KEDOKTERAN FORENSIK
1. Pengertian kedokteran forensik;
b. Forensik Klinik, yang mendalami pemeriksaan terhadap korban hidup seperti pada
kasus perkosaan, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan pada
anak, kedokteran lalu lintas, paternitas dan lain-lain termasuk medikolegal atau
permasalahan di bidang medis seperti malpraktek dan sebagainya.
BIDANG KERJA KEDOKTERAN FORENSIK
a. Forensik Laboratorium, yang mendalami pemeriksaan terhadap barang bukti
biologis dari tubuh manusia seperti pemeriksaan racun, keracunan, DNA, darah,
sperma, rambut, juga terhadap barang bukti bologis di benda fisik seperti bercak
darah di pakaian dan lain-lain.
b. Forensik antropologi yang mendalami masalah hal identifikasi forensik dari segi
pemeriksaan fisik dan postur manusia.
BIDANG KERJA KEDOKTERAN FORENSIK
Forensik psikiatri yang merupakan penerapan ilmu jiwa untuk menilai kondisi
kesehatan jiwa seseorang demi kepentingan hukum.
• Olah TKP aspek medis merupakan dukungan teknis bagi penyidik di TKP
untuk mengungkap kasus dan mengumpulkan barang bukti pada suatu
dugaan tindak pidana
• Pembuatan Visum Et Repertum yang merupakan hasil dari kegiatan bantuan teknis
pemeriksaan korban meninggal dunia dan korban hidup.
Olah TKP Aspek Medis
• Pengertian TKP adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau
akibat yang ditimbulkannya atau tempat-tempat lain dimana barang bukti yang
berhubungan dengan tindak pidana tersebut ditemukan.
Olah TKP Aspek Medis
• Pengertian TKP adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau
akibat yang ditimbulkannya atau tempat-tempat lain dimana barang bukti yang
berhubungan dengan tindak pidana tersebut ditemukan.
a. Penanganan TKP terdiri dari dua macam yaitu :
1) TPTKP (Tindakan Pertama pada Tempat Kejadian Perkara) yaitu tindakan kepolisian
yang harus dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana yang bertujuan untuk
melakukan pertolongan/perlindungan kepada korban/anggota masyarakat serta
penutupan dan pengamanan TKP guna persiapan penyidikan selanjutnya;
2) Olah TKP yaitu tindakan atau kegiatan setelah TPTKP. Dilakukan dengan maksud
untuk mencari, mengumpulkan, mendokumentasikan, menganalisa, mengevaluasi
petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti serta identitas tersangka melalui “teori
pembuktian segitiga” guna memberikan arah penyidikan selanjutnya;
3) Teori segitiga pembuktian bahwa untuk bisa membuktikan suatu tindak pidana
diperlukan 4 (empat) faktor yang saling terkait yaitu pelaku, korban, barang bukti
terkait yang pasti berada pada tempat kejadian tindak pidana atau TKP.
• Penanganan korban hidup di tempat kejadian perkara.
• Adapun penanganan korban hidup di TKP adalah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
2) Bila korban perlu di evakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara atau RSUD/RS lain/klinik setempat
dan jangan lupa untuk memberikan tanda pada tempat korban tergeletak;
3) Dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit dengan melihat situasi dan kondisinya apabila
memungkinkan tanya tentang identitas tersangka pelaku dan korban;
4) Sesampainya di Rumah Sakit tunggu korban selama mendapatkan pertolongan pertama di RS dan
mintakan barang-barang bukti yang terkait dengan korban seperti pakaian, proyektil peluru,
rambut, muntahan dan sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapinya. Kemudian buat berita
acara serah terima barang buktinya;
5) Siapkan dan kirimkan surat permintaan Visum Et Repertum (SPV) terhadap korban hidup;
• Apabila korban meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit, maka teruskan perjalanan ke RS
ke bagian Instalasi Forensik RS Bhayangkara/kamar mayat RS, serahkan kepada petugas RS,
jelaskan sedikit peristiwa yang telah terjadi dan pertolongan yang telah dilakukan, kemudian buat
berita acara serah terima korban untuk dititipkan di kamar mayat
• Penanganan korban hidup di tempat kejadian perkara.
• Adapun penanganan korban hidup di TKP adalah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
2) Bila korban perlu di evakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara atau RSUD/RS lain/klinik setempat
dan jangan lupa untuk memberikan tanda pada tempat korban tergeletak;
3) Dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit dengan melihat situasi dan kondisinya apabila
memungkinkan tanya tentang identitas tersangka pelaku dan korban;
4) Sesampainya di Rumah Sakit tunggu korban selama mendapatkan pertolongan pertama di RS dan
mintakan barang-barang bukti yang terkait dengan korban seperti pakaian, proyektil peluru,
rambut, muntahan dan sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapinya. Kemudian buat berita
acara serah terima barang buktinya;
5) Siapkan dan kirimkan surat permintaan Visum Et Repertum (SPV) terhadap korban hidup;
• Apabila korban meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit, maka teruskan perjalanan ke RS
ke bagian Instalasi Forensik RS Bhayangkara/kamar mayat RS, serahkan kepada petugas RS,
jelaskan sedikit peristiwa yang telah terjadi dan pertolongan yang telah dilakukan, kemudian buat
berita acara serah terima korban untuk dititipkan di kamar mayat
a. Penanganan korban meninggal dunia di tempat kejadian perkara.
• Penanganan korban meninggal dunia di TKP memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Apabila korban meninggal dunia, maka pastikan dulu apakah memang benar-benar
sudah meninggal dunia , lihat tanda-tanda vital kehidupan seperti nadi/detak jantung
dan gerak pernapasannya. Setelah dipastikan kemeninggal dunia annya maka
penanganan korban meninggal dunia selanjutnya tidak perlu tergesa-gesa;
2) Perlu dipikirkan untuk mengamankan TKP seluas mungkin sesuai situasi dan
kondisinya, letak korban dan barang bukti lain yang berhubungan. Cegah
kontaminasi dari luar maupun dalam sehingga TKP secara maksimal mungkin terjaga
keasliannya/steril. Gunakan sarung tangan dan perlengkapan TKP perorangan;
2) Apabila petugas olah TKP datang maka harus lapor terlebih dahulu kepada
manajer TKP dan secara singkat menanyakan uraian keterangan
sementara dan hal lain yang berkaitan dengan kasus yang akan
ditanganinya;
3) Buat catatan dan sketsa tentang korban di TKP seperti: catat jam tiba di
TKP, tentang jenis kelamin, perkiraan umur, sikap korban, keadaan pakaian,
tanda perlukaan, bercak darah, bercak/cairan lainnya di TKP, kondisinya
basah/kering, benda lain di sekitar korban dan sebagainya terkait dengan
korban;
1) Buat dokumentasi foto terhadap korban dari jarak jauh (pandangan
umum), jarak menengah (korban dan sekitar TKP) serta jarak dekat
(korban). Pada foto korban jarak dekat dokumentasikan terhadap korban
seluruh tubuh, setengah badan ke atas, wajah dan terhadap perlukaannya.
Foto juga cairan, bercak dan barang bukti biologis lainya yang ditemukan di
TKP. Setiap barang bukti yang didokumentasi foto harus mengikuti standar
dokumentasi forensik antara lain label/nomor barang bukti,
pembanding/skala/penggaris, tanggal dan waktu pengambilan foto;
1) Dasar hukum.
• Prosedur permintaan Visum et Repertum mayat (korban meninggal dunia) telah diatur dalam Pasal 133
dan 134 KUHAP. Dengan merujuk kedua pasal dalam KUHAP tersebut dapat diartikan bahwa
Permintaan Visum Et Repertum mayat berupa bedah mayat , maka hukumnya ”mutlak” atau tidak dapat
ditolak.
• Apabila diperlukan pemeriksaan bedah mayat dan keluarga keberatan, maka penyidik wajib
menjelaskan kepada keluarga korban hingga keluarga korban dapat memahami tujuan dan
kepentingan pemeriksaan. Penyidik juga masih dapat menerapkan Pasal 222 KUHP yang akan
memberikan sangsi pidana apabila keluarga menghalang-halangi guna pemeriksaan mayat untuk
keadilan.
1) Beritahu keluarga korban bukan meminta persetujuan.
• Berdasarkan Pasal 134 KUHAP maka seorang penyidik mempunyai kewajiban menerangkan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan diadakannya pemeriksaan bedah mayat tersebut. Dapat
disimpulkan disini sekali lagi bahwa apabila penyidik sudah meminta untuk dilakukan pemeriksaan
bedah mayat maka bersifat ”mutlak” atau Obligatory dan tidak dapat ditolak.
• Keluarga korban hanya diberitahu mengenai maksud dan tujuan bedah mayat sehingga bukan meminta
persetujuan dari keluarga korban.
1) Buat surat permintaan visum.
a) Surat Permintaan Visum (SPV) ini ditujukan kepada RS Bhayangkara di daerah setempat atau RSUD atau RS
Swasta jika tidak ada;
b) SPV dituliskan dengan jelas jenis pemeriksaannya, apakah pemeriksaan mayat atau bedah mayat. Pemeriksaan
mayat saja tidak dapat menentukan penyebab kematiannya, sehingga seharusnya perihal isi surat adalah
permintaan pemeriksaan bedah mayat;
c) SPV dituliskan jelas identitas mayat, atau jika belum diketahui identitasnya maka dapat ditulis ”Mr.X” atau Mrs. X”;
a) SPV dituliskan pula keterangan singkat mengenai kejadian, waktu
ditemukan, keterangan di TKP, cara kematian sementara dan lain-lain.
Namun apabila masih dalam penyidikan maka lebih baik kolom keterangan
singkat mengenai kejadian ini dikosongkan saja;
b) SPV dicap dengan cap dinas dan pejabat yang menandatangani Visum Et
Repertum adalah penyidik seperti diatur telah dalam undang-undang (Pasal
2 dan 3 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP).
1) Kirim mayat ke rumah sakit.
a) Pengiriman mayat ini harus sesegara mungkin, oleh karena semakin lama maka proses pembusukan juga
berlangsung dan hasil pemeriksaan menjadi kurang optimal;
b) Pengirim mayat harus diantar oleh penyidik sendiri. Jangan lupa menyertakan label mayat yang diikatkan pada
ibu jari kaki kiri atau jika tidak ada maka pada bagian lain dari tubuh;
c) Mengikuti pemeriksaan mayat oleh dokter kehakiman. Dengan penyidik ikut dalam mengantar mayat dan turut
serta selama dalam pemeriksaan akan memberikan keuntungan kepada penyidik oleh karena penyidik dapat
memberi keterangan terkait kasusnya dan mendapatkan informasi yang terkini dari dokter pemeriksa.
1) Pemeriksaan oleh dokter kehakiman.
• Pemeriksaan bedah mayat oleh dokter kehakiman membutuhkan waktu kurang lebih 1 – 3 jam
tergantung kesulitan kasusnya. Seorang dokter forensik akan melakukan pemeriksaan lebih teliti dan
relatif lebih cepat oleh karena lebih banyak memiliki pengalaman. Hasil dari pemeriksaan dari seorang
Dokter Forensik juga mempunyai nilai yang ”lebih” jika dibandingkan dengan dokter lainnya, hal ini
terkait dengan pendidikan, pengalaman dan kompetensinya.
• Selama dalam pemeriksaan seorang dokter kehakiman akan menemukan petunjuk-petunjuk berkaitan
dengan pemeriksaannya. Apabila perlu ia akan melakukan pemeriksaan penunjang dan atau
mengambil beberapa sampel dari mayat untuk pemeriksaan lebih lanjut, untuk itu kehadiran dari
penyidik memang diperlukan agar informasi terkini dapat diterima dan dapat segera ditindaklanjuti.
1) Hasil pemeriksaan dokter kehakiman.
• Pencabutan permintaan Visum et Repertum bedah mayat pada prinsipnya tidak dibenarkan,
namun kadangkala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk
dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan agama, adat dan lain-lain.
• Menurut agama Islam maka bedah mayat untuk kepentingan peradilan hukumnya ”mubah”
berdasarkan Fatwa Majelis Kesehatan dan Syara No. 4/1955. Bila timbul keberatan dari
pihak keluarga, maka harus dijelaskan kembali tentang maksud dan tujuan diadakannya
bedah mayat (Pasal 134 KUHAP). Dan apabila keluarga tetap menolak maka penyidik dapat
menerapkan sangsi pidana sesuai Pasal 222 KUHP.
• Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan
pencabutan penarikan kembali Visum Et Repertum tersebut hanya diberikan oleh
Komandan Kesatuan paling rendah tingkat Polsek dan untuk kota besar hanya Polrestabes.
Permintaan tersebut harus diajukan tertulis resmi dengan menggunakan formulir
pencabutan dan ditandatangani oleh pejabat/petugas yang berhak dimana pangkatnya satu
tingkat di atas pemintaan setelah terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.
a. Prosedur permintaan Visum Et Repertum korban hidup.
• Permintaan Visum et Repertum untuk korban hidup pada prinsipnya
hampir sama dengan tata cara permintaan Visum et Repertum terhadap
korban meninggal dunia . Namun karena korban hidup juga statusnya
sebagai pasien maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara
lain: