Anda di halaman 1dari 50

Modul 1

Konsep dan Teori Gender

Diklat Teknis Penyadaran Gender


di Era Desentralisasi
(Gender Awareness in Decentralization Era)

Eselon II
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara


senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang
telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di bidang
diklat aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam
pengembangan kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat,
standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem
informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat,
pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja,
kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.

Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen Dalam


Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan (SCBDP),
telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan daerah seperti
peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan SDM melalui
penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan, perencanaan
berkelanjutan dan sebagainya.

Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul diklatnya
melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh empat) modul
jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based training.
Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang cukup
panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil dari
berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah yang
menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai media,
bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor, perguruan
tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan tenaga ahli
dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung dalam
anggota Technical Review Panel (TRP).

Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini
telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para
pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.

Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami


percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta
Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pelatihan di daerah masing-masing.

i
Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan modul
diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan
bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang
merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari diklat
yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan tugas
dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai
sumber daya di daerahnya masing-masing.

Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian


cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya
evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih
menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara
berkelanjutan.

Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan kebijakan
nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik kepada
masyarakat dapat terwujud secara nyata.

ii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH

Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi
perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih
berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi seluas-
luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara,


salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah
adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang relevan.
Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau
kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai.

Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan


desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah
menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala
Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan
individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi
dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup
multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan
masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional.

Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah,


Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah sebagai
Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program peningkatan
kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang Berkelanjutan untuk
Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for Decentralization/ SCBD
Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan pembiayaan bersama dari
Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan dari Pemerintah RI
sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan kontribusi masing-masing daerah.
Proyek SCBD ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas
Pemerintah Daerah dalam aspek sistem, kelembagaan dan individu SDM
aparatur Pemerintah Daerah melalui penyusunan dan implementasi Rencana
Tindak Peningkatan Kapasitas (Capacity Building Action Plan/CBAP).

iii
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan
SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum
serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat
oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang
dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi
Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.

Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya
telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot
test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi
dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri.
Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena
merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain
untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di
daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah melibatkan
pejabat daerah sebagai narasumber.

Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan


peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan
kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan.
Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi
mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada masyarakat
semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat
segera tercapai dengan lebih baik lagi.

iv
DAFTAR ISI

Sambutan Deputy IV LAN ................................................................................................i


Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A. Deskripsi Singkat ......................................................................................... 1
B. Hasil Belajar................................................................................................. 4
C. Indikator Hasil Belajar................................................................................. 4
D. Pokok Bahasan............................................................................................. 4

BAB II URAIAN SEJARAH PERJUANGAN PEREMPUAN .................................. 6


A. Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia............................................... 6
B. Sejarah Perjuangan Perempuan di Dunia Internasional .............................. 7
C. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia dan di Tingkat
Internasional................................................................................................. 9
D. Latihan ....................................................................................................... 10
E. Rangkuman ................................................................................................ 10

BAB III KONSEP GENDER ........................................................................................ 13


A. Konsep Gender dan Jenis Kelamin ............................................................ 13
B. Pengertian Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender.................................. 16
C. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender............................................. 20
D. Latihan ....................................................................................................... 22
E. Rangkuman ................................................................................................ 22

BAB IV TEORI GENDER........................................................................................... 24


A. Teori Nurture ............................................................................................. 24
B. Teori Nature............................................................................................... 25
C. Latihan ....................................................................................................... 27
D. Rangkuman ................................................................................................ 27

v
BAB V ISU-ISU GENDER DAN CONTOH-CONTOHNYA................................. 28
A. Isu-Isu Peran Gender.................................................................................. 28
B. Contoh Kasus Gender ................................................................................ 31
C. Latihan ....................................................................................................... 40
D. Rangkuman ................................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Deskripsi Singkat

Kesetaraan Gender Menjadi Isu Global

Berdasarkan kodrati penciptaan Tuhan Yang Maha Esa, manusia diciptakan


berpasang-pasangan yang terdiri atas perempuan dan laki-laki yang saling
membutuhkan satu sama lainnya. Keduanya diciptakan berbeda agar bisa saling
melengkapi sebagai makhluk sosial guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru
yang lebih kuat dan bermanfaat.

Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandai awal mulainya
perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat
menarik perhatian dunia baik di tingkat global maupun di Indonesia. Perubahan
tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan
keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan
(prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke
pendekatan kemanusian (people centered development) dalam suasana yang lebih
demokratis dan terbuka.

Seiring dengan era globalisasi total, maka isu kesetaraan gender menjadi isu global
yang sangat relevan menyangkut keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan
perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari
delapan tujuan global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu: (1)
Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) Mewujudkan pendidikan dasar, (3)
Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Mengurangi
angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit lainnya, (7) Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, dan (8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.

Merujuk pada tujuan Internasional di atas, maka VISI Pembangunan Nasional


Tahun 2004-2009 diarahkan untuk mencapai (1) Terwujudnya kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, (2)
Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum,
kesetaraan, dan hak asasi manusia, dan (3) Terwujudnya perekonomian yang
mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta
memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya berdasarkan VISI Pembangunan Nasional tersebut ditetapkan 3 (tiga)
MISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, meliputi: (1) Mewujudkan
Indonesia yang Aman dan Damai, (2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan
Demokratis, dan (3) Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera. Strategi Pembangunan
Indonesia diarahkan pada dua sasaran pokok yaitu pemenuhan hak dasar rakyat
serta penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. Hak-hak dasar rakyat dalam
bentuk bebas dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan,

1
2

penindasan, rasa takut, dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapatnya


memperoleh prioritas untuk diwujudkan. Pemenuhan hak dasar diantaranya adalah
hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan (RPJMN, tahun
2004-2009).

Ketergantungan antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan dasar dari prinsip
kemitraan dan keharmonisan, meskipun dalam kenyataannya sering terjadi
perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak
kekerasan dari satu pihak ke pihak lain. Perilaku yang tidak setara ini merupakan
hasil akumulasi dan ekses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat yang
berlangsung selama berabad-abad. Untuk itu perlu ada perubahan mind-set dari
semua pihak untuk menyamakan pandangan tentang persepsi gender.

Perubahan mind-set tentang pentingnya gender dalam pembangunan bagi pembuat


kebijakan baik di pusat maupun di daerah, baik mulai pejabat Eselon I sampai IV,
sangat diperlukan dengan alasan rasionalitas sebagai berikut:

1. Sebagai warga negara baik laki-laki maupun perempuan dibawah lindungan


Hukum baik nasional maupun internasional, maka setiap orang dijamin
mempunyai kesamaan hak; keadilan; dan kesetaraan (partisipasi, akses/
kesempatan, kontrol dan manfaat). GENDER merupakan salah satu isu pada
semua tujuan pembangunan global (tujuan ke-3 dari 8 tujuan utama, yaitu
”Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan”).

2. Setiap warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan perlindungan, kesempatan berusaha, kesempatan mendapatkan
pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan VISI
Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 diarahkan untuk mencapai:
a. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman,
bersatu, rukun dan damai.
b. Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi
hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, dan
c. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja
dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi
pembangunan yang berkelanjutan.

3. Kesetaraan dan keadilan gender selanjutnya ditujukan untuk melaksanakan


MISI Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, yang meliputi:
a. Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai.
b. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis.
c. Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera.

4. Namun demikian, kenyataan di lapangan, masih banyak ditemui adanya


kesenjangan gender di segala bidang (sosial budaya, ekonomi, hukum, hankam,
teknologi, pendidikan, tenaga kerja, dan kepemilikan properti) yang akar
permasalahannya berasal dari kesenjangan sosiologis kultural di tingkat
keluarga dan masyarakat lokal (adanya marjinalisasi, ketidakadilan dalam
pembagian peran, pelabelan pada kaum perempuan, beban ganda pada
3

perempuan, dan penyalahgunaan arti dan pengertian kodrati untuk memagari


kaum perempuan agar tidak terlalu banyak berpartisipasi di sektor publik).

5. Gender merupakan suatu konsep berkaitan dengan peran antara laki-laki dan
perempuan (baik anak cacat/normal maupun anak berdasarkan
perkembangannya apakah balita, anak, remaja, dewasa, atau lansia).

6. Relasi gender adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan


dengan pembagian peran yang dijalankan masing-masing pada berbagai tipe
dan struktur keluarga (keluarga miskin/kaya, keluarga desa/kota, keluarga
lengkap/tunggal, keluarga punya anak/tidak punya anak, keluarga pada
berbagai tahapan life cycle dan keluarga petani/nelayan). Bahkan relasi gender
ini juga diperluas secara bertahap berdasarkan luasan ekologi, mulai dari mikro,
meso, ekso dan makro (keluarga inti, keluarga besar, masyarakat regional,
masyarakat nasional, bangsa dan negara dan masyarakat internasional).

7. Permasalahan gender bermula dari permasalahan relasi gender yang tidak


seimbang dan merugikan salah satu pihak. Apabila relasi gender ini dianggap
bermasalah dan merugikan salah satu pihak, maka dampak dari kesenjangan
gender tersebut, tampak pada kehidupan keluarga yaitu adanya bias gender
dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan tenaga kerja serta ekonomi yang
semuanya membawa ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan dengan
laki-laki; meningkatkan aktivitas trafficking yang sebagian besar merugikan
kaum perempuan dan anak-anak, meningkatkan frekuensi domestic violence
(kekerasan dalam rumah tangga) yang kasusnya lebih besar menimpa kaum
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan masih adanya pengasuhan bias
gender yang lebih menguntungkan anak laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.

8. Dampak dari kesenjangan gender di tingkat keluarga akan meluas ke tingkat


makro dengan kenyataan bahwa Bangsa Indonesia masih mengalami kualitas
HDI yang rendah; pertumbuhan ekonomi yang terhambat; kualitas pendidikan
rendah (APS, APK, APM rendah; Angka Buta Aksara tinggi), kualitas
kesehatan rendah (AKI/AKB tinggi); masalah sosial yang tinggi
(pengangguran, kriminalitas, trafficking), kualitas kesejahteraan keluarga dan
masyarakat rendah atau kemiskinan struktural meningkat dan regeneratif,
kualitas pemeliharaan lingkungan rendah (kerusakan hutan dan erosi serta
polusi yang tinggi; transfer ketidakadilan dari generasi ke generasi konstan/
meningkat; dan urbanisasi/migrasi yang tinggi).

9. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu suatu pemahaman dan kesadaran dari
seluruh lapisan masyarakat dan juga dari seluruh aparatur negara di dalam
memahami akar permasalahan. Untuk itu perubahan mind-set dalam
pemahaman konsep gender dan pentingnya peran gender dalam pembangunan
suatu negara harus dimulai dari sekarang.
4

10. Di dalam menanggulangi kesenjangan gender yang sudah berabad-abad di


masyarakat, perlu dilakukan intervensi pihak pemerintah dalam merumuskan
Kebijakan Pengarusutamaan Gender dan Anak (PUGA) Di Tingkat Nasional/
Propinsi/Kab./Kota melalui berbagai program dan kegiatan yang bersinergis
antar stakeholder di berbagai jenjang pemerintahan untuk mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) mulai dari tingkat keluarga,
masyarakat dan negara dengan memberikan akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian konsep dan teori gender dalam menjelaskan kedudukan, peran,
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam dimensi kesetaraan dan
keadilan menjadi sangat relevan untuk dipelajari oleh para pejabat daerah. Modul ini
diawali dari pengertian konsep dan teori gender bagi para pengambil kebijakan.

B. Hasil Belajar

Setelah mempelajari materi ini, peserta sebagai Pejabat Eselon II dapat


meningkatkan pengetahuan dan menguasai pemahaman tentang teori dan konsep
gender sebagai dasar pengetahuan latar belakang pentingnya gender dalam semua
kebijakan pemerintah. Setelah mempelajari materi ini, peserta dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang konsep dan teori gender serta sejarah
perjuangan perempuan.

C. Indikator Hasil Belajar

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu:

1. Menjelaskan garis besar sejarah perjuangan perempuan di Indonesia dan di


dunia internasional.
2. Memahami dan menjelaskan teori gender untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender.
3. Memahami dan menjelaskan tentang konsep gender, dan keadilan dan
kesetaraan gender.
4. Memahami kasus-kasus gender dengan baik.

D. Pokok Bahasan

1. Uraian Sejarah Perjuangan Perempuan.


a. Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia.
b. Sejarah Perjuangan Perempuan di Dunia Internasional.
c. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia dan di Dunia Internasional.

2. Konsep Gender
a. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin.
b. Istilah-istilah Ketidakadilan Gender.
5

3. Teori Gender
a. Teori Nurture.
b. Teori Nature.
BAB II
URAIAN SEJARAH PERJUANGAN PEREMPUAN1

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu: memahami dan menjelaskan


sejarah perjuangan perempuan di dunia dan di Indonesia, permasalahan
perempuan di Indonesia dan di tingkat internasional.

A. Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia

Di Indonesia, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya


dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sejak Tahun 1908. Dalam
perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindaklanjuti oleh
Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas
nama kestabilan Negara. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga)
sebagai organisasi mandiri yang sudah dibentuk sejak 1957, diselipkan di bawah
asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma Wanita”, yaitu
perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah
tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota
masyarakat yang berguna. Semua kewajiban itu dilakukan dalam konteks cara
pandang sesuai dengan “kodrat wanita”.

Walaupun begitu, isu emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan


atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional. Legitimasi
terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-
laki”, yang tercantum wacana “Peranan Wanita Dalam Pembangunan” dalam setiap
Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata menimbulkan efek
yang lebih berat pada perempuan Indonesia berupa beban ganda.

Tahun 1974, Undang-Undang tentang Perkawinan akhirnya disahkan, mengakhiri


pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak gagasannya dicetuskan oleh
gerakan perempuan pada masa kolonial. Tak ada reaksi yang cukup signifikan atas
pengesahan tersebut.

Di sisi lain, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan


kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual. Dikenal dengan
sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization
(NGO). Kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup gerak hingga
ke tingkat internasional, memberi kesempatan untuk bekerjasama dengan dunia
luar.

1
Disarikan dari KPP 2001 & 2004

6
7

Periode Reformasi

Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan kesetaraan


dan keadilan gender di Era Orde Baru agak tenggelam, namun semangat itu bangkit
kembali sejak Era Kabinet Persatuan Nasional. Walaupun sudah banyak upaya dan
perjuangan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, baik di dunia
internasional maupun di Indonesia, kondisi kesenjangan gender masih dijumpai.

Pada periode Habibie, satu hal yang perlu dicatat adalah pembentukan Komisi
Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang lebih dikenal
dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999 lewat
Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan
kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedi
kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam perkembangannya hingga sekarang,
Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan
pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
(HAM).

Dalam periode kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid, dikeluarkan


Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan
Gender (PUG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar
menggemakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG).

Pada kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, Kementerian Negara


Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan
fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan
jabatan politik-strategis. Tuntutan kuota 30 persen bagi calon perempuan untuk
kursi legislatif, disetujui dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang baru pada
Pasal 65. Pada Pemilihan Umum tahun 2004, hanya 11 persen legislatif perempuan.
Pada tahun yang sama, pasangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono – dan
Wakil Presiden Yusuf Kalla terpilih mengangkat 4 orang perempuan dalam
kabinetnya.

B. Sejarah Perjuangan Perempuan di Dunia Internasional

Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan


ketertinggalannya dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk
mengejar ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep emansipasi
(kesamaan) antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan
global yang dipelopori oleh perempuan dan berhasil mendeklarasikan melalui badan
ekonomi sosial PBB (ECOSOC) yang diakomodasi Pemerintah Indonesia dengan
dibentuknya Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).

Selanjutnya di Mexico City diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama


tentang Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB dan
diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Diperoleh gambaran
bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan
8

terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat
hasil pembangunan. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah
dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun
hasilnya masih belum memadai. Kesempatan kerja perempuan belum membaik,
beban kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir
pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di
dalam dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan
struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang korelasi sosial yang setara
dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang
menyangkut kehidupan keluarga.

Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan World


Conference UN Mid-Decade of Women yang kedua di Kopenhagen, untuk melihat
kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan
perempuan dalam pembangunan. Kemudian dalam konferensi tersebut disahkan UN
Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW).

Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women. Salah satu
kesepakatan Nairobi adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk
mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di
berbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
merekomendasikan bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan
gender yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).

ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia
tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. World Conference on Women
Beijing menyepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan status dan
peranan perempuan dalam pembangunan yang dimulai dari perumusan kebijakan,
pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil-hasil pembangunan (Beijing Platform
for Action).
9

C. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia dan di Tingkat Internasional

1. Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia

Berikut ini diuraikan permasalahan gender yang didominasi oleh permasalahan


di pihak kaum perempuan. Di Indonesia terdapat beberapa hal yang
merendahkan harkat dan martabat perempuan sebagai keprihatinan bersama,
antara lain seperti:

a. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap


kaum perempuan terutama di tempat kerja dan tingkat upah/gaji.
Contoh: Undang-undang Ketenagakerjaan yang masih bias gender dengan
penetapan upah yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan.
b. Banyak terjadi tindak kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap
kaum perempuan tanpa mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Contoh: Terjadinya kekerasan fisik istri oleh suami, perkosaan, dan
penindasan terhadap pekerja perempuan.
c. Pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah atau bercampur-aduk
dengan budaya yang tidak berpihak terhadap perbaikan status perempuan.
Contoh: Bapak adalah kepala rumah tangga, sehingga bapak berkewajiban
memberi nafkah sebenarnya itu tidak berarti bahwa ibu tidak
boleh bekerja mencari nafkah.
d. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan, pelatihan dan kesempatan
kerja bagi perempuan.
Contoh: Dalam keluarga yang tidak mampu/memiliki keterbatasan
ekonomi, kesempatan lebih banyak diberikan kepada anak laki-
laki untuk memperoleh pendidikan.
e. Masih banyak anggapan yang merendahkan/meremehkan kaum
perempuan.
Contoh: ”Ah kamu perempuan tahu apa”.
f. Masih ada budaya adat istiadat yang bias gender.
Contoh: Laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan
oleh perempuan atau sebaliknya seperti mengasuh anak untuk
laki-laki dan memperbaiki atap untuk perempuan.
g. Hak-hak reproduksi masih belum banyak dipahami oleh masyarakat
misalnya, dalam menentukan jumlah anak, menentukan keikutsertaan
dalam ber KB, masih di dominasi kaum laki-laki (suami).

2. Masalah yang Dihadapi Perempuan di Tingkat Internasional

Dari hasil konferensi di Beijing 1995 diidentifikasi sejumlah masalah yang


banyak dihadapi oleh kaum perempuan di sebagian besar dunia. Kumpulan
10

masalah tersebut dikenal dengan adanya 12 isu keprihatinan Beijing sebagai


berikut:

a. Masalah perempuan dan kemiskinan terutama karena kemiskinan struktural


akibat dari kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku.
b. Keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan
untuk meningkatkan posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender.
c. Masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat
perlindungan dan pelayanan yang memadai.
d. Kekerasan fisik/non fisik terhadap perempuan baik dalam rumah tangga
maupun ditempat kerja tanpa mendapat perlindungan secara hukum.
e. Perempuan di tengah wilayah konflik militer dan kerusuhan, banyak yang
menjadi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai. Meskipun
hal ini sudah dijamin oleh Konvensi Geneva, 1949.
f. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi
produktif, termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha.
g. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan
dalam keluarga, masyarakat dan negara masih sangat terbatas.
h. Terbatasnya lembaga-lembaga dan mekanisme yang dapat
memperjuangkan kaum perempuan baik dalam sektor pemerintah maupun
non-pemerintah (swasta).
i. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak asasi perempuan secara
sosial maupun hukum masih lemah.
j. Keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa, sehingga ada
kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media
promosi dan eksplotasi murahan.
k. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air
bersih, sampah industri, dan lingkungan lain.
l. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak
kekerasan terhadap anak perempuan.

D. Latihan

1. Bagaimana proses pergerakan perempuan dalam memperjuangan haknya di


tingkat nasional dan internasional?.
2. Masalah apa yang dihadapi oleh perempuan secara umum di Indonesia dan di
dunia internasional?.
3. Mengapa isu gender menjadi isu global?.

