebut menegaskan bahwa presiden
memiliki status di luar jangkauan perintah kekuasaan
kehakiman, The President was placed beyond the reach
of judicial direction.

Dasar argumen ketatanegaraan Amerika adalah doktrin


pemisahan kekuasaan (separation of power). Doktrin
tersebut diperluas mencakup tindakan personal
presiden sebelum menjabat dalam kasus Clinton vs
Jones dengan hak “menangguhkan: en-title him to delay
of both the trial and discovery.”
Ketentuan Dalam UUD 1945

Secara eksplisit tdk mengatur imunitas presiden, tetapi UUD


1945 menganut beberapa ajaran yang terkait :

Pertama, UUD 1945 pasca perubahan secara tegas


menganut doktrin pembagian kekuasaan : Pasal 4 (1)
kekuasaan eksekutif, Pasal 20 (1) kekuasaan Legislatif,
dan Pasal 24 (1) (2) kekuasaan Yudisial. Presiden
diposisikan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

Kedua, Pasal 7 Presiden memiliki masa jabatan tetap


selama lima tahun (fixed term) yg merupakan ciri sistem
presidensial murni.
Lanjut
Ketiga, Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur proses dan
tata cara pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya dengan alasan melanggar hukum (konstitusi)
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil Presiden.

Meski tidak mengatur secara tegas imunitas presiden,


berdasarkan ketiga pasal tersebut, menurut doktrin
ketatanegaraan presiden dan wakil presiden memiliki
hak imunitas, sehingga tidak dapat dituntut dan diproses
terkait penegakan hukum selama dalam masa jabatan.

Maka secara konstitusional tidak diperkenankan ada


pemeriksaan atau tuntutan hukum terhadap presiden dan
wakil selama masa jabatan.
Konstitusi/UUD memberi beberapa pilihan;

Pertama, pemakzulan terhadap presiden dan/atau


wakil presiden ( Pasal 7A dan 7B UUD 1945)

Kedua, presiden dan/atau wapres menggunakan


hak menangguhkan tuntutan dan proses
hukum tersebut sampai masa jabatannya
berakhir.

Ketiga, presiden dan/atau wapres mengundurkan


diri dari jabatannya (Misal: Richard Nixon pada
9 Agustus 1974 dlm kasus Watergate)
Lanjut
keempat, Presiden dan/atau wapres menjalani
cuti dari tugas-tugas kenegaraan selama
dlm proses pemeriksaan.
Namun hingga sekarang belum ada ketentuan
hukum yang jelas.

Jalan keluar yang sering digunakan: pribadi


presiden dan/atau wapres yg sedang menjabat
mengundurkan diri.
Sehingga sec konstitusional tdk ada
pemeriksaan dan tuntutan hukum thp
presiden dan wapres, yang ada adalah
pemeriksaan dan tuntutan terhadap pribadi.
KEPUTUSAN MPR RI NOMOR 1/MPR/2010
TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MPR RI
TATA CARA PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
(PASAL 102 -103)

2
DPR MK
(Usul Pemberhentian 1 memeriksa, mengadili,
Presiden/ Wakil dan memutuskan
Presiden) paling lama 90 hari

3
MPR paling lambat
4 30 hari wajib
Usul DPR disertai
menyelenggarakan
Putusan MK
sidang dilengkapi
keputusan MK
KEPUTUSAN MPR RI NOMOR 1/MPR/2010
TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MPR RI
TATA CARA PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
(PASAL 102 -103)

a. MPR menyelenggarakan sidang untuk mengambil putusan tentang usul pemberhentian


Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya yang diajukan DPR setelah
adanya putusan MK paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut;

b. Pimpinan MPR mengundang Anggota MPR untuk mengadakan Rapat


Paripurna;

c. Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan


penjelasan yang berkaitan dengan usul pemberhentiannya kepada Rapat Paripurna MPR;

d. Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul
Pemberhentiannya tersebut;

e. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka
MPR tetap mengambil putusan.

Anda mungkin juga menyukai