Anda di halaman 1dari 5

Pertemuan II.

Setelah Materi ini dikaji diharapkan Mhs.dapat : 1.Menjelaskan Pengertian


Nilai,Moral dan Norma. 2.Mengetahui perbedaan pandangan tentang nilai.
3.Menjelaskan sebab rendahnya pemahaman dan penghargaan terhadap nilai.
4.Menjelaskan manfaat nilai. 5. Menyebutkan sifat-sifat norma.6. Menjelaskan
Pengertian Moral.7.Mengidentifikasi hubungan Nilai,Norma dan Moral…

Nilai, Norma, dan Moral


1. Pengertian Nilai

Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value yang biasa diartikan sebagai harga, penghargan, atau
taksiran. Maksudnya adalah harga atau penghargaan yang melekat pada objek. Objek yang dimaksudkan di sini
dapat berupa barang, keadaan, perbuatan, peristiwa dan lain-lain. Dengan demikian seseorang dapat berbicara
tentang nilai sebuah bangunan rumah, nilai dari sebuah tanda penghargaan, nilai dari kehadiran seorang
pemimpin di tengah-tengah warganya, nilai dari peristiwa penyerangan para pejuang di markas tentara kolonial
dan lain-lain. Bambang Daroeso (1986: 20) mengemukakan bahwa nilai adalah kualitas atau penghargaan
terhadap sesuatu, yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Sementara itu Widjaja (1985:
155) mengemukakan bahwa menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan menghubungkan antara sesuatu dengan
sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat berupa baik
atau buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah, berguna atau tidak berguna dan sebagainya.
Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa difikirkan, dipahami, dan
dihayati. Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan dan hal-hal lain yang bersifat batiniah. Nilai adalah
suatu kualitas, bukan kuantitas. Nilai adalah sesuatu yang bersifat ideal, bukan faktual. Dalam bahasa filsafat,
nilai berkaitan dengan das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang senyatanya). Karena sifatnya
yang abstrak dan ideal, maka pemahaman terhadap nilai lebih sulit dibanding dengan pemahaman terhadap hal-
hal yang kongkrit dan faktual, misalnya pemahaman terhadap phisik manusia, barang, kejadian-kejadian nyata
dan lain-lain. Nilai bukan sesuatu yang kongkrit dan faktual, tetapi yang berada “di balik” hal-hal yang kongkrit
dan faktual itu.
Pandangan tentang nilai terdapat kontroversi, yakni adanya perbedaan pandangan yang menganggap nilai
itu bersifat subjektif dengan pandangan yang menganggap nilai itu bersifat objektif . Pandangan yang
menyatakan bahwa nilai itu bersifat subjektif menganggap bahwa nilai dari sesuatu itu tergantung pada subjek
yang menilainya. Suatu objek yang sama dapat mempunyai nilai yang berbeda atau bahkan bertentangan bagi
orang yang satu dengan yang lain. Suatu objek yang sama dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, serta
berguna atau tidak berguna, tergantung pada subjek yang menilainya. Sebagai ilustrasi, sebuah bangunan kuno
warisan zaman dulu yang sudah lapuk sangat mungkin dianggap memiliki nilai yang sangat berharga bagi para
sejarawan, tetapi tidak demikian bagi orang lain. Menurut pandangan ini, sesuatu itu baru akan mempunyai nilai
apabila ada subjek yang menilainya, sebaliknya sesuatu itu tidak mempunyai nilai apapun tanpa ada subjek
yang menilainya.
Pandangan yang menyatakan bahwa nilai itu bersifat objektif menganggap bahwa nilai suatu objek itu
melekat pada objeknya dan tidak tergantung pada subjek yang menilai. Setiap objek itu mempunyai nilainya
sendiri, tanpa diberi nilai oleh subjek. Para filsuf Yunani Kuno pada umumnya berpendapat demikian. Dalam
hubungan ini Plato menyatakan bahwa dunia nilai dan dunia ide merupakan dunia yang senyatanya dan bersifat
tetap. Sedangkan pemahaman maupun penilaian seseorang terhadap suatu objek hanyalah merupakan bagian
dari dunia pengalamannya, yang tidak jarang bersifat subjektif, berubah-ubah atau bahkan saling bertentangan.
Meskipun memerlukan proses yang tidak mudah, akan tetapi pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai
perlu dimiliki oleh setiap orang. Proses ini akan lebih efektif apabila ditempuh melalui jalur pendidikan, melalui proses
penalaran dan pencerahan. Pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat wujud,

kongkrit, dan faktual itu masih bersifat dangkal dan perlu dipahami lebih mendalam tentang nilai, makna, atau hakikat
yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh,
pemahaman terhadap fakta “Pertempuran 10 November 1945” di Surabaya merupakan sesuatu yang penting,
akan tetapi lebih penting lagi adalah pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai, makna, atau hakikat
yang terkandung di dalam peristiwa tersebut.
Pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai mungkin merupakan sesuatu yang agak “asing” di
kalangan siswa atau bahkan di kalangan masyarakat pada umumnya. Ada beberapa sebab yang
mengakibatkan rendahnya pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai, yang pada pokoknya disebabkan
oleh sistem yang melingkupi para siswa atau masyarakat. Pertama, sistem pendidikan nasional yang kurang
memberi perhatian terhadap nilai-nilai, sekaligus lebih banyak memberikan perhatian terhadap konsep-konsep
dan fakta-fakta. Arah dan kecenderungan sistem pendidikan nasional yang demikian tentu tidak dapat
dipisahkan dengan sistem politik dan kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini. Kebijakan
pembangunan nasional dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun masa Orde Baru lebih menekankan
pembangunan phisik materiil, meskipun dalam konsepnya dinyatakan sebagai Pembangunan Manusia
Indonesia Seutuhnya, yang memberikan keseimbangan antara aspek-aspek phisik materiil dan mental spiritual.
Kedua, sistem sosial masyarakat juga kurang memberi perhatian terhadap nilai-nilai, bahkan sebagaimana telah
sering menjadi sorotan publik, masyarakat telah dilanda oleh krisis nilai. Kondisi semacam ini tentu juga tidak
dapat dipisahkan atau bahkan merupakan akibat dari sistem politik dan kebijakan pembangunan seperti yang
telah dikemukakan maupun kecenderungan masyarakat global. Ketiga, sistem yang lebih luas, yakni
masyarakat global yang juga merupakan masyarakat “modern”, cenderung berorientasi pada hal-hal yang
bersifat materialistik (kebendaan), pragmatik (mengutamakan kemanfaatan praktis), dan hedonistik
(berorientasi pada kesenangan atau kepuasan). Dengan demikian, persoalan nilai yang lebih bersifat immateriil
dan spiritual kurang memperoleh tempat dalam pandangan masyarakat “modern”. Sesuatu dianggap bernilai
apabila dapat memberikan kemanfaatan praktis, sesuai dengan tuntutan kebutuhan nyata, dan memberikan
kepuasan atas tuntutan kebutuhan itu.
2. Pengertian Norma

Norma adalah kaidah atau aturan-aturan, yang berisi petunjuk tentang tingkah laku yang wajib dilakukan
atau tidak boleh dilakukan oleh manusia dan bersifat mengikat. Kata “mengikat” di sini berarti bahwa setiap
orang dalam lingkungan berlakunya norma itu wajib menaatinya. Kepada para pelanggar norma itu akan dikenai
sanksi tertentu. Tujuan dari diberlakukannya suatu norma pada dasarnya adalah untuk menjamin terciptanya
ketertiban masyarakat.
Norma itu pada umumnya berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, seperti dalam lingkungan
etnis tertentu, di suatu wilayah atau negara tertentu. Namun demikian, ada pula norma-norma yang bersifat
universal, yang berlaku bagi seluruh umat manusia, misalnya larangan menipu, mencuri, menganiaya,
membunuh dan lain-lain. Dalam kehidupan manusia dikenal adanya beberapa macam norma, yaitu norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
Norma agama adalah aturan-aturan yang oleh para pemeluknya diyakini bersumber dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Meskipun ajaran agama hanya akan diimani oleh pemeluknya masing-masing, akan tetapi dalam
hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungannya, agama-agama itu mengajarkan hal-hal yang pada
umumnya sama, misalnya perintah agar jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan berkhianat,
berbakti kepada kedua orang tua, mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin dan sebagainya.
Norma kesusilaan adalah aturan-aturan tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik, yang bersumber dari hati
nurani manusia. Sesuai dengan kodratnya, manusia adalah makhluk yang berbudi, yakni unsur batin yang
merupakan perpaduan antara akal dan perasaan, yang mampu membedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk. Apabila manusia tidak mengingkari hati nuraninya, niscaya ia akan mampu membedakan hal-
hal yang baik dan yang buruk menurut kesusilaan. Norma ini bersifat universal, artinya berlaku di manapun
dan kapanpun dalamkehidupan umat manusia. Dalam bahasa fisika, universal itu dapat dimaknai bebas
dari dimensi ruang dan waktu. Sebagai contoh, pelecehan seksual merupakan perbuatan yang melanggar
norma kesusilaan, yang bertentangan dengan budi dan nurani manusia, di manapun dan kapanpun juga.
Norma kesusilaan juga sering disebut sebagai norma moral.
Norma kesopanan adalah aturan-aturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
lingkungan kelompok masyarakat tertentu, yang bersumber dari adat istiadat, budaya, atau tradisi
setempat. Norma kesopanan juga sering digolongkan sebagai norma moral. Akan tetapi berbeda
dengan norma kesusilaan yang bersifat universal, norma kesopanan itu bersifat lokal, kultural,
tradisional, atau kontekstual. Artinya, norma kesopanan itu berlaku di suatu wilayah tertentu, dalam
lingkungan budaya tertentu, berdasar tradisi tertentu, atau dikaitkan dengan kontek tertentu. Apa yang
dianggap sopan di suatu daerah mungkin dianggap tidak sopan di daerah lain. Demikian juga apa yang
dianggap tidak sopan pada masa lalu mungkin dianggap sopan pada masa sekarang. Sebagai contoh,
dalam lingkungan masyarakat Jawa, seorang anak yang berbicara dengan orang tua sebaiknya
menggunakan bahasa Jawa krama inggil (suatu strata bahasa Jawa yang halus dan tinggi). Dengan
demikian norma kesopanan itu terikat pada ruang dan waktu.
Norma hukum adalah aturan-aturan yang bersumber atau dibuat oleh lembaga negara yang
berwenang, yang bersifat mengikat dan memaksa. Negara berkuasa untuk memaksakan aturan-aturan
hukum agar dipatuhi dan bagi siapa saja yang bertindak melawan hukum dapat diancam dan dijatuhi
hukuman tertentu. Sifat “memaksa” dengan sanksi hukumannya yang tegas dan nyata inilah kelebihan
norma hukum dibanding dengan norma-norma yang lain. Demi tegaknya hukum, negara mempunyai
lembaga beserta aparat-aparatnya di bidang penegakan hukum, yakni hakim, jaksa, dan polisi.
Tidak sedikit bentuk-bentuk perbuatan atau tingkah laku yang sama-sama dianjurkan atau dilarang
oleh berbagai norma itu. Sebagai contoh, berbakti kepada kedua orang tua adalah sikap atau
perbuatan yang dianjurkan oleh norma agama, norma kesusilaan, maupun norma kesopanan atau
norma sosial. Perbuatan menipu adalah perbuatan yang dilarang oleh norma agama, norma
kesusilaan, norma kesopanan atau norma sosial, maupun norma hukum. Sedangkan perbuatan
mengendarai motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah perbuatan yang melanggar
norma hukum, tetapi tidak melanggar norma agama, kesusilaan, maupun kesopanan.

3. Pengertian Moral

Secara etimologis, moral berasal dari kata mos dan bentuk jamaknya mores, kosa kata dalam
bahasa Latin yang berarti tata cara atau adat istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:
592), moral disinonimkan dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut Wijaya (1985: 154), moral
adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak). Sementara itu menurut al-
Ghazali (1994: 31), akhlak (sebagai padanan kata moral) adalah perangai, watak, atau tabiat yang
menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu secara mudah
dan ringan, tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Dalam kontek lain yang tidak
dimaksudkan dalam uraian ini, kata moral juga sering digunakan sebagai pengganti kata mental atau
spirit. Sebagai contoh adalah dalam ungkapan “kehadiran pelatih di tengah-tengah para pemain itu
memberikan kekuatan moral yang sangat berarti”. Memang tidak mudah untuk mendifinisikan moral
dengan batasan pengertian yang ketat, sehingga banyak terminologi yang digunakan sebagai padanan
kata moral, meskipun dari semua itu pengertiannya tidak sepenuhnya sama (identik).
Dari hal-hal yang telah dikemukan dapat diperoleh pengertian bahwa moral itu pada pokoknya membicarakan
tentang tingkah laku atau perbuatan yang baik dan tidak baik. Secara akademis perlu dijelaskan bahwa moral dapat
diposisikan pada tataran ide/ajaran, aturan, atau sudah berupa perbuatan. Dengan demikian terdapat moral dalam
tataran ide atau ajaran, yang dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai nilai-nilai moral, terdapat moral dalam
tataran aturan-aturan, yang dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai norma-norma moral, dan terdapat moral
dalam tataran perbuatan-perbuatan nyata, yakni berupa perbuatan yang bermoral dan tidak bermoral (immoral).
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani, yang
berati kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam memahami etika juga terdapat
penggolongan yang cukup rumit, ada yang memahami etika sebagai nilai-nilai atau norma-norma, sebagai ilmu,
dan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok orang (misalnya etika yang berlaku dalam berbagai
profesi). Selain itu juga perlu dipahami bahwa etika memiliki unsur apriori dan empris. Unsur apriori itu tidak
membutuhkan pengalaman empiris. Menurut Immanuel Kant, etika yang murni atau filsafat moral itu justru yang
bersifat apriori itu. Artinya bahwa persoalan moral, baik atau buruk itu lebih didasarkan pada hasil renungan
yang kritis, mendalam, rasional, dan prinsip-prinsip berfikir kefilsafatan lainnya. Sebagai contoh, apakah aborsi
itu secara moral baik atau buruk, jawabannya dapat direnungkan secara kritis, mendalam, dan rasional, tidak
perlu melihat kenyataan empirisnya membawa kebaikan atau kejelekan.

4. Hubungan Antara Nilai, Norma, dan Moral

Setelah dipahami pengertian nilai, norma, dan moral, maka perlu pula dipahami hubungan antara ketiga
konsep tersebut. Tidak jarang kita mendengarkan penuturan atau uraian yang menggambarkan ketidakjelasan
batasan pengertian, batasan pengertian yang tumpang-tindih, serta ketidakjelasan hubungan hirarkhis antara
ketiganya.
Dari ketiga konsep itu, nilai merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi,
intisari, atau makna yang terdalam. Sebagaimana telah dikemukakan, nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang
berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal. Agar hal-hal yang bersifat abstrak
itu menjadi kongkrit dan apa yang menjadi harapan itu menjadi kenyataan, maka perlu diperlukan formulasi yang
lebih kongkrit. Formulasi yang lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma.
Norma yang berisi perintah atau larangan itu didasarkan pada suatu nilai, yang dihargai atau dijunjung
tinggi, karena dianggap baik, benar, atau bermanfaat bagi umat manusia atau lingkungan masyarakat tertentu.
Dengan demikian, hubungan antara nilai dengan norma dapat dinyatakan bahwa nilai itu merupakan sumber
dari suatu norma. Norma merupakan aturan-aturan atau standard penuntun tingkah laku agar harapan-harapan
itu menjadi kenyataan. Agar lebih jelas dapat dicontohkan bahwa kejujuran merupakan suatu nilai dan larangan
menipu merupakan suatu norma. Demikian pula halnya dengan kebersihan yang merupakan suatu nilai dan
larangan membuang sampah di sembarang tempat merupakan suatu norma.
Adapun moral dalam pengertian sikap, tingkah laku, atau perbuatan yang baik yang dilakukan oleh seseorang
adalah merupakan perwujudan dari suatu norma dan nilai yang dijunjung tinggi oleh orang tersebut. Perlu
dikemukakan kembali bahwa moral juga dapat dipahami dalam tataran nilai, sehingga disebut nilai moral, serta
dapat pula dipahami dalam tataran norma, sehingga disebut norma moral. Sebagai contoh, orang yang
senantiasa menunjukkan sikap dan perbuatan yang jujur dapat disimpulkan bahwa ia mematuhi norma-norma
kejujuran, baik yang ada dalam norma agama, norma kesusilaan, maupun norma hukum. Lebih dari yang bersifat
normatif, ia juga mengapresiasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujujuran. Dengan demikian secara hirakhis
dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan dari norma, selanjutnya norma menjadi dasar
penuntun dari moralitas manusia, yakni sikap dan perbuatan yang baik.

“Kaji dan Analisis Materi ini, dan Selanjutnya buat Rangkuman Tidak lebih dari dua
Paragraf…Terkendala kembali ke foruuum atau ke…WA

INGAT…..Modal Kejujuran…..”

Anda mungkin juga menyukai