E. Rangkuman

Di Indonesia, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya


dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sejak tahun 1908. Dalam
perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindaklanjuti oleh
Kongres perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Ibu.
11

Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Legitimasi terhadap itu berjalan mulus lewat jargon
“Kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki”, yang tercantum wacana “Peranan
wanita dalam pembangunan” dalam setiap Repelita produk Orde Baru. Hanya saja,
kebijakan ini ternyata menimbulkan efek yang lebih berat pada perempuan
Indonesia berupa beban ganda. Tahun 1974, Undang-Undang tentang Perkawinan
akhirnya disahkan, mengakhiri pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak
gagasannya dicetuskan oleh gerakan perempuan pada masa kolonial.

Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan kesetaraan


dan keadilan gender di Era Orde Baru agak tenggelam, namun semangat itu bangkit
kembali sejak Era Kabinet Persatuan Nasional. Pada periode Habibie, dibentuk
Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang lebih
dikenal dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999
lewat Instruksi Presiden. Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga
yang aktif memasyarakatkan pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian
dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam periode kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid, dikeluarkan


Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan
Gender (PUG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar
menggemakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG). Pada
kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan
fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan
jabatan politik-strategis. Pada kepemimpinan pasangan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono – dan Wakil Presiden Yusuf Kalla, diangkat 4 orang perempuan dalam
kabinet.

Di Mexico City diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama tentang


Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB dan
diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Pada tahun 1980
diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen
World Conference UN Mid-Decade of Women, untuk melihat kemajuan dan evaluasi
tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam
pembangunan. Kemudian dalam konferensi tersebut disyahkan UN Convention On
The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW).

Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women.

Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
12

merekomendasikan bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan


perempuan tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan
gender yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).

ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia
tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani (Beijing Platform for Action).

Permasalahan Umum Perempuan di Indonesia dan di dunia umumnya berkisar pada


masalah masih banyak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap
kaum perempuan terutama di tempat kerja dan tingkat upah/gaji; masalah tindak
kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap kaum perempuan tanpa
mendapat perlindungan hukum yang memadai; pemahaman dan penafsiran ajaran
agama yang salah atau bercampur-aduk dengan budaya yang tidak berpihak
terhadap perbaikan status perempuan; dan diskriminasi dalam kesempatan
pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja bagi perempuan; serta masih banyak
anggapan yang merendahkan/meremehkan kaum perempuan. Permasalahan
perempuan di tingkat internasional sudah disimpulkan berdasarkan hasil konferensi
di Beijing 1995 sebanyak 12 isu keprihatinan.
BAB III
KONSEP GENDER

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu :


1. Menjelaskan perbedaan konsep gender dan jenis kelamin.
2. Menjelaskan bukti-bukti ketidakadilan gender.
3. Pengertian kesetaraan dan keadilan gender.

A. Konsep Gender dan Jenis Kelamin

1. Permasalahan Gender Penting untuk Dibahas

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan


perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan
Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan
sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali
mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat
bukan kodrati (gender).

Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali
tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia
perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang
dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis
diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini
digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas
adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat
berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender
sebenarnya menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial yang ada
yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan
perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan konsep gender


secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam
masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan
peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia
beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara
pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu
yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis
yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

13
14

2. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin

Pengertian gender itu berbeda dengan pengertian jenis kelamin (sex).

Tabel 1.1. Perbedaan Konsep Jenis Kelamin (Sex) dan Gender.

No. Jenis Kelamin (Seks) Gender


1 Menyangkut perbedaan organ biologis Menyangkut perbedaan peran, fungsi, dan
laki-laki dan perempuan khususnya pada tanggungjawab laki-laki dan perempuan
bagian alat-alat reproduksi. sebagai hasil kesepakatan atau hasil
bentukan dari masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari fungsi alat-alat Sebagai konsekuensi dari hasil


reproduksi, maka perempuan mempunyai kesepakatan masyarakat, maka
fungsi reproduksi seperti menstruasi, pembagian peran laki-laki adalah mencari
hamil, melahirkan & menyusui; nafkah dan bekerja di sektor publik,
sedangkan laki-laki mempunyai fungsi sedangkan peran perempuan di sektor
membuahi (spermatozoid). domestik dan bertanggung jawab masalah
rumahtangga.

2 Peran reproduksi tidak dapat berubah; Peran sosial dapat berubah:


sekali menjadi perempuan dan Peran istri sebagai ibu rumahtangga dapat
mempunyai rahim, maka selamanya akan berubah menjadi pekerja/ pencari nafkah,
menjadi perempuan; sebaliknya sekali disamping masih menjadi istri juga.
menjadi laki-laki, mempunyai penis,
maka selamanya menjadi laki-laki.

3 Peran reproduksi tidak dapat Peran sosial dapat dipertukarkan


dipertukarkan: tidak mungkin peran laki- Untuk saat-saat tertentu, bisa saja suami
laki melahirkan dan perempuan dalam keadaan menganggur tidak
membuahi. mempunyai pekerjaan sehingga tinggal di
rumah mengurus rumahtangga, sementara
istri bertukar peran untuk bekerja mencari
nafkah bahkan sampai ke luar negeri
menjadi TKW.

4 Peran reproduksi kesehatan berlaku Peran sosial bergantung pada masa dan
sepanjang masa. keadaan.

5 Peran reproduksi kesehatan berlaku di Peran sosial bergantung pada budaya


mana saja sama. masing-masing.

6 Peran reproduksi kesehatan berlaku bagi Peran sosial berbeda antara satu kelas/
semua kelas/strata sosial. strata sosial dengan strata lainnya.

7 Peran reproduksi kesehatan ditentukan Peran sosial bukan kodrat Tuhan tapi
oleh Tuhan atau kodrat. buatan manusia.
15

Tabel 1.2 Perbedaan Konsep Kodrati dan Bukan Kodrati

No. Kodrati Bukan Kodrati


1. Membuahi Bekerja di dalam rumah dan dibayar (pekerjaan
publik/produktif di dalam rumah) seperti jualan
masakan, pelayanan kesehatan, membuka salon
kecantikan, menjahit/tailor, mencuci
pakaian/loundry, mengasuh dan mendidik anak
orang lain (babby sitter/ pre-school).

2. Menstruasi Bekerja di luar rumah dan dibayar (pekerjaan publik


di luar rumah).

3. Mengandung/hamil Bekerja di dalam rumah dan tidak dibayar


(pekerjaan domestik rumah tangga) seperti
memasak, menyapu halaman, membersihkan rumah,
mencuci pakaian keluarga, menjahit pakaian
keluarga.

4. Melahirkan anak Bekerja di luar rumah dan tidak dibayar (kegiatan


sosial kemasyarakatan).

5. Menyusui anak/bayi Mengasuh anak kandung, memandikan, mendidik.


6.. Sakit prostat Mengangkat beban, memindahkan barang,
membetulkan perabot dapur, memperbaiki listrik
dan lampu.

7. Sakit kanker rahim Menempuh pendidikan tinggi, menjadi pejabat


publik, menjadi dokter, menjadi tentara militer,
menjadi koki, menjadi guru TK/SD, memilih
program studi SMK-Tehnik Industri, memilih
program studi memasak dan merias.

Tabel 1.3 Aktivitas yang Boleh Dilakukan dan Tidak Boleh Dilakukan oleh
Perempuan dan Laki-laki

Perempuan Laki-Laki
Tidak Tidak
No Uraian Boleh/ Boleh/
Boleh/ Tdk Boleh/ Tdk
Patut Patut
Patut Patut
1. Memasak V V
2. Menceraikan V V
3. Memukul/Menampar V V
4. Mengasuh Anak V V
5. Belanja ke Pasar V V
6. Bekerja di Sektor Publik V V
7. Menjadi Pemimpin V V
8. Menjaga Bayi V V
9. Memaki/menghina V V
10. Meminjam uang ke Bank V V
16

OLEH KARENA ITU…

+ =

HARUS ADA RELASI GENDER, YAITU HARUS ADA


KOMUNIKASI DAN PERILAKU SALING MENGHARGAI, SALING
MENGHORMATI DAN SALING MEMBUTUHKAN ANTARA
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK MENCIPTAKAN
KEHARMONISAN DAN BUKAN MENCIPTAKAN PERSAINGAN
DAN PERMUSUHAN.

