Anda di halaman 1dari 78

Peraturan Perundang-Undangan dalam UUD NRI

Tahun 1945

Tim Pengajar
Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum
Materi
1. Pengantar
2. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
3. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
4. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
5. Program Legislasi
6. Pengesahan dan Pengundangan
7. Daya Berlaku
8. Peraturan Kebijakan
Pengantar

• Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara


pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang. **)
UU No. 12 Tahun 2011
1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
2. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Tidak setiap peraturan yang dibuat oleh lembaga/pejabat bersifat umum, abstrak
dan berlaku terus-menerus sebagai peraturan perundang-undangan atau
peraturan kebijakan di bidang pemerintahan, karena ada juga yang bersifat
mengikat ke dalam (interne regelingen).
UU 13/2022
• Menambah metode omnibus law
• Memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan DPR dan Presiden
• Memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna
(meaningful participation)
• Membentuk peraturan perundang-undangan secara elektronik
• Mengubah sistem pendukung dari peneliti menjadi pejabat fungsional
• Mengubah Teknik penyusunan naskah akademik (RIA – ROCCIPI)
• Mengubah Teknik penyusunan PUU (omnibus)
HIRARKI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Karakter Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Per-UU-an bersifat umum dan abstrak.


• Umum:
• Tempat : Tipe ideal suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tidak hanya berlaku pada tempat
tertentu, tetapi berlaku pada lingkungan yang lebih luas atau berlaku di mana-mana.
• Waktu: Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku untuk waktu tertentu, tetapi berlaku untuk
masa yang lebih panjang atau berlaku untuk waktu yang tidak tertentu.
• Person/orang : Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku pada subyek hukum tertentu, tetapi
ditujukan pada kelompok yang lebih besar orang atau pada setiap orang. Sifat peraturan perundang-undangan
tampak pada berulang-ulangnya penerapan peraturan
• Fakta hukum : tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat
berulang-ulang, dengan kata lain untuk perbuatan yang berulang-ulang. Tipe ideal peraturan perundang-
undangan tidak hanya ditetapkan pada situasi khusus, tetapi pada sejumlah keadaan yang tidak tertentu.

• Abstrak:
Hal yang diatur tidak dapat ditentukan bilangannya berapa kali.
contoh: tiap-tiap perkawinan dicatat mnrt perundang-undangan yang berlaku.
STUFENTHEORIE (Hans Kelsen)
Grundnorm

Norm

Norm

Norm

Norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi; norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar ( Grundnorm).
DIE THEORIE VOM STUFENTORDNUNG DER
RECHTSNORMEN (Hans Nawiasky)

Staatsfundamentalnorm
(Norma Fundamental Negara)

Staatsgrundgesetz
(Aturan Dasar/Pokok)

Formelle Gesetz
(Undang-undang ‘Formal’)

Verordnung &
Autonome Satzung
(Peraturan pelaksana & Peraturan Otonom)

Sejalan dengan Stufentheorie (Hans Kelsen) tetapi selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok .
Hans Nawiasky
Norma hukum terdiri atas 4 kelompok:
• Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental)
- norma tertinggi
- pre-supposed (ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat)
- dasar bagi pembentukan konstitusi
- hipotesis, fiktif, dan aksioma
Contoh : Pembukaan UUD 1945
• Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
- aturan yang bersifat pokok/garis besar
- norma tunggal
- dituangkan dalam dokumen negara
- berisi pembagian kekuasaan, hubungan antara kekuasaan negara dan hubungan antara negara dan warga negara.
Contoh :Batang Tubuh dan Konvensi Ketatanegaraan.
• Formell Gesetz (Undang-undang dalam arti formal)
- norma hukum lebih konkrit
- norma hukum berpasangan (primer dan sekunder)
- sudah mencantumkan sanksi pidana atau pemaksa.
- selalu dibentuk oleh lembaga legislatif.
Contoh : UU No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS
• Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturan otonom)
• merupakan peraturan pelaksanaan
• berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang
• aturan pelaksana berdasar kewenangan delegasi, aturan otonom berdasar atribusi.
Contoh :Peraturan Daerah merupakan delegasian
PERKEMBANGAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

TAP MPR No.III/MPR/2000 UU No 12 Tahun 2011 jo. UU


TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
(dibatalkan oleh Pasal 7
(dibatalkan oleh UU No.10 Thn 2004 terkait UU No.10 Tahun 2004 No. 15 Tahun 2019
dengan Pasal 4 (Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004) (Pasal 7 ayat (1) UU No. Tahun 2011) Jo.
TAP MPR No.III/MPR/2000)
TAP MPR No.I/MPR/2003) Pasal 69 UU No 6 tahun 2014.

UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD Negara RI Tahun 1945

TAP MPR TAP MPR UU/PERPU Ketetapan MPR


UU/PERPU UU PP UU/PERPU
PP PERPU PERPRES PP
KEPPRES PP PERDA PERPRES

PERATURAN PELAKS. LAINNYA: KEPPRES PERDA PROV PERDA PROV

PERMEN PERDA PERDA KAB/KOTA PERDA KAB/KOTA

INSTRUKSI
PERDES PERDES
MENTERI

DAN LAIN-LAINNYA.
Konsekuensi Tata Urut

1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus


bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Konsekuensi Tata Urut (Cont.)

• Pengaturan pengujian untuk produk hukum keputusan


(beschikking) yang bersifat individual, konkrit, dan final melalui
PTUN.
• Bagaimana dengan produk beleidsregels yang mengandung sifat
pengaturan, misal SE?
• Untuk tidak menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap produk
kebijakan dapat diujikan oleh MA.
Konsekuensi Tata Urut (Cont.)

• Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

• Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan untuk menempatkan pada bagian mana dari tata urut yang disebutkan
dalam Pasal 7 ayat (1) agar tidak terjadi pertentangan satu sama lain.
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

• Undang-Undang (Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011)


• Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945, meliputi:
• hak-hak asasi manusia;
• hak dan kewajiban warga negara;
• pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
• wilayah negara dan pembagian daerah;
• kewarganegaraan dan kependudukan; dan
• keuangan negara,
• Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
• Pengesahan perjanjian internasional tertentu
• perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
• Tindak lanjut atas putusan MK
• terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan
yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
• Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
• Membatalkan atau perubahan UU; dan/atau
• Menetapkan Perpu.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011)
• Sama dengan materi muatan Undang-Undang
• Pembatasan: Perpu tidak mengatur kewenangan-kewenangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan kedaulatan rakyat.
• UUDS 1950 ”undang-undang darurat dibuat dalam rangka mengatur hal-hal penyelenggaraan
pemerintahan”.
• Peraturan Pemerintah (Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011)
• Materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya
• penetapan PP untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-
Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam
Undang-Undang yang bersangkutan.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

• Peraturan Presiden (Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011)


• materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang;
• materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah; atau
• materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah.
• Penjelasan:
• Perpres dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas
maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya
• Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011
• Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai
sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

• Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota (Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011)


• Materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
• Menampung kondisi khusus daerah; dan/atau
• Penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Beberapa Isu Tata Peraturan Perundang-undangan

• Tap MPR : sudah tidak bisa lagi MPR menerbitkan tetapi masih tetap berlaku dan
ditaruh di atas UU di bawah UUD  Pengujiannya?
• Pembedaan materi muatan PP dan Perpres; PP untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya; Perpres aturan lebih lanjut UU/PP.
• Pengujian Perda, pengujian perda yang bermuatan hak konstitusi -> pengujian hirarki
vs pengujian konstitusionalitas.
• Perpu; Pembuatan perpu (disidangkan masa siding berikutnya)
• Perpu; Pembatalan Perpu  jika tidak mendapatkan persetujuan DPR maka akan
dicabut. Jika presiden menolak dicabut, maka tetap harus dicabut dalam bentuk UU
Pencabutan. Apakah UU Pencabutan ini harus masuk dalam tahapan legislasi biasa
yang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama Presiden?
PROSES PEMBENTUKAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
FUNGSI UU

1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD yang tegas-tegas menyebutnya.
2. Melakukan pengaturan secara umum aturan-aturan dasar lainnya yang terdapat dalam batang
tubuh UUD 1945.
3. Melakukan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Tap MPR yang tegas-tegas menyebutnya,
misal dalam Pasal 6 Tap MPR No.III/2000 yang menyebutkan bahwa “Tata cara pembuatan
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-
undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih
lanjut dengan undang-undang”.
4. Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti: organisasi, tugas dan susunan lembaga negara, tata
hubungan antara negara dan warga negara, dan antara warga negara/penduduk secara timbal balik.
5. Pengaturan yang diperintahkan oleh UU lain.
PEMBENTUKAN UU
4a
tidak boleh diajukan
lagi dalam persi-
dangan masa itu
TIDAK [Pasal 20 (3)] 4b
1a
memegang kekuasaan mengesahkan
membentuk UU [Pasal 20 (4)]
4
[Pasal 20 (1)] 4c
13 anggota berhak mengajukan
persetujuan YA dalam hal RUU tidak
usul RUU bersama disahkan, dalam waktu 30
(Pasal 21) hari, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib
diundangkan
[Pasal 20 (5)]
3

DPR Presiden
RUU
dibahas bersama
[Pasal 20 (2)]

UU
berhak mengajukan RUU
1b
yang sesuai dengan
kewenangannya berhak mengajukan RUU
[Pasal 22D (1)] [Pasal 5 (1)]

ikut membahas dan


memberikan

DPD
pertimbangan atas RUU
yang sesuai dengan
kewenangannya [Pasal
22D (2)]
RUU dari DPD

• Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Dalam Legislasi DPD memiliki


kewenangan (diatur Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945):
▪ Mengajukan RUU yang setara dengan RUU DPR dan Presiden;
▪ Ikut Membahas RUU Bersama DPR dan Presiden;
▪ Terlibat dalam penyusunan Prolegnas;
▪ Memberi pertimbangan terhadap RUU sebagaimana diatur Konstitusi.
Omnibus Law
• Omnibus Law adalah “A draft law before a legislature which contains more than one subtantive
matter or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of
convenience” (Duhaime Legal Dictionary).
• Praktik pada umumnya menjelaskan bahwa Omnibus dipakai untuk beberapa kluster yang lebih
mirip, semisal berkaitan dengan Budget implementation (Praktik di Kanada dan Amerika Serikat).
Walau memang ada praktik yang terlalu luas dan besar (Irlandia). Praktik meluas selalu
mendapatkan kritik yang kuat. Louis Massicotte (2013) mengutip kritikan akan berbahayanya
Omnibus Law yang sangat luas dalam Commonwealth vs Barnett 199 Pa.161, “Bills, popularly
called omnibus law, became criying evil, not only form the confusion and ditraction of the
legislative mind by the jumbling together of incongrous subject, but still more by facility they
afforded to corrupt combinations of minorities with different interest to force the passage of bills
with provisions which could never succed if they stood on their separate merits”.
Omnibus Law
• Secara teknis penyusunan pun menjadi tidak sederhana jika terlalu banyak, maka bagaimana
dengan pembahasan substansi dan bagaimana mendapatkan masukan masyarakat. 🡪 pembahasan
yang dilakukan secara terburu-buru, tidak transparan dan tanpa partisipasi. Pasal 18 UU No. 12
Tahun 2011 mewajibkan penyusunan UU memperhatikan aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat.
• Lebih khusus dengan proses pembahasannya. Di Pembahasan antara DPR dan Pemerintah dan
DPD dapat ikut dalam posisi tertentu, menjadi menarik melihat teknis pembahasannya akan seperti
apa. Jumlah Komisi di DPR sebenarnya mencerminkan berapa jumlah urusan Pemerintah yang
dibagi habis dalam kluster komisi. Tapi dengan UU yang sangat luas dan lebar, maka akan
berkaitan lintas komisi. Seberapa keterlibatan partai-partai di situ. Seberapa representatif
pembahasan itu pun akan menjadi hal yang menarik untuk dipertanyakan lebih lanjut.
• Kasus Paling Menarik adalah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
• Diakomodasi dalam UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan UU 12/2011
TINGKAT PEMBAHASAN RUU
(Pasal 136-137 Peraturan Tata Tertib DPR RI)

• Tingkat I dalam Rapat Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus, terdiri atas:
• Pandangan dan pendapat Fraksi-Fraksi atau pandangan dan pendapat Fraksi-Fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD,
untuk RUU yang berasal dari Presiden; atau
• Pandangan dan pendapat Presiden atau pandangan dan pendapat Presiden beserta DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD, untuk
RUU yang berasal dari DPR;
• Pandangan dan pendapat Fraksi-Fraksi dan Presiden untuk RUU yang berasal dari DPD;
• Tanggapan Presiden atas pandangan dan pendapat Fraksi-Fraksi dan DPD atau tanggapan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas
RUU terhadap Pandangan dan pendapat Presiden atau pandangan dan pendapat Presiden beserta DPD dan Tanggapan DPD atas pendangan dan
pendapat Fraksi-Fraksi dan Presiden;
• Pembahasan RUU oleh DPR , Presiden dan DPD berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
• Dapat pula dilakukan:
• diadakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum;
• diundang Pimpinan Lembaga Negara atau lembaga lain apabila materi Rancangan Undang-
Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain; dan/atau
• diadakan rapat intern.
• Tingkat II dalam Rapat Paripurna, terdiri atas:
• laporan hasil Pembicaraan Tingkat I;
• pendapat akhir Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya dan apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap
Fraksinya; dan
• pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.
• Tanggapan akhir DPD.
PERPU

• Fungsi Perpu adalah sebagai Pengganti UU.


• Syarat konstitutif yang harus ada dalam pembentukan Perpu adalah “hal ihwal
kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 UUD 1945). Tanpa syarat ini maka Perpu
akan batal demi hukum. Penilaian hal ihwal kegentingan yang bersifat memaksa
(compelling emergency) merupakan subjektivitas presiden. Untuk menguji
subjektivitas itu dilakukan melalui persetujuan DPR (Objektivitas).
BATASAN PERPU
• Adanya krisis yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap
kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Hambatan itu bersumber pada
peraturan perundang-undangan yang ada atau karena suatu kekosongan hukum
yang membutuhkan pemecahan segera melalui pembentukan pengaturan yang
setingkat dengan UU.
• Perpu terbatas hanya dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan (administrasi
negara) atau hanya terhadap hal yang bersifat administratiefrechtelijk. Perpu
tidak boleh berkaitan dengan pengaturan hukum pidana atau hak asasi manusia.
• Perpu hanya dapat ditetapkan pada saat DPR sedang reses. Apabila DPR sedang
dalam masa bersidang Presiden tidak boleh menetapkan Perpu. Tata cara
persidangan yang berlaku dalam Peraturan Tata Tertib DPR tidak dapat
dijadikan alasan pembenar oleh Presiden untuk menetapkan Perpu karena
keadaan mendesak, karena DPR dapat membuat tata cara khusus untuk
mengakomodasi pengaturan yang mendesak tersebut. Namun hal ini sering
disimpangi oleh Presiden.
PROSES PEMBENTUKAN PERPU MENJADI UU

