Anda di halaman 1dari 10

Inisiasi Tuton ke – 3

Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi


Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : HISIP
Penulis : Elizabeth Ghozali
Email : ibethghoz@gmail.com
Penelaah : Dewi Mutiara
Emai : Dewim@ecampus.ut.ac.id
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

 Pengertian Sifat Melawan Hukum


 Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan,
melawan; recht: hukum.
 Menurut ahli:
 Simon: melawan hukum bertentangan dengan hukum pada umumnya.
 Pompe: melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih
luas, bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
 Hoge raad: dari arees-arrest nya dapat disimpulkan, menurut HR, melawan hukum adalah
tanpa hak atau tanpa kewenangan (Arrest 18-12-1911 W 9263).
 Untuk menentukan apakah suatu oerbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum
diperlukan unsur-unsur:
1) Perbuatan tersebut melawan hukum
2) Harus ada kesalahan pada pelaku
3) Harus ada keinginan.

  Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawam hukum bukan hanya
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas
keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya:
faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat
untung.
 Jenis Ajaran Sifat Melawan Hukum

1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal (FORMEELE


WEDERRECHTELIJKEHEIDBEGRIP)

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal (MATERIELE


WEDERRECHTELIJKEHEIDBEGRIP)
Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
 Perbuatan Itu Bertentangan Dengan Uu
 Sekaligus Bertentangan Dengan Norma Umum / Hukum Tidak
Tertulis
 Hapusnya Sifat Melawan Hukum Berdasarkan undang-undang da
Aturan Tidak Tertulis

Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil


 Perbuatan Itu Diancam Pidana
 Perbuatan Itu Sesuai Dengan Rumusan Delik (Tindak Pidana) Dalam
undang-undang
 Melawan Hukum = Melawan undang-undang
 Bertentangan Dengan Hukum Positif (Tertulis)
 Sifat Melawan Hukumnya Dapat Dihapus Hanya Dengan undang-undang
 Sifat Melawan Hukum dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan
fungsinya yang positif.
o Ajaran Sifat Melawan Hukum dalam fungsinya yang Positif : Norma-norma Tidak Tertulis Dapat
Digunakan Untuk Menetapkan Suatu Perbuatan Sebagai Tindak Pidana

o Ajaran Sifat Melawan Hukum dalam fungsinya yang Negatif : Norma-norma Di Luar undang-
undang Dapat Digunakan Untuk Menghapuskan Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan, Yang
Memenuhi Rumusan undang-undang.
 Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam
Tindak Pidana Korupsi
SMH Formal: perbuatan telah memenuhi semua bagian
yang tertulis dalam rumusan delik.

Dari sifat/hakekat perbuatan


terlarang dalam UU (perumusan
delik tertentu) SMH Materiel: perbuatannya melanggar/membahayakan
“kepentingan hukum” yang dilindungi oleh pembentuk
UU dalam rumusan delik tertentu.
2 pandangan
melihat makna
“materiel”
SMH Formal: bertentangan dengan UU / kepentingan
hukum yang disebut dalam UU / sumber hukum formal 
Hukum = UU (wet)  SMH formal = onwetmatige daad

Dari sudut hukum (yang dilihat


SMH Materiel: bertentangan dengan hukum tidak tertulis/
sumber hukumnya)
hukum yang hidup (unwritten law / the living law).
Hukum tidak dimaknai secara formal sebagai wet, tetapi
dimaknai secara materiel sebagai recht  SMH Materiel
onrechtmatige daad

Dalam fungsinya Dalam fungsinya


yang negatif yang positif
SMH dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK) :
1. Penjelasan Umum UU PTPK
2. Penjelasan Pasal 2 ayat (1)

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK) menganut:


1. Ajaran SMH Formil dan Materiel (dalam fungsi positif maupun negatif).
2. Kriteria SMH Materiel untuk perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan ialah
perbuatan tersebut dipandang sebagai “perbuatan tercela”, karena:
a. Tidak sesuai dengan rasa keadilan atau:
b. Tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
3. Tergolong dalam kategori pandangan kedua tentang SMH Materiel, khususnya SMH Materiel yang
luas tetapi terbatas.
4. Dilihat dari latar belakang historis, sosiologis, substansial dan ide dasar yang tertuang dalam
Penjelasan UU No: 31 tahun 1999, SMH Materiel tidak hanya tertuju tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 tetapi juga Pasal 3.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI

 Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas.


 Di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana terjadi di luar
KUH Pidana.
 KUH Pidana masih menganut subjek tindak pidana berupa “orang (Pasal 59 KUHP)
 Subjek tindak pidana korporasi dapat ditemukan dalam:
o UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Pasal 1 angka 13).
o UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Pasal 1 angka 21).
o UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (Pasal 1 angka 10).
o UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Pasal 1 angka 1).
 Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, pada intinya mengatakan
Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan, yang terorganisasi dengan baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
 Apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi (Pasal 20 ayat (2)), sehingga terhadap
korporasi dilakukan tuntutan pidana, maka korporasi diwakili oleh pengurusnya (Pasal 20 ayat
(3)).
 Pasal 20 ayat (4) menyatakan bahwa pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

 Pada pemidanaan korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda dengan
sistem pemberatan, yakni ketemtuan maksimum pidana ditambah 1/3 (Pasal 20 ayat (7)).

Anda mungkin juga menyukai