Anda di halaman 1dari 45

PERKEMBANGAN

ISLAM DI AFRIKA
ALJAZAIR
Selama berabad-abad Aljazair—atau waktu itu masih bernama Numidia—dikuasai
oleh Romawi. Selama pendudukannya, Roma juga mengalami pasang surut, hingga
Roma berhasil mengukuhkan kekuasaannya kembali pada abad ke-6 di bawah
kepemimpinan Justinian, kaisar timur Romawi pada waktu itu. Justinian mempunyai
mimpi besar membangkitkan kembali kejayaan Romawi yang sebelumnya sempat
menurun. Namun sayangnya, mimpi Justinian justru berumur pendek.

Pada abad ke-7 orang-orang Arab menyerang Afrika Utara, membawa serta sebuah
agama baru, yaitu Islam. Di Aljazair mereka dilawan Kusayla dan Kahina, pemimpin
spiritual suku Berber, beberapa ilmuwan meyakini bahwa keyakinan mereka telah
terkonversi menjadi Yudaisme. Namun akhirnya, orang-orang Berber tunduk pada
Islam dan otoritas Arab, dan Aljazair menjadi salah satu provinsi di bawah
kekhalifahan Umayyah. Orang-orang Arab, setelah kemenangan tersebut, banyak
yang menetap di Aljazair, pada waktu itu mereka menjadi golongan elit di Aljazair.
Pada abad ke-8, Abbasiyah merebut kekhalifahan dari Umayyah. Dalam situasi peralihan seperti ini, suku
Berber Aljazair mengambil kesempatan, banyak di antaranya anggota sekte Islam Khawarij, mereka
mendirikan kerajaan Islam otonom mereka sendiri. Salah satu yang paling menonjol adalah Rustamids dari
Tahert, Aljazair tengah. Tahert mengalami kemakmuran pada abad ke-8 dan ke-9. Pada awal abad ke-10,
Tahert ditaklukkan oleh orang-orang dinasti Fatimiyah, yang menganut aliran Islam Syiah.

Kemudian, dari abad ke-11 sampai ke-13 dua dinasti Berber berkuasa berturut-turut, yaitu Almoravid dan
Almohads, mereka membawa Afrika barat laut dan selatan Spanyol di bawah satu otoritas pusat. Kota
Tlemcen menjadi pusat peradabannya, masjid dan sekolah Islam yang bagus didirikan di sana, dan Tlemcen
juga menjadi pusat kesenian kerajinan tangan. Pelabuhan Aljazair seperti Bejaïa, Annaba, dan kota Aljir yang
sedang berkembang pada waktu itu melakukan perdagangan yang besar dengan kota-kota di Eropa,
memasok kuda Barbary yang terkenal, lilin, kulit hewan berkualitas, dan kain-kain ke pasar Eropa.

Dinasti Almohad runtuh pada tahun 1269 dan digantikan oleh dinasti Abd al-Wadid (atau Zayyanid).
Berpusat di Tlemcen, dinasti Zayyanid berkuasa selama 300 tahun. Periode tersebut ditandai dengan
persaingan dagang yang sengit di antara pelabuhan-pelabuhan di Mediterania, baik itu orang-orang Kristen
maupun orang-orang Muslim. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemerintah kota mulai
menyewa corsair—perompak yang mengambil alih kapal dagang secara paksa dan menyandera kru dan
kargonya untuk mendapatkan uang tebusan. Aljir menjadi pusat utama aktivitas corsair.
Pada abad ke-16 orang-orang Spanyol Kristen menduduki berbagai pelabuhan di Afrika Utara. Aljir diblokade
dan dipaksa membayar upeti. Muslim yang putus asa meminta bantuan dari Sultan Ottoman, khalifah umat
Islam pada saat itu. Dua bersaudara corsair, kakak beradik Barbarossa (yang berarti “Janggut Merah”),
membujuk Sultan untuk mengirim bantuan berupa armada perang ke Afrika Utara. Kemudian dengan bantuan
armada Ottoman mereka mengusir orang-orang Spanyol dari sebagian besar wilayah baru mereka, dan pada
tahun 1518 Barbarossa muda (si adik), yang bernama Khairuddin, ditunjuk sebagai beylerbey (bahasa Turki,
artinya “pemimpin”/admiral), dan menjadi perwakilan Sultan di Aljazair.

Karena jaraknya yang begitu jauh dari ibukota Ottoman, yakni Konstantinopel (sekarang İstanbul), Aljir sebagai
salah satu provinsi Ottoman diperintah secara otonom. Secara eksternal, kelihaian corsair mengemudikan
kapal di laut tengah menjadikan Aljazair sebagai kekuatan besar di wilayah tersebut, para perompak corsair
telah mendominasi laut tengah! Negara-negara Eropa memberi upeti secara teratur untuk memastikan
perlindungan bagi kapal mereka. Operasi “pembajakan” juga tetap berlangsung, dan uang tebusan untuk
sandera membawa pendapatan yang besar bagi provinsi tersebut. Untuk keamanan internal, Aljazair dikelola
oleh tentara Ottoman yang bernama yeniçeri, (bahasa Turki, artinya “pasukan khusus baru”).
Pada akhir abad ke-18, saat Kekaisaran Ottoman melemah, orang-orang
Kristen Eropa justru menguat. Dengan senjata api dan konstruksi kapal
yang modern, Eropa mampu menantang dominasi corsair di Laut
Tengah. Perjanjian internasional untuk melarang pembajakan membuat
tindakan kolektif melawan Aljazair menjadi memungkinkan. Pada tahun
1815 Amerika Serikat mengirim skuadron angkatan laut melawan kota
tersebut. Tahun berikutnya sebuah armada Anglo-Belanda hampir
menghancurkan pertahanan Aljazair, dan pada tahun 1830, akhirnya Aljir
ditundukan oleh tentara Prancis. Semenjak akhir abad ke-19 sampai
dengan kemerdekaannya pada tahun 1962 Aljazair ada di bawah
pendudukan Prancis. Selama di bawah pendudukan Prancis, orang-orang
Aljazair berkali-kali mengalami penganiayaan berat: pembunuhan,
pemerkosaan, penjarahan, dan pembersihan etnis.
SUDAN
1. Sejarah Singkat

Negara di Afrika Tengah bagian timur ini merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Selain itu, konflik
berkepanjangan kian memperburuk sendi-sendi kehidupan dan beragama.
Akan tetapi, Sudan tak bisa dikesampingkan beg2itu saja dari peta dunia Islam. Pertama, karena Sudan merupakan
negara terluas di benua Afrika. Kedua, negara ini memiliki tokoh Muslim kharismatik yang menggagas penerapan syariat
Islam di sana, yakni Dr. Hassan Turabi.
Sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan
kekuasaan. Bahkan jauh sebelum itu, pertikaian dan perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun
silam. Yaitu saat Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua itu dibangun raja-
raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara, sekitar tahun 4000 SM. Kemudian berdirilah dua kerajaan
baru, yaitu Maqurra dan Alwa.

