Anda di halaman 1dari 12

K E PA T U H A N :

BAGIAN 5 NILAI
n I m p le m e n ta si
Antara Regulasi da
BAGIAN 5 NILAI KEPATUHAN: Antara
Regulasi dan Implementasi
Mengacu pada suatu gagasan, ide bahkan pencetus konsep kebudiutamaan yang disampaikan dalam banyak
kesempatan dan tertuang dalam makalah-makalah atau paper, telah memberikan pelajaran pada kita. Bahwa,
istilah kepatuhan menunjukkan kedekatannya dengan istilah penghormatan, kesalehan, ketaatan, ketundukan,
kesetiaan, keberbertanggung-jawababan dan ketertiban. Kemudian mempertentangkannya dengan istilah
kefasikan, kecongkakan, pemberontakan, pembangkangan, pengkhianatan, dan kekacauan. Penggagas juga
mendekatkan pengertian kepatuhan secara filosofis, bahwa istilah kepatuhan sebagai akibat logis dari
kemerdekaan atau kebebasan. Artinya, kepatuhan merupakan wujud kehormatan dan kemartabatan manusia
karena pilihan hidup berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan yang mereka miliki, yang sebenarnya merupakan
akibat logis atau tanggung jawab manusia merdeka
• KEPATUHAN DAN PENGHORMATAN
• KEPATUHAN DAN KESALEHAN
• KEPATUHAN DAN KETAATAN
• KEPATUHAN DAN KETUNDUKAN
• KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KESETIAAN
• KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KEBERTANGGUNGJAWABAN
• KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KETERTIBAN
KEPATUHAN DAN PENGHORMATAN
Ketika istilah kepatuhan didekatkan dengan istilah penghormatan, maka terkandung makna yang merujuk pada suatu
perilaku hormat, bukan sebaliknya berperilaku congkak. Perilaku hormat yang dimaksud adalah hormat terhadap semua
tatanan nilai bukan bersikap congkak apalagi mengabaikan atau bahkan melawan terhadap tatanan nilai. Seperti tatanan
Negara, tatanan masyarakat, tatanan keluarga, tatanan institusi kantor, dan lain sebagainya, termasuk tatanan nilai dalam
lembaga pendidikan. Misal dalam lingkungan keluarga, bagaimana seorang anak hormat terhadap orang tua.
Lingkungan masyarakat, bagaimana seorang warga masyarakat menghormati semua peraturan ke RT- an atau ke RW-an
yang telah disepakati atau ditetapkan oleh anggota masyarakat. Lingkungan kampus, bagaimana seorang mahasiswa
hormat terhadap semua peraturan yang berlaku di dalam kampus, baik peraturan akademik maupun non akademik.
Begitu juga dalam tatanan Negara, bagaimana seorang warga Negara hormat terhadap semua peraturan yang berlaku,
mulai dari undang-undang dasar, ketetapan MPR, keputusan presiden, peraturan mentri dan peraturan-peraturan lain
termasuk peraturan-peraturan dalam kondisi situasional,seperti wabah penyakit Corona.
Kasus wabah penyakit Corona misalnya, peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh WHO kemudian dijabarkan ke
dalam peraturan masing-masing Negara, sampai pada tingkat kampung bahkan pedesaan, adalah dalam rangka
mengantisipasi terjangkitnya wabah atau pandemi penyakit corona yang melanda penduduk dunia, sejak akhir tahun
2019 hingga pertengahan bahkan mencapai akhir tahun 2020, kemudian wabah penyakit itu dikenal dengan istilah
pandemi Covid-19. Peristiwa pandemik ini memunculkan peraturan-peraturan atau regulasi-regulasi untuk
meminimalisisir penularan wabah virus penyakit Covid-19 tersebut dengan menggunakan istilah-istilah baru. Beragam
peraturan atau regulasi dengan istilah baru telah dibuat untuk mengurangi penyebaran penyakit yang katanya mematikan
dan mudah menular melalui media interaksi sosial. Maka, semua anggota masyarakat wajib menghormati peraturan-
peraturan itu. Mulai dari istilah penutupan total (lock down), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), menjaga jarak
(social distancing), mencuci tangan dengan sabun (hand sanitizer), pakai masker dan sebaginya adalah dalam rangka
mendidik perilaku patuh tehadap peraturan tersebut. Namun terdapat juga sejumlah anggota masyarakat yang tidak
menghormati terhadap peraturan-peraturan tersebut, bahkan cenderung bersikap fasik. Mereka tahu dan menyaksikan
peraturan yang telah disepakati dan terpublikasikan, tetapi tidak meyakini dan cenderung tidak melaksanakannya.
Perilaku demikian dikatakan sebagai perilaku yang mengingkari nilai kepatuhan.
KEPATUHAN DAN PENGHORMATAN
Macam cara mensosialisasi peraturan atau regulasi, ada yang melalui cara lebih formal, seperti surat edaran, surat
keputusan mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah. Bahkan ada juga mensosialisasikan peraturan dengan cara
lebih kreatif melalui spanduk atau balikho, atau tulisan baner dalam tampilan lebih menghibur dalam bentuk tulisan
inovatif bahkan cenderung mengundang tertawa. Justru kreatifitas demikian memancing perhatian, diharapkan mudah
dipahami dan kemudian dipatuhi oleh anggota masyarakat. Budaya masyarakat pada umumnya bisa jadi bukan
merupakan budaya masyarakat formal, sehingga menyampaikan informasi meskipun dalam konten yang sangat penting
sekalipun atau informasi serius sekalipun, namun dapat disampaikan melalui cara yang lebih menghibur, dengan harapan
mudah di cerna dan dipahami bahkan dihormati untuk diimplementasikan. Seperti Kelik Pelipurlara (2020)
menyampaikan pesan peraturan-peraturan melalui kata-kata plesetan, tentu sangat jenaka dan memotivasi pembaca
untuk dapat memahami pesan yang disampaikan. Melalui cara semacam ini bisa jadi lebih membantu untuk memahami
dan menghormati selanjutnya dapat mematuhi sesuai isi pesan yang disampaikan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa istilah kepatuhan memiliki kedekatan arti dengan sikap hormat.
Bagaimana dapat mengontrol nilai kepatuhan ketika mampu mencermati perilaku yang diaktualisasikan melalui sikap
hormat. Namun, sikap hormat yang dimaksud adalah sikap hormat yang merdeka, artinya patuh bukan keterpaksaan,
hormat dengan rasa kerelaan dan ketulusan, bahwa suatu peraturan itu patut untuk dihormati. Berperilaku hormat berarti
tidak bersikap congkak terhadap suatu peraturan atau tatanan yang disepakati atau ditetapkan. Meskipun regulasi dalam
area yang lebih kecil, misalnya dalam lingkungan keluarga, namun juga dalam area lebih luas, lingkungan kantor,
lingkungan perusahaan, lingkungan pendidikan (sekolah dan kampus), lingkungan Negara, bahkan tatanan regulasi
dunia atau organisasi dunia seperti WHO, UNESCO, PBB, dan lain sebagainya. Bagaimana peraturan yang tertuang
dalam regulasi, dapat dipahami, dihayati dan kemudian diimplementasikan.
KEPATUHAN DAN KESALEHAN
Secara umum istilah kepatuhan jika didekatkan dengan istilah kesalehan merujuk pada perilaku totalitas penghambaan
kepada Tuhan Maha Pencipta dan kerelaan pengabdian kepada tatanan sosial. Bukan sebaliknya berperilaku fasik, yaitu
menyaksikan tetapi tidak meyakini dan tidak melaksanakannya. Sikap fasik artinya secara vertikal keluar dari ketaatan
kepada Sang Khalik dan sang penyampai risalah, sedangkan secara horisontal keluar dari tatanan nilai sosial. Bahwa,
nilai kepatuhan tidak saja rela menjalankan tatanan nilai yang telah ditetapkan secara agama dan kepercayaan ketika
berhubungan secara vertikal, namun juga nilai kepatuhan berarti rela menjalankan tatanan nilai secara sosial
kemsyarakatan ketika berhubungan secara horisontal.
Kesalehan horizontal tercermin ketika bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat perhatian terhadap
masalah-masalah sosial, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, mampu memahami apa
yang dipahami orang lain dan sebagainya, adalah merupakan nilai kepatuhan dalam kontek kesalehan horizontal.
Kesalehan horizontal mendidik kepekaan sosial, mendidik perilaku dan aktualisasi sosial penuh mafaat bagai banyak
orang, bukankah sebaik-baiknya manusia adalah bermanfaat bagi oaring lain (QS. Al-Isra: 7); (HR. Ahmad-Thabroni).
Sehingga menjadikan orang disekitarnya merasa nyaman dan damai. Quraish Shihab (2019) dalam suatu kesempatan
berkata bahwa kedamaian diperoleh manakala mampu menjalankan perilaku damai secara aktif maupun damai secara
pasif. Lebih jauh ia mengatakan, jika tidak mampu menjalankan kedamian aktif, maka lakukanlah kedamaian pasif.
Artinya jika tidak bisa memberi jangan menghalangi, kalau tidak bisa memuji jangan mencela, kalau tidak bisa
menolong jangan menjerumuskan.
Singkat kalimat, bahwa kepatuhan dan kesalehan pada prinsipnya adalah nilai patuh yang bernilai kesalehan spiritual
maupun sosial, dimana kedua istilah itu saling berhubungan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, ketika anggota
masyarakat memiliki sikap dan perilaku demikian itulah kemudian disebut sebagai nilai kepatuhan dalam konsep
kebudiutamaan.
KEPATUHAN DAN KETAATAN
Seperti pengertian kepatuhan dan kesalehan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka nilai kepatuhan jika didekatkan
dengan istilah ketaatan merujuk pada sifat tidak saja tunduk kepada tatanan nilai bersifat vertikal, juga tunduk kepada
tatanan bersifat horizontal. Kepatuhan dalam konteks ketaatan maksudnya adalah kepatuhan yang bersifat mengikat,
yakni ketaatan kepada tatanan nilai bersifat rohani, ketaatan terhadap aturan agama atau moral, karena pada dasarnya
manusia mempunyai kencederungan taat kepada Tuhan-nya. Pada level ini manusia dituntut untuk taat bukan karena
untuk memenuhi aturan itu, tetapi demi kebaikan manuisa itu sendiri. Dalam konsep ajaran Islam termaktub dalam kitab
suci Al-Qur’an, bahwa hal itu merupakan suatu keniscayaan ketika penganutnya harus taat kepada Tuhannya, bahkan
tidak hanya taat kepada Tuhan, juga harus taat kepada Rasul dan juga taat kepada pemimpinnya (Annisa’: 59). Dalam
Alkitab juga demikian halnya memberikan ajaran ketika terkait dengan ketaatan kepada Tuhan sebagaimana yang
tertuang dalam Yohanes (3:22-23).
Kepatuhan dalam konteks ketaatan secara sosial, dapat dijumpai ketika ketaatan itu diejawantahkan kedalam ketaatan
tertulis maupun ketaatan tidak tertulis. Seperti mahasiswa ikut serta melakukan kerja bakti masal, yang dilakukan oleh
warga pada wilayah RT atau RW dimana mereka berdomisli, memang terkadang kerja bakti bersih- bersih lingkungan
peraturannya atau perintahnya termuat dalam peraturan tertulis, tetapi kebanyakan peraturan bersih-bersih desa atau
kampung atau lingkungan tidak tertulis, hanya saja kebiasaan atau budaya masyarakat tertentu untuk mengumpulkan
warga menggunakan alat pukul “ketongan” atau “gong” atau alat lainnya yang dipukuli sebagai tanda untuk melakukan
kerja bakti. Ketika sejumlah mahasiswa berbaur dengan masyarakat dalam lingkungan dimana mereka tinggal atau
berdomisili, maka mereka dikatakan menjalakan atau mengimplementasikan ketaatan sosial. Tetapi sebaliknya jika tidak
ada rasa peduli untuk turut serta kerja bakti, maka dikatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai kepatuhan dalam
konteks ketaatan secara sosial. Karena pada prinsipnya manusia adalah makhluk sosial saling berinteraksi satu dengan
lainnya, hidup berdampingan, bermasyarakat dan bernegara, saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat,
dalam linkungan dengan tatanan Negara yang mengedepankan nilai gotong royong. Seperti kata bijak hidup ini bukan
tentang siapa yang terbaik, tetapi tentang siapa yang berbuat baik. Maka sekecil apapun sumbangan kebaikan untuk
kemalahatan umat.
KEPATUHAN DAN KETAATAN
Budaya gotong royong pada hakekatnya membelajarakan ketaatan secara sosial, saling peduli dan saling bantu
membantu. Seperti budaya gotong royong di kebudayaan Using (Rochsun, 2020), bahwa bagaimana masyarakat bahu
membahu untuk bersama sama membantu satu dengan yang lain, kemudian dikenal dengan konsep Barong. Barong
berarti bersama sama, guyup rukun. Sehingga sangat wajar dengan konsep Barong itu menjadikan masyarakat Using
mampu taat dan patuh kepada para leluhurnya, dalam budaya mereka disebut uri-uri dari weluri atau patuh dan taat
terhadap pesan para leluhurnya untuk menjaga budaya rukun.
Budaya gotong royong mungkin tidak popular di era milenial, suatu era dimana masyarakat kontemporer cenderung
praktis. Orientasi kekinian-kenantian (nownesslateness) dan kedisinian-kedisanaan (hereness-thereness), orang tidak lagi
melakukan kebersamaan, semua kegiatan berorientasi nilai atau ingin dihargai. Seperti persoalan tempat dari mana
seorang berbicara, kepada siapa, dan untuk tujuan apa (John Storey, 2003) adalah menjadi idola. Paradok dengan konsep
kebudiutamaan yang memandang regulasi atau peraturan merupakan nilai luhur yang patut dipatuhi. Sebagaimana
konsep peradaban Jawa yang digambarkan oleh Supratikno Rahardjo (2011), juga tuturan mendalam Andrew Beaty
(2001) bahwa ketaatan kepada peraturan tidak memandang heterogenitas keyakinan atau kepentingan, lebih kepada
menonjolkan sikap kebersamaan. Gotong royong adalah nilai ketaatann yang dianut ketika weluri itu diuri-uri dalam
konsep peradaban
Jawa. Secara ringkas, kepatuhan dalam konteks ketaatan sebagaimana dikemukakan oleh Ramayulis (2002), bahwa
ketaatan tidak saja bersifat vertikal patuh pada Tuhannya, juga kepatuhan yang bersifat horizontal. Dalam konsep
kebudiutamaan kemudian kepatuhan dimaknai ketaatan secara sungguh-sungguh tanpa pamrih, menjalankan dengan
ketulusan semua bentuk regulasi atau perturan baik bersifat vertikal maupun horizontal.
KEPATUHAN DAN KETUNDUKAN
Ketika istilah kepatuhan dan ketundukan tercermin perilaku tunduk, takluk dan menyerah sebagaimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Kemudian dalam tulisan ini pengertiannya dapat ditinjau melalui dua cara, yaitu secara
denotatif dan secara konotatif. Secara denotatif, kata tunduk mengandung pengertian menghadapkan wajah ke bawah
atau condong ke depan dan ke bawah. Sedangkan secara konotatif istilah kepatuhan jika didekatkan dengan ketundukan
berarti tunduk, takluk atau menyerah. Namun, dalam bahasa Arab, istilah kata kepatuhan berarti patuh atau mengatur.
Artinya “taat” yang berasal dari kata dasar thoo’a, yang pengertiannya berlawanan dengan kata pembangkangan.
Sedangkan persetujuan atau ketundukan atau tunduk diwakili oleh kata khusyu dari kata dasar khosya’a, artinya
konsentrasi penuh (focus) atau sungguh- sungguh. Maka, mengacu pada pengertian itu, dapat dipahami bahwa istilah
kepatuhan berdekatan erat dengan istilah ketundukan. Kemudian dalam konsep kebudiutamaan, kepatuhan
sesungguhnya suatu perilaku yang aktualisasinya merujuk pada suatu perilaku yang selalu menuruti atau mengindahkan
pada suatu ketaatan maksimal (tunduk, takluk dan menyerah) secara sungguh-sungguh menjalankan perintah yang telah
disepakati, dan menghindari larangan atau pembangkangan.
Kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur kedisiplinan kemudian diformulasikan kedalam bentuk-bentuk peraturan atau
regulasi, digunakan untuk menata tatanan sosial yang harmonis. Beragam peraturan atau regulasi, pada dasarnya tujuan
utamanya adalah setiap komponen masyarakat dapat mematuhi, tunduk terhadap regulasi agar tatanan nilai sebagai
masyarakat berbudaya dan beradab tercermin baik dalam sikap maupun perilaku. Ketika sikap dan perilaku sejalan
dengan tatanan nilai yang telah ditetapkan dan demi kebaikan bersama, maka antara regulasi dan implementasi
mencapai pada titik kesetimbangan. Namun hal yang berbeda jika terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, kiranya benar
pendapat Wawan dan Dewi (2011) bahwa, melalui sikap kita dapat memahami proses kesadaran yang menentukan
tindakan yang dilakukan individu dalam proses sosialnya.
Sikap melanggar atau membangkang terhadap peraturan atau regulasi adalah tindakan melawan hukum. Ketika setiap
individu atau anggota masyarakat melakukan atau melawan hukum, tentu berdampak pada sangsi-sangsi hukum dan
berakhir pada proses hukum. Sebagaimana fenomena sosial yang sering ditemui ketika mnggunakan jalan umum
misalnya. Tidak jarang kita menemui pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas. Sosialisasi terhadap lambang atau
tanda-tanda rambu lalu lintas tentu sudah massif, hanya saja sikap dan perilaku masyarakat memerlukan pendidikan
kesadaran untuk patuh atau mematuhi rambu-rambu tersebut.
KEPATUHAN DAN KETUNDUKAN
Melakukan kebaikan terhadap sesama makhluk Tuhan dan tunduk terhadap semua bentuk regulasi dimana saja kita
bersosial, sudah sangat cukup bagi jiwa kebudiutamaan. Karena pada prinsipnya, kebudiutamaan mengajarkan kepada
kita untuk selalu tunduk dan patuh kepada semua bentuk regulasi atau peraturan yang ada. Oleh karena, sebagaimana
contoh kasus penguna jalan raya tersebut di atas, semestinya setiap pengguna jalan harus tunduk dan patuh serta
menghormati rambu-rambu lalu lintas yang telah terpasang. Penempatan rambu dan pemasangan tanda-tanda larangan
tentunya telah melalui pengujian, sehingga tidak ada alasan untuk tidak patuh atau melakukan pelanggaran. Karena hal
tersebut demi keselamatan pengendara itu sendiri. Ketidakpatuhan dan tidak tunduk terhadap suatu peraturan
sesungguhnya mencerminkan pembangkangan terhadap tata nilai. Dalam hal itu kemudian kebudiutamaan tampil
berperan bagaimana mendidik sikap patuh, tunduk dan pasrah terhadap semua bentuk tatanan nilai yang berbentuk
peraturan atau regulasi.
Melalui belajar sikap, kiranya dapat memahami proses kesadaran yang menentukan implementasi dalam kehidupan
sosial. Selanjutkan diharapkan dapat mewarnai perilaku patuh, tertib dalam segala hal sesuai tatanan nilai yang ada
sebagai makhluk berbudaya dan beradab. Apapun namanya kesepakatan-kesepakatan itu, baik kesepakatan tertulis
maupun tidak tertulis adalah keniscayaan untuk selalu di taati, dihormati dan selanjutnya menjadi pijakan dalam
berinteraksi secara sosial bermasyarakat. Sehingga nuansa tertib menjadi sangat mewarnai ketika sikap dan perilaku
seiring berjalan.
KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KESETIAAN
Kepatuhan sesungguhnya dalam konsep kebudiutamaan adalah kesetiaan, yaitu suatu sikap tulus terhadap semua
aktivitas yang dilakukan, tidak melanggar janji ketika sudah melakukan kesepakatan-kesepakatan, dan tidak berkianat
jika dipercaya. Istilah kesetiaan pengertiannya dekat dengan pengertian janji. Janji adalah persetujuan, kesepatakan yang
harus ditepati. Bahkan janji dalam konsep Islam harus ditepati, dan dapat dikatakan hutang bilamana tidak menepati
janji (QS. An-Nahl: 91). Oleh karena itu dalam konsep Islam belum dapat dikatakan sempurna keimanan seseorang jika
belum mampu menepati janji. Tentu hal itu tidak saja ajaran Islam mengajarkan untuk tidak ingkar janji, dapat dipahami
semua ajaran samawi bahkan bisa jadi ajaran-ajaran agama lainnya mengajarkan hal yang sama. Seperti dalam Alkitab
(Yesaya 24:5) bahwa’Bumi cemara karena penduduknya, sebab mereka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan
dan mengingkari perjanjian abadi”. Jelas bahwa sikap ingkar janji bukan saja mengingkari nilai kesetiaan, akan ketapi
melunturkan sikap kepatuhan.
Prinsip kebudiutamaan dalam konsep kepatuhan adalah loyalitas. Yaitu loyalitas tanpa batas, artinya melakukan sesuatu
demi kemaslahatan orang banyak, kemaslahatan institusi, baik institusi negeri, institusi swasta, institusi POLRI,
institusi, TNI dan bahkan institusi Negara sekalipun. Di samping loyalitas secara horizontal tersebut, tentu pertama dan
utama harus memiliki sikap loyalitas yang bersifat vertikal. Karena ketika loyalitas bersifat vertikal terjaga, maka
otomatis sikap dan perilaku loyal horizontal terjamin, dan mampu memegang amanah.
Seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), kesetiaan atau loyalitas adalah nafas bagi prajurit. Mereka tidak saja loyal
terhadap institusi TNI, namun juga loyalitas kepada komandan, dan loyalitas tertinggi mereka adalah loyalitas tanpa
batas kepada Negara Kesatuan republik Indonesia. Pendidikan kebudiutamaan dalam konsep kepatuhan, pemahaman
patuh dan kesetiaan seperti gambaran nilai kepatuhan yang dicontohkan oleh para prajurit TNI. Yaitu kepatuhan
dibarengi dengan nilai kesetiaan, yang dibarengi dengan sikap loyal.
KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KEBERTANGGUNGJAWABAN
Istilah kepatuhan dalam salah satu pilar kebudiutamaan mengandung maksud kebertanggungjawaban. Artinya patuh
tetapi harus tetap bertanggung jawab, bukan patuh tapi melalaikan tanggung jawab. Patuh tapi tidak bertanggung jawab
adalah kepatuhan semu, seolah-olah patuh, Maksudnya adalah ketika kepatuhan itu tidak dibarengi dengan tanggung
jawab atas konsekuensi logis terhadap suatu keputusan pilihan, maka dikatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai
kepatuhan.
Kepatuhan yang bertanggung jawab adalah kepatuhan yang memiliki loyalitas tinggi, yang memerlukan perjuangan dan
pengorbanan dalam menjaga kesetiakawanan social, bukan bersikap oportunis. Kepatuhan yang bertanggung jawab
adalah kepatuhan tanpa pamrih dan kepatuhan yang tidak harus dipamerkan. Tidak penting melakukan sebuah pekerjaan
diketahui atau tidak diketahui oleh atasan atau orang lain, yang justru harus ditonjolkan adalah hasil dari sebuah produk
tanggung jawab dari sebuah pekerjaan. Justru dalam konsep kebudiutamaan adalah kepatuhan ketika melakukan sesuatu
pekerjaan didasari dengan sikap bertanggung jawab. Sikap bertanggung jawab adalah sikap yang mampu
mempertaruhkan harga diri demi suatu pekerjaan atau usaha yang diputuskannya untuk dipilih. Sikap patuh yang
bertanggung jawab adalah sikap yang berani tanggung jawab terhadap sebuah sikap yang dipilihnya, bukan sembunyi
dari tanggung jawab kemudian melemparkan tanggung jawab. Kepatuhan yang bertanggung jawab adalah kepatuhan
yang tidak bersikap licik. Kepatuhan dalam kebudiutamaan berani bertanggung jawab atas semua resiko.
KEPATUHAN DALAM TINJAUAN KETERTIBAN
Istilah kepatuhan merujuk pada istilah ketertiban, dalam konsep kebudiutamaan lebih dekat pengertiannya kepada
makna perintah, namun kepatuhan juga dekat dengan pengertian keteraturan, kerapian. Jika merujuk pada pilar
kepatuhan dalam kebudiutamaan maka dimaknai sebagai perintah yang wajib ditanggungjawabi, selanjutnya
diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kepatuhan dalam konteks ketertiban pada prinsipnya adalah perilaku yang mengikuti aturan atau regulasi yang berlaku.
Perilaku tertib adalah perilaku yang menimbulkan keserasian. Tujuan dari perilaku tertib adalah agar individu dalam
interaksinya dalam masyarakat taat atau patuh terhadap tata nilai yang telah dirumuskan. Tata nilai yang dimaksud dapar
cerupa peraturan-peraturan tertulis sebagai panduan regulasi dari suatu organisasi. Baik organisasi masyarakat,
organisasi sekolah, perkantoran maupun organisasi Negara.
Kepatuhan dalam konteks ketertiban adalah aktualisasi hormat terhadap tata nilai yang mengharuskan segala sesuatu
dapat berjalan harmonis, dan harus dipatuhi. Misalnya, kepatuhan dalam kampus terkait dengan proses pembelajaran di
kelas. Seorang mahasiswa dikatakan patuh dan tertib ketika tidak terlambat masuk kelas sehingga menimbulkan
kegaduhan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini tentu akan mengganggu situasi kelas. Berpakaian
rapih juga merupakan kepatuhan dalam konteks ketertiban, mencerminkan nilai sopan santung sesuai dengan peraturan
yang berlaku di lingkungan kampus.
Kepatuhan ketika didekatkan dengan istilah ketertiban, maka kebudiutamaan adalah perilaku yang berperan sesuai
ketentuan sebagaimana mestinya. Kondisi dinamis masyarakat mengharuskan perilaku tertib menjadi prioritas, dalam
rangka meraih situasi damai, Pendidikan kebudiutamaan pada prinsipnya mendidik perilaku pebelajar untuk dapat
menghayati mengamalkan sikap tertib, sebagai hasil aktualisasi dari sikap patuh.

Anda mungkin juga menyukai