Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM 5 KCKT

REVIEW JURNAL PENGUKURAN VITAMIN C DENGAN


MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA
TINGGI (KCKT)
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknik Analisa Kromatografi

Yang dibina oleh Bapak Sandry Kesuma ST., M.Si.

Disusun oleh :

FARADICHA PUTRI HERDITA

P17120203041/2B

PROGRAM STUDI D-III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

Desember 2021
1.1 LANDASAN TEORI

a. Dasar teori Kromatografi Gas dengan detektor UV

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan teknik pemisahan yang
luas digunakan untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel
baik di bidang farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri makanan
(Gandjar, 2012).

Larutan sampel yang akan dianalisis diinjeksi kemudian sampel akan turun ke dalam
kolom dan di elusi oleh eluen yang disediakan. Lalu detector akan mendeteksi waktu
retensi dalam bentuk kromatogram. Dari kromatogram itu kita dapat meganalisis sampel.
(Ibnu Ghalib, 2012)

Pemilihan detektor pada HPLC umumnya didasarkan pada persyaratan sensitivitas,


jenis senyawa yang ada di dalam sampel dan faktor lainnya seperti biaya. Detector yang
paling umum didasarkan pada indeks bias dan eluat kolom, karena hampir semua zat
terlarut akan menghasilkan larutan dengan indeks bias yang berbeda dengan indeks bias
pelarut murni (Day, 2002)

Detektor digunakan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam


kolom (analisi kualitatif) dan menghitung kadarnya (analisis kuantitatif) (Putra, 2004).
Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu :

(1) Detektor Universal

Detektor yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik,
dan tidak bersifat selektif seperti detektor indeks bias dan detektor
spektrometri massa.

(2) Detektor Spesifik

Detektor yang spesifik hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan
selektif seperti detektor UV-Vis, detektor fluorescensi, dan elektrokimia
(Gandjar, 2012).
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel.


2. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada
kadar yang sangat kecil.
3. Stabil dalam pengoperasian.
4. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran
pita.
5. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada
kisaran yang luas (kisaran dinamis linier).
6. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
(Gandjar, 2012).

b. Teori Senyawa Vitamin C


Vitamin C atau asam askorbat adalah salah satu jenis vitamin yang larut
dalam air. Vitamin C berperan sebagai antioksidan dan efektif mengatasi radikal
bebas yang dapat merusak sel atau jaringan (Taylor, 2003 dalam Wardani, L.A,
2012). Selain itu vitamin C juga berperan utama dalam pembentukan kolagen
interseluler. Kolagen merupakan senyawa protein yang banyak terdapat dalam tulang
rawan, kulit bagian dalam tulang, dentin dan vasculair endothelium (Winarno, 1995).

Status vitamin C seseorang sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, asupan
vitamin C harian, kemampuan absorpsi dan ekskresi, serta adanya penyakit tertentu
(Schetman, 1989 dalam Wardani, L.A, 2012). Asupan harian vitamin C (asam
askorbat) harus seimbang dengan jumlah yang diekskresikan. Manusia dewasa yang
sehat kehilangan 3-4% cadangan asam askorbat dalam tubuh mereka per hari. Untuk
mempertahankan cadangan asam askorbat dalam tubuh, manusia dewasa menerima
masukan vitamin C sebesar 1500 mg atau lebih, tubuh perlu menyerap kira-kira 60
mg per hari. Manusia dan primata lain seperti marmut tidak dapat mensintesis asam
askorbat disebabkan karena tidak memiliki enzim hati yang diperlukan untuk reaksi
akhir yaitu pengubahan L-gulonolakton menjadi asam L-askorbat sehingga
membutuhkan vitamin C dari luar tubuh. Vitamin C dapat diperoleh dari makanan
yang dimakan. Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin C dapat
diperoleh dari buah-buahan dan sayur-sayuran (Goodman and Gilman, 2012)
c. Teori tentang fase gerak yang digunakan pada proses elusi
Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak teteap
selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah-ubah
selama elusi). Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran
yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas
(Gandjar, 2012).
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi.
Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas
fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Gandjar, 2012). Fase gerak harus
memiliki sifat-sifat diantaranya adalah :
1. Murni, tidak terdapat kontaminan.
2. Tidak bereaksi dengan wadah.
3. Sesuai dengan detektor.
4. Melarutkan sampel.
5. Memiliki viscositas rendah.
6. Bila diperlukan, memudahkan “sample recovery”
7. Diperdagangkan, dapat diperoleh dengan harga murah (reasonable price)
(Putra,2004)

