Anda di halaman 1dari 12

MENELAAH BUDAYA

DAN PEREBUTAN
HEGEMONI DUNIA
Hubungan Budaya Populer dengan Politik Dunia
DISUSUN OLEH:
AULIYA (190711637235)
PRISKA ‘ ILLIYINA F (190711637250)
RISNA ARI ANTI SAPUTRI (190711637293)
SHALSABILA KHARISMADINI KARTIKA (190711637206)
HUKUM & HUBUNGAN INTERNASIONAL
KLS A
BUDAYA & BUDAYA POPULER
Budaya populer berasal dari 2 kata, yakni budaya dan pop atau populer. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang.
Sementara, seorang studi budaya (cultural studies) asal Inggris bernama Raymond Williams
mendefinisikan budaya dalam 3 makna, yakni:
a. Budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umum perkembangan
intelektual, spiritual, dan estetis;
b. Budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu;
serta
c. Budaya pun bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas
artistik. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi
utama untuk menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa
yang menciptakan makna tertentu.
Selanjutnya, kata pop atau populer menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
dikenal dan disukai orang banyak atau umum.
Sementara, Williams mendefinisikan kata popular dalam 4 makna yakni:
a. Banyak disukai orang;
b. Jenis kerja rendahan;
c. Karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; serta
d. Budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.
HEGEMONI
 Hegemoni dalam bahasa Yunani "Eugemonia", menjelaskan tentang praktik dominasi negara-negara
kota (Polis) seperti Athena dan Sparta, kepada negara-negara lain.
 Menurut Gramsci :

“Supremasi sebuah kelompok sosial memanifestasikan dirinya dengan dua cara, yaitu sebagai
dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral."
 Hegemoni yang berpijak pada kepemimpinan intelektual menekankan pada kuasa pengetahuan
dalam mempengaruhi orang lain. Hegemoni kepemimpinan moral menekankan pada relasi sosial
dan kedekatan emosional.
 Pandangan Gramsci melahirkan kepatuhan. Yaitu sikap untuk menerima keadaan tanpa
mempertanyakannya lagi secara gamblang karena ideologi yang ditunjukkan oleh kelas hegemoni
hanya dicerna dengan mentah-mentah.
 Ketika prinsip-prinsip tersebut diinternalisasikan maka akan berubah menjadi common sense.
BUDAYA DAN HEGEMONI
DUNIA
 Budaya dianggap sebagai formasi diskursif, yang merupakan sekumpulan gagasan, imaji, dan
praktik pemaknaan yang teregulasi maupun liar, mengenai objek-objek yang menyatu di
sekitar konsep, gagasan, dan persoalan kunci.
 Hegemoni (dominasi) meluas hingga mencakup aspek budaya, yang didominasi oleh kelas
penguasa di masyarakat yang memiliki strata sosial
 Budaya didominasi oleh kelas penguasa terkait kehidupan masyarakat dengan memanipulasi
(membentuk) budaya masyarakat tersebut dari sisi keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat
istiadat menjadi sebuah norma budaya umum tanpa paksaan
 Norma budaya umum terbentuk menjadi ideologi dominan yang sah secara universal dan
membenarkan status quo di segala bidang sebagai sesuatu yang alami, abadi dan sebagai
sesuatu yang memiliki kesan bermanfaat bagi semua orang, walaupun terkadang manfaatnya
lebih banyak menguntungkan kelompok penguasa dominan
BUDAYA DAN POLITIK DUNIA
 Ada kondisi-kondisi tertentu yang menampilkan fenomena sikap dan perilaku politik ternyata
bersumber dari latar belakang sejarah, dan akar budaya tertentu. Terkadang ada juga kondisi
yang memperlihatkan sikap ataupun perilaku kultural sebagai hasil dari perkembangan politik
atau bahkan akibat dari manipulasi politik tertentu. Kondisi tersebut memunculkan suatu
kajian tersendiri mengenai korelasi politik dengan budaya.
 Politik dan kebudayaan menjadi semacam dua sisi dari satu keping koin yang tidak dapat
dipisahkan karena kedua aspek tersebut selalu berkaitan dan nampaknya terjadi proses
mutualisme dimana timbul fenomena yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak
bila terjadi proses interaksi. Dan tak jarang pula aspek-aspek atau perilaku-perilaku dalam
kebudayaan menjadi kontradiksi dengan perkembangan perilaku politik sehingga
menimbulkan ketidakbermanfaatan atau malah saling memberikan efek negatif antara
keduanya.
STUDI KASUS 1
Untuk melihat secara jelas fenomena hubungan antara kebudayaan
dengan politik dan kontekstualisasinya bisa diteropong dimasa-masa awal
berdirinya pemerintahan Orde Baru. Banyak contoh yang memberikan
gambaran betapa dunia politik ternyata tidak semata-mata berada pada ruang
kosong dalam masyarakat dan juga tidak berdiri sendiri dalam tatanan
kehidupan sosial.
Pada tahun 1960-an sebuah kesenian Srandul yang sangat popular
dipentaskan didaerah Kota Gede, Yogyakarta menjadi korban “kekerasan
politik”, setelah sekian lama eksis harus rela untuk dibekukan dan dilarang
tampil oleh pemerintahan Orde Baru hanya gara-gara pengelola seni ini berada
disebuah kampung yang menjadi basis masa kaum “kiri”.Dengan demikian,
berawal dari urusan politik merambat keurusan kebudayaan dan kesenian
sehingga kontestasi politik dapat dengan serius mengancam eksistensi
kebudayaan. Bahkan dengan persaingan politik tersebut tidak hanya
mengganggu eksistensi kebudayaan tapi juga sebaliknya dapat menjadi
penyokong kegiatan politik bahkan pemerintahan secara langsung. Semasa Orde
Baru yang mempunyai ideology pembangunan nyaris semua sendi-sendi dalam
masyarakat diagendakan untuk mendukung keberhasilan program pemerintahan
yaitu pembangunan.
STUDI KASUS 2
Kebudayaan juga tidak hanya menjadi alat bagi kompetisi politik,
kebudayaan bisa menjadi alat untuk mengungkapkan aspirasi dan pemikiran
masyarakat terhadap pemerintah sehingga tidak tertutup kemungkinan
keanekaragaman budaya dapat dimanfaatkan sebagai ajang untuk memberikan
tekanan terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Hal itu tergantung bisa
atau tidaknya kelompok masyarakat seni dan budaya tertentu memanfaatkan
peluang tersebut, juga dapat dipengaruhi oleh kondisi politik negara yang
bersangkutan. Salah satu contoh kasus yang dapat lihat yakni terkait Fandom
K-Pop.
Fandom K-Pop sebagai budaya populer memiliki power untuk
mengendalikan dan/atau mempengaruhi politik nasional maupun dunia. Power
tersebut disebabkan karena adanya solidaritas yang tinggi antara anggota
fandom tersebut. Oleh karena itu, dikhawatirkan fandom tersebut dimanfaatkan
untuk kepentingan politik tertentu (menggiring opini public dll).
Fandom KPOP dapat digolongkan sebagai Hegemoni moral jika
didasarkan pada teori Gramsci. Hal ini karena kedekatan yang terjalin diantara
mereka merupakan kdekatan emosional dan relasi sosial yang terjalin karena
kegemaran yang sama serta pengaruh sosial media (budaya populer lain).
Tidak hanya mampu menggemparkan politik
nasional. Fandom K-Pop juga pernah
menggemparkan politik dunia. Salah satu
contohnya adalah ketika fandom BTS (Army)
melakukan sabotase terhadap kampanye Donald
Trump pada Juni 2020 lalu.
ASUMSI DASAR PENYELESAIAN MASALAH
Untuk mencegah dampak buruk dari pengaruh timbal balik antara budaya dan politik yang dimana pada saat ini negara
negara didunia semakin berlomba untuk berebut hegemoni dunia adalah:
1. Memperkuat pondasi kebangsaan baik dari segi sosial, politik dan budaya dengan selalu berlandaskan pada Pancasila.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat wawasan kebangsaan terkhususnya bagi masyarakat Indonesia.
2. Gencar memberikan pendidikan karakter bagi generasi muda, agar generasi muda dapat lebih selektif dan bijak dalam
menghadapi arus budaya popular serta arus globalisasi yang ada
3. Edukasi mengenai makna sebenarnya dari budaya popular bagi generasi muda.
4. Memperluas Pendidikan politik bagi masyarakat guna memberikan pemahaman budaya politik yang sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia. Sehingga masyarakat tidak akan mudah dipengaruhi oleh hegemoni budaya politik
dunia yang tidak sesuai dengan Pancasila dan karakteristik bangsa Indonesia
DAFTAR RUJUKAN
 Kaparang, Olivia M. 2013. Analisis Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea
Melalui Televisi. Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013. Online (Diakses pada 10 Februari
2022) https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnakomunikasi/article/download/1138/916
 Al Amroshy, Afidatul Ulum dan Ali Imron. 2014. Hegemoni Budaya Pop Korea pada Komunitas
Korea Lovers Surabaya (KLOSS). Paradigma. Volume 02 Nomer 03 Tahun 2014. Online
(diakses tanggal 12 Februari 2022)
https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Hegemoni+Budaya+Pop+Korea+
pada+Komunitas+Korea+Lovers+Surabaya+%28KLOSS&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3D_x
CVHR3E1eYJ
 Safni, Irma. 2014. Politik dan Kebudayaan. Artikel (Online)
https://www.kompasiana.com/www.irmasafni.com/54f6a670a33311f1558b457e/politik-dan-keb
udayaan

Anda mungkin juga menyukai