Anda di halaman 1dari 16

DASAR-DASAR AKIDAH

AHLUSSUNNAH WAL-JAMA'AH
• Pokok-pokok keyakinan yang berkaitan dengan
tauhid dan lain-lain menurut Ahlussunnah Wal-
Jama'ah harus dilandasi oleh dalil dan argumentasi
yang definitif (qath'i) dari al-Qur'an, hadits, ijma'
ulama dan argumentasi akal yang sehat.
• Para ulama yang menulis karangan-karangan dalam
membantah aliran-aliran ahli bid'ah dan kelompok-
kelompok yang menyimpang selalu didasarkan
pada dalil-dalil tersebut secara hirarkis.
• Dalam konteks ini al-Imam al-Ghazali mengatakan:

‫اهلل َت َعالَى ِم َن‬ ِ ‫ات‬ ِ ‫س ُكو َن أ ََّوالً بِآي‬


َ َّ
ْ َ ََ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ِ
‫م‬ ‫ل‬
ْ ِ
‫ْع‬‫ل‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ه‬ ‫ي‬ ِ
َ ْ ‫َوأ َْه ُل النَّظَ ِر ف‬
‫الدالَئِ ِل ال َْع ْقلِيَّ ِة َوالَْب َر ِاه ْي ِن‬
َّ ِ‫ ثُ َّم ب‬، ‫الر ُس ْوِل‬ ِ
‫ر‬ ‫ا‬
َّ َ ْ َّ ‫ب‬ ‫خ‬َ‫أ‬ِ
‫ب‬ ‫م‬ُ‫ث‬ ، ِ
‫آن‬ ‫اْل ُق ْر‬
.‫اسيَّ ِة‬
ِ ‫ال ِْقي‬
َ
“Ahli nazhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama
kali berpegangan dengan ayat-ayat al-Qur'an,
kemudian dengan hadits-hadits Rasul  dan
terakhir dengan dalil-dalil rasional dan
argumentasi-argumentasi analogis
DALIL-DALILNYA SECARA HIRARKIS
Hadits
• Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-
akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan akidah.
• Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya
disepakati dapat dipercaya oleh para ulama.
• Sedangkan hadits yang perawinya masih
diperselisihkan oleh para ulama, tidak
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
akidah sebagaimana kesepakatan para
ulama ahli hadits dan fuqaha yang
menyucikan Allah dari menyerupai
makhluk.
• Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur
yang dha'if, meskipun diperkuat dengan perawi yang lain.
Dalam konteks ini al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan dalam
Fath al-Bari:
،‫اج اِلَى تَأْ ِويْ ٍل‬ ‫ت‬‫ح‬
ُ َ ْ ََ‫ي‬‫و‬ ‫ب‬ِّ ‫الر‬
َّ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ِ
‫إ‬ ِ
‫ه‬ ِ
‫ت‬ ‫ب‬
َْ‫س‬ِ
‫ن‬ ِ
‫ق‬ ‫ال‬
َ ‫ط‬
ْ ِ
‫إ‬ ‫ي‬
ْ
ِ
‫ف‬ ‫ف‬ُ َّ
‫ق‬ ‫و‬ ‫ت‬
َ َُ‫ي‬ ‫ا‬‫م‬َّ ِ‫ت‬
‫م‬ ِ ‫الص ْو‬
َّ ‫ظ‬ ُ ‫لَ ْف‬
.‫ت اهـ‬ ‫د‬ ِ
‫ض‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫ف‬ ٍ ‫ل‬‫ت‬ ‫خ‬ ‫م‬ ٍ
‫يق‬‫ر‬ِ ‫ط‬ ‫ن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ ُْ َ َ ْ َ َ َْ ُ َ ْ ْ َ ُ ْ َ ْ ْ ‫فَالَ يَ ْك‬
‫م‬ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫د‬ ‫ْح‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫ء‬ ‫ي‬ ‫ج‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ي‬ ‫ف‬
“Kata "suara" yang terdapat dalam redaksi hadits, tidak
dapat dinisbahkan kepada Tuhan, dan butuh untuk
dita'wil. Jadi dalam masalah akidah ini tidak cukup
didasarkan pada hadits yang datang dari jalur yang
diperselisihkan, meskipun diperkuat oleh jalur yang lain”.
• Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi mengatakan
dalam kitabnya al-Faqih wa al-Mutafaqqih:

‫ث النَّبَ ِويَِّة ال َْم ْرُف ْو َع ِة‬ ِ ‫ِهلل بَِقوِل صحابِ ٍّي اَو تَابِ ِع ٍّي إِالَّ بِما ص َّح ِمن اْالَح‬
ِ ْ‫ادي‬ ِ ُ‫الص َفة‬ ِّ ‫ت‬ ُ ُ‫الَ َتثْب‬
َ َ َ َ ْ ََ ْ
‫ف ِف ْي َت ْوثِْي ِق ُرَواتِِه َحتَّى لَ ْو َوَر َد‬ ِ َ‫ف والَ بِالْم ْخَتل‬
ُ َ
ِ ‫الض ِع ْي‬
َّ ِ‫ فَالَ يُ ْحتَ ُّج ب‬،‫الْمَّت َف ِق َعلَى َت ْوثِْي ِق رواتِ َها‬
َُ ُ
.‫ض ُدهُ فَالَ يُ ْحتَ ُّج بِ ِه‬
ِ ‫ث آ َخر ي ْع‬
َُ ٌ ‫ي‬ ِ ‫ف ِفي ِه وجاء ح‬
‫د‬
ْ َ َ ََ ْ ٌ ‫ل‬
َ ‫خ‬ْ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫ي‬ِ
َ ُ ْ ‫إِ ْسنَا ٌد ف‬
‫ت‬
“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang
sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan
berdasarkan hadits-hadits Nabi  yang marfu', yang perawinya
disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang
perawinya diperselesihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam
masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu
ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah”.
• Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam
kitabnya al-Asma' wa al-Shifat dari al-Hafizh
Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa sifat Allah
itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan
nash al-Qur'an atau hadits yang dipastikan
keshahihannya.
• Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu
hadits yang mencapai peringkat tertinggi dalam
keshahihan.
• Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan
oleh sekelompok orang yang banyak dan
berdasarkan penyaksian mereka serta sampai
kepada penerima hadits tersebut, baik penerima
kedua maupun ketiga, melalui jalur kelompok yang
banyak pula.
• Hadits yang semacam ini tidak memberikan
peluang terjadinya kebohongan.
• Di bawah hadits mutawatir, ada hadits mustafidh
atau hadits masyhur, dan ada lagi hadits yang di
bawahnya masyhur.
• Hadits mustafidh atau masyhur dapat dijadikan
argumentasi dalam menetapkan akidah karena
dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana
halnya hadits mutawatir.
• Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga
generasi selanjutnya.
IJMA' ULAMA
• Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq
dapat dijadikan argumentasi dalam
menetapkan akidah.
• Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi
penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim
(tidak ada permulaannya) adalah ijma' ulama
yang qath'i.
• Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata dalam
kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:

،‫ث‬ٌ ‫اد‬ ِ ‫ث فَِإذًا الْعالَم ُكلُّهُ ح‬ ‫و‬ ‫د‬‫ْح‬‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ِّ


‫ل‬ ‫ك‬ ِ
‫اض‬ ‫ر‬ َ ِ ِ َّ ِ
َ ُ َ ُ ُْ ُ َ ُ َْ َ َ َ َ ُ ْ ْ ‫ا‬
‫ع‬ ‫أل‬ْ‫ا‬‫و‬ ‫ر‬ ‫اه‬ ‫و‬ ‫ْج‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫م‬‫ك‬ْ ‫ح‬ ‫َن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬
‫ف ِف ْي َه َذا َف ُه َو َك ِاف ٌر‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬‫خ‬
َ َ ْ ََ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫ل‬ ِ ‫ل‬
َ ِ
‫ْم‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ك‬
ُ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ِ
‫م‬ ِ
ِّ ْ َ َ ْ ‫َو َعلَى َه َذا إِ ْج َماعُ ال ُْم ْسل‬
‫اع الْ َقط ِْع َّي اهـ‬ ‫م‬ ‫ج‬ ِ
‫إل‬ ‫ا‬
ْ ِ
‫ه‬ ِ
‫ت‬ ‫ف‬
َ ‫ل‬
َ ‫ا‬‫خ‬َ ‫م‬ ِ‫ل‬
َ َْ ُ
• “Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh
(aksiden) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-
unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma'
kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut agama-
agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi
kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah
menyalahi ijma' yang qath'I”.
AKAL
• Dalam ayat-ayat al-Qur'an Allah  telah mendorong
hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang
ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar
pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah.
Dalam konteks ini Allah berfirman:
‫ض‬ ِ ‫السماو‬
ِ ‫ات َواأْل َ ْر‬ َّ ِ ‫أَولَم ي ْنظُروا فِي ملَ ُك‬
‫وت‬
ََ َ ُ َْ َ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan
langit dan bumi.” (QS. al-A'raf : 185).
• Allah  juga berfirman:

• ‫ْح ُّق‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬َّ
‫ن‬ َ
‫أ‬ ‫م‬‫ه‬َ‫ل‬ ‫ن‬ ‫ي‬
َّ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫َّى‬
‫ت‬ ‫ح‬ ‫م‬‫ه‬ِ ِ
‫س‬ ‫ف‬
ُ ‫ن‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫و‬ ِ
‫اق‬‫ف‬
َ ‫آْل‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫ا‬‫ن‬ِ
َ‫ َسنُ ِري ِه ْم آيَات‬
َ ُ ْ ُ َ ََ َ َ ْ َ
• “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas
bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar”.
(QS. Fushshilat: 53).
• Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat
Nabi , para Malaikat dan lain-lain, para ulama
tauhid hanya bersandar pada penalaran akal
semata.
• Mereka membicarakan hal tersebut dalam
konteks membuktikan kebenaran semua yang
disampaikan oleh Nabi  dengan akal.
• Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan
sebagai sarana yang dapat membuktikan
kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam
menetapkan akidah-akidah dalam agama.
• Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat
tidak akan keluar dan bertentangan dengan
ajaran yang dibawa oleh syara'.

Anda mungkin juga menyukai