1.2 TUJUAN
Tujuan umum

1. Menentukan kadar vitamin C dalam sampel

Tujuan khusus

1. Mengetahui kadar vitamin C pada masing-masing sampel F, M, N dan Y


2. Mengetahui apakah ada perbedaan antara kadar vitamin C yang tertera pada label
sampel F, M, N dan Y dengan pendekatan pada matriks yang terdapat di dalam
kemasan.
1.3 METODOLOGI
1.3.1 Alat dan Bahan
Alat

1. Seperangkat instrument Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


lengkap (Shimadzu Prominance dengan kolom C18 detektor UV)
2. Syringe
3. Membran filtrasi ukuran 0,45 µm
4. Neraca analitik
5. Spatel
6. Pipet tetes
7. Micropipet tip biru dan tip kuning
8. Corong
9. bekker gelas
10. labu ukur
11. Vial coklat
12. Tutup karet vial
13. Botol bening
14. Botol semprot
15. Tissue.

Bahan

1. Minuman kemasan mengandung vitamin C yang ditandai dengan nama


yaitu sampel F, Y, M dan N
2. Asam askorbat BPFI
3. Metanol
4. Asam orthofosfat 85%
5. Aquabidest
6. Kapas
7. Kertas perkamen

1.3.2 Pembuatan larutan buffer fosfat pH 3.04


a. Sebanyak 30 µL asam orthofosfat 85% dilarutkan dalam 500 mL
aquabides, kemudian pH diatur hingga 3,04 ± 00,5 dengan penambahan
asam fosfat.

1.3.3 Pembuatan fase gerak


a. Larutan metanol dan dapar fosfat pH 3,04 dicampur dengan perbandingan
60:40 dengan sistem elusi isokratik.
b. Selanjutnya, saring melalui penyaring dengan membran porositas 0,5 µm.
1.3.4 Pembuatan larutan standar vitamin C 1000 ppm sebanyak 10ml
Perhitungan :

M1 × V1 = M2 × V2
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (1000 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 10 mL
a. Asam askorbat ditimbang secara seksama sebanyak 10 mg dan dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL.
b. Lalu dilarutkan dengan aquabides sampai tanda batas sehingga diperoleh
larutan dengan kadar 1000 ppm.

1.3.5 Pembuatan deret larutan standar vitamin C 5; 10; 15; 25; 30; 35 ppm
sebanyak 10 mL
a. Larutan baku vitamin C 1000 ppm dipipet sebanyak 50 µL, 100 µL, 150
µL, 200 µL, 250 µL, 300 µL dan 350 µL, dimasukkan ke dalam labu ukur
10 mL.
b. Encerkan dengan metanol sampai tanda batas sehingga diperoleh
konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30 ppm dan 35 ppm.
c. Masing-masing larutan dengan berbagai konsentrasi disaring melalui filter
ukuran 0,45 µm, kemudian diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan
volume penyuntikan ± 20 µL.
d. Deteksi menggunakan detektor UV dengan panjang gelombang 245 nm
dengan laju alir ± 0,5 mL/menit.
e. Catat luas dan tinggi puncak kromatogram yang terbentuk dan dibuat
kurva kalibrasi dari luas puncak, lalu dihitung persamaan garis regresinya.

Perhitungan :

1. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 5 ppm sebanyak 10 mL


M1 × V1 = M2 × V2
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (5 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,05 mL
2. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 10 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (10 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,1 mL
3. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 15 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (15 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,15 mL
4. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 20 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (20 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,2 mL
5. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 25 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (25 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,25 mL
6. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 30 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (30 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,3 mL
7. Larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 35 ppm sebanyak 10 mL
V1 = (M2 × V2) / M1
V1 = (35 ppm × 10 mL) / 1000 ppm
V1 = 0,35 mL

1.3.6 Pembuatan larutan Uji


a. Keempat sampel minuman kemasan disaring dengan menggunakan kapas
b. Kemudian masing-masing filtratnya dipipet sebanyak 1 mL untuk sampel
F, 2 mL untuk sampel M dan N serta 0,08 mL untuk sampel Y, lalu
dimasukkan ke labu ukur 20 mL,
c. Encerkan dengan aqubides sampai tanda batas. Setelah itu disaring
kembali dengan kapas dilanjutkan dengan membran filter 0,45 µL dan
dimasukkan ke dalam vial.
1.3.7 Penentuan panjang gelombang maksimum
a. Membuat baku standar vitamin C yaitu asam askorbat sebesar 20 ppm.
b. Selanjutnya dianalisis pada Spektrofotometer UV dengan rentang panjang
gelombang 200-400 nm. Penentuan panjang gelombang larutan baku
standar Vitamin C dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer
(Shimadzu).
c. Amati Spektrum Serapan Standar yang terbentuk pada Vitamin C.
d. Cetak hasil pengukuran dari panjang gelombang maksimum.

