Anda di halaman 1dari 34

Digital Culture &

Society
Dr. Muhamad Isnaini
Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Bunda Mulia
Pertemuan 3/Innovation

1. Defining Innovation (and disruption)


2. Innovation Gap
3. Innovation Process
4. Determinant of Innovation
5. Culture of Innovation
1/
1. Start up
2. Netflix
3. Tesla
4. QR code
5. IoT
6. E-Gov
7. More
2/
Compare
1. Nokia phone
2. Compaq
3. Blockbuster
4. Arqadia
5. PDA
6. Etc
3/
This:
1. Diameter disk drive menyusut dari semula 14 inci menjadi 8
inci, kemudian menjadi 5,25 inci, dan akhirnya menjadi 3,5
inci. Masing-masing arsitektur baru ini awalnya menawarkan
pasar kapasitas penyimpanan yang jauh lebih sedikit
daripada yang dibutuhkan pengguna
2. Transisi Intel dari chip memori akses acak dinamis (DRAM)
ke mikroprosesor. Bisnis mikroprosesor awal Intel memiliki
margin kotor yang lebih tinggi daripada bisnis DRAM-nya.
3. Konteks Indonesia >>>>> Raise up
4/
1. Dalam karya klasiknya, Schumpeter menjelaskan bahwa
inovasi merupakan dimensi kritis dari perubahan ekonomi.
Perubahan ekonomi berkisar pada inovasi, kegiatan
kewirausahaan, dan kekuatan pasar. Kekuatan pasar yang
berasal dari inovasi dapat memberikan hasil yang lebih baik
2. Menurut Schumpeter, kekuatan utama yang menyebabkan
perubahan struktural adalah "kehancuran kreatif" (Gilbert,
2006). Proses ini mengacu pada gelombang aktivitas inovatif
yang melanda sistem ekonomi pada awal abad 20, yang
mengakibatkan kehancuran struktur ekonomi lama dan
penciptaan yang baru. Dengan demikian, Schumpeter
melihat perlunya inovasi sebagai proses kunci dari
perubahan ekonomi
5/
• Robbins dan Coulter (2016): “innovation taking creative ideas
and turning them into useful products or work methods.”
Pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa inovasi adalah proses
membangun ide-ide kreatif dan mengubahnya menjadi produk
yang berguna atau metode kerja baru.
• Jones (2013): “Innovation the process by which organizations use
their skills and resources to develop new goods and services or to
develop new production and operating systems so they can better
respond to the needs of their customers.” Inovasi merupakan
proses di mana organisasi menggunakan keterampilan dan sumber
daya mereka untuk mengembangkan barang dan jasa baru atau
untuk mengembangkan sistem produksi dan operasi baru sehingga
mereka lebih baik dapat merespon kebutuhan pelanggannya.

Sintesis Inovasi?
6/
• Inovasi terkait dengan perilaku >>>> Perilaku inovatif
• Carmeli, Meitar dan Weisberg (2006): Proses
bertahap di mana individu mengenali sebuah
masalah untuk menurunkan ide-ide dan solusi
baru, bekerja untuk memajukan dan membangun
dukungan untuknya, dan menghasilkan prototipe
yang diaplikasikan atau model untuk digunakan
serta menguntungkan organisasi atau bagian di
dalamnya.
7/
Tiga tahapan Perilaku Inovatif (Carmeli, Meitar dan
Weisberg, 2006):
1. Individu mengenali masalah dan muncul dengan solusi
dan ide baru, baik berupa ide/solusi baru atau hasil
adopsi.
2. Individu mencari cara untuk mempromosikan solusi
atau idenya, dan membangun legimitasi dan dukungan
baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
3. Individu merealisasikan ide atau solusinya dengan
memproduksi prototipe atau model inovasi yang dapat
diaplikasikan atau digunakan di dalam organisasi.
8/
Inovasi harus diadopsi dan disebarluaskan
Rogers (1995) menyatakan adopsi adalah proses mental, dalam
mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru
dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan
ide baru tersebut.

Terminologi adopsi biasanya dilekatkan dengan inovasi dan


difusi. Dengan kata lain, inovasi harus didifusikan.

Difusi biasanya terjadi pada tingkat yang lebih tinggi atau luas,
seperti pada sebuah masyakarat, sedangkan adopsi secara umum
terjadi pada unit yang lebih kecil, seperti perusahaan dan
individu
9/
Rogers (1995) mendefinisikan difusi sebagai “the process
by which an innovation is communicated through certain
channels over time among the members of a social system".
Menurut Rogers (1995), kecepatan difusi sebuah inovasi
dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu (1) karakteristik
inovasi; (2) kanal komunikasi yang digunakan untuk
mengomunikasi manfaat inovasi; (3) waktu sejak inovasi
diperkenalkan; dan (4) sistem sosial tempat inovasi
berdifusi. Semakin besar dan rumit inovasi, semakin lama
waktu yang dibutuhkan dalam difusi.
10/
lima karakteristik umum inovasi yang mempengaruhi kecepatan
difusi, yaitu: relative advantage, compatibility, complexity,
observability, dan trialability.
• relative advantage menunjukkan sejauh mana inovasi lebih
dari inovasi sebelumnya. Manfaat ini dapat diukur, baik
dengan ukuran ekonomi, prestise, kenyamanan, maupun
kepuasaan.
• compatibility yang merujuk kepada kesesuaian inovasi
terhadap nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan
kebutuhan. Kesesuaian inovasi dengan ide-ide sebelumnya
akan mempercepat adopsi, dan sebaliknya pengalaman buruk
atas sebuah inovasi akan menghambat adopsi.
11/
• Complexity adalah karakteristik yang ketiga mengukur tingkat
kesulitan atau kemudian sebuah inovasi untuk dipelajari dan
digunakan. Semakin mudah sebuah inovasi digunakan,
semakin cepat kecepatan adopsinya
• observability yang mengukur seberapa jelas penampakan
inovasi. Jika sebuah hasil sebuah inovasi mudah dilihat dan
dikomunikasikan maka difusinya akan semakin cepat.
• Jika sebuah inovasi bisa dicoba sebelum adopsi, maka akan
mempercepat difusinya. Hal ini merupakan karakteristik
inovasi yang kelima, trialability.
12/

Diskusi

Kanal apa yang paling efektif


untuk mengkomunikasikan
inovasi?
13/
Orang yang mengadopsi inovasi berdasar waktu: early adopters, early
majority, late majority, dan laggard.
• early adopters adalah mereka yang menerima inovasi yang
ditawarkan, meskipun pada awalnya dengan harga yang lebih tinggi
daripada produk yang sudah ada. Inovasi teknologi menjadi lebih
menarik bagi kategori pengadopsi awal pada saat pengenalan
produk dan seiring waktu lebih menarik bagi pasar arus utama
• laggard (terlambat mengadopsi). Kategori ini cenderung terjadi
pada disrupsi pasar bawah (low-end) karena inovasi berfokus pada
pelanggan dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah. Para
loggards lebih sensitif terhadap harga, dan banyak yang diabaikan
oleh pasar. Mereka lebih tahan terhadap perubahan dan lebih sulit
untuk dipengaruhi tetapi mereka seringkali menjadi yang pertama
mengadopsi
14/
• Kelompok kategori ketiga dan keempat
adalah majority, baik yang berada pada
periode awal (early majority) maupun
akhir (late majority). Kelompok ini
mengadopsi inovasi karena keterbatasan
sumber daya mereka. Disrupsi inovasi
memperkenalkan harga yang lebih murah
dan karakteristik baru, sehingga kategori
adopter ini tidak perlu menunggu lama
untuk merasa aman untuk diadopsi.
15/
16/
Innovation Gap (Nieto & Santamaria, 2010).
• Technological collaboration is a useful mechanism for firms of
all sizes to improve innovativeness, it is a critical factor for the
smallest firms.
• The impact of this collaboration varies depending on
innovation output and type of partner. Specifically, the impact
of collaboration in small and medium-sized firms is more
significant for product than process innovations. Regarding
type of partner, vertical collaboration—with suppliers and
clients—has the greatest impact on firm innovativeness,
though this effect is clearer for medium-sized enterprises than
for the smallest firms.
17/
• Diskusi

