ARSITEKTUR
Perkiraan tampak gedung persenjataan Daendels Gedung persenjataan yang sudah dihancurkan
dan dijadikan Jembatan Merah Plaza
Prinsip Konservasi
Sebelum melakukan konservasi, perlu ada pemahaman mengenai prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam
mengkonservasi suatu cagar budaya.
1. Minimum Intervention
Meminimalisir intervensi terhadap bangunan agar tetap mempertahankan keasliannya. Prinsip ini menjadi praktek
konservasi di dunia dimulai oleh the Society for the Preservation of Ancient Buildings Manifesto di tahun 1877.
2. Reversible
Setelah dilakukan intervensi, intervensi tersebut harus bisa dilepas (dibongkar) menjadi bentuk semula kembali,
tanpa merusak kondisi asli dari bangunan tersebut.
3. Recognizable as new
Setelah tahap intervensi, bangunan yang dikonservasi tersebut haruslah memiliki elemen yang sama dengan
bangunan sebelumnya. Elemen yang dimaksud adalah elemen unik yang menjadi ciri khas dari bangunan tersebut.
Sehingga bangunan tersebut tetap merupakan cagar budaya yang memiliki nilai historis namun seperti baru. Contohnya
seperti Candi Borobudur yang beberapa batu yang lama dan rusak diganti dengan yang baru.
Prinsip-prinsip diatas merupakan prinsip yang tercantum dalam piagam-piagam internasional seperti Athens
Charter, Venice Charter dan Burra Charter pada tahun 1931.
Namun, adapula bangunan-bangunan cagar budaya yang telah mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke
waktu. Saat ingin dikonservasi, perlu dipertimbangkan bangunan ini ingin dibawa ke periode mana dan dengan tampak
seperti apa. Pada tahun 1877, William Morris selaku tokoh utama dari Society for the Preservation of Ancient Buildings
(SPAB) melahirkan istilah “conserved as found” yang artinya adalah bangunan tersebut dikonservasi layaknya saat
bangunan tersebut pertama kali ditemukan/dibangun. Istilah ini kemudian menjadi prinsip konservasi pada zaman itu.
Hingga tahun 1990-an, konservasi masih tetap berfokus pada objek yang ada (conserved as found). Namun, mulai
ada pemikiran baru yang berusaha mempertahankan nilai subjek juga. Istilah conserved as found berangsur-angsur
berubah menjadi “manage change”. Nilai subjek yang diangkat berupa value budaya yang juga ikut dipertahankan.
Lahirlah istilah “the action taken to prevent decay and manage change dynamically”, sehingga konservasi bukan hanya
objek namun subjek pula.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip ini sangat penting kita pahami terlebih dahulu sebelum mendalami konservasi pada
bangunan De Javasche Bank, Surabaya.
De Javasche Bank, Surabaya
De Javasche Bank, Surabaya dibangun pada tanggal 14 September 1829 melalui persetujuan komisaris Jendral
Hindia Belanda. De Javasche Bank mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1910, gedung ini
dirobohkan dan diganti dengan gedung baru yang bergaya Neo Renaissance oleh Cuypers.
Pada tahun 1945, bangunan ini resmi menjadi milik Indonesia setelah Indonesia merdeka, namun bangunan ini
tidak difungsikan hingga tahun 1946 saat sekutu Belanda menguasai kembali Surabaya. Lalu pada tahun 1953, bank ini
resmi kembali menjadi milik Indonesia dan mengganti nama De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Terakhir pada
tahun 1973, bangunan ini mengalami renovasi kembali dan dipindah lokasi ke gedung baru di Jl. Pahlawan, Surabaya.
Kondisi De Javasche Bank
Untuk kondisi asli (original state) De Javasche Bank perlu dipertahankan agar saat intervensi dilakukan, identitas
dari bangunan tersebut tidak hilang. Perubahan terbesar yang pernah dilakukan terhadap De Javasche Bank adalah pada
tahun 1910 dimana bangunan yang telah berdiri sejak 1829 dihancurkan total dan diganti dengan bangunan yang baru
(Neo Renaissance). Setelah tahun 1910, modifikasi terhadap De Javasche Bank tidak begitu banyak dan mencolok.
Selama periode 1946 - 1973, bangunan ini pun berpindah lokasi dan ada tambahan bangunan sebagai perluasan fungsi.
Akibatnya, struktur yang mengandung tulangan besi mengalami proses korosi, sehingga terjadi pembesaran volume
karat mencapai hingga enam kali lipat dari kondisi semula. Hal tersebut akan menyebabkan retak pada beton atau
plesteran, dan menyebabkan lepasnya selimut beton. Struktur bangunan utama dan tambahan merupakan bangunan tua
yang belum memperhitungkan faktor pembebanan gempa pada saat pembangunannya, sehingga perlu analisa
menyeluruh terhadap struktur penahan beban gempa dengan mempertimbangkan beban peruntukan bangunan.
Diperlukan juga perawatan yang canggih untuk mempertahankan struktur bangunan ini.
Dalam proses konservasi, perlu dibuat terlebih dahulu gambar-gambar pendukung serta dokumentasi-dokumentasi
dari elemen-elemen dalam gedung. Tapak gedung dan data arsitektural lainnya perlu dikumpulkan terlebih dahulu dan
dipelajari. Metode ini disebut dengan whole model photo yaitu mendokumentasikan setiap sisi bangunan beserta elemen
tambahannya.
Selain itu, karena bangunan tidak memiliki gambar teknis, maka diperlukan pengukuran secara langsung.
Pengukuran menggunakan sistem grid agar memudahkan perhitungan luasan menggunakan alat bantu laser. Kemudian,
bangunan diaplikasikan ke software 3D untuk diteliti lebih lanjut. Proses 3D ini melalui sistem BIM (Building Information
Modelling).
Pada proses konservasi De Javasche Bank, diaplikasikan 3 prinsip konservasi, yaitu
a) Mempertahankan
Yang dipertahankan adalah elemen arsitektural dari De Javasche Bank seperti pintu, jendela, kaca dan elemen
lainnya. Ukiran-ukiran, cornice, dentil dan teralis besi pada jendela juga dipertahankan agar tidak menghilangkan ciri khas
dari bangunan tersebut.
b) Menghilangkan
Ada beberapa elemen yang dihilangkan yaitu penutup jendela triplek dan penutup pintu dari fiber glass.
c) Mengembalikan
Tampilan kusen dan daun jendela dari lapisan cat menjadi lapisan pelitur. Adapula jendela domer yang diubah ke
bentuk semula yaitu ke bentuk empat persegi; (c) tulisan Javasche Bank pada parapet bangunan dengan menghilangkan
cat/unsur yang menutup tulisan tersebut.
Intervensi juga dilakukan terhadap denah bangunan. Menurut pedoman intervensi, ada beberapa bagian yang
diintervensi pada De Javasche Bank.
a) Mempertahankan
Mempertahankan sebisa mungkin tatanan ruang yang telah ada. Diusahakan agar tidak ada perombakan denah
sehingga proses intervensi dapat menghasilkan damage sekecil mungkin. Begitu pula dengan posisi-posisi elemen
bangunan seperti tangga putar, lantai dll.
b) Menghilangkan
Lantai tambahan di sisi Selatan, ruang direksi dan beberapa tangga. Tangga-tangga ini dihilangkan lantaran
fungsinya yang sudah berganti menjadi museum dan bukan lagi bank atau kantor.
c) Mengembalikan
Mengembalikan kondisi lantai ke bentuk dan pola semula dengan tegel baru yang relatif sama.
Dari segi struktur, dilakukan analisa kekuatan dengan program ETABS. Untuk dinding, tegangan tekan terbesar
masih dalam batas toleransi yang dapat diterima oleh dinding bata pemikul untuk dapat menahan beban rencana yang
mungkin terjadi, sehingga untuk menahan beban gravitasi tidak diperlukan tindakan perkuatan. Namun, untuk balok
menunjukkan tulangan lentur yang sangat sedikit, hanya ada dua tulangan yang terpasang, maka perlu tindakan
perkuatan. Untuk kolom, jumlah tulangan yang ada pada tiap kolom sekitar 8-12 tulangan dengan jarak sengkang antara
200-400 mm yang belum dapat menahan beban rencana dengan aman, maka perlu tindakan perkuatan kolom. Perkuatan
balok dan kolom tidak dengan menambahkan besi baja dan penebalan, tetapi dengan metode perbaikan menggunakan
fiberwrap. Intervensi dilakukan bukan untuk mengganti struktur yang ada, namun hanya melapisi sehingga bisa lebih kuat.
Kondisi terkini dari De Javasche Bank sudah semakin membaik. Pada tahun 2019, saya sendiri mengunjungi De
Javasche Bank dalam rangka tugas.
Kondisi struktur bangunan diperkuat Kaca patri yang dirawat dengan ekstra.
dengan struktur baja pada bagian atap. Menggunakan cairan pembersih asli
dari Belanda.