Anda di halaman 1dari 37

EPIDEMIOLOGI KEDOKTERAN

DIAGNOSIS
OLEH:
KELOMPOK II
PRESENTER KELOMPOK II

• Noviari Liara Justitia • Patrick Ananado Simanjuntak


• Emilia Dwi Pratiwi • Tazkia Solihaty Tsabitah
• Muhammad Jailani Alfajri • Tika Citra Ayu Lestari
• Indah Prasetya Putri • Wilson Tirta Chandra Panggabean
• Sugama T.K Ginting • Zihazia Leumita
• Natassha Bianca S • Yohana Simanjuntak
• Yesanopa Sianturi • Vina Andita Harahap
PENDAHULUAN

• Tes diagnostik → tes yang dilakukan di laboratorium, tetapi prinsip yang dibahas dalam
bab ini berlaku sama baiknya untuk informasi klinis yang diperoleh dari riwayat,
pemeriksaan fisik, dan prosedur pencitraan. mereka juga berlaku ketika konstelasi temuan
berfungsi sebagai tes diagnostik.
• Contoh : seseorang dokter berbicara tentang nilai gejala neurologis prodromal, sakit
kepala, mual, dan muntah dalam mendiagnosis migrain klasik; atau dari hemoptisis dan
penurunan berat badan pada perokok sigaret sebagai indikator kanker paru-paru.
MENYEDERHANAKAN DATA

• Lebih sering, data kompleks direduksi menjadi dikotomi sederhana (misalnya, ada / tidak ada,
abnormal / normal, atau sakit / sehat).
• Ini dilakukan terutama ketika hasil tes digunakan untuk membantu menentukan keputusan
pengobatan. Untuk hasil tes tertentu, keputusan terapi obat adalah salah satu / atau keputusan;
pengobatan dimulai atau ditunda
• Contoh :
• Data skala interval pengukuran tekanan darah di sederhanakan menjadi data dikotomi untuk terapi
(terapi dimulai jika TD > 140/90)
• Data tekanan darah dikelopmokkan menjadi skala ordinal (prehipertensi, Hipertensi Stage I, Stage 2)
AKURASI HASIL TES

• Menetapkan diagnosis adalah proses yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan


probabilitas daripada kepastian kebenaran diagnosis. Kepastian atau ketidakpastian
dokter tentang diagnosis telah diungkapkan dengan menggunakan istilah seperti
"menyingkirkan/rule out" atau "mungkin (possible)" sebelum diagnosis klinis. Sehingga
dokter banyak mengungkapkan kemungkinan penyakit pasien sebagai suatu probabilitas.
• Oleh karena itu, para klinisi harus terbiasa dengan hubungan matematis antara sifat-sifat
tes diagnosis dan informasi yang dihasilkannya dalam berbagai situasi klinis.
TABEL 1. HUBUNGAN ANTARA HASIL
TES DIAGNOSTIK DAN TERJADINYA
PENYAKIT.
PENYAKIT

Ada Tidak ada

Positif Benar Positif Palsu


Positif
(true positive) a b (false positive)
TES
Negatif Palsu c d Negatif Benar
Negatif
(false negative) (true negative)

Tabel 1. hubungan antara hasil tes diagnostik dan terjadinya penyakit.


