Anda di halaman 1dari 28

Paper Seminar on Knowledge Innovation & Change

Inovasi Bisnis: Dari Mimpi Hingga Prestasi


Studi Literatur
Ditulis Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah SKIC Dosen: Dr. Avanti Fontana

Nama Mahasiswa : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi 8605210299

Program Doktor Strategic Management Program Studi Ilmu Manajemen Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta, 2007

DAFTAR ISI
1. Pendahuluan 2. Permasalahan 3. Kerangka Teori 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 3.9. 3.10. Berawal Dari Ide Strategi Inovasi Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi Mengantisipasi Inovasi Disruptif Dinamika Inovasi Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu Dilema Inovator Level Inovasi

4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia 5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut Daftar Pustaka

1. Pendahuluan
Inovasi dalam konteks perdagangan dan industri pertama kali didefinisikan sebagai The successful bringing to market ot new or improved products, processes or services. Definisi ini diterbitkan pada tahun 1967 oleh Robert L Charpie dalam laporannya kepada US Department of Commerce dengan tajuk Technological Innovation: its Environment and Management(Zairi, 1999). Pendapat senada, bahwa inovasi berkaian dengan alur proses dari memimpikan sesuatu, menciptakannya, mengenalkannya kepada publik agar nilai dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, dinyatakan juga oleh pakar lain (Chesbrough, 2006; Prahalad & Ramaswamy, 2004). Dari kelompok pakar ini dapat ditarik benang merah bahwa inovasi merupakan eksploitasi gagasan gagasan baru yang diupayakan agar berhasil meraih sukses. Interaksi antara penggagas, pelaksana dan pengguna inovasi dapat menjadi sebuah mekanisme dinamis, terjadi transfer nilai (value) di antara elemen inovasi yang saling mengumpan maju (fedforward) dan mengumpan balik (fedback). Pengalaman inovasi tidak hanya dilakukan oleh internal perusahaan dan memerlakukan konsumen sebagai pengguna karya inovasi yang terpisah dari strategi inovasi, namun sebagaimana argumen Prahalad & Ramaswamy, telah melibatkan pelanggan. Mereka dilibatkan dalam proses pencipataan produk-produk baru, dan memberikan fedback atas kualitas produk yang telah dipasarkan. Dalam pekembangan selanjutnya, sasaran inovasi tidak terbatas hanya pada mewujudkan gagasan yang dapat sukses ketika diperkenalkan ke pasar, namun inovasi juga berevolusi menjadi alat persaingan (competitive tools), sebagaimana Porter (1998) menyebut inovasi sebagai isu sentral dari upaya peningkatan daya saing. Inovasi pada perkembangan selanjutnya menjadi bagian kegiatan dari perusahaan atau organisasi yang memerlukan perhatian khusus dalam sebuah strategi. Strategi Inovasi pada dasarnya menuntut perubahan (Barney, 2002). Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa inovasi sudah menjadi bagian dari strategi bisnis (Drucker, 1993; Christensen & Overdorf, 2001; Pyka, 2002; Christensen, 2005; Govindarajan & Trimble, 2005;). Banyak kajian tentang inovasi yang menelaah bagaimana organisasi merancang dan sekaligus melaksanakannya.

Salah satu di antaranya dikembangkan oleh Terziovski (2002) yang mengajukan tiga alternatif strategi inovasi: bertahap (incremental), radikal, dan terintegrasi (integrated). Seringkali upaya inovasi berawal dari mimpi mewujudkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, atau mengubah yang sudah ada menjadi lebih baik. Keinginan kuat yang didukung oleh kemampuan teknologi dan sumber daya organisasi lainnya, menjadikan mimpi tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana layaknya suatu upaya, selalu ada hambatan, demikian pula inovasi, ia tidak sepi dari hambatan, baik yang berasal dari lingkungan internal perusahaan, maupun eksternal. Resistensi dari pihak internal merupakan hal yang wajar pula, karena pada dasarnya inovasi adala perubahan, sementara kecenderungan individu resistan terhadap perubahan. Resistensi dari pihak luar, dapat datang dari pesaing, pelanggan atau pemerintah, tergantung siapa yang merasa akan dirugikan dari inovasi tersebut. Kemampuan perusahaan mengatasi semua resistensi yang menghambat upaya inovasi pada akhirnya membuahkan prestasi, dapat berupa prestasi keuangan maupun non-keuangan. Lebih jauh lagi, mimpi mimpi yang mengawali inovasi perlu dipupuk secara terus menerus, pada semua anggota organisasi, agar prestasi yang telah dicapai tidak segera hilang atau dikalahkan oleh pesaing yang melakukan hal serupa. Dalam konteks ini, inovasi yang berkelanjutan memiliki potensi untuk mendukung sustainable competitive advantage.

2. Permasalahan
Dalam perjalanan waktu inovasi tidak selalu berhasil (Franklin, 2003; Christensen, 2003). Inovasi gagal karena berbagai alasan (Roger, 1995) antara lain: apakah masyarakat melihatnya sebagai suatu peningkatan dari yang sudah ada (relative advantage); apakah inovasi konsisten dengan sistem nilai (value system), pengalaman dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan menggunakannya (compatibility); akankah pengguna potensial mudah memahami dan memanfaatkan karya inovasi (complexity); dapatkah masyarakat mencobanya dengan aman sebelum memutuskan untuk menggunakannya (trialability); dan seberapa mudah bagi masyarakat untuk melihat hasilnya (observability).

Di tengah janji memberikan manfaat, inovasi jika tidak dikelola dengan hati hati dapat menyebabkan kegagalan organisasi (Christensen, Raynor, 2003; Davila, Epstein, Shelton, 2006). Terjadi dilema antara manfaat investasi yang diharapakan dan dampak yang diperoleh dari pemanfaatan hasil inovasi (Christensen, 2005). Untuk mengatasi masalah kemungkinan kegagalan inovasi atau dalam kata lain guna meningkatkan probabilitas keberhasilan inovasi, diperlukan strategi inovasi (Govindarajan & Trimble, 2005). Studi mengenai kinerja inovasi di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh perusahaan, belum cukup banyak dilakukan. Paper ini bermaksud melakukan kajian literatur mengenai inovasi dan perannya dalam mendukung tercapainya prestasi perusahaan berupa keunggulan daya saing yang kontinyu. Beberapa data yang diperoleh dari situs Internet perusahaan perusahaan Indonesia digunakan sebagai objek analisa.

3. Kerangka Teori
3.1. Berawal Dari Ide
Inovasi berangkat dari ide. Berasal dari mana saja, karyawan, pemilik perusahaan, atau manajemen. Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan majikan, yang memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap memegang idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan (Hannah, 2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan menghasilkan produk atau layanan baru. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya: keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses pembentukan ide, serta dipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung

jawab atas tugas tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan terhadap prosedur organisasi. Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan, dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi kerja.

3.2.

Strategi Inovasi
Inovasi memiliki peran ganda: sebagai penentu daya saing ekonomi dan

sebagai sarana bagi pembebasan (liberation) dari keterbelakangan sosial budaya, kebodohan, dan kemiskinan (Bobb, 2005). Sukses bisnis di abad milenium ditentukan oleh inovasi (Hammel, 1999). Inovasi diartikan sebagai proses di dalam organisasi untuk meman-faatkan ketrampilan dan sumber daya untuk mengembangkan produk dan atau jasa baru atau untuk membangun sistem produksi dan operasional baru sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan (Jones, 2004). Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi, kemampuan untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki merupakan kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan bersaing (Jones, 2004). Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi perusahaan. Inovasi pada dasarnya berkenaan dengan perubahan, selain itu juga berkaitan dengan resiko karena seringkali inovasi merupakan luaran aktivitas penelitian dan pengembangan yang hasilnya tidak dapat dipastikan. Inovasi diawali dengan ide kreatif. Ide kreatif ini tidak selalu harus berupa upaya penemuan atau atau pencapaian sesuatu yang besar namun dapat juga berwujud upaya perubahan kecil untuk memperbaiki praktek yang sedang berlaku.

Teknologi, peluang bisnis, modal, kewira-usahaan, regulasi dan budaya, dan metodologi merupakan variabel yang mempengaruhi praktek inovasi di suatu organisasi (Abend, 2005). Inovasi di lain pihak juga merupakan dilema bagi manajemen, kelangsungan hidup organisasi dalam jangka panjang memerlukan komitmen untuk selalu melakukan transformasi melalui disruptive growth, namun demikian fakta membuktikan hanya sedikit perusahaan yang dapat sukses dengan strategi ini (Denning, 2005). Organisasi inovatif memiliki komitmen untuk mengendalikan lingkungan; struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk berkreasi; kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998). Hambatan alamiah yang seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi yang padat (dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk mendelegasikan kewenangan, dan tingkat pemeriksaan internal yang tinggi (Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan Delbecq, 1977). Agar inovasi dapat berkelanjutan dan mendukung kinerja perusahaan diperlukan strategi inovasi (Terziovski, 2002). Terzioski menggolongkan strategi inovasi ke dalam tiga kelompok: radical, incremental, dan integrated. Radical merupakan strategi yang merujuk pada aktivitas inovasi yang tidak pernah ada sebelumnya, mengubah secara drastis kemapanan, menghasilkan produk atau proses baru yang berbeda dari sebelumnya. Incremental merupakan strategi berkembang secara bertahap, memperbaiki produk atau proses bisnis yang sudah ada dengan langkah inovatif. Integrated menggabungkan dua pendekatan terdahulu radical dan incremental selain menemukan hal hal baru (invention) strategi integrated juga menganjurkan inovasi dengan cara mengembangkan dari yang sudah ada. Manajer perlu mencermati faktor-faktor yang memengaruhi kinerja inovasi. Blayse A. M & Manley K (2004) dari studi tentang pengaruh utama pada inovasi di bidang konstruksi menyebut enam faktor yang mendorong atau menghambat inovasi: Klien dan Penyedia Peralatan Produksi; Struktur Produksi; Hubungan antara individu dengan perusahaan di dalam industri dan antara industri dengan pihak luar; Sistem pengadaan barang dan jasa; Regulasi dan standar; serta sifat dan kualitas sumber daya organisasi.

3.3.

Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi


Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena

knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari pada data, informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan knowledge terletak pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi yang menjadi pondasi bagi proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dari pemahaman ini, dapat dikatakan bahwa knowledge management (KM) serta sumber daya manusia merupakan elemen penting dalam menjalankan setiap bisnis. Namun demikian, banyak organisasi tidak konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi karena dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT) atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004) menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi perhatian lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM) ketika membangun strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM mendukung kinerja inovasi jika pendekatan simultan dari soft HRM practices dan hard IT practices diimplementasikan bersama-sama secara sinergi. KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka & Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore & Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer) atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman, 1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini, akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya (Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru, mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value (Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu 8

dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics; knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta knowledge sharing. Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi, menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran knowledge. Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi. Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman, 1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan (Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat (Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz & Beckman, 1998). Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990). Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai sesuatu yang baru atau ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada perusahaan dan atau pelanggannya. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang

memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999). Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja, menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital, inovasi). Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan (Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage. Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam

10

peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para manajer. Organisasi sebaiknya berupaya mengimplementasikan Knowledge Management secara terintegrasi guna memaksimalkan kinerja inovasi yang berujung pada keunggulan kompetitif (Gloet & Terziovski, 2004). Namun demikian, ada hubungan negatif yang cukup signifikan antara element element TI yang fokus pada kemajuan teknologi, seperti e-commerce, dengan kinerja inovasi. Adanya hubungan negatif ini kemungkinan karena e-commerce masih pada tahap awal, dan keyakinan kepada e-commerce sebagai pendorong utama dalam meningkatkan serta memertahankan kinerja inovasi belum dimiliki oleh para manajer, khususnya di industri manufaktur. Di sektor jasa, kondisinya agak berbeda. Studi Gloet dan Terziovski (2004) menyebutkan ada indikasi para manajer di industri jasa memiliki keyakinan yang lebih tinggi bisnisnya akan sukses dengan e-commerce dan inovasi yang berbasis TI. Namun demikian kajian komprehensif tentang hubungan antara ecommerce dan kinerja inovasi masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dieksplorasi.

3.4.

Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi


Dalam pengaruh berbagai kondisi pasar, semakin besar potensi pasar bagi

suatu produk, yang menjanjikan tingkat keutungan yang lebih besar, akan memacu inovasi produk tersebut lebih cepat lagi. Artinya, ukuran pasar menjadi kunci penentu bagi kinerja inovasi (Acemoglu & Linn, 2003). Bagaimanapun hebatnya suatu produk inovasi berbasis teknologi canggih, namun kalau pasar untuk produk tersebut tidak ada, atau produsen beserta pemasarnya tidak mampu menciptakan pasar, maka tidak akan ada insentif bagi inovator atau produsen untuk terus memroduksinya. Para ekonom selalu mengingatkan perlunya penciptaan pasar dan insentif bagi karya inovasi dan invensi (Griliches & Schmookler, 1963 dalam Acemoglu & Linn, 2003). Di sisi lain, inovasi lebih banyak dilatar-belakangi motif ekonomi, dan motif inilah yang acapkali menjadi pendobrak (breakthrough) eknologi dan ilmu pengetahuan. Schmookler menyebut beberapa contoh inovasi yang dilandasi motif ekonomi antara lain, layanan jaringan kereta api, penyulingan

11

minyak dan gas bumi, pembuatan kertas, varietas baru tanaman, dan asih banyak lagi. Determinan utama tercapainya tingkat profitabilitas atas karya atau produk inovasi adalah ukuran dan daya serap pasar. Ukuran pasar yang semakin besar, memberi peluang bagi diperolehnya profit yang lebih besar, dan pada dampak sirkularnya akan menguatkan minat menjalankan inovasi atau invensi. Profit dan ukuran pasar di dalam inovasi juga merupakan stimulus (Brogan & Amstrong, 2004) serta hal penting dalam model model perubahan teknologi, yang menggunakan profit sebagai pendorong utama dalam kemajuan teknologi (Aghion & Hewit, 1992; Grossman & Helpman, 1991; Romer, 1990).

3.5.

Mengantisipasi Inovasi Yang Disruptif


Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin

sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien, sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melaku-kannya perusahaan harus memahami dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan berkelanjutan. Pendapat ini didukung oleh Tushman dan OReily (1997) yang menunjukkan bagaimana inovasi telah mengacaukan kemapanan yang sudah dinikmati oleh perusahaan. Kamera film berangsur hilang dari pasar sejak mulai diperkenalkan dan berkembangnya kamera digital. Demikian juga televisi hitam putih, sekarang sudah sulit ditemukan sejak digantikan oleh televisi berwarna. Namun demikian televisi berwarna yang menggunakan tabung katoda (Chatode Ray Tube), sekarangpun sudah mulai menjelang hilang dari pasar sejak diperkenalkan televisi liquid crystal display (LCD). Tushman dan OReily mengutip pendapat W.E Deming bahwa di berbagai industri selalu ada perusahaan terkemuka yang dengan mudah mengalami kemunduran setelah muncul inovasi yang berhasil mengacaukan pasar. Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam

12

menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba tiba kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya. Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan, penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktorfaktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar. Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat. Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam

13

tangan

memberikan

contoh

yang

jelas.

Perusahaan

jam

tangan

Swis

menginvestasikan dan menemukan disruptive technology quartz batteries dan jam tangan digital yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis. Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.

3.6.

Dinamika Inovasi
Dinamika inovasi merupakan keterkaitan antara kebutuhan lama dan baru,

serta teknologi lama dan baru. Kelemahan yang banyak terjadi dalam penelitgian sebelumnya antara lain mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap hubungan antara kebutuhan dan teknologi. Return dari suatu teknologi bukan hanya merupakan fungsi investasi, namun juga berupa pengaruh dari perubahan yang dihasilkan dari investasi tersebut. Meyer dan Marquis menyajikan sebuah model inovsi yang didasarkan pada studi dari ratusan inovasi industri beberapa dekade lalu. Sementara itu, para ahli lain juga telah mengembangkan model model inovasi; seperti Robert Cooper yang membangun model dan kemudian dikembangkan dan dikenal sebagai prose StateGate; juga Edward Roberts, yang mengemukakan pengembangan flowchart dilengkapi dengan feedback loop. Menggunakan model Meyer Dan Marquis, inonasi diawali hubungan antara kebutuhan (need) dengan tekhnologi. Kombinasi keduanya mengilhami munculnya gagasan/ide, yang pada tahap selanjutnya disaring, diuji, dikembangkan, ditimbang, dan kemudian digunakan serta disebar-luaskan.

14

Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah keputusan masa depan. Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.

3.7.

Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja


Teknologi tidak secara langsung menghasilkan return; peran teknologi mendo-

rong adanya perubahan di dalam proses, material, fungsi atau kegunaan suatu prioduk atau layanan (Paap & Katz, 2004). Kemampuan teknologi dalam membuat

15

semua perubahan tersebut disebut sebagai produktivitas. Kondisi dimana perubahan bermanfaat bagi operasional internal (dalam inovasi proses) atau bagi perluasan basis pelanggan (dalam inovasi produk atau layanan) dinamakan sebagai Leverage. Inovasi memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted U-shape); dan Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan pada kinerja perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan interaksi antara inovasi dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan (Cheng & Chun, 2005). Dari pernyataan di atas dapat ditarik pendapat bahwa lebih banyak investasi pada modal intelektual tidak selalu lebih baik. Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan perbedaan perspektif dari modal intelektual guna meningkatkan kinerja. Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker, 2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah (Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan. Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital

16

secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002; Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan (Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang korelasi mutual di antara komponen intellectual capital. Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru, penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu, memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan (Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001). Berdasar pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang, salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu, produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI. Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan, besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang & Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi.

17

Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi lebih singkat.

3.8.

Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu
Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi dengan

mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak selalu mudah untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan meningkatnya intensitas kompetisi internasional dan siklus produk yang semakin singkat, tekanan bagi dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat. Strategi peningkatan yang dilakukan secara kontinyu dari bawah ke atas (bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan guna meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan manufaktur. Di pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi memiliki pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran praktis, strategi peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu merupakan pendorong utama di belakang berbagai upaya peningkatan kinerja, dan inovasi radikal sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-produk kritikal, layanan dan proses.

3.9.

Dilema Inovator
Kesulitan di dalam inovasi tidak hanya berupa pemikiran sempit, buah

pemikiran yang keliru, serta bias. Konflik yang terjadi di dalam inovasi berkaitan dengan pilihan pilihan. Di lingkungan organisasi publik, inovator seringkali menghadapi tantangan dan dilema. Robert Behn (1997) mengemukakan dilema inovasi, yakni: perma-salahan paradigma, disebabkan oleh kuatnya pengaruh pola pikir (mental model) tertentu yang terdapat pada pemimpin, manajer, staf yang

18

menghambat proses kreatif untuk lahirnya inovasi; perangkap pemadam kebakaran, inovasi seringkali dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan penting guna menjawab tuntutan keadaan yang baru saja timbul, padahal inovasi sejatinya merupakan proses panjang serta membutuhkan strategi jangka panjang meski organisasi masih harus mengelola krisis yang timbul dalam jangka pendek; ketakutan terhadap inovasi, keyakinan bahwa suatu organisasi membutuhkan lebih banyak inovasi rutinisasi, skala inovasi, dilema analitik, dilema struktural, dilema replikasi, dan dilema motivasi. Christensen (2003) melihat dilema inovator muncul ketika keputusan logis oleh manejemen yang kompeten, yang merupakan faktor kritikal bagi sukses perusahaan, menjadi penyebab perusahaan kehilangan kepemimpinan pasar. Manajer oleh karenanya, perlu memahami bagaimana dan dalam kondisi apa teknologi baru hasil inovasi dapat menyebabkan perusahaan besar mengalami kegagalan. Dalam hal ini, manajer dituntut untuk dapat secara simultan mengerjakan apa saja yang tepat untuk jangka pendek dengan mengutamakan kesehatan perusahaan, dan dalam waktu yang bersamaan memberi perhatian besar terhadap penyediaan sumber daya guna menghadapi munculnya disruptive innovation, agar kinerja perusahaan tidak menurun.

3.10. Level Inovasi


Meski di dunia ini banyak terdapat perusahaan yang bisa dianggap inovatif, ternyata tidak semua perusahaan inovatif berada pada level yang sama. Sama seperti para ahli bela diri, ada beberapa tingkatan perusahaan inovatif. Level pertama, perusahaan inovatif sabuk putih, adalah perusahaan yang memiliki individu inovatif yang berbakat, atau perusahaan yang sesekali beruntung melahirkan inovasi melalui departemen R&D-nya. Di perusahaan ini, inovasi akan muncul, tetapi hanya selama individu kreatif tersebut masih bersama perusahaan. Bila sang jenius kreatif tersebut keluar atau pensiun, inovasi perusahaan juga akan ikut berhenti. Kasus Sony dan Akio Morita adalah contoh yang baik (Sony/Morita dan Apple/Jobs). Perusahaan yang hanya bisa mengeluarkan satu kali produk inovatif dan setelah itu berhenti juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.

19

Level kedua, perusahaan inovatif sabuk kuning. Perusahaan ini sudah berhasil memasukkan inovasi ke dalam prosesnya. Proses seperti berinteraksi dengan konsumen untuk mengenali kebutuhan mereka, rapid prototyping, manajemen proyek untuk pengembangan produk baru, atau brainstorming kelompok untuk mendapatkan ide-ide baru sudah menjadi bagian dari SOP yang dilaksanakan secara disiplin. Sistem insentif juga sudah ditata sehingga segala upaya inovatif, baik yang gagal ataupun yang berhasil, dihargai secara layak. Di perusahaan seperti ini, para karyawan dan individu kreatif boleh datang dan pergi, tetapi karena inovasi sudah merasuk ke dalam sistem dan proses perusahaan, inovasi akan terjadi terus menerus. Google, 3M dan IDEO sudah berada pada tingkatan ini. Kelihatannya level ini sudah cukup tinggi, tetapi kenapa masih mendapat sabuk kuning? Karena, tentu saja, masih ada level yang lebih tinggi lagi. Level ketiga, perusahaan inovatif sabuk coklat. Perusahaan yang masuk level ini telah memiliki proses untuk terus menerus memikirkan bagaimana meningkatkan cara berinovasi. Perusahaan pada tingkatan ini akan melihat proses manajemen proyek, atau prototyping, atau upaya mengenali kebutuhan konsumen mereka; dan bertanya: Apakah ada cara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses ini? Apakah bisa dilakukan dengan cara lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik? Perusahaan pada level ini bukan saja mampu mengeluarkan inovasi terus menerus, tetapi malah mampu menginovasi cara untuk berinovasi secara terus menerus. P&G adalah contoh perusahaan yang sudah menginjak level ini. Level keempat, perusahaan inovatif sabuk hitam. Inilah puncaknya. Di sinilah berdiam sang Master. Sang Yoda untuk para ksatria Jedi. Perusahaan di level ini telah memiliki proses untuk memikirkan terus menerus bagaimana meningkatkan proses untuk menginovasi proses-proses lainnya. Perusahaan di sini akan bertanya: Apakah ada cara lain agar proses untuk meningkatkan inovasi bisa ditingkatkan lagi? Adakah perusahaan yang berhasil mencapai tingkatan tertinggi tersebut? Tentu ada. Toyota kelihatannya sedang menuju ke sana. Tentu tidak mudah mencapai level tertinggi tersebut. Untuk menjadi ksatria Jedi saja tidak semua makhluk cerdas bisa mencapainya, apalagi untuk menjadi Yoda. Untuk hampir semua perusahaan yang ada di muka bumi ini, level tertinggi

20

tersebut selamanya akan hanya berupa mimpi. Untuk mencapai tingkatan tersebut, inovasi bukan lagi sekumpulan teknik-teknik atau strategi atau taktik, tetapi sudah merupakan filosofi hidup sehari-hari. Inovasi adalah Tao. Inovasi adalah Zen. Sebuah jalan hidup. A state of being, not doing. Perusahaan dan inovasi sudah menjadi satu. Inovasi bukan lagi merupakan lompatan besar yang terjadi sewaktu-waktu, tetapi inovasi-inovasi kecil yang terjadi setiap hari, setiap menit, setiap detik. Bagi sebagian besar perusahaan, mencapai sabuk kuning sudah merupakan pencapaian yang patut dibanggakan. Tetapi tidak ada salahnya memasang target yang lebih tinggi karena stretching goal seperti itu akan selalu membantu kita mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari yang bisa dibayangkan.

4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia


4.1. Excelcomindo Pratama (XL)
Layanan korporat dari XL. Persaingan antar operator telepon mobile, dan juga antara GSM dan CDMA membuat XL melirik ke pasar korporat. Perusahaan ini meluncurkan layanan Office Zone dan GSM PABX yang cukup inovatif. Lewat fasilitas terbaru tersebut, XL berfungsi sebagai extention sistem komunikasi perusahaan. Staf perusahaan yang memakai layanan ini bisa menelepon ke kantor pusat tanpa dikenakan biaya sama sekali selama masih berada pada zona yang ditentukan. Keluar dari zona tersebut, dikenakan biaya flat fee yang masih cukup murah. Solusi ini termasuk inovatif karena didasarkan atas kebutuhan korporat yang selama ini jarang diperhatikan. Solusi ini juga mampu menghemat biaya komunikasi korporat, dan sekaligus menjamin pendapatan untuk XL dari segmen yang cukup loyal tersebut.

4.2.

PT Hartono Istana Teknologi (HIT)


Produsen Polytron ini telah melahirkan beberapa inovasi yang pantas untuk

dicatat, antara lain teknologi Singasong (teknologi audiovisual di dalam kaset audio), kulkas dua fungsi (pendingin dan penghangat), dan TV Xcel Home Theater yang sudah dilengkapi dengan perangkat home theater dan DVD player. Inovasi dan

21

kualitas Polytron membuat banyak pembeli yang tidak tahu jika merek ini adalah merek lokal.

4.3.

Lain - lain
Sabun Harmony dan Lervia dari PT Megasurya Mas. Sabun beraroma buah ini bukan saja diterima di Indonesia, namun sudah

diekspor ke mancanegara. Di India dan beberapa negara Timur Tengah, merek Harmony cukup disegani. Bahkan, di negara Turki, nama Harmony sudah identik dengan kategori sabun bearoma buah. Selain Harmony, Megasurya Mas juga memproduksi Lervia Milk Soap, sabun mandi dengan ekstrak susu dan moisturizer yang juga sudah diekspor ke lebih dari 30 negara. Suplemen Stimuno dari PT Dexa Medica Suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh ini menggunakan tumbuhan khas Indonesia, meniran. Meniran, sebagaimana sudah diuji di laboratorium, mampu mengobati infeksi kronis dan viral. Saat ini, produk tersebut juga sudah diekspor ke negara-negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Smart Diva Dua sahabat keturunan blasteran yang kebetulan berhobi sama Jessica Schwarze dan Amanda Sari mendapatkan ide untuk membuka usaha penyewaan tas pesta. Meski ide ini sudah dijalankan sebelumnya di US, namun ide tersebut mereka dapatkan sebelum mengetahui tentang perusahaan di US tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa ide ini adalah yang pertama kali dijalankan di Asia. Meski agak ragu-ragu di awalnya, bisnis yang diberi nama Smart Diva ini sekarang sudah dikenal di Jakarta. PT Suwastama Kala orang-orang melihat enceng gondok sebagai sesuatu yang mengganggu, perusahaan ini justru melihatnya sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan. 22

Produk enceng gondok tersebut bukan saja sudah diekspor ke mancanegara, tetapi perusahaan ini juga merangkul ribuan perajin di sekitarnya dan memberi mereka bantuan fasilitas kepemilikan rumah. The Electronic Doctor Indonesia (EDI) Ide Henry Indraguna ini pantas diacungi jempol. Dengan membebankan biaya keanggotaan Rp. 100.000,-, pelanggan akan mendapatkan garansi servis setahun penuh untuk satu jenis produk elektroniknya. Untuk menjaga kualitas, Henry menjamin pemakaian spare parts asli. EDI ini juga diwaralabakan ke kotakota lain di Indonesia.

5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut


Dari beberapa contoh perusahaan di atas yang jauh dari lengkap, apalagi yang ditampilkan hanya para inovator produk, sementara inovasi proses yang tak kalah pentingnya belum terwakili, menunjukkan bahwa inovasi demi inovasi sebenarnya bisa dilahirkan di Indonesia. Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi inovator. Mereka yang membuat inovasi pada umumny aberawal dari keinginan besar membuat perubahan, sesuatu yang baru. Dalam keadaan tertentu teknologi tinggi dan perlindungan hak cipta tidak dibutuhkan, dan ketiadaan perlindungan hukum tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melakukan inovasi. Inovasi yang sebenarnya justru bertitik tolak dari kebutuhan konsumen yang belum terpenuhi dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan caracara yang lebih baik dari kompetitor. Pengetahuan terhadap kebutuhan lokal (seperti Teh Sosro) mampu dijadikan alat bersaing dengan perusahaan multinasional yang terkadang kurang sensitif terhadap perbedaan konsumen Indonesia dengan konsumen negara asalnya. Tidak ada yang berani menjamin semua inovasi akan menghasilkan keuntungan. Secara statistik, malah lebih banyak inovasi yang gagal. Beberapa produk/layanan yang sekarang menguntungkan pasti akan mengalami masa-masa surut suatu saat nanti. Inovasi hari ini akan menjadi produk umum di kemudian hari, apalagi dengan cepatnya peniruan saat ini. Akan tetapi, kegagalan dan pasang surut tersebut 23

memang dibutuhkan sebagai upaya pembelajaran. Kegagalan sesungguhnya justru terjadi bila kita takut mencoba karena takut gagal. Banyaknya ragam inovasi yang dilakukan di Indonesia membuka peluang bagi penelitian lanjut. Mengetahui kegagalan dan dilema yang dihadapi dalam menawarkan gagasan dan melakukan inovasi serta kaitannya dengan tingkat sukses di tangah iklim persaingan yang didominasi oleh produk-produk asing menjadi peluang penelitain yang menarik. Di pihak lain, sebagai negara pengguna teknologi, perusahaan Indonesia acapkali dihadapkan pada ketidak-seimbangan posisi tawar dengan prinsipal. Akibatnya, agar masih tetap dapat kompetitif, banyak perusahaan Indonesia yang melakukan perubahan atau bahkan modifikasi dari produk yang sudah ada. Tindakan semacam ini, meski dapat mengandung resiko hukum, namun dapat digolongkan sebagai sustaining innovation. kajian yang cukup menarik. Keterbatasan sumberdaya, seperti yang dialami oleh para penggiat Internet, karena mahalnya harga bandwidth, memunculkan alternatif penggunaan pita frekuensi 2.4GHz yang semula diatur menjadi tidak diatur oleh Pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa inovasi yang semula dimaksudkan untuk kemaslhatan masyarakat, dalam implementasinya mengalami kegagalan. Antar pengguna spektrum frekuensi 2.4 GHz saling mengganggu, sehingga akhirnya secara umum tidak ada yang diuntungkan. Kinerja inivasi yang dilakukan secara komunal, jika tidak dibatasi dengan rambu-rambu kebijakan publik ternyata memiliki dampak negatif. Kasus semacam ini layak dijadikan objek penelitian dalam konteks manajemen stratejik lembaga publik. Penelitian untuk mengetahui bagaimana perusahaan Indonesia menghasilkan sustaining innovation menjadi

24

Daftar Pustaka

Text Books:
Abend, C.J., 2005, In Search of Innovation Synthesis, Ideas for a Unified Innovation Theory, Technology Transfer Society. Acemoglu D & Linn J (2003), Market Size in Innovation: Theory and Evidence from Pharmaceutical Industry, MIT. Applegate L. M|Austin R.D. |McFarlan W. F., 2003, Corporate Information Strategy and Management, McGraw Hill Callon J.D, 1996, Competitive Advantage Through Information Technology, McGraw Hill Christensen C.M, 2005, The Innovators Dilemma, Collins Business Essentials Christensen C.M., Raynor M.E., 2003, The Innovators Solution, Creating And SustainingSuccessful Growth, Harvard Business School Publishing Corporations Christensen C.M.| Overdroft M., 2001, Meeting the Challenge of Disruptive Change dalam Harvard Business Review on Innovation Davenport T.H., 1999, Putting The Enterprise Into The Enterprise System, dalam Harvard Business Review on The Business Value of IT. Davila | Epstein | Shelton, 2006, Making Innovation Work, How to Manage it, Measure it, and Profit from it, Wharton School Publishing Davis J.|Miller G.|Russell A., 2006, Information Revolution, Using The Information Evolution Model to Grow Your Business, John Wiley & Son. Drucker P. F., 1993, Innovation and Entrepreneurship, Harper & Row Publisher Franklin C., 2003, Why Innovation Fails, Spiro Press Galliers R.|Dorothy L., 2003, Strategic Information Management, Challenges and Strategies in Managing Information Systems, Butterworth & Heinemann Govindarajan V.| Trimble C., 2005, 10 Rules for Strategic Innovators, From Idea to Execution, Harvard Business School Press Harrison N.|Samson D., 2002, Technology Management, Text and International Cases, McGraw Hill Indrajit, R.E. 2003, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Renaissance. Jones G. R. 2004, Organizational Theory, Design, and Change, Prentice Hall. 25

Khalil T., 2000, Management of Technology, The Key to Competitiveness and Wealth Creation, McGraw Hill Laudon & Laudon, 2004, Management Information Systems Light P. 1998, Sustaining Innovation: Creating nonprofit and Government Organizations That Innovate Naturally, Jossey-Bass Publishers Lucas H.C, Jr., 1999, Information Technology and the Productivity Paradox, Assessing the Value of Investing in IT, Oxford Univerisity Press. McCarty M.H., 2001, The Nobel Laureates, McGraw Hill Prahalad C.K. & Ramaswamy V. (2004), The Future of Competition, Co-Creating Unique Value With Customers, Harvard Business School Press. Porter M. (1998), On Competition, Harvard Business Review Book Ward, John & Joe Peppard, 2002, Strategic Planning for Information Systems Wheelen, Thomas L. & J. David Hunger, 2004, Strategic Management & Business Policy Journal Innovation Strategy: Berawi, M.A., Quality Revolution: Leading the Innovation and Competitive Advantages, The International Journal of Quality and Relaibility Management, 2004; 21, 4. Bobb, K.I. (2005), The Duality of Innovation: Liberation and Economic Competitiveness, Georgia Institute of Technology. Blayse A.M & Manley K (2004), Key Influence On Construction Innovation, School of Construction and Management Property, Queensland University of Technology, Australian Cooperatove Research Center for Construction Innovation. Brogan M & Amstrong L, 2004, C-Commerce Innovation: Unraveling The Effects of Knowledge Ties On Embedded Network Structure, School of Computer and Information Science, Edith Cowan University. Cheng Jen Huang | Chun Ju Liu, Exploration for the relationship between innovation, IT and performance, Journal of Intellectual Capital: 2005; 6, 2. Chesbrough, H.W. (2006), Open Innovation, The New Imperative for Creating and Profiting from Technology, Harvard Business School Press.

26

Eibel-Spanyi, Katalin, Innovation in a Re-emerging Economy: Leasons from the Hungarian Experience, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 11, Number 2, 2004. Girardi, Antonia | Soutar, Geoffrey N | Ward, Steven, The Validation of a Use Innovativeness Scale, European Journal of Innovation Management, Volume 8, Number 4, 2005. Gloet, Marianne | Tersziovski, Mile, Exploring the relationship between knowledge management practices and inovation performance, Journal of ManufacturingTechnology Management, Volume 15, Number 5, 2004, 402-409. Greenhalgh, Trisha | Robert, Glenn | Macfarlane, Fraser | Bate, Paul | Kyriakidou, Olivia, Diffusion of Innovation in Service Organizations: Systematic Review and Recommendations, The Milbank Quarterly, Volume 82, Number 4, 2004, pp 581629. Hannah, David R., Who Owns Ideas? An Investigation of EmployeesBeliefs about the Legal Ownership of Ideas, Creativity and Innovation Management, Volume 13, Number 4, December 2004. Kodama, Mitsuru, Tehnological Innovation Through Networked Strategic Communities: A Case Study on a High-Tech Company in Japan, SAM Advanced Management Journal, Winter 2005; 70, 1. Leiponen, Aija, Organization of Knowledge and Innovation: The Case of Finnish Business Service, Journal of Industry and Innovation, June 2005; 12,2. Paap, Jay | Katz, Ralph, Predicting the Unpredictable, Anticipating Disruptive Innovation, Research Technology Management, Sep/Oct 2004; 47, 5. Pijpers, Guus G.M. | Monfort, van Kees, An Investigation of Factors that Influence Senior Executives to Accept Innovations in Information Technology, International Journal of Management, March 2006, 23, 1. Terziovski, Mile, Achieveing Performance Excellence Through an Integrated Strategy of Radical Innovation and Continuous Improvement, Measuring Business Excellence, 2002; 6, 2. Zairi, M (1999), Process Innovation Management, Best Practice, Butterworth-Heienmann.

27

Websites: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2005/1005/06/cakrawala/lain03.htm http://aufklarung.wordpress.com/2005/10/06/seluler-yang-sarat-inovasi/

28

Anda mungkin juga menyukai