Harus
Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, berhak menetapkan dicabut
peraturan pemerintah sebagai [Pasal 22 (3)]
pengganti undang-undang
[Pasal 22 (1)]

Tidak
Persetujuan Menjadi
PRESIDEN DPR Ya UU

Perpu harus
mendapat
persetujuan
[Pasal 22 (2)]
Peraturan Pemerintah

Fungsi:
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UU yang tegas-
tegas menyebutnya. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan konsideran
menimbang setiap pembentukan PP.
Proses Pembentukan PP
(UU No. 12 Tahun 2011 jo. Perpres No. 87 Tahun 2014)

Pemrakarsa Panitia antarKementerian Kementerian/Lembaga Terkait

• Pemrakarsa membentuk Panitia • Ketua Panitia adalah pejabat yang ditunjuk oleh
pemrakarsa.
Antardepartemen (departemen, Kementerian, • Hasil penelitian oleh Panitia Antardepartemen
atau LPND). • Pembahasan difokuskan pada permasalahan yang
bersifat prinsip mengenai objek yang akan diatur, harus selalu dilaporkan kepada pimpinan asal
• Mengajukan Permohonan Keanggotaan jangkauan, dan arah pengaturan. lembaganya.
Panitia Antardepartemen kepada • Perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan,
dep/lembaga terkait. dan perumusan RPP oleh biro hukum atau satuan kerja
• Jika sudah dapat diterima, maka disampaikan
• Penetapan Keanggotaan oleh Pemrakarsa. yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan kepada pemrakarsa.
perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
• Keterlibatan wakil dari Depkumham pada • Hasil kerja perancangan disampaikan kpd Panitia
setiap RPP untuk melakukan harmonisasi Antardepartemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan
dengan peraturan lain. prinsip-prinsip yang telah disepakati.

Presiden Penyebarluasan
Penyebarluasan

• Hasil

PP
yang telah disetujui bersama
• Diajukan kepada Presiden untuk disebarluaskan pada Masyarakat.
ditetapkan menjadi PP melalui Sekretariat • Hasil masukan dari Masyarakat dijadikan dasar
Negara. penyempurnaan Panitian Antardepartemen.
• Dimintakan persetujuan kepada menteri/
pimpinan lembaga terkait dengan paraf.
Peraturan Presiden

• Fungsi Perpres:
• menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
• menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut yang diperintahkan oleh UU
atau PP.
• menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain yang tidak
secara tegas disebutkan dalam PP.
Proses Pembentukan Perpres
(UU No. 12 Tahun 2011 jo. Perpres No. 87 Tahun 2014)

Panitia antarkementerian
Pemrakarsa Kementerian/Lembaga Terkait

• Pemrakarsa membentuk Panitia • Ketua Panitia adalah pejabat yang ditunjuk oleh
Antardepartemen (departemen, Kementerian, pemrakarsa.
• Hasil penelitian oleh Panitia Antardepartemen
atau LPND). • Pembahasan difokuskan pada permasalahan yang
bersifat prinsip mengenai objek yang akan diatur, harus selalu dilaporkan kepada pimpinan asal
• Mengajukan Permohonan Keanggotaan Panitia jangkauan, dan arah pengaturan. lembaganya.
Antardepartemen kepada dep/lembaga • Perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan, dan • Jika sudah dapat diterima, maka disampaikan
terkait. perumusan Raperpres oleh biro hukum atau satuan
kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang
kepada pemrakarsa.
• Penetapan Keanggotaan oleh Pemrakarsa.
peraturan perundang-undangan pada lembaga
• Keterlibatan wakil dari Depkumham pada pemrakarsa.
setiap Raperpres untuk melakukan • Hasil kerja perancangan disampaikan kpd Panitia
harmonisasi dengan peraturan lain. Antardepartemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan
prinsip-prinsip yang telah disepakati.

Presiden Penyebarluasan
Penyebarluasan

• Hasil yang telah disetujui bersama disebarluaskan


• Diajukan kepada Presiden melalui pada Masyarakat.
Sekretariat Kabinet untuk ditetapkan • Hasil masukan dari Masyarakat dijadikan dasar
menjadi Perpres. penyempurnaan Panitian Antardepartemen.
Perpres • Dimintakan persetujuan kepada menteri/ pimpinan
lembaga terkait dengan paraf.
Peraturan Menteri
• Tidak disebut di dalam Pasal 7 UU P3 (hierarki Peraturan Perundang-
Undangan), tapi disebut di dalam Pasal 8 – peraturan selain disebut di
dalam Pasal 7 :
• Pasal 8 (2) : diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
PROGRAM LEGISLASI
Proleg adalah instrumen untuk melakukan perencanaan penyusunan
peraturan perundang-undangan secara berencana, terpadu dan
sistematis.
▪ Berencana terkait dengan skala waktu (jangka panjang, menengah dan
pendek).
▪ Terpadu karena disusun oleh berbagai lembaga dan pemangku
kepentingan agar dapat menampung berbagai aspirasi.
▪ Sistematis karena disusun dengan mengkaitkan secara substantif pada
peraturan perundang-undangan lainnya untuk menghindari komplikasi.
Tujuan Program Legislasi
a. mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari
pembentukan sistem hukum nasional;
b. membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan
lainnya serta mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial/pembangunan,
instrumen pencegah/penyelesaian sengketa, pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana
pengintegrasi bangsa dalam wadah NKRI;
c. mendukung upaya mewujudkan supremasi hukum, terutama penggantian terhadap peraturan
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat;
d. menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini namun tidak sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat; dan
e. membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat.
Program Legislasi

• Program Legislasi Nasional atau Prolegnas adalah instrumen


perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis.
• Program Pembentukan Perda atau Propemperda adalah instrumen
perencanaan program pembentukan perda provinsi dan perda
kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
Prolegnas (Program Legislasi Nasional)

• Prolegnas merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang


dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
• Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang
didasarkan atas:
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
• Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala
prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
• Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
• Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan
penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
• Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan
Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan
Undang-Undang tentang APBN.
• Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan
Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
undangan lainnya.
• Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya
sebagaimana dimaksud pada merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan.
• Materi yang diatur di atas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan
dalam Naskah Akademik.
• Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota; dan
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
• DPR dan Pemerintah dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, (Pasal 23 ayat (2) UU
No.12 Tahun 2011) yang didasarkan pada:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
• Pasca putusan MK, DPD diikutsertakan untuk pembahasan Prolegnas.
• Pasal 21 UU No. 12 Tahun 2011 Jo Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012:
• Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat,
Pemerintah dan DPD dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui
alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
legislasi.
• Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus
menangani bidang legislasi.
• Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
hukum.
• Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah
dikoordinasikan oleh Pimpinan DPD.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program
Legislasi Nasional DPR (Peraturan DPR), Pemerintah (Peraturan Presiden) atau
DPD (Peraturan DPD).
Proses Penyusunan

• Prolegnas disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun


bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Daerah.
• (DPR) Pelaksanaannya dikoordinasi oleh DPR melalui Baleg.
• (Pemerintah) Pelaksanaannya dikoordinasi oleh Menteri di bidang hukum.
• (DPD) Pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPD.
• Penetapan kedua prioritas DPR, Pemerintah dan DPD dalam Rapat Paripurna
DPR dan ditetapkan dengan Keputusan DPR.
• Prolegnas bukan sekedar daftar UU karena secara substantif harus mampu
mencerminkan visi, misi dan arah kebijakan yang dapat dicapai dengan
pembentukan UU (proses ius constituendum menjadi ius constitutum).
• UU yang direncanakan tersebut memuat pokok-pokok:
1. Latar belakang dan tujuan penyusunannya termasuk keterkaitan dengan
perundang-undangan lainnya.
2. Sasaran yang akan diwujudkan
3. Pokok-pokok pikiran dan lingkup yang akan diatur
4. Jangkauan arah pengaturannya.
• Uraian detil 4 materi pokok ini akan tertuang dalam Naskah Akademik RUU.
• Prolegnas menjadi pedoman bagi DPR, pemerintah dan DPD dalam
pembentukan UU.
Program Penyusunan PP & Perpres
• Perencanaan penyusunan PP/Perpres dilakukan dalam suatu Program Penyusunan PP/Perpres.
• Perencanaan penyusunan PP/Perpres memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan
PP/Perpres untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Perpres: UU,PP) dalam
jangka waktu 1 Tahun dan dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
• Ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
• Rancangan PP/Perpres berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian
sesuai dengan bidang tugasnya.
• Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan
PP/Perpres di luar perencanaan penyusunan PP/Perpres, yang didasarkan pada:
• Kebutuhan UU atau Putusan Mahkamah Agung (PP) atau
• Kebutuhan UU, PP atau Putusan Mahkamah Agung (Perpres).
• Ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Perpres.
Perpres 68/2021
Tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan
Menteri/Kepala Lembaga
• Pasal 3
(1)  Setiap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga yang akan ditetapkan
oleh menteri/kepala lembaga wajib mendapatkan Persetujuan Presiden.
(2)  Persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan terhadap
Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga yang memiliki kriteria:
• berdampak luas bagi kehidupan masyarakat;
• bersifat strategis, yaitu berpengaruh pada program prioritas Presiden, target Pemerintah
yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana
Kerja Pemerintah, pertahanan dan keamanan, serta keuangan negara; dan/atau
• lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga.
Perpres 68/2021 - lanjut
• Pasal 4
Sebelum dimintakan Persetujuan Presiden, Rancangan Peraturan
Menteri/Kepala Lembaga telah melalui pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi yang dikoordinasikan oleh
menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 5
Setelah melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pemrakarsa menyampaikan Permohonan secara tertulis kepada Presiden.
Perpres 68/2021
• Pasal 6
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus disertai dengan:
• naskah penjelasan urgensi dan pokok-pokok pengaturan;
• surat keterangan telah selesainya pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi dari menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 7
Berdasarkan Permohonan yang disampaikan Pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Sekretariat Kabinet menyampaikan rekomendasi
Permohonan persetujuan kepada Presiden.
Program Pembentukan Perda Prov/Kab/Kota

