Anda di halaman 1dari 20

JURNAL TERKAIT KOMPLEKSOMETRI,

IODOMETRI, DAN IODIMETRI


S I N TA A M E L I A G 7 0 1 1 9 0 6 6
KOMPLEKSOMETRI

Jurnal : UJI KADAR DISOLUSI TABLET KALSIUM


LAKTAT MENGGUNAKAN TITRASI
KOMPLEKSOMETRI

Penulis : Reni Aisyah Simbolon, Ulil Amna, Halimatussakdiah

Publishing : Quimica: Jurnal Kimia Sains dan Terapan Volume


2, Nomor 2, Oktober 2020. Program Studi Kimia Fakultas
Teknik Universitas Samudra Jl. Meurandeh, Langsa Aceh,
Indonesia.
Abstrak : Pengukuran kadar tablet kalsium laktat diukur menggunakan
titrasi kompleksometri, dimana indikator yang digunakan adalah indikator
EBT dan larutan standar yang digunakan adalah EDTA.

Metode :
• Penimbangan Sampel
Sampel tablet kalsium laktat ditimbang menggunakan timbangan semimikro
merk balance metler toledo dengan range 570-630 mg per tabletnya.
• Pembuatan Buffer Ammonia
Ditimbang NH4Cl sebanyak 17,6 gram, kemudian ditambahkan NH4OH
sebanyak 142 mL, lalu ditambahkan akuades hingga 250 mL
• Pembuatan Indikator Erichrome Black T (EBT)
Ditimbang serbuk EBT sebanyak 200 mg, kemudian ditambahkan
Trietanolamin sebanyak 15 mL dan ditambahkan metanol sebanyak 5 mL.
diaduk hingga homogen
• Pembuatan Larutan Etilendiaminetetraacetic Acid (EDTA)
0,05M Ditimbang EDTA sebanyak 20,82 gr, kemudian ditambahkan akuades
hingga 100 mL.
• Uji Disolusi
Dihidupkan alat disolusi tester, kemudian disiapkan 6 vessels (tabung gelas
disolusi). Diatur suhu pada tabung hingga 37⁰C ±0,5⁰C dengan kecepatan
100 rpm dengan waktu 45 menit. Dimasukkan media aquadem sebanyak 500
mL pada masing-masing vessels lalu ditunggu hingga suhu stabil
37⁰C±0,5⁰C. Dipasang metode keranjang, lalu dimasukkan tablet kalsium
laktat pada masing-masing keranjang, kemudian dilakukan uji disolusi
selama 45 menit.
• Penetapan Kadar dengan Titrasi dalam Uji Disolusi
Setelah 45 menit alat dijalankan, dimatikan alat. Diambil cuplikan dengan
spuit sebanyak 50 mL dari masing-masing Vessels lalu dimasukkan kedalam
erlenmeyer 250 mL. Kemudian ditambahkan 5 mL larutan buffer ammonia
dan 1 tetes indikator EBT. Dititrasi larutan tersebut menggunakan larutan
baku EDTA 0,05 M sampai terjadi perubahan warna dari merah rose menjadi
biru lembayung.
Hasil :
• Tabel hasil disolusi

Prinsip dasar alat disolusi yang digunakan ialah kadar zat aktif yang terlarut dalam tubuh berdasarkan
media dan kecepatan perputarannya. Alat yang digunakan untuk uji disolusi ini yaitu dissolution tester
merek Hanson type Vision G2 Elite 8TM, dengan menggunakan metode keranjang. Media yang
digunakan adalah aquadem sebanyak 500 mL per vessels dengan suhu 37⁰C±0,5⁰C disesuaikan dengan
suhu tubuh manusia. Media aquadem digunakan untuk menyesuaikan keadaan fisiologis di dalam
lambung dengan kecepatan perputaran 100 rpm yang menggambarkan gerakan peristaltik lambung. Hal
ini disesuaikan dengan tubuh manusia karena pengujian disolusi ini untuk mengetahui pelarutan obat
dalam cairan tubuh. Setelah 45 menit di ambil cuplikan dalam masing-masing vessels sebanayak 60
mL menggunakan spuit yang sudah terpasang membran filter.
• Hasil Penetapan Kadar Titrasi dalam Uji Disolusi
Pada titrasi kompleksometri yang dilakukan, diperoleh volume larutan
standar EDTA yang habis terpakai dari masing-masing cuplikan. Dengan
demikian dari hasil volume EDTA yang habis terpakai dapat dihitung
kadar dari masingmasing cuplikan. Dari hasil perhitungan yang diperoleh
persen kadar disolusi cuplikan yaitu kadar disolusi vessels 1 adalah
102,72%, vessels 2 adalah 98,70%, vessels 3 adalah 102,43%, vessels 4
adalah 107,15%, vessels 5 adalah 100,22% dan vessels 6 adalah 98,46%.
Hasil tersebut memenuhi syarat sesuai dengan yang tertera di Farmakope
Indonesia Edisi V yaitu tiap unit sediaan kalsium laktat tidak kurang dari
Q + 5% = 80%, dimana Q = 75%. Dan dapat melarut dengan baik sesuai
dengan ketentuan.

Kesimpulan :
tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5% = 80%, dimana Q = 75%.
Kadar rata-rata tablet kalsium laktat yang diperoleh adalah 101,61% dan
kadar minimun 98,46%.
IODIMETRI
Jurnal : PENETAPAN KADAR VITAMIN C PADA DAUN
SALAM ( Syzygium polyanthum ) SECARA IODIMETRI

Penulis : Hernawati Basir

Publishing : Jurnal Farmasi Sandi Karsa, Vol. IV No.7


November 2018. Akademi Farmasi Yamasi Makassar.
Abstrak : Vitamin C merupakan vitamin larut dalam air dan sering digunakan
sebagai suplemen dan merupakan salah satu vitamin yang diperlukan oleh
tubuh.Karena fungsi vitamin C bisa menigkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
dan sebagai antioksidan yang menetralkan radikal bebas didalam darah maupun
cairan. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah Iodimetri, karena vitamin C
merupakan senyawa yang bersifat reduktor cukup kuat, mudah teroksidasi dan iodium
mudah berkurang. Hal ini merupakan salah satu suatu syarat senyawa dapat dilakukan
dengan metode Iodimetri.

Metode :
Sampel daun salam segar yang digunakansebanyak 10 gram, dicuci laludipotong kecil
– kecil, lalu digerus ditambahkan aquadest sedikit demi sedikit hingga sampel halus
dan ditambahkan aquadest hingga 100 ml, dikocok hingga homogen kemudian
disaring kedalam labu takar. Diambil 25 ml larutan sampel, laludimasukkan kedalam
erlenmeyer dan ditambahkan 2 pipet indikator amilum. Kemudian dititrasi dengan
larutan Iodium 0,01 N hingga berubah menjadi warna biru ketuaan.Laludihitung
kadar vitamin C.
Hasil :
• Tabel data hasil titrasi
• Penetapan kadar vitamin C pada daun salam : Titrasi pertama
• Pembahasan :
Asam askorbat merupakan zat pereduksi yang kuat dan secara
sederhana dapat dititrasi dengan larutan baku iodium.Metode
iodimetri (titrasi langsung dengan larutan baku iodium 0,1 N)
dapat digunakan pada asam askorbat murni atau larutannya,
sehingga kadar vitamin C dalam daun salam dapat ditetapkan
dengan metode iodimetri. (Agustina, Nurhaini, 2014). Penetapan
kadar vitamin C pada daun salam dilakukan sebanyak 3 kali
repplikasi dengan menggunakan metode iodimetri.
• Kesimpulan
Hasil penetapan kadar vitamin C pada daun salam adalah pada
titrasi pertama didapatkan0,5551%, pada titrasi kedua 0,4163%,
dan pada titrasi yang ketiga 0,6939%, maka dari itu rata – rata
kadar vitamin C yang didapatkan 0,5551%.
IODOMETRI

Jurnal : Kandungan Vitamin C dari Ekstrak Buah Ara (Ficus


carica L.) dan Markisa Hutan (Passiflora foetida L.)

Penulis : James Ngginak1, Anggreini Dian Naomi Rupidara ,


Yanti Daud.

Publishing : Jurnal Sains dan Edukasi Sains Vol.2, No.2,


Agustus 2019: 54-59. Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Artha
Wacana, Oesapa, Kupang (NTT).
Abstrak : Vitamin C merupakan salah satu senyawa antioksidan
yang efektif dalam menangkal radikal bebas. Komponen ini
umumnya terkandung dalam buah-buahan dan sayuran. Buah-
buahan yang tumbuh liar seperti buah ara (Ficus carica L.) dan buah
markisa hutan (Passiflora feotida L.) juga mengandung vitamin C.
Metode atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode Iodometri dan metode Spektrofotometri UV-Vis.
Metode :
• Penentuan kadar vitamin C dalam sampel menggunakan metode
Iodometri (titrasi)
Sediakan 10 g sampel halus (daging buah) masing-masing dari
buah ara dan markisa hutan pada labu 100 mL lalu ditambahkan 100
mL air hingga tanda batas. Tambahkan 5 tetes indikator amilum,
lalu lakukan titrasi dengan iodium (I2 ) 0,01 N sampai warna biru.
Kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus :
Analisis vitamin C menggunakan metode spektrofotometri diawali dengan
penyiapan dan pembuatan larutan standard. Ditimbang dengan teliti 25 mg
vitamin C standard kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL lalu
dilarutkan dengan asam oksalat 0,4% hingga 25 mL (0,2 ppm). Tahap
berikutnya adalah penentuan panjang gelombang maksimum untuk
standard. Dipipet 0,8 mL larutan vitamin C (0,2 ppm), lalu dimasukkan ke
dalam labu ukur 10 mL (konsentrasi 80 ppm), lalu ditambahkan H2SO4
5% sebanyak 4 mL, kemudian ditambahkan (ammonium molibdat 5% jika
memakai pereaksi) sampai batas tanda tera dan dihomogenkan. Campuran
larutan ini diinkubasi selama 30 menit, lalu diukur serapannya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang 500 – 750 nm.
• Pembuatan kurva standard
Larutan vitamin C 0,2 ppm dipipet sebanyak 5 kali yaitu 0,1; 0,2; 0,3; 0,4;
0,5 mL. Masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian
ditambahkan H2SO4 5% sebanyak 4 mL (tambahkan ammonium molibdat
5% sampai batas tanda, jika menggunakan pereaksi) dikocok dan
dihomogenkan (diperoleh konsentrasi 0, 0,1; 0,18; 0,38; 0,53; 0,66 ppm),
kemudian diinkubasi selama 30 menit. Seri konsentrasi selanjutnya diukur
serapannya dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 620
nm. Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi dan absorbansi
untuk mendapatkan persamaan garis atau regresi linear. Pengukuran kadar
vitamin C dilakukan dengan menimbang masing-masing 10 mg ekstrak
etanol (bisa menggunakan air) sampel ke dalam 25 mL labu ukur. Sampel
dilarutkan dengan etanol 96 % sampai batas tanda tera. Dipipet 1 mL dari
larutan ekstrak sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan
ditambahkan 4 mL H2SO4 5%, lalu dicukupkan volumenya hingga batas
tanda tera dengan (ammonium molibdat 5% jika menggunakan pereaksi),
dikocok hingga homogeni lalu diinkubasi 30 menit kemudian diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh(620 nm).
Hasil :
Titrasi menggunakan iodin bertujuan untuk mereduksi senyawa-
senyawa kuat seperti vitamin C. Hasil uji titrasi dengan larutan
iodin diberikan hingga warna larutan berwarna biru. Warna biru
yang terbentuk sebagai pertanda proses tritrasi telah mencapai
titik akhir. Dalam pemberian larutan untuk mencapai titik akhir
pada sampel buah ara dibutuhkan 0,47 mL larutan Iodium
sedangkan sampel buah markisa dibutuhkan larutan iodin
sejumlah 0,57 mL. Setelah dilakukan perhitungan kadar vitamin
C maka diperoleh kadar vitamin C pada sampel buah ara adalah
4,41 mg dan kadar vitamin C pada buah markisa hutan adalah
5,16 mg.
• Penentuan Kandungan Vitamin C Pada Daging Buah Ara (Ficus carica L.) dan
Markisa Hutan (Passiflora foetida L.) dengan Metode Spektrofotometri
• Pembuatan kurva kalibrasi
Berdasarkan data hasil pengamatan diperoleh panjang gelombang maksimum 620 nm
dengan nilai absorbansi 0,54, Kurva kalibrasi untuk larutan standard dengan
konsentrasi 0,2 ppm diperoleh deret konsentrasi 0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; dan 0,8 ppm,
diperoleh kadar vitamin C untuk sampel A adalah 1,244 mg/L serta pada sampel M
memiliki kadar vitamin C sebesar 1,904 mg/L. Terlihat jelas bahwa antara sampel A
dan M memiliki kandungan vitamin C yang berbeda dimana pada daging buah
markisa hutan (M) memiliki kandungan vitamin C lebih banyak dibanding dengan
buah ara (A). Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh komposisi senyawa metabolik
primer dan sekunder serta tingkat kematangan (Rahmawati dkk., 2011). Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa tingkat kematangan buah ara dan markisa hutan
berbeda. Penampakan warna pada buah ara sangat merah dan orange. Sebaliknya
buah markisa hutan tampak berwarna kuning kehijauan. Selain itu, daging buah
markisa hutan memiliki cita rasa yang sedikit asam. Maka bertolak dari uraian
tersebut dapat diasumsikan bahwa tingkat kematangan pada buah markisa hutan
belum maksimal, faktor ini turut mempengaruhi kadar vitamin C. Perbedaan aspek ini
mempertegas bahwa kadar vitamin C pada buah markisa hutan lebih banyak
dibandingkan dengan buah ara.
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa pada daging buah
ara (Ficus carica L.) dan markisa hutan (Passiflora foetida L.)
mengandung vitamin C. Pengukuran kadar vitamin C pada
daging buah ara dengan metode Iodometri diperoleh 4,13 mg
vitamin C dan untuk buah markisa hutan diperoleh 5,16 mg
vitamin C. Sedangkan untuk analisis secara spektrofotometri
diperoleh kandungan Vitamin C pada buah ara sebesar 1,244
mg/L dan untuk buah markisa hutan diperoleh kandungan
vitamin C sebesar 1,904 mg/L. Hasil ini juga mempertegas
bahwa pada buah markisa hutan memiliki kandungan vitamin C
lebih banyak dibanding dengan kandungan vitamin C pada buah
ara. Perbedaan kadar vitamin C antara buah ara dan markisa
hutan dipengaruhi oleh faktor metabolisme sekunder dan primer,
tingkat kematangan, serta penyimpanan.

Anda mungkin juga menyukai