Ada dua kemungkinan hasil tes benar (positif benar (true positive) dan negatif benar (true negative) dan
dua kemungkinan hasilnya salah (positif palsu (false positive) dan negatif palsu (false negative)
STANDAR BAKU EMAS
(GOLD STANDAR)
• Keakuratan tes dipertimbangkan dalam kaitannya dengan beberapa cara untuk
mengetahui apakah penyakit tersebut benar-benar ada atau tidak, indikasi yang lebih kuat
dari kebenaran yang sering disebut sebagai Gold Standar /standar baku emas (atau
kriteria standar atau referensi standar).
KURANGNYA INFORMASI PADA
HASIL TES NEGATIF
• Masalah ini dapat muncul dalam studi tes skrining karena individu dengan hasil tes
negatif biasanya tidak perlu menjalani tes lebih lanjut, terutama jika tes tersebut
melibatkan prosedur invasif seperti biopsi.
KURANGNYA INFORMASI
PADA HASIL TES TANPA PENYAKIT
• Masalah terkait adalah evaluasi kinerja tes bisa sangat menyesatkan jika tes diterapkan
hanya untuk pasien dengan kondisi atau keluhan. Hasil tes juga diperlukan untuk pasien
yang dianggap tidak memiliki kondisi tersebut.
KURANGNYA STANDAR OBYEKTIF UNTUK
PENYAKIT
• Untuk beberapa kondisi, tidak ada kriteria diagnosis yang tegas dan cepat. Manifestasi
klinis telah dijelaskan hampir seabad yang lalu, namun masih tidak ada cara yang lebih
baik untuk membuktikan adanya angina pektoris selain dari riwayat yang diambil secara
luas. Tentu saja, banyak fenomena yang dapat diukur secara obyektif terkait dengan
sindrom klinis ini.
• Misalnya, adanya stenosis arteri koroner pada angiografi, perfusi tertunda pada tes stres
talium, dan kelainan karakteristik pada elektrokardiogram baik saat istirahat maupun saat
berolahraga. Semuanya lebih sering ditemukan pada pasien yang diyakini menderita
angina pektoris. Tetapi tidak ada yang terlalu terkait erat dengan sindrom klinis sehingga
dapat berfungsi sebagai standar yang dengannya kondisi tersebut dianggap ada atau tidak
ada.
KONSEKUENSI DARI STANDAR YANG TIDAK
SEMPURNA
• Pada beberapa kondisi yang sulit, terkadang dokter pada prakteknya tidak mungkin memperoleh data dari standar
terpercaya dan harus memilih menggunakan tes lain yang tersedia walaupun tidak sempurna, sehingga akan
menimbulkan paradoks jika dibandingkan dengan standar pemeriksaan yang sudah lebih lama digunakan atau
standar pada konsensus
• Jika tes baru dibandingkan dengan tes standar lama (tapi tidak sempurna), hasil tes baru mungkin tampak lebih
buruk meskipun sebenarnya lebih baik. Misalnya, jika tes baru lebih sensitif daripada tes standar, pasien tambahan
yang diidentifikasi oleh tes baru akan dianggap positif palsu jika dikaitkan dengan tes lama.
• Demikian pula, jika tes baru lebih sering negatif pada pasien yang benar-benar tidak mengidap penyakit, hasil untuk
pasien tersebut akan dianggap negatif palsu dibandingkan dengan tes lama. Dengan demikian, pengujian baru tidak
lebih baik daripada pengujian standar baku emas yang telah ditetapkan, dan akan tampak lebih inferior dalam
meastikan diagnosis kecuali jika strategi khusus digunakan.
SENSITIFITAS DAN SPESIFISITAS

 Sensitifitas : proporsi orang yang menderita penyakit yang mempunyai hasil tes
positif pada penyakit tersebut. Suatu tes yang sensitif akan menemukan orang
yang menderita suatu penyakit. Semakin sensitive suatu pemeriksaan semakin
akuratlah orang tersebut benar-benar sakit.
 Spesifisitas : proporsi orang tanpa penyakit yang mempunyai hasil negatif. Suatu
tes yang spesifik akan jarang gagal mengklasifikasikan orang sebagai penderita
suatu penyakit apabila nyatanya orang tersebut memang tidak menderita penyakit
tersebut. Semakin spesifik suatu pemeriksaan maka semakin kuatlah orang itu
benar-benar tidak sakit.
• Contoh :
DVT
-34 dari 35 pasien yang menderita DVT
memiliki hasil D-dimer positif,
sensitifitasnya 97%
-450 orang yang tidak menderita DVT,
hasil D-dimer yang benar menunjukkan
hasil negatif berjumlah 282, sehingga
spesifisitasnya adalah 63%
KEGUNAAN SENSITIFITAS DAN SPESIFISITAS

• Sensitifitas adalah gambaran dimana suatu penyakit benar-benar positif dan benar adanya mengidap
penyakit tersebut.
• Digunakan bila memang dimana ada kemungkinan kesalahan diagnosis yang sangat penting/ krusial
• Tes diagnostic sensitifitas digunakan untuk “rule out” suatu hasil negative yang muncul padahal
pasien tersebut memang benar-benar mengidap penyakit tersebut
• Spesifitas, tes spesifik digunakan untuk “rule in” suatu diagnosis suatu tes positif yang muncul pada
pasien yang benar-benar mengidap penyakit
• Hal ini karena tes spesifik tingkat tinggi jarang sekali menunjukkan hasil “positif” pada tidak adanya
suatu penyakit
TRADE-OFF PADA SENSISTIFITAS DAN
SPESIFISITAS

Sangat penting jika Sayangnya hal ini


suatu tes diagnostic sangat tidak mungkin
memiliki tingkat ada, pasti saja ada
sensitifitas dan kekurangan mungkin
spesifitas yang di salah satu, atau
tinggi keduanya

Satu karakteristik nilai


Cutoff point : titik sensitifitasnya dapat
dimana merupakan meningkat nilainya
hubungan/ titik tnegah apabila terjadi
antara nilai normal perubahan dari nilai
dan abnormal spesifisitasnya,
maupun sebaliknya
MENETAPKAN SENSITIFITAS DAN
SPESIFISITAS
• Sensitifitas dan spesifisitas dapat dideskripsikan secara tidak
akurat dikarenakan pemilihan gold standard yang tidak sesuai
dengan penyakit tersebut
• Seleksi subjek yang sakit dan tidak sakit secara masif memberi
efek pada penentuan sensitifitas dan spesifisitas suatu tes
diagnostic ( cth: clinical trial, atau randomized control trial studi )
• Kejadian Bias pada suatu tes dapat dipengaruhi oleh spektrum
pasien (subjek)
MENETAPKAN SENSITIFITAS DAN
SPESIFISITAS
• Tidak jarang, sebuah tes diagnostik baru ketika pertama kali diperkenalkan diperkenalkan
sebagai tes diagnostik yang sangat baik, namun seiring berjalannya waktu dapat
ditemukan kekurangannya setelah lebih banyak digunakan

• Antusiasme awal yang diikuti dengan kekecewaan muncul bukan dari ketidakjujuran para
peneliti awal atau skeptisisme yang tidak adil dari komunitas medis di kemudian hari.
Sebaliknya, ini terkait dengan batasan dalam metode yang digunakan untuk menetapkan
sifat-sifat tes.
• Namun, dua masalah yang berkaitan dengan pemilihan pasien yang sakit dan tidak sakit
dapat sangat mempengaruhi penentuan sensitifitas dan spesifisitas juga. Serta terdapat
spektrum pada pasien yang akan diaplikasikan tes dan bias.
SPEKTRUM PASIEN

• Kesulitan mungkin muncul ketika pasien yang digunakan untuk menggambarkan tes
berbeda dari mereka yang akan diaplikasikan tes dalam praktek klinis.

• Laporan awal sering menilai nilai tes di antara orang-orang sakit dibandingkan dengan
orang yang tidak ada penyakit. Selain itu, pasien dengan penyakit yang sama, sering
berbeda dalam karakteristik seperti tingkat keparahan, usia, stadium, durasi penyakit,
dan sensitivitas tes akan cenderung lebih tinggi pada pasien yang terkena lebih parah.
• Dalam teori, sensitivitas dan spesifisitas suatu tes tidak tergantung pada prevalensi
individu yang sakit. Namun, dalam prakteknya, beberapa karakteristik pasien, mungkin
terkait dengan sensitivitas dan spesifisitas tes dan prevalensi, karena jenis pasien yang
berbeda ditemukan dalam situasi prevalensi tinggi dan rendah.
PREDICTIVE VALUE
• Sensitivitas dan spesifisitas adalah sifat dari suatu pengujian yang harus diperhitungkan
ketika memutuskan akan menggunakan suatu pengujian atau tidak. Namun begitu hasil
tes diagnostik tersedia, baik positif atau negatif, sensitivitas dan spesifisitas tes tidak lagi
relevan karena nilai-nilai ini diperoleh pada orang yang diketahui memiliki atau tidak
menderita penyakit tersebut.
DEFINISI PPV AND NPV

• Nilai prediksi positif dan negatif berhubungan langsung dengan prevalensi penyakit
dalam suatu populasi.Dengan asumsi semua faktor lain tetap konstan, PPV akan
meningkat dengan meningkatnya prevalensi; dan NPV menurun dengan peningkatan
prevalensi.
PENENTUAN DARI PREDIKSI VALUE
Perhitungan dengan menggunakan tabel 2X2.
Sensitivitas: a/(a+c)
Tes Baru / Gold Standar Test Total
Spesifisitas: d/(b+d) Tes Sakit Tidak Sakit
diagnostik

Positif a b a+b
Negatif c d c+d
Total a+c b+d N
Positive predictive value (PPV) atau nilai ramal positif Negative predictive value (NPV) atau nilai ramal negatif
(NRP). Adalah proporsi pasien yang tes nya positif dan betul (NRN). Adalah proporsi pasien yang tes nya negatif dan
menderita sakit. Dengan kata lain “Jika tes seseorang positif, betul-betul tidak menderita sakit. Bisa juga dikatakan “Jika
berapa probabilitas dia betul-betul menderita penyakit?” tes seseorang negatif, berapa probabilitas dia betul-betul
tidak menderita penyakit?”
• Secara Garis besar, prevalensi lebih berguna
dalam menentukan predictive value
dibandignkan sensitivitas dan spesifisitas
• Contoh : pertimbangkan perbedaan prevalensi
liver disease pada orang dewasa yaung sehat
yang tidak menggunakan obat-obatan, tidak
melakukan hubungan seks pranikah, dan hanya
mengkonsumsi alkohol sesekali berbanding
pengguna narkoba suntikan yang mengalami
PPV MENURUT ikterus yang memiliki banyak pasangan seks.
SENSITIVITAS,
SPESIFISITAS DAN • Sebaliknya, sensitivitas dan spesifisitas tes
PREVALENSI diagnostik bervariasi dalam rentang yang jauh
PENYAKIT lebih sempit, dari sekitar 50% hingga 99%
MENENTUKAN PREVALENCE

• Prevalensi – penentu tentang seberapa berguna suatu tes diagnostic


• Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan penyakit sebelum melakukan tes diagnostic

Bagaimana seorang dokter memperkirakan prevalensi


atau probabilitas ?

Dengan observasi klinis dan pengalaman untuk


memperkirakan probabilitas penyakit

TIDAK AKURAT

Medical Literature adalah sumber akurat untuk memperkirakan prevalensi dibandingkan hanya penilaian implisit
• Mempertimbangkan hubungan antara predictive value dari test dengan prevalensi, jelas
menguntungkan bagi dokter untuk melalukan tes diagnostik pada pasien dengan
kemungkinan lebih besar dengan kemungkinan diagnosa tersebut
• Test diagnostic membantu ketika kehadiran penyakit sangat mungkin atau sangat tidak
mungkin
MENINGKATKAN KEMUNGKINAN DIAGNOSE SUATU
PENYAKIT SEBELUM MELALUKAN TES DIAGNOSTIK

• Referral Process (Proses rujukan)


• Penggunaan tes diagnostic lebih agresif dilakukan di rs rujukan dibandingkan dengan Klinik
primer

• Group Demografi terpilih


• Menerapkan tes diagnostic pada kelompok risiko tinggi

• Situasi Klinis Spesifik


• Berdasarkan gejala, tanda dan factor risiko
LIKELIHOOD RATIO

• Adalah cara alternatif menggambarkan performance suatu tes diagnostik.


• Keuntungan utama dari rasio kemungkinan ini adalah mereka dapat digunakan dalam berbagai
tingkat hasil tes.
• Probabilitas dari hasil uji dengan adanya penyakit, dibagi dengan

probabilitas hasil uji pada orang orang yang tidak sakit


• Menunjukkan besar-kecilnya kecendrungan hasil uji pada orang sakit disbanding pada pada orang
tidak sakit.
• POSITIVE LIKELIHOOD RATIO (LR+)
Menunjukkan:
LR (+) = Kemungkinan uji positif pada orang yang sakit = A / (A+C)
Kemungkinan uji positif pada orang yang sehat B / (B+D)
• Negative LIKELIHOOD RATIO (LR-)
Menunjukkan:
LR (-) = Kemungkinan uji negatif pada orang yang sakit = C / (A+C)
Kemungkinan uji negatif pada orang yang sehat D / (B+D)
INTERPRETASI LIKELIHOOD RATIO

Interpretasi dari Likelihood Ratio menunjukkan kemungkinan perubahan dari pre-test


probability ke post-test probability.
• >10 or < 0.1 : menunjukkan perubahan besar
• 5-10 and 0.1-0.2: menunjukkan perubahan sedang
• 2-5 and 0.5-0.2 : menunjukkan perubahan kecil
• 1-2 and 0.5-1 : menunjukkan perubahan sedikit atau tidak ada
Kemampuan sebuah test valid jika :
dapat mengubah pengetahuan kita dari sebelum tes dilakukan menjadi
pendapat setelah tes dilakukan.
(Pretest Probability)  (Posttest Probability)

Uji Diagnostik lebih bermakna jika dari pretest probability ke posttest


probability menghasilkan perubahan yang besar/ Big Changes.
Contoh

Penyakit
NPC Non NPC Jumlah
Hasil uji
Positif 70 25 95
Biopsi
Negatif 30 75 105
Jumlah 100 100 200

Sensitivitas = A : (A+C) = 70 : 100 = 70%

Spesifisitas = D : (B+D) = 75 : 100 = 75%

Uji diagnostik terbaik


 Uji diagnostik yg mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yg tertinggi
Contoh

Penyakit
NPC Non NPC Jumlah
Hasil uji
Positif 40 5 45
Biopsi
Negatif 10 95 105
Jumlah 50 100 150

LR+: LR-: PRE-TEST


SENSITIVITY: SPESIFICITY: PROBABILITY
SENS/ (1-SENS)
A/(A+C) D/(B+D) = PREVALENCE:
(1-SPEC) /SPEC
(A+C ) / (A+B+C+D)

(40/50)X100% 1-(40/50)
(95/100)X100% (40/50) 50/150
/(95/100)
/(1-95/100)
= 80%
=95% =16 = 33,33%
=0,21
PRE TEST ODDS = POST-TEST PROBABILITY=
POST TEST ODDS =
PREVALENCE: POST TEST ODDS:
PRE TEST ODDS X LR+
(1-PREVALENCE) (1+POST TEST ODDS)

0,5 X 16 8 : (1+8)
(50/150) : (1-50/150)
= 0.88
=8 = 88%
= 0,5

Pre test probability Post test probability


33.3% 88%

 Uji Diagnostik yang menghasilkan “big changes” dari pretest ke posttest


probability adalah hal yang penting dan berguna dalam kegiatan klinis

Anda mungkin juga menyukai