1.3.8 Penetapan kadar vitamin C dengan HPLC


a. Menyalakan seluruh instrument (mulai dari monitor, pompa, detektor UV, dan
detektor fluoresensi).
b. Menyalakan komputer kemudian klik icon LC solution, dilanjutkan dengan
double click icon instrument 1.
c. Ketik user ID : admin lalu klik tombol OK.
d. Tunggu sampai terdengar bunyi (beep) dari alat HPLC.
e. Setting sistem HPLC seperti yang diinginkan (flow rate, komposisi eluen, end
time, panjang gelombang UV-Vis)
f. Klik: File kemudian Save Method File As lalu beri nama file dan Save
g. Klik: Download
h. Klik icon: Instrument On/Off
i. Biarkan sistem berjalan selama minimal 15 menit dengan komposisi eluen yang
telah ditentukan.
j. Lihat kestabilan instrument dengan klik icon: Baseline Check (di bagian atas sub
display bar). Biarkan sistem bekerja hingga kolom Result: pass.
k. Klik: Close.
l. Selanjutnya klik icon: Top (di bagian kiri display bar), dilanjutkan dengan klik
icon: Data acquisition.
m. Klik icon: Single start lalu Ketik: nama sampel, data file, dsb.
n. klik OK.
o. Siap injek:
- Masukkan syringe yang berisi larutan sampel ke lubang injector.
- Putar knop ke arah Load.
- Injeksikan sampel.
- Putar dengan segera knop ke arah Inject lalu akan keluar grafik (output
data).
p. Selesai pemeriksaan, cuci instrument dengan fase gerak yang sesuai untuk
pencucian kolom.
q. Klik icon: Instrument On/Off.
r. Klik: Close untuk semua windows.
s. Matikan semua instrument (detector fluoresensi, detector UV, pompa, monitor)
dengan menekan tombol Off.
t. Cabut semua koneksi ke aliran listrik.

1.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1.4.1 Hasil
a. Penetapan panjang gelombang maksimum
Penentuan panjang gelombang larutan baku standar Vitamin C
dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer (Shimadzu). Penentuan
dilakukan dengan menggunakan baku standar vitamin C yaitu asam
askorbat. Cara penentuannya dimulai dengan membuat baku standar 20
ppm dan selanjutnya dianalisis pada Spektrofotometer UV dengan rentang
panjang gelombang 200-400 nm. Hasil scanning dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Spektrum Serapan Standar Vitamin C (Scanning λ maksimum)


Dari hasil pengukuran diperoleh panjang gelombang maksimum vitamin C
adalah 245,6 nm. Pada USP, vitamin C atau asam askorbat dapat dideteksi
pada panjang gelombang 245 nm, sehingga dapat dikatakan bahwa data
hasil pengukuran tersebut mendekati dengan yang tercantum dalam USP.

b. Pengukuran deret larutan standar

Setelah didapat kondisi optimasi dan uji kesesuaian sistem untuk


analisis Vitamin C, penelitian dilanjutkan dengan pembuatan kurva
kalibrasi Vitamin C. Pembuatan kurva kalibrasi ditentukan dengan cara
membuat 7 variasi konsentrasi dari larutan standar yang di mulai dari
konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 25 ppm, 30 ppm dan 35 ppm.
Keenam variasi konsentrasi tersebut diinjeksikan pada sistem KCKT
dengan volume penyuntikan 20 µl pada kondisi optimasi lalu dihitung nilai
regresi dan persamaan garisnya.

Dari hasil perhitungan didapat nilai regresi (nilai R) dari kurva


kalibrasi adalah 0.997 dan persamaan garis y = 294676x - 1268936. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa kurva kalibrasi cukup linear.
c. Penetapan kadar vitamin C pada sampel
Sampel yang dianalisis terdiri dari 4 buah sampel yang didapat dari
supermarket di daerah Margahayu Raya. Keempat sampel tersebut ditandai
dengan nama yaitu sampel F, Y, M dan N. Keempat sampel masing-
masing dipreparasi dengan cara dilakukan pengenceran dan penyaringan
kemudian dilakukan penyuntikan sebanyak 2 kali dan dihitung kadar
sehingga didapat hasil sebagai berikut :

1.4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran kadar vitamin C dalam
berbagai merk minuman kemasan yang dijual di beberapa supermarket.
Minuman kemasan yang dianalisis adalah minuman kemasan yang pada etiket
tertera jumlah kandungan vitamin C. Analisis dilakukan menggunakan metode
KCKT dengan menggunakan kolom C18 dan detektor UV. Pengukuran kadar
ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kadar
vitamin C yang tertera pada label sampel F, M, N dan Y dengan pendekatan
pada matriks yang terdapat di dalam kemasan.

Sebelum dilakukan pengukuran kadar vitamin C yang harus dilakukan


pertama kali adalah menentukan panjang gelombang maksimum. Berdasarkan
pengukuran tersebut didapatkan hasil panjang gelombang maksimum yaitu
245,6 nm. Hasil tersebut sudah mendekati dengan nilai panajang gelombang
maksimum yang terdapat dalam literatur yaitu 245 nm, sehingga panjang
gelombang maksimum yang digunakan di sistem KCKT adalah 245 nm.
Setelah mendapatkan panjang gelombang maksimum kemudian dilakukan
penentuan kondisi optimasi dengan menggunakan KCKT. Optimasi kondisi
analisis ini dilakukan dengan menggunakan larutan standar vitamin C dengan
konsentrasi 25 ppm. Komposisi fase gerak yang digunakan metanol : dapar
fosfat (60:40), dipilih karena memiliki puncak yang lebih simetris.
Kemudian dilakukan uji kesesuaian sistem, tujuannya untuk
memastikan kesesuaian dan kefektifan sistem yang digunakan agar diperoleh
kromatogram yang baik. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat hasil yang
tidak sesuai yaitu pada jumlah lempeng teoritis yang seharusnya dari literatur
sebesar ≤ 3500 tetapi yang didapat adalah 487,120. Hal tersebut dapat
disebabkan karena metode yang digunakannya berbeda misalnya jumlah
perbandingan fase geraknya berbeda, sedangkan untuk faktor ikutannya sudah
sesuai.
Selanjutnya dilakukan validasi metode analisis pada pengukuran kadar
vitamin C yang bertujuan untuk memastikan bahwa metode yang digunakan
akurat, spesifik dan dapat digunakan sebagai metode pengukuran kadar.
Validasi metode yang dilakukan sekurang-kurangnya memenuhi syarat
ketepatan, ketelitian dan selektifitas yang sama dengan metode resmi dalam
literatur. Pada penelitian ini, parameter validasi yang dilakukan meliputi
liniearitas, batas deteksi, batas kuantifikasi, akurasi dan presisi.
Uji pertama yang dilakukan adalah linearitas. Uji ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui respon secara langsung proporsional terhadap
konsentrasi analit dalam sampel. Penentuan linearitas dilakukan dengan
membuat kurva kalibrasi dari larutan standar vitamin C pada konsentrasi 5
ppm, 10 ppm,15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30 ppm dan 35 ppm. Kemudian
diperoleh hubungan antara konsentrasi vitamin C dengan luas area.
Berdasarkan kurva tersebut didapat persamaan regresi liniear yaitu y =
294676x – 1268936. Suatu metode bersifat linear jika nilai R-nya mendekati
1. Pada pengukuran didapat nilai R-nya 0,997 sehingga dapat disimpulkan
bahwa metode analisis memiliki nilai linearitas yang baik.
Selanjutnya dilakukan penetapan batas deteksi atau Limit of Detection
(LoD) dan batas kuantifikasi atau Limit of Quantitation (LoQ) dari sampel.
Hasil yang diperoleh yaitu LoD sebesar 0,00028 mg/L artinya bahwa alat
dapat mendeteksi sampai dengan 0,00028 mg/L, jika berada di bawah 0,00028
mg/L maka tidak dapat dideteksi dan jika di atas 0,00028 mg/L dapat dideteksi
tapi dengan presisi dan akurasi yang kurang baik. Sedangkan nilai LoQ
sebesar 0,00096 mg/L artinya alat dapat mendeteksi sampai dengan 0,00096
mg/L, jika berada di bawah 0,00096 mg/L maka dapat dideteksi tapi dengan
akurasi dan presisi yang kurang baik dan jika di atas 0,00096 mg/L dapat
dideteksi serta hasilnya dapat dikuantifikasi.
Uji akurasi (ketepatan) merupakan ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analisa dengan kadar analit yang sebenarnya. Hasil uji akurasi
diperoleh % recovery sebesar 97,18%. Hasil ini memenuhi syarat akurasi yaitu
pada rentang 80-110%, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode ini
mempunyai akurasi yang baik.
Kemudian terakhir dilakukan uji presisi (keseksamaan) yang bertujuan
untuk mengetahui kesesuaian antara hasil uji individu dengan metode yang
berulang-ulang pada sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Hasil
perhitungan uji presisi didapat nilai SD sebesar 30159 dan nilai RSD sebesar
1,96%. Dari data uji presisi menunjukkan bahwa nilai RSD kurang dari 2%,
maka metode yang digunakan dikatakan memenuhi kriteria presisi.
Setelah dilakukan validasi metode yang dinyatakan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan kemudian dilanjutkan dengan pengukuran kadar
sampel. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kadar yaitu sampel F =
136,18 ppm, sampel M = 182,74 ppm, sampel N = 219,8 ppm dan sampel Y =
2209 ppm. Hasil yang diperoleh tersebut berbeda dengan kadar vitamin C
yang tertera pada label. Hal ini dapat disebabkan karena di dalam kemasan
sampel terdapat kandungan zat lain yang mungkin dapat mengganggu kadar
vitamin C, misalnya pengawaet dan pewarna.
Menurut Yanti (2012), penggunaan pengawet pada bahan pangan
mempunyai tujuan untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur
simpan dari bahan pangan. Pengawet dapat menghambat pertumbuhan
mikroba yang dapat merusak vitamin C karena pengawet dapat mengganggu
kerja enzim sehingga oksidasi vitamin C dapat dihambat dan kadar vitamin C
dapat dipertahankan. Tetapi beberapa pengawet ada yang bersifat alkalis
sehingga akan menyebabkan vitamin C tidak stabil dan mudah teroksidasi.
Sedangkan zat pewarna pada minuman kemasan dapat mengganggu
pembacaan pada saat pengukuran sehingga kadarnya dapat berubah.
Selain itu dapat disebabkan juga oleh sifat vitamin C yang sangat
mudah teroksidasi karena senyawanya mengandung gugus fungsi hidroksi
(OH) yang sangat reaktif dengan adanya oksidator gugus hidroksi akan
teroksidasi mejadi gugus karbonil. Vitamin C sangat mudah teroksidasi secara
reversible menjadi L-asam dehidroaskorbat. L-asam dehidroaskorbat secara
kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi
diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C. Faktor kondisi lama
penyimpanan juga dapat mempengaruhi kadar vitamin C. Hal ini terlihat
ketika sampel disimpan di dalam kulkas selama beberapa hari kemudian
diinjeksikan ke sistem KCKT memiliki hasil kadar yang berbeda dengan
sampel yang setelah preparasi langsung diinjeksikan. Sampel M dan N
merupakan sampel yang setelah preparasi langsung diinjeksikan, hasil kadar
yang diperoleh dari pengukuran melebihi dengan yang tercantum dalam etiket.
Hal tersebut dapat disebabkan karena sampel masih dalam keadaan segar dan
tidak mengalami penyimpanan sehingga kadar yang dihasilkan besar. Menurut
Yanti (2012), kandungan asam askorbat akan mengalami penurunan selama
penyimpanan terutama pada suhu penyimpanan yang tinggi.
Menurut Nova (2013), salah satu penyebab kerusakan vitamin C
adalah cahaya karena dapat menguraikan vitamin C. Pada saat sebelum
diinjeksi sampel disimpan di tempat yang terpapar cahaya matahari langsung
sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap kadar vitamin C. Cahaya dan
tempat penyimpanan akan mempengaruhi kecepatan degradasi dan kecepatan
oksidasi vitamin C. Perbedaan sumber cahaya antara pemaparan sinar
matahari lansung dan tidak langsung juga mempengaruhi stabilitas dari
vitamin C. Hal ini dikarenakan vitamin C bersifat tidak stabil, mudah
teroksidasi jika terkena udara (oksigen) dan proses ini dapat dipercepat oleh
panas.
Selain itu pengaruh terhadap wadah kemasan juga mempengaruhi
terhadap kadar vitamin C. Kerusakan vitamin C selama penyimpanan juga
dipengaruhi oleh jenis kemasan. Adanya jenis kemasan yang rusak dapat
mempengaruhi mutu dari sediaan di dalamnya. Sampel yang dianalisis adalah
sampel yang memiliki wadah kemasan yang tidak tahan terhadap cahaya
kerena ada yang terbuat dari wadah kaca dan wadah plastik yang berwarna
bening.
Aspek penting lainnya yang menyebabkan ketidakstabilan vitamin C
adalah suhu dan kelembaban. Penyimpanan vitamin C yang dianjurkan pada
tempat yang sejuk (15-25oC). Menurut Depkes RI (1995) penyimpanan
vitamin C dalam wadah tertutup rapat serta terlindung dari cahaya. Adapun
dari hasil pengukuran suhu di tempat penyimpanan sampel yaitu berada di
suhu kamar antara 25-27oC, sehingga dapat dikatakan bahwa suhu
pengukuran belum memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Semakin
tinggi suhu penyimpanan maka akan semakin tinggi pula kecepatan reaksi
oksidasi vitamin C. Oksidasi vitamin C akan terhambat bila dibiarkan dalam
keadaan asam atau pada suhu rendah. Namun, vitamin akan cukup stabil
dalam keadaan kering. Oleh karena itu, dalam penelitian ini didapat kadar
vitamin C yang berbeda dengan yang tercantum di label kemasan.