• Bagaimana mengatasi innovation gap


dalam konteks Indonesia? Ambil
kasus di bidang tertentu
18/
Proses inovasi
Secara hirarkhis inovasi terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu
(Sunbo et al. 2007):
• Inovasi pada tingkat perusahaan (firm level). Pada tingkat
perusahaan, inovasi secara tradisional diatribusikan untuk
imajinasi individu dan untuk pengembangan dan penelitian
yang dilakukan individu di dalam organisasi. Schumpeter
menekanan peran imajinatif individu memproduksi ide-ide dan
memperkenalkannya ke dalam kehidupan ekonomi, yaitu
wirausahawan. Inovasi secara mendasar merupakan hasil dari
aktivitas organisasi yang terorganisasi dan merupakan domain
dari perusahaan monopolistik dan oligopolistik besar yang
memiliki sumber daya penting.
19/
• Inovasi pada tingkat jaringan (network level).
Pada teori inovasi akhir-akhir ini, dianggap
bahwa jaringan merupakan sebuah faktor penting
untuk inovasi. Jaringan terdiri dari hubungan
formal dan informal antara perusahaan yang
dilibatkan dalam transfer material atau sumber
daya non material. Jaringan mendukung inovasi
karena memudahkan transfer informasi,
pembelajaran, dan koordinasi produksi dan
aktivitas pengembangan produk.
20/
• Inovasi pada tingkat sistem (system level).
Inovasi jaringan fokus pada hubungan di
antara perusahaan, sedangkan inovasi pada
tingkat sistem mencakup sistem lebih luas
yang diharapkan mempengaruhi
keinovativan perusahaan. Teori sistem
inovasi jaringan dimaksudkan untuk
mengidentifikasi semua faktor yang
mempengaruhi proses inovasi.
21/
• Proses inovasi pada suatu perusahaan dipengaruhi oleh
banyak faktor internal perusahaan, yang meliputi faktor
yang tampak (ukuran perusahaan, hutang), faktor yang
tidak tampak (sumber daya manusia, sumber daya
komersial, sumber daya organisasi) dan strategi
(diversifikasi, internasionalisasi) (Galade & Fuente,
2007). Inovasi yang terjadi di dalam suatu organisasi atau
perusahaan tergantung pada orang-orang yang di dalam
organisasi. Dengan kata lain, seberapa inovatif suatu
perusahaan, ditentukan oleh perilaku inovasi dari sumber
daya manusia yang ada di dalam perusahaan.
22/
• Inovasi melibatkan proses pembelajaran
interaktif yang melibatkan berbagai agen ilmiah
dan ekonomi. Artinya, inovasi memiliki banyak
sumber, tidak hanya organisasi penelitian formal,
misalnya, perkembangan teknis yang terkait
dengan bioteknologi pada gilirannya telah
mendorong perkembangan kelembagaan seperti
rezim hak kekayaan intelektual (HAKI), aliansi
baru antara disiplin ilmu dan sektor publik dan
swasta, pengembangan protokol keamanan
hayati, dan sebagainya.
23/
Culture of Innovation (Tekic & Tekic, 2021)
• National culture refers to a nation’s central tendencies towards
certain values, beliefs, norms, attitudes and preference.
• As these tendencies transfer almost unchanged from generation
to generation in the form of “the collective programming of the
mind” (Hofstede, 1980), they distinguish nations among each
other, while shaping cognitive schema of society members
• National culture forms uncodified patterns of common
behavior, conventions and customs, which guide all aspects of
societal functioning
24/
Formal institutions as tangible structures in society (e.
g., business, legal, education or financial institutions) are
themselves products of national culture (Hofstede, 2001;
Johnson & Lenartowicz, 1998; Redding, 2005). They are
shaped by uncodified behavioral patterns, conventions and
customs that are formed on the basis of the dominant
cultural values and norms. National culture is thus
considered to have a significant influence on outputs of
formal institutions, such as economic development.
25/
Hofstede’s framework of national culture is considered to be a
valid and useful instrument in quantifying national culture in a
relatively large number of countries (Kirkman et al., 2006). It
identifies six (initially four) cultural dimensions that form unique
profiles of national culture, namely power distance,
individualism versus collectivism, masculinity versus femininity,
uncertainty avoidance, as well as two subsequently added
dimensions – long-term orientation (previously
called Confucian dynamism) and indulgence versus restraint
(Hofstede et al., 2010; Hofstede, 1980).
26/
Power distance—refers to the degree to which mem- bers of a
society expect and accept unequal distribution of power
(Hofstede et al., 2010). As high level of power distance is
expected to endorse organizational inequality, rigid hierarchies,
centralization of power and control, low level of power distance
is considered to be an antecedent of high NIP, because it
endorses more innovation-supportive organizational features,
such as organizational equality, flat and organic organizational
structures, trust over control, decentralization of power,
distributed decision-making, as well as more informal
communication between organizational levels
27/
• Individualism versus collectivism—has received the
greatest attention in cross-cultural studies (Chen et al., 2009).
Individualism refers to a society’s endorsement of acting in the interest
of one’s self and their immediate family within a loosely-knit social
framework, while collectivism, as its opposing pole, refers to a society’s
endorsement of individuals’ absolute loyalty to a larger group within a
tightly-knit social framework (Hofstede et al., 2010). By supporting
individuals’ freedom to act, autonomy, independence in decision-
making, personal initiative and achievement, individualistic cultures are
expected to endorse the creation of an innovative organizational climate.
Thus, individualism is seen as an antecedent of high NIP, in contrast to
collectivism, which is considered to inhibit innovation by requiring from
individuals to conform to the organizational rules, think “within the box”
and act by the firmly established guidelines (Bukowski & Rudnicki,
2019; Efrat, 2014; Shane, 1992, 1993; Taylor & Wilson, 2012
28/
Masculinity versus femininity—have been mixed in previ-
ous cross-cultural research. Both masculine values (e.g., career,
financial rewards and success) and feminine values (e.g., high-
quality relationships, trust and support) have been considered as
antecedents of high NIP—masculinity by endorsing a
competitive and performance-oriented organizational
environment (Efrat, 2014; Shane, 1993), and femininity
by endorsing a cooperative and tolerant organizational
environment (Kaasa & Vadi, 2010; Prim et al., 2017).
29/
• Uncertainty avoidance—refers to a degree to which the
members of a society are averse of uncertainty and ambiguity
(Hofstede et al., 2010). As high level of uncertainty avoidance
is expected to create organizational environment that is risk-
averse, afraid of failure and intolerant of unorthodox ideas and
behaviors, low level of uncertainty avoidance is considered to
be an antecedent of high NIP, because it endorses innovative
behavior and novel ideas, tolerance
for risk and change, weaker control, and more informal rules
and structures
30/
Long-term orientation—refers to a society’s endorsement of
future-oriented perspective, pragmatism, persistence and thrift,
while its opposing pole—short-term orientation—refers to a
society’s endorsement of past- and present- oriented values,
honoring traditions and maintaining social norms
(Hofstede et al., 2010). While referring to results and success as
long- term concepts, recent studies have considered long-term
orientated culture to be an antecedent of high NIP
31/
• Indulgence refers to a society’s endorsement of having fun,
gratification of human needs and enjoying life, while restraint,
as its opposing pole, refers to a society’s endorsement of
suppressing human needs and restricting them by the means of
rigid social norms (Hofstede
et al., 2010). This cultural dimension has attracted very limited
atten- tion of cross-cultural studies (Tian et al., 2018), leaving
us with the lack of theory with regards to its influence on
national innovation performance. We thus exclude this
dimension from the further analysis
32/
• Lanjut ke Tabel Tekic & Tekic (2021)

Anda mungkin juga menyukai