PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesantunan
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus men-jadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Kesantunan
berbahasa ter-cermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal dan
gesture tubuh. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,
tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara
berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu bahasa dalam
berkomunikasi.
Fraser (dalam Gunarwan, 1994) mendefinisikan kesantunan adalah
“property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any
obligation”, dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan
dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur
tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajiban-
nya. Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu per-
tama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan
ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah
kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimak-
sudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pen-
dengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula seba-
liknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta
interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini
”diukur” berdasarkan (1) apa-kah si penutur tidak melampaui haknya kepada
lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada
lawan bicaranya itu.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar
komunikasi. Kesantunan dalam berbahasa dapat diwujudkan antara lain
melalui kesantunan kalimat dan paragraf. Pemakaian bahasa yang sengaja
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenar-nya juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Tindakan tersebut
hanya akan menghambat terjalinnya komunikasi antara penutur dan mitra
tutur. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang sudah dapat berbahasa secara
baik dan benar, tetapi belum mampu berbahasa secara santun.
2.2 Kesantunan Kalimat
Kalimat merupakan bagian dari paragraf yang dapat dibentuk dari
berbagai kata, termasuk frasa dan klausa. Menurut Azhari (dalam Maimunah,
2011:49) kalimat adalah serangkaian kata yang tersusun secara bersistem
sesuai kaidah yang berlaku untuk meng-ungkapkan gagasan, pikiran, atau
perasaan yang relatif lengkap. Adapun Suwarna (2012:61) mengartikan
kalimat sebagai satuan unsur bahasa dalam wujud lisan atau tulisan yang
sekurang-kurangnya terdiri dari subyek dan predikat. Satuan komposisi
kalimat terdiri atas unsur terkecil yang disusun menjadi rangkaian atau
susunan yang lebih luas.
Pola yang paling sederhana dari sebuah kalimat adalah adanya subyek
dan predikat, namun kalimat juga dapat dikembangkan dari kata, frasa, dan
klausa. Ada dua macam kalimat yang dapat diperluas dari unsur-unsur
tersebut, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal dapat
dibentuk dari satu unsur inti (S+P), sedangkan kalimat majemuk terdiri dari
dua atau lebih unsur inti (SP+SP....). Kalimat-kalimat ini kemudian dapat
dikembangkan sehingga mempunyai lima unsur kalimat terlengkap, yaitu
subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K).
Komposisi kalimat harus dibuat sesederhana mungkin tanpa
menghilangkan makna agar dapat menjadi kalimat yang efektif. Kalimat
efektif akan menjadi dasar pemakaian bahasa seseorang. Ketika dalam
berbahasa membuat pembaca atau pendengar kita mengerutkan keningnya,
boleh jadi terdapat kesalahan berbahasa yang mendasar. Suwarna (2012:23)
mendefinisikan kalimat efektif melalui dua ciri, yaitu adanya struktur dan
maksud yang jelas. Struktur yang jelas artinya kata-kata dan unsur pembentuk
kalimat lainnya tersusun secara sederhana. Maksud yang jelas artinya pesan
yang disampaikan dapat langsung dipa-hami pembaca atau pendengar.
Menurut Maimunah (2011:17), kalimat efektif adalah kalimat yang dapat me-
ngungkapkan gagasan penutur/penulis secara tepat sehingga dapat dipahami
oleh pendengar/pembaca secara tepat pula sehingga pendengar/pembaca
dapat memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas dan lengkap seperti
apa yang dimaksud oleh penulis atau pembicaranya. Seorang penutur/penulis
harus dapat mengungkapkan maksudnya dalam sebuah kalimat secara jelas.
Apabila penutur/penulis tidak dapat menciptakan kalimat efektif, maka dikha-
watirkan akan terjadi kesalahpahaman. Ini sesuai dengan pendapat Suwarna
(2012:20), yaitu “hakikat pesan dalam kalimat efektif adalah apa yang
dipahami si pendengar adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si
pembicara".
Menurut Maimunah (2011: 18) terdapat tujuh hal yang harus diperha-
tikan untuk membuat kalimat efektif, yaitu:
1) Keparalelan
Keparalelan merupakan adanya beberapa unsur (kata/frasa) yang
dapat diga-bungkan menjadi satu karena kedudukannya yang sejajar di
dalam kalimat. Misalnya sebuah perincian, jika unsur pertama menggu-
nakan verba, maka unsur kedua dan seterusnya juga menggunakan verba.
Contoh: Dalam rapat tersebut diputuskan tiga hal pokok, yaitu mening-
katkan mutu produk, meninggikan frekuensi iklan, dan meggencarkan
pemasaran.
2) Ketepatan
Ketepatan berhubungan dengan sesuai atau tidaknya penggunaan
unsur-unsur yang membentuk kalimat dengan pengertian yang dimaksud.
Contoh: Karyawan teladan itu tekun bekerja dari pagi sehingga petang
(seharusnya "Karyawan teladan itu tekun bekerja dari pagi sampai
petang")
3) Kecermatan
Kecermatan artinya penggunaan unsur-unsur yang tepat sehingga
tidak menimbulkan penafsiran ganda.
Contoh: Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.
(Siapa yang terkenal? Mahasiswa atau perguruan tinggi?)
4) Kehematan
Kehematan ialah adanya upaya untuk menghindari pemakaian kata,
frasa, atau unsur lain yang dianggap tidak perlu, sejauh tidak menyalahi
kaidah tata bahasa (Maimunah, 2011:21). Penghematan dapat dilakukan
melalui beberapa cara, yaitu menghilangkan pengulangan subjek,
menghindari pemakaian superordinat pada hiponim kata, menghindari
kesinoniman dalam satu kalimat, dan tidak menjamakkan kata-kata yang
berbentuk jamak.
Contoh: Farah memakai baju warna merah di pesta ulang tahun Maya.
(Seharusnya "Farah memakai baju merah di pesta ulang tahun Maya",
karena merah sudah mencakup kata warna)
5) Kesepadanan
Kesepadanan ialah keseimbangan antara gagasan atau pikiran dan
struktur bahasa yang dipakai pendengar (Maimunah, 2011:23). Kesepa-
danan sebuah kalimat ditandai oleh beberapa ciri, yaitu mempunyai subjek
yang jelas, tidak menggunakan subjek ganda, dan menggunakan predikat
yang jelas (tidak didahului kata yang).
Contoh: Kami datang agak terlambat, sehingga kami tidak dapat mengikuti
acara pertama. (Seharusnya "Kami datang agak terlambat sehingga tidak
dapat mengikuti acara pertama")
6) Koherensi
Koherensi adalah kepaduan pernyataan dalam kalimat antara unsur-
unsur pembentuk kalimat sehingga informasi dapat disampaikan secara
utuh. Kalimat yang padu artinya tidak bertele-tele.
Contoh: Yang saya sudah sarankan kepada mereka adalah merevisi
anggaran proyek itu. (Seharusnya "Saya sudah menyarankan kepada
mereka untuk merevisi anggaran proyek itu")
7) Kelogisan
Kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat diterima oleh akal dan
penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku (Maimunah, 2011:25).
Contoh: "Kepada Bapak Dekan, waktu dan tempat kami persilahkan".
(Waktu dan tempat tidak perlu dipersilahkan, sehingga kalimat yang benar
adalah "Kepada Bapak Dekan kami persilahkan")
DAFTAR PUSTAKA
“_____”. 2015. Syarat-syarat Paragraf yang Baik dan Contohnya
Djuari. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: STIE Perbanas
Press
Dhesy. 2008. Syarat Pembentukan Paragraf.
Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik: Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta:
Universitas Atmajaya
Maimunah, Siti Annijat. 2011. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Malang:
UIN Maliki Press
Suwarna, Dadan. 2012. Cerdas Berbahasa Indonesia. Tangerang: Jelajah Nusa
Yaqin, M. Zubad Nurul. 2011. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: UIN Maliki
Press