• Propemperda memuat program pembentukan Peraturan Daerah


Provinsi/Kabupaten/Kota dengan judul Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
• Dalam penyusunan Propemperda, penyusunan daftar Raperda didasarkan atas:
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.
Proses Penyusunan Propemperda

• Propemperda Provinsi/Kabupaten/Kota disusun secara terkoordinasi, terarah, dan


terpadu yang disusun bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang dikoordinasi
oleh Bapemperda Provinsi/Kabupaten/Kota.
• (DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) Pelaksanaannya dikoordinasi oleh alat kelengkapan
DPRD di Bidang Legislasi.
• (Pemerintah Daerah) Pelaksanaannya dikoordinasi oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal terkait.
• Penetapan kedua prioritas DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menjadi Propemperda
ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD dan ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
• Propemperda Provinsi/Kabupaten/Kota ditetapkan untuk jangka 1 tahun berdasarkan
skala prioritas pembentukan Raperda Provinsi/Kabupaten/Kota.
• Penyusunan dan penetapan Propemperda Provinsi/Kabupaten/Kota tahunan dilakukan
setiap tahun sebelum penetapan Rapeda tentang APBD Provinsi/Kabupaten/Kota.
• Propemperda Provinsi/Kabupaten/Kota memuat program pembentukan Perda
Provinsi/Kabupaten/Kota dengan judul raperda, materi yang diatur, dan keterkaitannya
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
• Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya
sebagaimana dimaksud pada merupakan keterangan mengenai konsepsi Raperda
Provinsi/Kabupaten/Kota yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
• Materi yang diatur di atas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan
dalam Naskah Akademik.
• Dalam Propemperda Prov/Kab/Kota dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
• DPRD dan Pemerintah Daerah dapat mengajukan Raperda di luar Propemperda,
yang didasarkan pada:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro
hukum.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Propemperda
Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud diatur
dengan Peraturan DPRD Provinsi.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Propemperda
Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi diatur dengan
Peraturan Gubernur.
Program Penyusunan PUU Lainnya

• Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan
dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi
masing-masing.
• Perencanaan ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-
masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
PENGESAHAN DAN PENGUNDANGAN
PENGESAHAN VS PENGUNDANGAN

• Pengesahan:
• Materiil: Pengesahan yang dilakukan pada saat DPR dan Presiden
memberikan persetujuan bersama dalam Sidang Paripurna DPR.
• Formil: Pengesahan Presiden pada saat presiden membubuhkan tanda
tangannya pada naskah RUU yang telah disahkan secara materiil.
• Pengundangan:
Pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan penempatannya
dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PENGUNDANGAN
• Landasan:
• een ieder wordt geacht de wet te kennen (setiap orang dianggap mengetahui
undang-undang).
• (Dutch) opdat neimand hiervan onwetendheid voorwende / (Latin) Ignorantia
iuris neminem excusat / (English) Ignorance of the law excuses no man
(ketidaktahuan seseorang terhadap undang-undang, tidak akan memaafkannya).
• Ratio:
• Karena UU dibuat oleh wakil-wakil rakyat, maka rakyat dianggap tahu akan UU
tsb.
• Peraturan negara yang diundangkan dapat menjangkau hak-hak rakyat seperti
perampasan kebebasan dan harta benda dalam bentuk sanksi pidana atau sanksi
pemaksa, perlu dibentuk dan diberitahukan dengan prosedur dan cara yang
ditentukan oleh rakyat sendiri melalui peraturan-peraturan yang ditetapkannya
sendiri.
PENGUNDANGAN

• Pertama kali terminologi “pengundangan” digunakan pada tahun 1950


(dari KRIS 1949 🡪 UUDS 1950) melalui Lembaran Negara Tahun
1950 No.63 yang memuat UU Darurat No.31 Tahun 1950.
Sebelumnya digunakan terminologi “pengumuman”.
PENGUNDANGAN PERATURAN NASIONAL

• Pasal 1 angka 12 UU No.12 Tahun 2011 jo. Pasal 1 angka 2 Perpres No.87 Tahun 2014
Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
• Materi Pengundangan dalam Lembaran Negara: UU, Perpu, PP, dan Perpres (Pengesahan Perjanjian
Internasional dan Pernyataan Keadaan Bahaya), dan peraturan lainnya yang diperintahkan pengundangannya
dalam Lembaran Negara.
• Materi Pengundangan dalam Tambahan Lembaran Negara: Penjelasan UU, Penjelasan Perpu, Penjelasan PP,
dan Penjelasan Perpres dan Penjelasan peraturan lainnya yang diperintahkan pengundangannya dalam
Lembaran Negara.
• Materi Pengundangan dalam Berita Negara: Peraturan Menteri dan Peraturan LPNK, Putusan MK, dan
peraturan lainnya yang diperintahkan pengundangannya dalam Berita Negara.
• Materi Pengundangan dalam Tambahan Berita Negara: Penjelasan Peraturan Menteri dan Peraturan LPNK,
peraturan lainnya yang diperintahkan pengundangannya dalam Berita Negara, dan akta pendirian perseroan.
PENGESAHAN & PENGUNDANGAN UU
DPR
• RUU yang telah disetujui bersama
• Disampaikan kepada Presiden max 7 hari setelah disetujui bersama.

PENGESAHAN PRESIDEN
•Persiapan Naskah RUU oleh Sekretariat Negara. Jika sudah lengkap, Presiden membubuhkan tanda
tangannya
•Sekretaris Negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut, dan menyampaikannya kepada
Menkumham untuk diundangkan

PENGUNDANGAN MENTERI HUKUM & HAM


•Mengundangkan UU dalam Lembaran Negara RI dengan membubuhi Nomor dan Tahun serta
Penjelasan UU dalam Tambahan Lembaran Negara RI dengan membubuhi nomor.
•Disampaikan kepada Sekretaris Negara.

PENYIMPANAN SEKRETARIS NEGARA


• Menyimpan UU tsb sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
UU YANG TIDAK DISAHKAN PRESIDEN

UU Tentang
UU No. 25 Tahun 2002 Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan
UU No. 32 Tahun 2002 Penyiaran
UU No. 17 Tahun 2003 Keuangan Negara
UU No. 18 Tahun 2003 Advokat
UU No. 2 Tahun 2018 Perubahan Kedua UU MD3
UU No. 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua atas UU KPK
PROBLEMATIKA UU YANG TIDAK
DISAHKAN PRESIDEN
• Pada bagian akhir sebuah UU (pada posisi tanda tangan presiden) dibubuhkan
kalimat "Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Realitasnya
digunakan “telah sah”.
• Issues:
▪ Kenapa masih menggunakan Presiden Republik Indonesia pada setiap UU?
Padahal kewenangannya sudah dialihkan kepada DPR?
▪ Jika sebuah UU tidak disahkan oleh Presiden, dari manakah perintah
datangnya pengundangan?
▪ Siapa yang berwenang mengundangkan ketika presiden tidak memberikan
pengesahan dan perintahnya?
PENGESAHAN & PENGUNDANGAN PERPU, PP,
PERPRES, DAN PERATURAN LAINNYA

Peraturan
Perpu & PP Perpres
lainnya

Persiapan dilakukan oleh Persiapan dilakukan oleh


Sekretaris Negara. Setelah itu, Sekretaris Kabinet. Setelah itu, Persiapan dan pengesahan
Presiden mengesahkannya Presiden mengesahkannya dilakukan oleh Pimpinan
dengan membubuhkan tanda dengan membubuhkan tanda Lembaga tsb.
tangan. tangan.

Menkumham Menkumham Menkumham


mengundangkannya dalam mengundangkannya dalam mengundangkannya dalam
Lembaran Negara RI dan Lembaran Negara RI dan Lembaran Negara RI dan
penjelasannya dalam penjelasannya dalam penjelasannya dalam
Tambahan Lembaran Negara Tambahan Lembaran Negara Tambahan Lembaran Negara
RI. RI. RI.

Sekretariat Lembaga tsb


Sekretaris Negara menyimpan Sekretaris Kabinet menyimpan
menyimpan Peraturan tsb
Perpu atau PP sesuai dengan Perpres sesuai dengan
sesuai dengan peraturan
peraturan perundang- peraturan perundang-
perundang-undangan yang
undangan yang berlaku. undangan yang berlaku.
berlaku.
DAYA BERLAKU
DAYA BERLAKU

• Prospective: Diberlakukan sejak diundangkan dan ditetapkan. Contoh: Pasal 49


UU No. 18 Tahun 2008 ttg Pengelolaan Sampah: Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
• Retroactive: Diberlakukan sejak waktu tertentu di masa lampau. Contoh: Pasal 1
Perpu No. 2 Tahun 2002: Ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan berlaku terhadap peristiwa
peledakan bom yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
• Future: diberlakukan sejak waktu tertentu di masa yang akan datang. Contoh:
Pasal 58 UU No. 10 Tahun 2004: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2004.
PERATURAN KEBIJAKAN
(BELEIDSREGEL)
Peraturan Kebijakan
• Peraturan : Umum-Abstrak (UU, PP, Perda, Permen, dll)
• Kebijakan : individual-konkret (Keppres, Kepmen, Kep..)
• Pada praktiknya banyak ditemukan bentuk bentuk beleidsregel
maupun kebijakan yang tidak ‘dikenal’ dalam skema ‘peraturan’ dan
‘keputusan’ di Indonesia: SE, Instruksi, Nota Dinas, Pedoman  dapat
menimbulkan masalah dalam pengujiannya jika ada yang merasa
dirugikan.
• Adanya rezim keputusan yang bersifat mengatur. 🡪 Mencoba
diselesaikan dengan UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti
dengan UU No, 12 Tahun 2011, tentang keputusan yang masih
bersifat mengatur harus dibaca sebagai peraturan.
• Rezim peraturan yang menggunakan baju Surat Edaran, Peraturan
Bersama (Contoh Perba MA-KY No.2 Tahun 2012 ), Nota Dinas,
beberapa isyu berkaitan dengan pengujian dan hirarki.
MACAM-MACAM KEPUTUSAN

Keputusan Negara Keputusan Administrasi Negara/ Penyelenggara Pemerintahan (Eksekutif)

Peraturan Bukan peraturan Peraturan Peraturan Beschikking Peraturan


perundang- perundang-undangan Perundang- Kebijakan Perencanaan
undangan Yang bersifat konkrit undangan (Beleidsregel) (plannen)
– individual
Bersifat
UUD Keputusan Presiden ttg PP Konkrit
Pengangkatan Hakim MK Pembentukannya Individual Visi, Misi,
atau Menteri didasarkan aspek Final Tujuan
Doelmatigheid, Sasaran,
karena prinsip Program
UU/Perpu Keputusan Presiden Peraturan Freis Ermessen dalam kurun
Presiden ttg Pengangkatan Presiden waktu terbatas
Gubernur.

Peraturan Hanya mengatur


Menteri kegiatan
administrasi negara
Perda? Contoh: SE, Juklak,
Juknis, Pedoman.
Pendapat Bagir Manan
• Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan  
• Asas pembatasan dan pengujian terhadap perundang-undangan tidak
dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan
• Peraturan kebijakan tidak bisa diuji secara wetmatigheid (batu uji aturan
perundang-undangan)
• Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan fungsi freies ermessen
• Pengujian peraturan kebijakan menekankan pada doelmatigheid (batu uji
AAUPB)
• Pada praktiknya berbentuk instruksi, keputusan, surat edaran,
pengumuman dll.
Pedoman: Freies Ermessen
• ditujukan untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan publik
• sikap tindak aktif dari pejabat administrasi negara
• sikap tindak tersebut diambil atas inisiatif sendiri
• sikap tindak bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan penting yang timbul secara tiba-tiba
• Dapat dipertanggungjawabkan
Diskresi
• Phillipus M. Hadjon: pemerintah tidak hanya sekedar melaksanakan
uu (wetmatigheid van bestuur, tapi juga mengedepankan doelstelling
(penetapan tujuan) dan beleid (kebijakan)
• Diskresi: Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan - Pasal 1 angka 9 UU 30/14
Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 mengandung unsur-unsur:

• penetapan tertulis,
• Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
• tindakan hukum tata usaha negara,
• peraturan perundang-undangan yang berlaku,
• konkret,
• individual,
• final, dan
• akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Diskresi ≠ otoritarianisme
• AAUPB (kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan,
kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan,
kepentingan umum, pelayanan yang baik) – Pasal 10 UU 30/14
• Tidak boleh melampaui wewenang – Pasal 30:
• Melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh PUU
• Melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan oleh PUU
• Sesuai prosedur (pasal 26, 27, 28)
• Harus ada ruang untuk checks and balances/ keberatan dari pihak
yang merasa dirugikan
Penyelenggaraan Administrasi Pemerintah
• Pasal 33 UU 30/14 :
• Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang bersifat mengikat
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
• Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga
berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.  contrarius actus (yang
membuat); atasan pembuat; atau pembatalan oleh lembaga pengadilan.
Masalah: Beleidsregel yang tidak bisa diuji karena
bentuk (formil) – Kompetensi absolute pengadilan
• Kebijakan lisan/ tidak tertulis
• Surat Edaran
• Instruksi
• Nota Dinas
• SOP ?
• Pedoman?

 Baiknya diwadahi dalam format yang jelas (agar memberikan peluang untuk
pengujian atas keberatannya). Bisa berupa peraturan atau keputusan
tergantung dari sifat norma nya (umum abstrak atau individual konkret)
Teknik Penyusunan - Pasal 97 UU 12/2011
• Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini
berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua
Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan
Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,
Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan
Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi
yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur,
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota,
Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.

Anda mungkin juga menyukai