Pada tahun 1500-an Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan.
Setelah melakukan perkawinan campuran dengan suku Funj, orang Arab Muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya
dinasti Funj berkuasa hingga 1821.
Selanjutnya Sudan dikuasai dinasti Ottoman Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir dengan dukungan
Inggris. Gubernur Jendral Muhammad Ali, memerintah secara keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan
keputusan saat Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha.
Hingga tahun 1881, tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai akhirnya
muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum pada 26 Januari 1885. Namun,
perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah Mesir dan
Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan sendiri, pada Februari 1953. Pemerintahan di
wilayah seluas 2,5 juta km persegi dengan penduduk 29 juta itu, tak pernah benar-benar stabil. Perang saudara di sana
merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika.

Pada tahun 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak bertahan lama. Konflik makin membesar antara
pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas Muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori
Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).
2. Ekonomi dan Politik

Sudan memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi, dan tembaga yang cukup melimpah,
Sedangkan potensi pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah, dan hewan ternak.. Lonjakan
pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada tahun 1979, saat ditemukan deposit minyak bumi di
Sudan Selatan yang kemudian diekplorasi.
Kesenjangan Sudan Utara dengan Selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki perbedaan.
Sudan Utara dirtinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi tiga perempat penduduk Sudan. Maka
bahasa Arab yang menjadi bahasa pengantar utama di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang
dominan dengan beragam suku.

Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan Ahmad Al-Bashir didukung oleh Dr Hassan Turabi melakukan kudeta
tak berdarah atas pemerintahan Presiden Jakfar Numeri. Dwi tunggal Bashir dan Turabi memimpin Sudan
masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya pengaruh Turabi sebagai ketua Partai
Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan pada Bashir.
Pada Desember 1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat dari jabatan
ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan
mendirikan partai baru. Demi mengamankan kekuasaannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta
dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika Serikat.
3. Budaya

Disamping budaya Afrika, pengaruh budaya Arab sangat kental pada keseharian masyarakat Sudan. Kendati
tidak semua Muslim di sana menggunakan bahsa pengantar Arab, namun sejarah membuktikan bahwa
penerimaan Islam sangat dipengaruhi oleh proses arabisasi. Hampir tidak ada pemaksaan lantaran Islam masuk
melalui perantara dan hubungan erat dengan para pedagang asal Timur Tengah di masa lampau.

Pada sensus tahun 1981, populasi penduduk sekitar 21 juta jiwa. Kini diperkirakan mencapai 36 juta jiwa
dan mayoritas memeluk Islam. Sebanyak 3-4 juta jiwa tinggal di wilayah ibu kota Khartoum. Adapun satu juta
jiwa mendiami kawasan selatan Sudan yang kerap bergolak.

Sudan tergolong unik di antara negara-negara Islam. Jika di negara Islam yang lain selalu terkena stigma
fundamentalis, Sudan justru bangga menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Mereka pun gigih membela
prinsip ini meskipun harus dibayar dengan perang saudara. Dapat dikatakan, Sudan hanyalah sebuah negara dan
bukan bangsa. Ada sekitar 100 lebih bahasa dan dialek yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mereka
terpecah oleh banyak etnis, tapi tidak ada satupun etnis yang menjadi mayoritas. Terpecah pula oleh wilayah
dan kesukuan. Selebihnya, populasi di utara kawasan didominasi oleh budaya Arab sedangkan di selatan oleh
budaya Afrika lebih berkembang. Menghadapi segala perbedaan ini, kaum mayoritas berpendapat, satu hal
yang dapat mempersatukan Sudan hanyalah Islam. Dan untuk tujuan ini, Sudan menerapkan Islamisasi.
3. Budaya

Disamping budaya Afrika, pengaruh budaya Arab sangat kental pada keseharian masyarakat Sudan. Kendati tidak
semua Muslim di sana menggunakan bahsa pengantar Arab, namun sejarah membuktikan bahwa penerimaan Islam
sangat dipengaruhi oleh proses arabisasi. Hampir tidak ada pemaksaan lantaran Islam masuk melalui perantara dan
hubungan erat dengan para pedagang asal Timur Tengah di masa lampau.

Pada sensus tahun 1981, populasi penduduk sekitar 21 juta jiwa. Kini diperkirakan mencapai 36 juta jiwa dan
mayoritas memeluk Islam. Sebanyak 3-4 juta jiwa tinggal di wilayah ibu kota Khartoum. Adapun satu juta jiwa mendiami
kawasan selatan Sudan yang kerap bergolak.

Sudan tergolong unik di antara negara-negara Islam. Jika di negara Islam yang lain selalu terkena stigma
fundamentalis, Sudan justru bangga menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Mereka pun gigih membela prinsip ini
meskipun harus dibayar dengan perang saudara. Dapat dikatakan, Sudan hanyalah sebuah negara dan bukan bangsa. Ada
sekitar 100 lebih bahasa dan dialek yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mereka terpecah oleh banyak etnis, tapi tidak
ada satupun etnis yang menjadi mayoritas. Terpecah pula oleh wilayah dan kesukuan. Selebihnya, populasi di utara
kawasan didominasi oleh budaya Arab sedangkan di selatan oleh budaya Afrika lebih berkembang. Menghadapi segala
perbedaan ini, kaum mayoritas berpendapat, satu hal yang dapat mempersatukan Sudan hanyalah Islam. Dan untuk
tujuan ini, Sudan menerapkan Islamisasi.
5. Kekerasan Rezim Muslim

Sudan adalah contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan rezim Muslim baik terhadap non-Muslim di Sudan Selatan maupun
terhadap sesama Muslim di Darfur (Sudan Barat). Kekerasan yang terjadi di negeri berpenduduk lebih dari 40 juta ini, meminjam
istilah Johan Galtung, merupakan kombinasi dari physical violence seperti perang, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, dll,
structural violence yang melibatkan negara dengan segenap perangkat militer-politiknya, dan cultural violence dengan
menjadikan, al, agama sebagai basis legitimasi kekerasan. Sudan patut mendapat perhatian global terutama dari dunia Islam
karena negeri berbasis Islam ini telah porak-poranda akibat perang, kekerasan, kekeringan, AIDS, dan kelaparan yang memilukan.

Peristiwa kekerasan demi kekerasan (violent conflicts) di Sudan telah terjadi jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun 1956.
Violent conflicts ini berakar kuat pada identitas agama dan etnik selain tentu saja faktor sosial-ekonomi dan perebutan akses
sumber-sumber alam yang melimpah seperti minyak, kayu (timber), hydropower dan aneka sumber bahan kerajinan. Identitas
agama, kelas sosial, dan etnik juga memiliki kontribusi penting dalam menyulut konflik dan kekerasan di Sudan.

Belum reda masalah di Sudan Selatan, pemerintah Sudan kembali menghadapi masalah serius di Darfur. Kekerasan di Darfur
ini meletus sejak Februari 2003. Pelaku penyerbuan, pembunuhan, pembakaran, perampokan dan pemerkosaan atas warga
Darfur itu adalah gerombolan milisi dan preman Arab yang bernama Janjaweed dengan dukungan pemerintah pusat yang
kebetulan juga dikuasai orang-orang Arab. Pemerintah Sudan merekrut milisi Janjaweed yang berasal dari beberapa etnik Arab
nomaden yang migrasi ke Darfur sejak 1980an. Mereka mau direkrut pemerintah Sudan sebagai milisi untuk menghancurkan
warga sipil Darfur—meskipun sesama Muslim—dengan harapan nantinya mendapat pekerjaan sebagai tentara atau polisi Sudan.
Sebagai bangsa nomaden, ajakan berperang dari pemerintah dianggap sebagai rejeki nomplok dan alasan untuk merampok dan
menguasai tanah serta lahan permukiman warga setempat.
Di pihak lain, rezim Khartoum tidak mau menggunakan tentara sebab banyak tentara yang berasal dari Darfur. Selain
itu, dengan menggunakan tentara sipil, pemerintah bisa berkelit dari tuduhan kejahatan perang yang disponsori negara.
Rezim Khartoum memang sering berkilah bahwa kekerasan di Darfur itu adalah kekerasan antar warga sipil bukan
kekerasan negara atas sipil.

Rezim Sudan adalah contoh nyata dari konspirasi tentara-pemerintah dan Islam garis keras. Sejak diktator kejam
Jendral Ja’far Nimeiri mengkudeta Sudan tahun 1969, dia segera menggandeng kekuatan Islam garis keras Ikhwanul
Muslimin untuk mengontrol dan memerintah Sudan di bawah bendera Syari’at Islam. Keputusan itu ditentang keras
para tokoh Muslim moderat seperti Muhammad Mahmud Taha, guru Prof. Abdullah Ahmad an-Na’im—sebuah
penentangan yang mengakibatkan kematiannya. Kongkalikong penguasa dan Muslim radikal ini terus berlanjut di masa
Sadiq al-Mahdi dan Omar Bashir saat ini. Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan saling menguntungkan:
pihak pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk melanggengkan kekuasaan politik yang diraih dengan cara-
cara kotor sementara di pihak kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah merupakan kesempatan emas untuk
menikmati kekuasaan yang mereka impikan. Akibat persekongkolan ini terjadilah kekerasan yang mengerikan sepanjang
sejarah Sudan yang tidak hanya memakan korban orang-orang Kristen dan kepercayaan lokal di Sudan Selatan
melainkan juga kaum muslim sendiri yang melawan mainstream Khartoum seperti di Darfur.
6. Penerapan Syariat Islam

Seperti halnya negara-negara di Afrika, Sudan terdiri dari beragam etnis, suku, budaya, wilayah, agama dan kepercayaan.
Tidak ada etnis yang dominan. Oleh karenanya, pemerintah berketetapan untuk mempersatukan perbedaan ini dengan
penerapan syariat Islam. Syariat Islam dipilih karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta
pertumbuhan.

7. Potensi kekuatan

Apabila kekayaan alam mampu dikelola dengan baik dan dikuasai penuh oleh umat Islam, tentu akan menjadi modal
penting bagi tumbuhnya kekuatan Sudan sehingga berpotensi mengancam kepentingan mereka di kawasan.Sebagian
kalangan menilai Sudan adalah negara kunci Islam di benua Afrika. Sudan juga berdaulat di sebagian laut Merah. Bila syariat
Islam kian kuat, Sudan bisa menebarkan pengaruh Islam di negara-negara sekitar, semisal Kenya, Uganda, dan Kongo.Negara-
negara asing dan Zionis tidak ingin skenario ini terjadi, dan untuk itu Sudan perlu dilemahkan. Melalui kepanjangan tangan
mereka di berbagai lapisan, gerakan melemahkan Islam terus digalang.

Kalangan ulama meminta masyarakat Muslim Sudan untuk tidak ragu menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-
hari. Dia pun mengharapkan agar setiap pemimpin yang terpilih senantiasa berkomitmen melestarikan dan menjaga
pemberlakuan syariat. Diungkapkan ulama kharismatik Syekh Abdullah Yusuf, saat ini Sudan menghadapi tekanan berkaitan
dengan penerapan syariat Islam, akan tetapi dia meyakini masalah itu bisa diatasi bila segenap umat bersatu. Keyakinan itu
kian kuat dengan dukungan dari sejumlah negara Islam yang menyerukan pemerintah Sudan agar melestarikan identitas Arab
dan Islam.
8. Bentuk-bentuk Kemajuan dan Peninggalan Islam
a. National Museum di Khartoum
b. Sungai Nil
c. Makam Mahdi [Mahdi Tomb]
d. Piramid Meroe di Sudan Utara
e. Beberapa Masjid
SENEGAL
Islam tak hanya menjadi agama yang normatif. Dia menjelma menjadi penggerak kesadaran masyarakat dalam
berbagai bidang.

Islam bukan agama baru di Senegal. Sebanyak 92 persen masyarakat di sana adalah Muslim.Mereka aktif di berbagai
dimensi kehidupan. Ada yang menjadi pengusaha, aparatur negara, atau pun karyawan.

Agama ini diperkirakan telah hadir di Senegal sejak abad ke-11. Ketika itu Muslim sufi datang melalui jalur
perdagangan, di saat Prancis menjajah negara tersebut.Pemerintah kolonial tak mendapatkan tempat di hati rakyat
negeri itu.

Masyarakat berlindung kepada ulama yang menyebarluaskan ajaran agama. Pesan takwa yang terkandung di
dalamnya menjadi solusi permasalahan yang mereka hadapi.
Masyarakat yang mencintai Islam berkumpul dalam sejumlah tarekat, seperti Tijaniyah, Qadiriyah, dan lainnya.
Pendekatan sufistik dalam dakwah Islam di sana sangat diterima masyarakat setempat. Sebabnya, adat-istiadat mereka
tidak berbenturan dengan Islam. Kultur dan agama menyatu menjadi nilai yang mengarahkan kehidupan mereka
menuju kebaikan.

Kondisi itu tak hanya menyentuh kalangan sipil, tapi juga bangsawan. Raja Takrur, Perang Jabi pada 1040. Raja
berusaha untuk mengajak rakyatnya memeluk Islam, yang sekarang disebut sebagai Tukulors atau orang Toucouleur.

Namun kerajaan lain, seperti Jolof, menolak Islam dan lebih mendukung agama tradisional mereka. Islam tak banyak
mendapat respons di daerah kerajaan tersebut.

Dalam perkembangannya, Islam tak hanya menjadi agama yang normatif. Dia menjelma menjadi penggerak kesadaran
masyarakat dalam berbagai bidang. Pada abad ke-17-18 Islam menjadi kekuatan politik dan militer. Ajarannya menjadi
hukum dan pedoman masyarakat dalam menjalani kehidupan.
Kolonialisme Prancis

Selama abad ke-18, Prancis mulai menancapkan kaki kolonialnya di sana.Muslim Senegal mengambil berbagai sikap
terhadap hal tersebut. Khususnya di pedesaan, orang-orang Senegal bergabung dengan persaudaraan sufi untuk bersatu
melawan penjajahan. Popularitas persaudaraan Tijaniyyah menandai pergerakan ini. Islam menjadi titik kumpul
perlawanan Afrika terhadap Prancis.

El Hadj Umar Tall pertama kali menyebarluaskan tarekat Tijaniyah di Afrika Barat setelah ia bergabung dengan tarekat
tersebut ketika berhaji. Bagi masyarakat Senegal, dia adalah pemimpin ulama yang paling terkemuka.

Para guru sufi (murabit) lebih didengar masyarakat. Tarekat Mouride berkembang pesat di sana. Ini adalah tarekat yang
menjadi wadah berkumpulnya diaspora dan mempersatukan masyarakat Senegal di berbagai wilayah. Gerakannya masuk
ke sektor ekonomi masyarakat.
Martin Van Bruinessen (ed) dalam Sufism and the Modern in Islam(2007) menyebutkan, pada masa penjajahan
Prancis, pengikut tarekat ini banyak yang menjadi petani kacang. Mereka menjual hasil panennya kepada
penjajah. Kemudian mereka membuat jaringan penjualan hasil panen sendiri, mulai pengepul hingga pengolah
menjadi produk yang diperdagangkan di pasar.

Selain petani, pengikut tarekat ini juga berasal dari kalangan politikus yang `dibuang'. Prancis menganggap
mereka sebagai ancaman. Orang-orang tersebut diburu dan dicari-cari.

Pendiri Mouride, Syekh Amadou Bamba ditangkap dua kali oleh pemerintah kolonial. Ketidakadilan ini justru
meningkatkan popularitasnya dan penghormatan mourides kepada pemimpin mereka. Syekh Bamba dihormati
sebagai pemimpin penting perlawanan di Senegal hingga detik ini.

Ada juga kelompok Muslim yang lebih `main aman'. Mereka bekerja sama dengan Prancis sehingga memegang
beberapa posisi dalam pemerintahan kolonial.
Islam di Senegal

Kini Buku World Almanac of Islamism (2014) mencatat, setelah 11 September 2001, Presiden Senegal Abdoulayeh
Wade mengatur dan menyelenggarakan pertemuan puncak antiterorisme. Dia menyerukan kepada negara-negara
Afrika untuk menandatangani deklarasi yang mengecam terorisme dan menganggap mereka sebagai ekstremis dan
non-pribumi.

Saat ini, Islam di Senegal digerakkan dua tarekat sufi: Tijaniyah dan Muridiyyah. Tarekat yang kedua sangat
terorganisasi. Masyarakat banyak bergabung di dalamnya. Orang dapat menjadi anggota tarekat ini melalui jalur
keluarga dan dengan mendeklarasikan kesetiaan kepada murabit.

Tradisi sufisme menjadi daya tarik yang sangat disukai masyarakat. Para ahli tasawuf mengajak masyarakat untuk
introspeksi diri. Awalnya dengan mengakui dosa (tobat) dan zikir yang konsisten.Kemudian dilanjutkan dengan
menjaga perilaku.

Gaya dakwah seperti itu tak berbenturan dengan kultur setempat. Masyarakat berbondong-bondong untuk ikut
bergabung. Mereka menyatakan ketundukannya kepada murabit. Lambat laun tarekat mengarah menjadi gerakan
politik.

Massa tarekat menjadi sangat diperhitungkan, karena mengakar dan memiliki jaringan luas. Ada yang
memanfaatkan jalur keluarga, bisnis, pendidikan, dan lainnya. Apa kata murabit pasti didengar dan dilaksanakan.
MAROKO
Sejarah Perkembangan Islam Di Maroko
Maroko Orang Arab menyebutnya Al-Mamlaka Al-Maghribiya atau Kerajaan Barat. Para ahli sejarah dan geografi Muslim
di era kekhalifahan Islam menjulukinya Al-Maghrib Al-Aqsa. Sedangkan orang Turki memanggilnya Fez. Orang Persia
mengenalnya Marrakech (Tanah Tuhan). Beragam nama itu disandang negara yang kini dikenal dengan nama Maroko.
Perkembangan Islam Di Maroko
Maroko adalah negeri yang memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Afrika Utara. Yang
tak kalah pentingnya, negeri berjuluk 'Tanah Tuhan' itu merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke Spanyol, Eropa. Dari
Maroko inilah Panglima tentara Muslim, Tariq bin Ziyad menaklukan Andalusia dan mengibarkan bendera Islam di
daratan Eropa.
Sejarah Islam Di Maroko
Maroko memasuki babak baru setelah Islam menancapkan benderanya di wilayah Afrika Utara. Ajaran Islam tiba di
Maroko pada 683 M. Adalah pasukan yang dipimpin Uqba Ibnu Nafi -- seorang jenderal dari Dinasti Umayyah -- yang
kali pertama membawa ajaran Islam ke wilayah itu. Islam benar-benar menguasai Maroko pada tahun 670 M.
Setelah Maroko jatuh ke dalam genggaman Dinasti Umayyah, Musa bin Nusair mengangkat Tariq bin Ziyad untuk
memerintah Maroko. Dari wilayah itulah, Tariq bin Ziyad menyeberangi selat antara Maroko dan Eropa menuju ke
gunung yang dikenal dengan Jabal Tariq (Gibraltar). Maroko menjadi wilayah penyangga bagi umat Islam untuk
melakukan ekspansi ke daratan Spanyol, Eropa. Maroko modern pada abad ke-7 M merupakan sebuah wilayah
Barbar yang dipengaruhi Arab. Bangsa Arab yang datang ke Maroko membawa adat, kebudayaan dan ajaran Islam.
Sejak itu, bangsa Barbar pun banyak yang memeluk ajaran Islam. Ketika kekuasaan Dinasti Umayyah digulingkan
Dinasti Abbasiyah, Maroko pun menjadi wilayah kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Pada masa
kepemimpinan Abu Ya'kub Yusuf bin Abdul Mu'min (1163 M - 1184 M), kota Marrakech menjadi salah satu pusat
peradaban Islam dalam bidang sains, sastra, dan menjadi pelindung kaum Muslimin untuk mempertahankan Islam
dari serangan dan ambisi Kristen Spanyol. Dinasti ini juga ikut membantu Salahudin Al-Ayubi melawan tentara Kristen
dalam Perang Salib. Pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Al-Muwahhidun, Maroko dikuasai beberapa dinasti seperti;
Dinasti Marrin, Dinasti Wattasi (1420 M - 1554 M), Syarifiyah Alawiyah (1666 M), Abdul Qadir Al-Jazairy (1844 M),
dan Sultan Hasan I (1873 M - 1894 M).
TUNISIA
Sejarah Perkembangan Islam di Tunisia - Afrika Utara

Tunisia adalah Negara kecil yang terletak di kawasan Afrika Utara. Tunisia juga merupakan Negara islam. Negara yang
bersebelahan dengan Al-jazair dan Libya ini pernah di jajah oleh Perancis kurang lebih 75 tahun. Ibnu Khaldun, Khairuddin
at-Tunisi, Muhammad Talbi, Rachid Ghannouci adalah tokoh-tokoh islam yang berasal dari Negara ini.

Tunisia mempunyai peranan besar dalam sejarah perkembangan Islam. Melalui lembaga pendidikan Jam’iyah Zaitunah,
yang kemudian berubah menjadi Institut Ilmu-ilmu Islam, kader-kader ulama dididik dan dilatih agar kemudian menjadi
ulama besar. Lembaga pendidikan tersebut berada dalam pengarahan dan pengawasan pemerintah Tunisia.

Tunisia aktif dalam Organisasi Konfrerensi Islam ( OKI ), dan ikut menentukan pengambilan keputusan tentang kebijakan-
kebijakan diplomasi Timur Tengah, terutama yang menyangkut konflik di Timur Tengah, khususnya konflik Palestina dan
Israel.
Proses Masuk Islam di Tunisia

Tidak begitu banyak sejarah yang bisa didapat untuk menyelusuri masuknya Islam ke negeri ini. Namun sedikit fakta
sejarah menunjukkan bahwa Islam mulai masuk dan berkembang di Tunisia pada masa Daulah Umayah tatkala mulai
melebar kekuasaannya ke Barat hingga Tunisia. Artinya, Tunisia adalah tanah kharajiyah, tanah yang ditaklukkan oleh
kaum Muslim.

Pada abad ke-7 sesudah Masehi, Kekhilafahan Umayah di Damaskus di bawah komandan Uqbah bin Nafi seorang sahabat
Rasulullah SAW mengirimkan para mubalig dan pasukannya ke arah Afrika Utara masuk Tunisia bersama pasukannya.
Tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di
Tunisia. 13 tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M (50 H ) Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan dan kemudian
menjadikannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penyebaran Islam di wilayah Afrika Utara. Tahun 683, komandan
Uqbah beserta seluruh tentaranya berhasil menaklukkan kota Kiwaran (selatan Tunisia) yang sekarang di sebut Maroko
dan mendirikan masjid pertama di Afrika.

Sejak saat itu perkembangan Islam di Tunisia setapak demi setapak mulai menunjukkan hasilnya. Keyakinan-keyakinan
warga setempat pada agama dan kepercayaan dari nenek moyang mereka, termasuk budaya-budaya jahiliyah lainnya,
sedikit demi sedikit terkikis habis,. Setelah berbenturan dengan pemahaman Islam, masyarakat mulai sadar bahwa apa
yang mereka telah lakukan selama ini adalah suatu perbuatan yang ‘bodoh’ dan menyesatkan. Mereka merasa
mendapatkan sesuatu yang lain tatkala tatkala mereguk ‘manisnya’ Islam. Islam telah memberikan pencerahan sekaligus
menyejukkan hati dan menenteramkan jiwa mereka. Agama Islam mendapatkan sambutan yang luar biasa.
Pada 698 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Hassan bin an-Nu’man dan Musa bin Nashr berhasil menaklukkan
Carthage. Islam kemudian berkembang pesat di Tunisia. Bahkan pada tahun 711 M –masa keemasan Dinasti Umawiyah–
agama Islam telah tersebar ke daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia di Spanyol dan kawasan Iberia di
sekitarnya.

Pada tahun 748 M, Dinasti Umawiyah digantikan oleh Dinasti Abbasiah. Peristiwa ini menyebabkan Tunisia terlepas dari
pengawasan pusat kekhalifahan, namun kemu­dian dapat dikuasai lagi oleh Dinasti Abbasiah pada tahun 767 M. Pada
tahun 800 M, Ibrahim Ibn Aghlab ditunjuk sebagai Gubernur Afrika Utara yang berkedudukan di Kairouan. Pada masa ini,
Mesjid Agung Ezzitouna didirikan di kotaTunis.

Masa-masa selanjutnya adalah era kejayaan peradaban Islam di Tunisia dan kawasan Arab Maghribi. Dinasti Aghlabiah
(767-910), Fatimiah (910-973), Ziridiah (973-1062), Almohad (1159-1228) dan Hafsiah (1230-1574) silih berganti
memegang tampuk kekuasaan di Tunisia, hingga masuknya Tunisia dalam wilayah Khilafah Utsmaniah (1574-1591). Di
masa Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi
(1659-1705) dan Huseini (1705 –1957).
Karena itulah, Kairouan dan Mahdia kini menjadi kota tujuan wisata sejarah Islam terpenting di Tunisia, selain Masjid
Ezzitouna di kota Tunis. Di Kairouan dan Mahdia, kita bisa mengunjungi masjid-masjid tua, benteng, makam para ulama
serta istana sisa peninggalan peradaban Islam.
ETHIOPIA
Sejarah Minoritas Muslim di Ethiopia

Afrika adalah benua terbesar ketiga di dunia setelah Asia dan Amerika, dan kedua terbanyak penduduknya setelah Asia.
Dengan luas wilayah 30.224.050 km², Afrika meliputi 20,3% dari seluruh total daratan Bumi. Dengan ± 1.097.100
penduduk di 54 Negara benua ini merupakan tempat bagi sepertujuh populasi dunia. Seperti Asia, Afrika merupakan
daerah yang memiliki populasi muslim besar. Dalam keanggotaan di Organisasi Kerjasama Islam yang terdiri dari 57
negara, terdapat 27 negara Afrika.
Dari total penduduk Afrika tersebut sekitar 581 juta penduduk merupakan muslim.[1] Meskipun demikian, terdapat
beberapa negara yang Islam menjadi minoritas agama di negara tersebut. Salah satunya adalah Ethiopia. Minoritas
muslim di Afrika terjadi melalui dua cara : tanah muslim yang telah ditaklukan oleh kekuatan penjajah sehingga terjadi
pengurangan populasi penduduk muslim, dan migrasi Muslim ke daerah-daerah yang kepadatan penduduk muslimnya
rendah.
Proses minoritas ini memunculkan dinamika umat Islam di Afrika. Setelah kemerdekaan negara-negara Afrika, muslim
sering merasa dalam keadaan terbelakang sehingga mereka tidak dapat bersaing dengan lulusan sekolah-sekolah Kristen.
Selain itu pemerintahan negara minoritas juga banyak melakukan intimidasi terhadap umat Islam, sehingga menyulitkan
muslim untuk berkembang.
Perkembangan dan proses minoritas Islam di Ethiopia
Islam datang ke Ethiopia atau Habasyah (Abyssinia) sejak 615 M tepatnya di kota axum, mereka adalah umat Islam yang
hijrah yang dipimpin oleh sepupu nabi, Ja’far bin Abi Thalib. Pengungsi Muslim dari Mekkah ini ini diterima oleh raja
Negus/Najasy. Raja memperlakukan Muslim dengan baik, melindungi mereka dan akhirnya ia sendiri memeluk Islam.[4]
Selama masa Bani Umayah, muslim menduduki kepulauan Dahlak dan pelabuhan Musawwa. Dari pangkalan ini Islam
kemudian didakwahkan ke pedalaman benua. Pada abad ke 12 seluruh pantai Eritrea telah diIslamkan. Pada tahun 283
H, suatu negara Islam didirikan di Shoa Timur (wilayah Addis-abada saat ini) di bawah dinasti Makhzumi.
Pada abad enam belas Islam bangkit kembali di Ethiopia, di bawah pimpinan Ahmad ibn Ibrahim Al-Ghazi (1506-1543)
yang berhasil menyatukan semua negara Muslim Ethiopia. Pada tahun 1531, Muslim menduduki Dawaro dan Shoa, dan
pada 1533, Amhara dan Lasta, serta negara Krsiten Abyssinia dihapus. Sejak itu Ethiopia dibuat stabil dengan menjadi
dua negara, sebuah negara Muslim di selatan dengan ibukota Harrar dan sebuah negara Kristen yang lebih kecil di
Utara.
Abad sembilan belas, pertumbuhan ambisi kolonial di Afrika mendorong kebangkitan negara Kristen Ethiopia, dengan
menggunakan harta rampasan dan memulai kebijakan ekspansionis melawan negara Muslim dengan semangat perang
salib. Pada tahun 1831 Teodros menduduki tahta Ethiopia dengan program penyatuan kembali orang-orang Kristen,
menaklukkan Yerusalem, Makkah, dan Madinah, menghapuskan Islam, dan menciptakan kedamaian di Ethiopia. Orang-
orang Islam dibantai secara kejam di Wollo pada 1855, dan orang-orang Mesir dikalahkan di Eritrea.[5]
Malapetaka terakhir terhadap negara Islam Ethiopia terjadi ketika ibukotanya harrar diduduki pada 1887. Oleh orang-
orang Kristen. Negara Islam dihapuskan, masjid agung di ibukota diubah menjadi gereja, dan tetap seperti itu sampai
sekarang.[6] Praktis penduduk muslim diperbudak, berbagai peristiwa ini menyebabkan berkurangnya populasi muslim
di Ethiopia secara drastis.
Dinamika Muslim di Ethiopia
Sejak abad ke-19 di bawah kekuasaan Ethiopia (Kristen) pihak Muslim dikeluarkan dari beberapa jabatan publik,
meskipun konstitusi tahun 1931 mengukuhkan persamaan hak dan mengizinkan pihak Muslim memiliki tanah,
menduduki beberapa posisi pemerintahan, dan sejumlah festival keagamaan Muslim diakui secara resmi.
Namun kenyataannya kebijakan yang merugikan umat Islam lebih banyak ketimbang kebijakan yang pro Islam.
Demografi di Ethiopia dari data Population Census Commission tahun 2007, menyebutkan bahwa dari total
penduduk Ethiopia, Jumlah Muslim adalah 33,9% (25 juta), Kristen 62,7% (46 juta), agama tradisional 2,6% (1,9
juta) , & lain 0,63%. Muslim menjadi mayoritas di daerah Somali, Affar, Argobba, Hareri, dan Oromia.[7]
Mayoritas Muslim Ethiopia bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana di negara-negara tetangganya Sudan dan Somalia,
tarekat mempunyai peran penting dalam perkembangan Islam di Ethiopia. Terdapat sekitar 82 masjid, 3
diantaranya dibangun sejak abad 10, dan juga terdapat 102 tempat suci. Selain itu pertumbuhan penduduk
muslim diproyeksikan mengalami peningkatan setiap tahunnya, bisa dilihat di tabel Pew Research Center di
bawah ini :
Simpulan
Kawasan Ethiopia, merupakan salah satu tempat peradaban paling awal di dunia. Pemerintahan Ethiopia pertama kali
dibentuk sekitar tahun 980 SM. Kondisi geografis Ethiopia sendiri merupakan dataran gersang di dataran rendahnya, dan
memiliki iklim sedang di dataran tingginya. Kondisi geografis Ethiopia yang ekstrim telah mengisolasi banyak orang dan
seringkali malah melestarikan cara hidup dan bahasa kuno mereka.
Islam datang ke Ethiopia atau Habasyah (Abyssinia) sejak 615 M tepatnya di kota axum, mereka adalah umat Islam yang
hijrah yang dipimpin oleh sepupu nabi, Ja’far bin Abi Thalib. Pada abad ke 16, muslim sempat menguasai seluruh daratan
Ethiopia, namun pada abad ke 19 umat Kristen bangkit dan merebut daerah Ethiopia, hal ini pula yang menyebabkan
Islam minoritas di Ethiopia.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari saat ini, pemerintah banyak ikut campur dalam peribadahan umat Islam. Pemerintah
banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak negatif terhadap umat Islam. Untuk semakin memojokkan
umat Islam pemerintah menghembuskan isu radikalisme.
SOMALIA
Islam di Somalia

Hampir semua warga Somalia adalah Muslim Sunni. Selama lebih dari 1400 tahun, Islam membuat sebagian besar
masyarakat Somalia.[1]Mempraktikkan Islam memperkuat perbedaan yang lebih mengatur Somalia selain dari tetangga
langsung mereka, banyak di antaranya yang baik Kristen atau penganut agama asli pribumi. Kaum Muslim awal mencari
perlindungan dari penganiayaan di kota-kota di pantai utara Somalia.
Ideal Islam adalah masyarakat diatur untuk menerapkan ajaran Islam di mana tidak ada perbedaan yang ada antara
sekuler dan ranah religius. Di antara warga Somalia yang ideal ini kurang sepenuhnya telah didekati di utara daripada di
antara beberapa kelompok di daerah yang menetap di selatan di mana pemimpin agama pada satu waktu merupakan
bagian integral dari struktur sosial dan politik. Di antara pengembara, urgensi kehidupan pastoral memberi bobot yang
lebih besar untuk peran prajurit, dan pemimpin agama diharapkan untuk tetap jauh dari masalah politik.
Peran pemangku agama mulai menyusut pada 1950-an dan 1960-an karena sebagian kekuatan hukum dan pendidikan dan
tanggung jawab dialihkan kepada otoritas sekuler. [2] Posisi pemimpin agama berubah secara substansial setelah revolusi
1969 dan pengenalan sosialisme ilmiah. Siad Barre bersikeras bahwa sosialisme versinya ini kompatibel dengan prinsip
Qur'ani, dan dia mengutuk ateisme. Pemimpin agama diperingatkan untuk tidak ikut campur dalam politik.
Pemerintahan baru mengadakan perubahan hukum bahwa beberapa tokoh agama melihat ada produk hukum yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Rezim tersebut bereaksi tajam terhadap kritik, dan mengeksekusi beberapa
demonstran. Selanjutnya, pemimpin agama tampaknya menyesuaikan diri dengan pemerintah.
NIGERIA
Sejarah perkembangan islam di Nigeria. Islam masuk ke Nigeria pada abad ke 8 melalui jalur perdagangan, khususnya
pedagang dari Arab, Islam masuk ke Nigeria dari wilayah utara Nigeria dan menyebar ke daerah sekitarnya. Akan tetapi
perkembangan Islam di sana bukan berarti tidak mendapatkan halangan dan rintangan yang cukup serius, Perkembangan
Islam terhalang oleh pertahanan penduduk dalam beberapa wilayah kecil yang di tunjuk oleh penguasa setempat. Daerah ini
pertama kali dikuasai oleh orang orang Hausa dan Haruri sampai tibanya orang orang Fulani di awal tahun 1800.
Agama Islam masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah
untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas
oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk
membebaskannya dari ketertindasan itu. Muqauqis sesungguhnya tertarik hendak masuk Islam setelah menerima surat dari
Rasulullah SAW. Namun, karena lebih mencintai tahtanya maka sebagai tanda simpatinya beliau kirimkan hadiah kepada
Rasulullah SAW.

Selain alasan diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya
sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin
Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dia hanya membawa 400
orang pasukan karena sebagian besar diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta dukungan
masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy
dan dikota ini tidak ada perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang
MESIR
memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama 1 bulan. Setelah Al-Farma jatuh,
menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan
Muqauqis. Pada saat hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu, datang bala
bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan, yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad,
Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk
menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M) pasukan Muqauqis bersedia
mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir.
Pada masa Trans Sahara dan Afrika Utara, bermula ketika Uqba ibn-Nafi’, sebagaimana diceriterakan oleh Ibn Abdalhakam
pada tahun 667 Masehi datang ke Sahara Tengah, dan membuka rute perdagangan ke Kanem-Borno, Nigeria Utara,
termasuk di dalamnya adalah perdagangan budak. Pada saat itu, perdagangan budak Afrika sangat terkenal, dan
mengundang orang Barat untuk ikut ‘mencicipinya’. Rute perdagangan ini dilanjutkan oleh anak laki-laki Uqba, yaitu
Ubaidillah ibn al-Habhab sampai ke Kerajaan Ghana karena adanya perdagangan emas, dan berlanjut sampai dengan abad
ke-11. di samping melakukan perdagangan, para pedagang Muslim juga memperkenalkan misi utama ajaran Islam, yaitu
mengembangkan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan. Dengan cara demikian, akhirnya Islam dapat berbaur dengan
masyarakat setempat.
Islam berkembang sangat pesat di seluruh Afrika Barat, tidak hanya di Nigeria, sehingga bahasa Arab dijadikan sebagai
komunikasi internasional di kawasan itu sampai dengan abad ke-15, seiring dengan kemenangan Islam di Andalusia
(sekarang Spanyol). Ketika Portugis memasuki Afrika Barat pada abad ke-15, dalam rangka perdagangan budak, maka
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi mulai berkurang. Hal ini berlanjut sampai dengan masuknya Perancis
dan Inggris pada abad ke-19. Dua negara terakhir inilah yang akhirnya menguasai sebagian besar wilayah Afrika Barat.
Kerajan Mali dan Songhay mempunyai peran sangat penting dalam mendorong berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di
Nigeria Utara yang dipelopori suku Hausa dan Fulani, antara lain di Kano dan Katsina (abad ke-14 dan 16).
Berdasarkan catatan Kano, satu dari dua pusat komersil di Hausaland, bahwa Islam pertama kali datang ke Kano pada masa
pemerintahan Raja Yaji ( 1319-1385 ), di bawa oleh para pedagang Wangarawa atau Mandingo yang datang dari Mali. Di
antara 40 pedagang Wangarawa tersebut yaitu: Abdurr-Rahman Zaiti, Kebe, Mutuku, Yakasai, Shehe, dan Auwula, mereka ini
bukan saja para pedagang, tapi juga seorang sarjana , Melalui merekalah Islam berkembang sangat baik di Kano, menurut
catatan dari petualang legendaris Ibn Batutah, mereka datang ke Kano membawa buku buku tentang fiqh dan etimologi.
Pada saat itu, banyak praktik praktik keagamaan sinkretik di Kano, paham jahiliyah tersebut kemudian di hancurkan oleh para
sarjana Wangarawa, namun bukan hanya itu, mereka juga menebang habis pohon suci yang ada di Madabo lalu di ganti
dengan Masjid, masjid pertama yang di bangun di Kano adalah masjid Madabi. Sekolah sekolah Islam juga banyak didirikan
untuk mendalami berbagai ilmu ilmu Islam. mereka juga pergi haji ke Mekah, lalu kembali dengan membawa buku buku
Islam, untuk di ajarkan kepada para penduduk Kano.

Pada masa pemerintahan Muhammad Rumfa ( 1463-1499 ), Islam telah mendominasi peta politik di Kano, pada masa
Muhammad Rumfa inilah kano kedatangan seorang sarjana muslim besar,Muhammad bin Ahmadal-Maghili,yang kemudian
hari di angkat menjadi penasehat kerajaan, untuk mengurusi dan mengelola pemerintahan sesuai dengan Syari'at Islam.

Masa orientasi Atlantic, Maroko menginvasi Kerajaan Mali-Songhay pada tahun 1591, namun jauh sebelum itu, Kerajaan
Otoman Turki telah lebih dulu menguasai Mesir dan Aljazair pada tahun 1517 dan 1525. Pada saat bersamaan, muncul
kerajaan baru di Benin, Oyo, Dahomey dan Ashante, disusul kemudian kerajaan Bambara yang masih dikuasai oleh animisme.
Komunitas Muslimn di wilayah tersebut mulai mengadakan jihad. Jihad pertama dilakukan oleh Uthman Don Fodiye pada
tahun 1804 di Sokoto, yang meminta kepada pemerintah Sokoto yang dikuasai oleh suku Hausa memberlakukan ajaran Islam.
Peradagangan budak semakin menipis, dan Eropa menghentikan kebutuhan akan budak, dan akhirnya kerajaan Oyo jatuh.

Namun ketika kolonial Inggris mulai merasuk di Nigeria, kehidupan komunitas Islam di sana mulai terjepit. Dimulai ketika
Namun sebaliknya, bagi pemeluk Kristen tidak dikenakan izin serupa. Kerajaan Sokoto dan Borno mulai invalid, namun
komunitas muslim menyebar ke Selatan, yaitu ke Etsako, Niger-Benue dan kota-kota wilayah Yoruba, semisal Ogbomoso,
Oyo, Ibadan, Sagamu, Ijebu-Ode dan Abeokua. Budak-budak muslim yang berasal dari suku Hausa menyatu secara sosial-
politik di kota-kota tersebut dan menjadikan Islam sebagai symbol Yoruba untuk menolak intrusi kebudayaan Inggris.

Tercatat banyak sekali wilayah di bagian utara Nigeria yang telah mengikrarkan diri sebagai daerah yang telah di masuki
Islam, misalnya Hausaland, Walaupun, terdapat beberapa perbedaan pendapat, bagaimana dan kapan Islam masuk ke
daerah Hausaland, akan tetapi kebanyakan para pakar sejarah sepakat bahwa Islam masuk ke derah itu melalui Mali pada
abad 14.
UGANDA
Islam Di Uganda
July 26, 2008 at 6:22 am (1)
Uganda menyentak perhatian dunia ketika Idi Amin Dada berkuasa pada tahun 1971-1979. Idi Amin dicap sebagai diktator
terkejam di Afrika, dan membunuh tidak kurang 300.000 orang yang dianggap musuh atau pembangkang. Dunia semakin
gerah (baca: komunitas Barat), karena Idi Amin adalah seorang Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas beragama
Kristen dan Katolik.
Uganda terletak di Afrika Timur, beriklim tropis, sedikit kering, berbatasan dengan banyak negara, antara lain: Sudan, Kenya,
Rwanda, Burundi, Tanzania dan Democratic Republic of Congo. Negara ini mempunyai banyak tempat untuk bersafari dan
mempunyai pemandangan yang indah seperti air terjun Bujagali (Bujagalii Falls).
Luas wilayah Uganda 236.040 km2, dengan penduduk berjumlah sekitar 25.632.794 orang, terbagi dalam 4 (empat) etnik
besar, dan yang terbesar adalah suku Baganda atau Buganda, berasal dari ras Bantu. Angka pertumbuhan penduduk rata-rata
2,96% per-tahun, angka kelahiran 46,57 dan angka kematian 16,95 per-seribu. Jumlah penganut Katolik Roma 33%, Kristen
Protestan 33%, Islam 16% dan Animisme 18%. Bahasa nasional mereka adalah bahasa Inggris, sedagkan bahasa lokal yang
dipergunakan adalah Ganda atau Luganda, Swahili dan Arab.
Perkembangan Islam di Uganda
Islam ditengarai masuk ke Uganda pada abad ke-19, tepatnya pada tahun 1844 ketika Ahmed Ibrahim memasuki Uganda
untuk melakukan perdagangan. Pada akhirnya beliau bertemu dengan Raja Mutesa I dari Kerajaan Baganda, Uganda Tengah.
Raja Mutesa I sangat keras menjaga kedisiplinan Islam dalam wilayahnya. Beliau menguasai bahasa Arab sekaligus menguasai
al-Qur’an. Cucu Raja Mutesa I, yaitu Prince Badru Kakungulu (Nuhu Mbogo) tercatat sebagai pionir pendirian Muslim
Education Association (MEA), yang menelorkan banyak professor, doctor, master dan sarjana Muslim di Uganda.
Kebaradaan Islam di Uganda juga tak terlepas dari keberadaan Idi Amin (alm.)
ketika beliau meemerintah Uganda tahun 1971-1979. Walaupun beliau dikenal sebagai dictator dan dibenci oleh
Barat, namun pada sisi lain, kegigihan Idi Amin memajukan Islam di Uganda patut mendapat acungan jempol.
Beliau adalah pendiri Uganda Muslim Supreme Council (UMSC) pada tahun 1974, dan berhasil mengundang Raja
Faisal untuk meletakkan batu pertama pembangunan Masjid Nasional di Old Kampala. Ketika Idi Amin berkuasa
itulah Islam kembali bersinar di Uganda, dan itu membanggakan para pengikut setianya. Idi Amin juga berhasil
membawa Uganda menjadi anggota Organisasi Konperensi Islam (the Organization of Islami Conference). Idi
Amin wafat di Jeddah pada hari Sabtu, 16 Agustus 2003, dan dimakankan di Mekkah. Saat ini, Islam dianut oleh
kurang lebih 2,6 juta penduduk Uganda (15%).
Islam moderat yang saat ini sedang marak di seantero dunia, juga berkembang sangat baik di Uganda. Hl ini
ditandai dengan ucapan Wakil Perdana Menteri Pertama Udanda, Jendral Moses Ali yang mengingatkan warga
Islam Uganda agar tidak melawan pemerintah. Islam adalah agama yang penuh toleransi, cinta dan persaudaraan
serta anti kekerasan. Bila warga Islam Uganda menginginkan kekuasaan, berjuanglah melalui partai politik yang
telah diakui, hal ini sebagaimana dilakukan oleh seorang tokoh muslim Uganda Mohammaed Kibrige Mayanja.
Jendal Moses Ali sama sekali tidak menginginkan warga Islam Uganda menjadi teroris, suatu stereotip yang
dilekatkan pihak Barat pada warga Islam di mana saja.

Anda mungkin juga menyukai