Anda di halaman 1dari 12

JUDUL

Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M.


1. OVERVIEW PLTA

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah pembangkit listrik yang mengubah energi potensial
dan energi kinetik air untuk menghasilkan energi listrik

Melihat dari segi potensi, Indonesia memiliki potensi tenaga air sebesar 75.000 MW. Pada tahun
2019, kapasitas terpasang dari PLTA adalah sebesar 5.886 MW atau hanya 7.8%.

Permen ESDM 53/2018 mengartikan PLTA sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga
dari aliran/terjunan air, waduk/bendungan, atau saluran irigasi yang pembangunannya bersifat
multiguna. 

Permen PUPR RI Nomor 09/PRT/M/2016 memberikan klasifikasi terhadap PLTA yang terdiri dari
PLTA, PLTM, dan PLTMH
1. OVERVIEW PLTA

Pemerintah jika merujuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyediaan Listrik
mewajibkan PT Perusahaan Listrik Negara (“PT. PLN”) untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh
pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan (“Pembangkit Listrik”), sebagaimana
dijabarkan dalam tabel berikut:
1. OVERVIEW PLTA

Secara umum, pembangunan PLTA dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 


a. Pembangunan sampai dengan 150 MW per unit wajib dilaksanakan dan
dipimpin oleh perusahaan nasional; dan
b. Pembangunan lebih dari 150 MW per unit dilaksanakan dengan ketentuan: 
Dapat dilaksanakan oleh perusahaan nasional bekerjasama dalam bentuk
konsorsium dengan perusahaan asing dan pembagian lingkup pekerjaan yang
jelas dan proporsional yang penyelesaiannya tetap menjadi kewajiban
pemimpin kerjasama; atau 
Dalam hal perusahaan nasional belum mampu, pembangunan dapat
dilaksanakan oleh perusahaan asing dan wajib bekerjasama dalam bentuk
konsorsium dengan perusahaan nasional dengan pembagian lingkup pekerjaan
yang jelas dan proporsional yang penyelesaiannya tetap menjadi kewajiban
pemimpin kerjasama.
2. DASAR HUKUM PENGADAAN LISTRIK MELALUI
PLTA

Produk Hukum Pasal yang Mengatur


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 (2) dan 33 (3)
Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Pasal 3 (1), 3 (2), dan 4 (1)
Ketenagalistrikan jo. UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 jo. Pasal 12 (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Permen ESDM 50 2017 jo. Permen ESDM 4 2020 Pasal 4 (1), 4 (1a), 4 (1b), 4 (1c), 4 (2), 4 (3), 4 (4), 4
Tentang pemanfaatan EBT untuk penyediaan listrik (5), 7 (4), 7 (5), 7 (6), 7 (7), dan 23 (2)
2. DASAR HUKUM PENGADAAN LISTRIK MELALUI
PLTA
PERMEN ESDM 3 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBELIAN TENAGA
LISTRIK DARI PLTU, PLTG, PLTA OLEH PLN MELALUI PEMILIHAN
LANGSUNG DAN PENUNJUKAN LANGSUNG (TIDAK BERLAKU)
Perbandingan Harga dari keempat dasar hukum
50/2017 +
Pembeda 3/2015 12/2017
4/2020
PERMEN ESDM 19 2017 TENTANG PEMANFAATAN BATUBARA
Cara beli - Harga patokan atau Pemilihan
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK pemilihan langsung langsung atau
dengan skema BOOT penunjukan
langsung
Harga beli Sesuai BPP di atas rerata BPP di atas rerata
ketentuan nasional: max 85% nasional: sesuai
PERMEN ESDM 12 2017 DIUBAH DENGAN PERMEN ESDM 43 lampiran BPP setempat BPP setempat
2017 TENTANG PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK (TIDAK BERLAKU) BPP sama/ di bawah BPP (di Jawa, Bali,
rerata nasional: sama Sumatra) sama/
dengan BPP setempat di bawah rerata
nasional:
persetujuan

PERMEN ESDM 50 2017 DIUBAH DENGAN PERMEN ESDM 4 2020


TENTANG PEMANFAATAN EBT UNTUK PENYEDIAAN LISTRIK
3. PERIZINAN PLTA
4. EPCC PLTA
5. LEGAL GAP

Pada 50/2017 sebagaimana diubah oleh 4/2020, ada kemungkinan


untuk negosiasi karena para pihak boleh memiliki kesepakatan BPP.
Kemungkinan ini akan menimbulkan ketidakpastian termasuk bagi PLN
sendiri sebab apabila PLN membeli listrik yang bahkan hanya lebih
mahal 5-10 rupiah saja, ini dapat menimbulkan kerugian keuangan
bagi Negara.
6. PELANGGARAN DAN SANKSI

 Apabila harga beli pada perjanjian pengadaan listrik melalui PLTA tidak sesuai dengan peraturan yang ada, maka perjanjian

tersebut adalah batal demi hukum (null and void), dan dianggap tidak pernah ada. Hal ini dikarenakan syarat objektif perjanjian,

yaitu sebab yang tidak terlarang, tidaklah terpenuhi. Dalam aturan yang berlaku saat ini, tidak ada sanksi lebih lanjut apabila

perjanjian pengadaan listrik melalui PLTA tidak sesuai dengan peraturan yang ada.  

 Pasal 3 UU Korupsi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). ”
7. STUDI KASUS
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai