Anda di halaman 1dari 29

KESEHATAN

REPRODUKSI &
KESEHATAN IBU DAN ANAK

Dosen Pengampu : Farihah Muhsanah, SKM., M.Kes.


KELOMPOK 6

CINDY RIFKAH ANANDA DIFA AMRU AZZAHRA ASMAYANG SARI


14120210082 14120210081 14120210104
B4 B4 B5

MASNUNA I AMBARAK A. AZIZAH AZZAHRA


14120210106 14120210105
B5 B5
OUTLINE

Pendarahan Memahami Retensi


01 Postpartum 02 Plasenta dan Atonia
Uteri

Definisi Kematian
03 Ibu 04 Determinan Ibu dan
Perspektif Gender
01
PENDARAHAN
POSPARTUM
PENDARAHAN POSPARTUM
 Perdarahan postpartum diartikan sebagai kehilangan darah 500 ml atau lebih
setelah janin dan plasenta lahir (akhir kala III) pada persalinan pervaginam atau
1000 ml atau lebih pada persalinan seksio sesarea.
 Definisi ini dirasakan terlalu sederhana apabila dikaitkan dengan adanya
pertambahan volume plasma darah yang normal pada kehamilan yaitu rata-rata
sebesar 30–60% atau 1500–2000 ml selama kehamilan.
 Oleh karena itu pengukuran kadar hematokrit sangat penting menilai jumlah
perdarahan yang terjadi selain pengukuran secara kwantitatif.
 Secara umum diterima apabila kadar hematokrit turun sebesar 3% itu berarti sudah
terjadi kehilangan darah sebanyak pertambahan volume darah kehamilan normal
(30-60%) ditambah dengan 500 ml.

Simanjuntak L. Perdarahan Postpartum (perdarahan paskasalin). Jurnal visi eksakta. 2020;1(1):1–10.


KLASIFIKASI PENDARAHAN POSTPARTUM

Berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi:


1.) Perdarahan postpartum primer (primary post partum haemorrhage)
yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama postpartum
2.) Sekunder (secondary post partum haemorrhage) merupakan perdarahan
yang terjadi setelah periode 24 jam sampai 6 minggu postpartum
(sebagian berpendapat < 12 minggu postpartum).

Simanjuntak L. Perdarahan Postpartum (perdarahan paskasalin). Jurnal visi eksakta. 2020;1(1):1–10.


ETIOLOGI PENDARAHAN POSTPARTUM

Penyebab perdarahan postpartum dapat dibagi


menjadi 4 T yaitu:
1. Tone (tonus; atonia uteri),
2. Tissue (jaringan; retensio plasenta dan sisa
plasenta),
3. Tears (laserasi; laserasi perineum, vagina,
serviks dan uterus) dan
4. Thrombin (koagulopati; gangguan
pembekuan darah).
Atonia uteri merupakan penyebab utama
perdarahan postpartum yaitu sebesar 70% dan
sekaligus penyebab utama kematia maternal.

Simanjuntak L. Perdarahan Postpartum (perdarahan paskasalin). Jurnal visi eksakta. 2020;1(1):1–10.


02
RETENSI PLASENTA
& ATONIA UTERI
RETENSI PLASENTA

 Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam


setelah kelahiran bayi.
 Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi
karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip
plasenta dan terjadi degerasi ganas korio karsioma.
 Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak
dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.

Rukiyah, A. Y., & Yulianti, L. 2010. Asuhan kebidanan 4 (patologi). Jakarta: Trans Info Media
RETENSI PLASENTA

 Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi
tetapi tinggi fundus tidak berkurang. (Prawirohardjo, 2005).

 Plasenta tertahan jika tidak dilahirkan dalam 30 menit setelah janin lahir. Plasenta
mungkin terlepas tetapi terperangkap oleh serviks, terlepas sebagian, secara
patologis melekat (plasenta akreta, inkreta, percreta) (David, 2007).
PENYEBAB RETENSI
PLASENTA
Secara fungsional dapat terjadi karena his
kurang kuat (penyebab terpenting), dan
Plasenta sukar terlepas karena tempatnya
(insersi disudut tuba), bentuknya (plasenta
membranasea, plasenta anularis), dan
ukurannya (plasenta yang sangat kecil).
Plasenta yang sukar lepas karena penyebab
diatas disebut plasenta adhesive.

Rukiyah, A. Y., & Yulianti, L. 2010. Asuhan kebidanan 4 (patologi). Jakarta: Trans Info Media
TANDA & GEJALA RETENSI PLASENTA
Gejala yang selalu ada:
1. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
2. Perdarahan segera
3. Kontraksi uterus baik
4. Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
5. Inversi uteri akibat tarikan
6. Perdarahan lanjutan.

Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang selalu ada:


7. Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap
dan perdarahan segera
8. Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
PENCEGAHAN RETENSI PLASENTA
 Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan adalah dengan promosi
untuk meningkatkan penerimaan keluarga berencana, sehingga memperkecil
terjadi retensio plasenta; meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
 Pada waktu melakukan pertolongan persalinan kala III tidak diperkenankan
untuk melakukan massase dengan tujuan mempercepat proses persalinan
plasenta. Masase yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi otot
rahim dan mengganggu pelepasan plasenta.

Rukiyah, A. Y., & Yulianti, L. 2010. Asuhan kebidanan 4 (patologi). Jakarta: Trans Info Media
ATONIA UTERI
 Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15
menit setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (Depkes
Jakarta ; 2002).
 Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post
partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4
jam setelah persalinan.
 Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada
terjadinya syok hipovolemik.
 Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya Perdarahan pasca
persalinan. Pada atonia uteri, uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah
persalinan.

Ayue, Heti Ira. 2019. Kebidanan kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Palangka Raya Kalimantan
Tengah. Hlm 114-15
PENYEBAB ATONIA UTERI
Penyebab tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain:
 Kemungkinan terjadi polihidranmion, kehamilan kembar dan makrosomia
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
 Persalinan lama. Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah,
sehingga otot- otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah
plasenta lahir.
 Persalinan terlalu cepat
 Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
 Infeksi intrapartum
 Paritas tinggi. Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari
uterus segera setelah plasenta lahir.
TANDA & GEJALA ATONIA UTERI
Tanda dan gejala yang khas pada atonia uteri jika kita menemukan:
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek;
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer).
3. Terjadinya syok
4. Pembekuan darah pada serviks/posisi telentang akan menghambat aliran darah
keluar
5. Nadi cepat dan lemah
6. Tekanan darah yang rendah
7. Pucat
8. Keringat/kulit terasa dingin dan lembab
9. Pernapasan cepat
10. Gelisah, bingung, atau kehilangan kesadaran
11. Urin yang sedikit.
PENCEGAHAN ATONIA UTERI
 Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
 Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang
cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri.
Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir.
Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per
liter IV drip 100-150 cc/jam.

Ayue, Heti Ira. 2019. Kebidanan kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Palangka Raya Kalimantan Tengah. Hlm
114-15
03
DEFINISI
KEMATIAN IBU
DEFINISI KEMATIAN IBU
● Maternal mortality atau kematian ibu merupakan kematian wanita selama masa
kehamilan atau dalam kurun waktu 42 hari setelah melahirkan, baik yang
berhubungan dengan kehamilan maupun suatu komplikasi yang diperburuk oleh
masa kehamilan, serta tidak berhubungan dengan penyebab yang incidental.

● Kematian maternal dapat digolongkan pada kematian obstetrik langsung dan


kematian tidak langsung, kematian yang terjadi bersamaan tetapi tidak
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan misalnya kecelakaan.

Hamdanillah R, Suardika A, Darmayasa M. Faktor determinan kematian ibu di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016.
2020;11(3):1075–80.
DEFINISI KEMATIAN IBU

● Kematian obstetri langsung disebabkan oleh komplikasi kehamilan,


persalinan, nifas atau penanganannya.

● Kematian tidak langsung disebabkan oleh penyakit atau komplikasi


lain yang sudah ada sebelum kehamilan atau persalinan, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia, malaria
dan lain-lain.

Dwi Aryana, Made Bagus. 2016. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Obstetri dan Ginekologi ke-8.
Denpasar.
04
DETERMINAN
KEMATIAN IBU DAN
PERSPEKTIF GENDER
DETERMINAN KEMATIAN IBU
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang dikelompokkan berdasarkan
kerangka dari McCarty dan Maine (1992) dalam Arulita (2007) adalah sebagai berikut:
1. Determinan dekat
Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian maternal adalah kehamilan itu sendiri dan
komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas.
a. Komplikasi Kehamilan
Ibu hamil resiko tinggi atau ibu hamil dengan komplikasi kehamilan adalah ibu hamil dengan
keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung dapat menyebabkan kesakitan dan
kematian bagi ibu maupun bayinya (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
b. Komplikasi Persalinan dan Nifas
Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah
perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (Arulita,
2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor (2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas
antara lain infeksi puerperium, mastitis, tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi
pascapartum hebat, sub involusi dan depresi pasca partum.

Kartiningrum, E. D. Determinan kematian ibu di Provinsi Jawa Timur pada masa pandemi Covid 19. Jurnal Hospital Majapahit. 2022;
14(1):92-96
DETERMINAN KEMATIAN IBU
2. Determinan Antara
a. Status kesehatan ibu
Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal meliputi status
gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada kehamilan dan
persalinan sebelumnya.
b. Status reproduksi
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal adalah usia ibu
hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu.
c. Akses terhadap pelayanan kesehatan
Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan, dimana tempat
pelayanan yang lokasinya tidak strategis/sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan
berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan
yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi.

Kartiningrum, E. D. Determinan kematian ibu di Provinsi Jawa Timur pada masa pandemi Covid 19. Jurnal Hospital Majapahit. 2022;
14(1):92-96
DETERMINAN KEMATIAN IBU
d. Perilaku Penggunaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan antara lain meliputi:
• Perilaku penggunaan alat kontrasepsi, dimana ibu yang mengikuti program keluarga
berencana (KB) akan lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak ber
KB.
• Perilaku pemeriksaan antenatal, dimana ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal
secara teratur akan terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya.
• Penolong persalinan, dimana ibu yang ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk
mengalami kematian dibandingkan dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga
kesehatan.
• Tempat persalinan, dimana persalinan yang dilakukan di rumah akan menghambat
akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan (Arulita, 2007).
DETERMINAN KEMATIAN IBU
3. Determinan Jauh
Meskipun determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian maternal, akan tetapi faktor
sosio kultural, ekonomi, keagamaan dan fakto-faktor lain juga perlu dipertimbangkan dan disatukan
dalam pelaksanaan intervensi penanganan kematian maternal. Termasuk dalam determinan jauh adalah
status wanita dalam keluarga dan masyarakat, yang meliputi:
a. Tingkat Pendidikan
Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya,
sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian
mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya terutama dalam hal
kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan.
b. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan masih berdasarkan pada budaya ‘berunding’ yang berakibat pada
keterlambatan merujuk.
c. Rendahnya Pengetahuan
Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda-tanda bahaya pada kehamilan mendasari
pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang.

Kartiningrum, E. D. Determinan kematian ibu di Provinsi Jawa Timur pada masa pandemi Covid 19. Jurnal Hospital Majapahit. 2022;
14(1):92-96
DETERMINAN KEMATIAN IBU
 Penyebab kematian ibu juga terjadi karena penanganan yang kurang baik dan tepat, adanya
faktor tiga terlambat (3T) yaitu terlambat mengenali tanda bahaya,terlambat merujuk dan
terlambat mendapat pelayanan yang optimal. Faktor tersebut merupakan penyebab tidak
langsung, namun menjadi penyebab mendasar dalam kematian ibu.
 Keterlambatan pertama dalam merujuk yang harus segera dicegah agar tidak menyebabkan
keterlambatan berikutnya yaitu terlambat mengambil keputusan keluarga dan terlambat
mengenali tanda bahaya dalam kehamilan. (Sumarni dan Anasari, 2014).
 Adapun faktor pelayanan kesehatan disebabkan oleh belum mantapnya jangkauan pelayanan
KIA dan penanganan kelompok berisiko, masih rendahnya cakupan Ante Natal Care dan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, keterlambatan penanganan adekuat, akses
pelayanan kesehatan (jarak, biaya, waktu dan transportasi) yang tidak terjangkau.

Respati SH, Sulistyowati S, Nababan R. Analisis Faktor determinan kematian ibu di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah Indonesia.
Jurnal Kesehat Reproduksi. 2019;6(2):52.
PERSPEKTIF GENDER
● Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat
(Wiknjosastro, 2005).
● Dalam kerangka moser perempuan dalam masyarakat memiliki tiga peran (triple
roles of women) yaitu peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial
kemasyarakatan (organisasi) sedangkan laki-laki hanya memiliki dua peran
dimasyarakat yaitu peran produktif dan peran kemasyarakatan.
● Ketidaksetaraan gender dimana banyaknya peran yang harus dilakukan oleh perempuan
dibandingkan laki-laki dianggap sebagai kewajiban bahkan kodrat wanita serta sering
tidak memiliki perlindungan ditempat kerja bahkan peran produktif perempuan
kurang dihargai dibandingkan peran produktif laki-laki, hal tersebut menyebabkan
tingginya kejadian komplikasi ketika hamil, bersalin dan nifas seperti perdarahan
dan partus lama karena anemia pada kehamilan, pre eklamsia, abortus, infeksi daan
penyakit penyerta lain.

Syalfina, A.D, Khasanah, N.A, Sulistyawati, Wiwit. 2018. Kualitas gender dalam kehamilan. Mojokerto: STIKes
Majapahit Mojokerto.
PERSPEKTIF GENDER
Penyebab tidak langsung morbiditas maternal antara lain:
a. Perempuan Tidak Memiliki Otonomi dalam Pengambilan Keputusan
Pengambil keputusan dalam keluarga yang cenderung menganut sistem patrilineal adalah suami.
Apabila Ibu hamil dengan komplikasi yang memerlukan pemeriksaan dan penanganan di fasilitas
yang lebih lengkap dan membutuhkan biaya yang besar, keputusan untuk apakah harus periksa
atau menerima pengobatan berada pada keputusan suami.
b. Beban Kerja
Beban kerja ibu dari keluarga sosial ekonomi rendah dalam mengurus rumah tangga cukup berat,
bahkan pekerjaan tetap harus dilakukan dalam keadaan hamil. Selain pekerjaan rumah tangga, ibu
hamil harus mencari nafkah untuk menutupi kekurangan pendapatan rumah tangga. Beban kerja
yang berat memicu kerentanan tubuh ibu hamil baik fisik maupun psikologis sehingga terjadi
komplikasi kehamilan.
c. Konsumsi Pangan yang Terbatas
Perilaku dan budaya pantang makanan tertentu dilakukan oleh ibu hamil dan menyebabkan ibu
hamil tidak dapat mengkonsumsi makanan tinggi protein. Padahal ibu hamil membutuhkan makanan
yang bergizi dan bervitamin.

Syalfina, A.D, Khasanah, N.A, Sulistyawati, Wiwit. 2018. Kualitas gender dalam kehamilan. Mojokerto: STIKes Majapahit Mojokerto.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai