Anda di halaman 1dari 21

pengukuran

keterbacaan wacana
dengan formula
Kelompok 6
Anggota Kelompok

Novus Adelia Aurora (201230037)


Eva Ramadanti Putri (201230029)
Bima Junio Wijaya (201230046)
A.pengertian
ketrbacaan
Mc Laughin (Suherli, 2009) menyatakan bahwa
keterbacaan berkaitan erat dengan pemahaman pembaca
sebab bacaan yang memiliki keterbacaan yang baik akan
memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan
pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.

Suherli (2009) menyimpulkan bahwa keterbacaan


berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan,
dan keterpahaman.
Lanjutan
Dalam hal ini keterbacaan adalah ukuran perihal sinkron
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu ditinjau dari
segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.

Chomsky (2000) mengatakan bahwa keterbacaan


mengandung pengertian sistem-sistem harus bisa
membaca ungkapan-ugkapan bahas serta
menggunakannya sebagai instruksi-instruksi yang
berkaitan dengan bunyi, yaitu representasi-representasi
fonetik yang dihasilkan bahasa.
B. Wacana
Menurut KBBI, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang
direalisasikan dalam bentuk karangan arau laporan utuh seperti
novel, buku, artikel, pidato atau khotbah.
Henry Guntur Tarigan (1987) mengemukakan bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa
dan kalimat, memiliki kohesi dankoherensi yang baik, mempunyai
awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat
disampaikan secara lisan atau tertulis.
Dalam bentuk penyampaian wacana bisa menggunakan bahasa
lisan maupun bahasa tulis.
Lanjutan
Wacana juga memiliki berbagai ciri dan sifat, Syamsudidin dkk
(1998) mengungkapkan sebagai berikut:
a) Wacana berupa rangkaian ujaran secara verbal atau
rangkaian tindak tutur, dalam hal tersebut menjelaskan bahwa
wacana bisa berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis.
b) Wacana menyampaikan, dalam arti wacana merupakan hal
yang bersifat untuk menyampaikan sesuatu kepada audiens
atau pembaca.
c) Penyampaian dalam wacana juga sangat teratur, sistematis,
koheren, serta lengkap dengan situasi pendukung lainnya,
d) Wacana memiliki satu kesatuan misi dalam sebuah
rangkaian inti di dalamnya.
e) Wacana dibuat oleh unsur segmental dan non-segmental.
Unsur segmental adalah suatu unsur yang terdapat di dalam
kalimat tertulis yaitu, penulisan tanda baca, huruf kapital,
dan sebagainya. Sedangkan non-segmental sebuah unsur
wacana yang berkaitan dengan konteks tertentu.
C. Konsep Keterbacaan
Wacana

Konsep keterbacaan wacana ini menempatkan di


responden pada tingkat baca frustasi serta sulit di pahami
oleh peserta didik.

Perlu dikemukakan bahwa pengajar harus lebih kreatif


dalam mencari serta menentukan materi bacaan yang
sesuai dengan taraf kemampuan belajar peserta didik.
Lanjutan
Sehubungan dengan hal itu, pengajar tidak bisa terikat di satu
buku teks tertentu saja, namun bisa merekomendasikan koleksi-
koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-
kliping, surat kabar, jurnal, pamflet). Pada hal ini, penggunaan
rumus keterbacaan umumnya dilakukan untuk memudahkan
pengajar dalam mempersiapkan atau mengubah tingkat
keterbacaan materi pengajarannya (Harjasujana dan
Mulyati,1997: 109).
Lanjutan

Keterampilan untuk mengganti taraf keterbacaan wacana


wajib dimiliki oleh setiap pengajar agar bisa
mempertimbangkan taraf keterbacaan tulisanya sebagai
akibatnya bisa terbaca dengan baik oleh siswa.
Cara untuk mengubah tingkat keterbacaan dapat
dilakukan dengan meninggikan taraf kesulitan
wacananya atau sebaliknya, menurunkan tingkat
kesulitan wacana tersebut (Harjasujana dan Mulyati,
1997: 109).
D. Ragam Tingkat
Keterbacaan wacana
Guna mengukur taraf keterbacaan sebuah wacana,
terdapat sejumlah formula-formula yang dapat
dipergunakan.
Melalui hal tersebut seorang peserta didik akan dibekali
dengan kompetensi pada hal penerapan formula
keterbacaan. Formula-formula tadi umumnya
dipergunakan untuk mengukur taraf keterbacaan wacana,
di antaranya sebagai berikut:
1.Formula Keterbacaan Fry

Formula Keterbacaan Fry


Formula ini dibuat pada tahun 1968 dan dipulikasikan pada tahun 1977 dan
dirumuskan oleh Edward Fry. Tujuan formula ini salah satunya untuk
menyederhanakan teknik penentu tingkat keterbacaan wacana.
Pada hal ini, faktor panjang dan pendek kalimat serta kata sulit masih
tetap dipergunakan.
Semakin panjang kalimat akan semakin sulit pemahamannya, begitu
juga sebaliknya. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut:
1) Perempuan itu menyukai adikku.
2) Perempuan yang berbaju biru yang duduk di sebelah lelaki yang
berkacamata itu menyukai adikku yang memiliki banyak koleksi
buku.
Penjelasan

Kalimat nomor (2) adalah perluasan dari


kalimat nomor (1). Karena memiliki banyak
perluasan, tentu saja kalimat nomor (1) lebih
mudah dipahami dari pada kalimat nomor
(2). Faktor-faktor seperti tersebutlah yang
menjadi tolak ukur beberapa formula
keterbacaan, seperti formula fry.
2. Formula ketrbacaan
Raygor
Formula Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor. Formula Raygor
memiliki prinsip- prinsip yang sama dengan formula keterbacaan Fry.
Formula Raygor memakai alat ukur jumlah kalimat dan jumlah kata
sulit, kata yg terdiri atas enam kata atau lebih yang ada pada wacana.

Pada formula fry, semakin banyak suku kata akan diangkap


semakin sulit keterbacaannya. Begitu juga dengan formula raygor,
semakin banyak jumlah huruf dalam sebuah kata akan
dikategorikan sebagai kata sulit yang kemudian akan memiliki
tingkat kemungkinan keterbacaan sulit. Formula ini tampak
mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yg memakai huruf
lanjutan
Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan
untuk menghitung tingkat keterbacaan dengan
menggunakan formula raygor (Laksono, 2014:4.25―4.26).
(1) Memilih penggalan teks representatif yang
panjangnya lebih kurang 100 perkataan
(2) Menghitung jumlah kalimat dari seratus perkataan
yang terdapat dalam wacana sampel
(3) Menghitung jumlah suku kata dalam seratus kata
(4) Menerapkan hasil perhitungan dalam grafik
raygor
3.Formula Keterbacaan Fog Index
​ og index pertama kali ditemukan oleh pratisi media dari
F
Amerika Serikat, Robert Gunning (1952). Jika diartikan dalam
Bahasa Indonesia Fog berarti kabut dan index berarti angka
atau jumlah. Pengertian tersebut digambarkan kabut sebagai
penghalang mata pembaca untuk melihat atau memahami
suatu wacana dan jumlah yang berarti semakin banyaknya
kabut akan semakin sulit memahami wacana.
Awal ditemukannya formula fog index adalah pada saat
Gunning mengamati banyak siswa sekolah menengah
yang tidak terampil dan tidak mahir membaca yang
disebabkan oleh wacana sebuah teks yang ditulis sangat
baik tetapi tidak mempertimbangkan tingkat
keterbacaan target pembaca. Setelah itu, pada 1944,
Gunning mendirikan lembaga untuk mengukur dan
menemukan formula keterbacaan suatu wacana.
Salah satu indeks keterbacaan teks yang paling penting adalah tingkat
ketidakjelasan (Fog index). Hal ini signifikan karena beberapa alasan
yaitu, fog index adalah indeks komprehensif, yaitu mencakup keduanya
leksikal (kesulitan kosakata) dan fitur sintaksis (kesulitan kalimat).
Kedua, Fog index dapat memprediksi keterampilan membaca dari
seorang pembaca berdasarkan tingkat pendidikan (Bailin, 2010).
Berdasarkan pendapat Gunning, Hal-hal yang mempengaruhi kejelasan
dalam keterbacaan adalah:
1. Hubungan tingkat pendidikan dan kosakata yang dikuasainya.
2. Wawasan seorang pembaca,
3. Tempat tinggal dan pergaulan pembaca,
Lanjutan

4. Kemampuan seseorang memahami sebuah teks dan mengingatnya,


5. Diksi, atau pilihan kata asing oleh penulis yang melampaui batas standar
kemampuan pembaca,
6. Suku kata yang lebih dari tiga atau lebih. Misalnya, dalam bahasa
Indonesia, kata benda atau kata sifat sering menggunakan prefiks,
misalnya: kenyamanan, ketergantungan, keputusasaan, ketidaksadaran,
dan lainlain.
7. Kalimat dalam sebuah wacana yang panjang (lebih dari 7 kata per
kalimat). Kalimat yang panjang akan menyulitkan pembaca untuk
menghubungkan antara subjek, predikat, objek, dan keterangan.
Apa ada
pertanyaan?
Terima
Kasih

Anda mungkin juga menyukai