1.5 KESIMPULAN
Hasil penelitian dengan menggunakan KCKT Shimadzu Prominance menggunakan
kolom C18, pelarut metanol, fase gerak metanol:dapar fosfat (60:40), laju alir 0,5
mL/menit, volume penyuntikan 20 µL dan dideteksi pada panjang gelombang
maksimum 245 nm, didapat hasil sebagai berikut :

1. Hasil analisa sampel didapatkan kadar vitamin C pada sampel F = 136,18 ppm,
sampel M = 182,74 ppm, sampel N = 219,8 ppm dan sampel Y = 2209 ppm.
2. Hasil pengukuran kadar sampel didapatkan perbedaan kadar pada label sampel F,
M, N dan Y dengan pendekatan pada matriks yang terdapat di dalam kemasan.
TEST
1. Apakah tujuan penentuan panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer?
2. Sebutkan kondisi optimal HPLC-UV yang digunakan untuk penetapan kadar vitamin
C tersebut?
3. Sebutkan fase gerak yang digunakan dalam Analisis tersebut?
4. Apakah jenis fasa diam yang digunakan pada analisis tersebut, jelaskan?
5. Jelaskan bagaimana prinsip pemisahan yang terjadi pada sistem HPLC tersebut?

JAWABAN
1. Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan untuk memberikan kepekaan
sampel dengan maksimal, bentuk kurva absorbansi linear, dan menghasilkan hasil
yang cukup konstan setelah dilakukan pengukuran berulang.
2. Pada penelitian ini, Optimasi kondisi analisis dilakukan dengan menggunakan
instrumen KCKT dilengkapi dengan detektor UV, kolom 6 mm x 150 cm,
menggunakan larutan standar vitamin C dengan konsentrasi 25 ppm. Komposisi fase
gerak yang digunakan adalah perbandingan metanol dengan dapar fosfat sebanyak
60:40 dan laju alir ± 0,5 mL/menit. Dipilih karena memiliki puncak yang lebih
simetris.
3. Fase gerak yang digunakan pada penelitian ini adalah metanol dan dapar fosfat
dengan perbandingan 60:40
4. Fase diam yang digunakan pada analisis ini adalah silika gel dan alumina. Pada silika
dan alumina terdapat gugus hidroksi yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus
silanol pada silika mempunyai reaktifitas yang berbeda, karenanya solut dapat terikat
secara kuat sehingga dapat menyebabkan puncak yang berekor (tailing). Permukaan
silika adalah polar dan sedikit asam karena residu gugus silanol (Si-OH). Silika dapat
dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagen-reagen seperti klorosilan.
Silika yang dimodifikasi ini mempunyai karakteristik kromatografik dan selektifitas
yang berbeda jika dibandingkan dengan silika yang tidak dimodifikasi.
5. Prinsip pemisahan yang terjadi pada sistem HPLC ini adalah setiap campuran analit
akan terpisah berdasarkan kepolarannya, dan kecepatannya untuk sampai ke detektor
(waktu retensinya) akan berbeda, hal ini akan teramati pada spektrum dengan puncak-
puncaknya yang terpisah.

Anda mungkin juga menyukai