B. Pengertian Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi kesenjangan dan


ketimpangan atau tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan
gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan
sepanjang peradaban manusia dalam berbergai bentuk yang bukan hanya menimpa
perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara agregat
ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh
perempuan, namun ketidakadilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu meliputi:

1. Marjinalisasi atau Peminggiran Perempuan

a. Pengertian

Proses marjinalisasi atau pemiskinan yang merupakan proses, sikap,


perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang berakibat pada
penyisihan/pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki.
17

b. Contoh-contoh Marjinalisasi

1) Banyak pekerja perempuan kurang dipromosikan menjadi kepala


cabang atau kepala bagian dalam posisi birokrat. Begitu pula politisi
perempuan kurang mendapat porsi dan pengakuan yang sama
dibandingkan dengan politisi laki-laki.

2) Peluang untuk menjadi pimpinan di lingkungan TNI (Jenderal) lebih


banyak diberikan kepada laki-laki daripada perempuan.

3) Sebaliknya banyak lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-


laki seperti industri garmen dan industri rokok karena anggapan
bahwa mereka kurang teliti melakukan pekerjaan yang memerlukan
kecermatan dan kesabaran.

2. Sub-Ordinasi

a. Pengertian

1) Proses sub-ordinasi adalah suatu keyakinan bahwa salah satu jenis


kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis
kelamin lainnya, sehingga ada jenis kelamin yang merasa
dinomorduakan atau kurang didengarkan suaranya, bahkan cenderung
dieksploitasi tenaganya.

2) Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan


dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Banyak kasus
dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang
meletakkan kaum perempuan pada tatanan sub-ordinat.

b. Contoh-contoh Sub-Ordinat

1) Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan


seperti ”guru taman kanak-kanak”, ”sekretaris”, atau ”perawat”, yang
dinilai lebih rendah dibanding dengan pekerjaan laki-laki seperti
direktur, dosen di perguruan tinggi, dokter dan tentara. Hal tersebut
berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima oleh perempuan.

2) Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan baik di bidang


pertanian dan industri serta bidang tenaga kerja yang lebih
memerlukan ketrampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh
laki-laki.

3) Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang


semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh
mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
18

4) Apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau


hendak bepergian keluar negeri, ia harus mendapat izin dari suami.
Tetapi apabila suami yang akan pergi ia bisa mengambil keputusan
sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam itu telah
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga
jika karena kemampuannya ia bisa menempati posisi penting sebagai
pimpinan, bawahannya yang berjenis laki-laki seringkali merasa
tertekan.

5) Sebagai seorang laki-laki yang menjadi bawahan seorang perempuan,


maka pola pikir seorang laki-laki masih memandang bos perempuan
tadi sebagai mahluk lemah dan lebih rendah. Sehingga laki-laki
bawahan merasa ”kurang laki-laki”. Inilah bentuk ketidakadilan
gender yang dialami oleh perempuan namun yang dampaknya
mengenai laki-laki.

3. Pandangan Stereotype

a. Pengertian

1) Strereotype adalah suatu pelabelan atau penandaan yang sering kali


bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu.

2) Stereotype selalu melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi yang


bersumber dari pandangan gender.

b. Contoh-contoh Stereotype

1) Tugas dan fungsi serta peran perempuan hanya melaksanaan


pekerjaaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas
domestik.

2) Label kaum perempuan sebagai ”ibu rumah tangga” sangat merugikan


mereka jika hendak aktif dalam kegiatan laki-laki seperti kegiatan
politik, bisnis maupun birokrasi.

3) Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama (a main


breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh
perempuan dianggap sambilan saja (a secondary breadwinner)
sehingga kurang dihargai.

4) Sebagai akibat dari stereotipe, maka ketika perempuan berada di


ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatan di
masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah
merupakan ”perpanjangan” dari peran domestiknya. Misalnya karena
perempuan dianggap pandai merayu maka ia dianggap lebih pas
bekerja di bagian penjualan.
19

5) Apabila seorang laki-laki marah, maka dianggap tegas tetapi apabila


perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak
dapat menahan diri. Standar penilaian terhadap perempuan dan laki-
laki berbeda namun standar nilai tersebut lebih banyak merugikan
perempuan.

4. Kekerasan

a. Pengertian

1) Kekerasan atau violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun


integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan,
dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecahan
seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan
atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

2) Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-


macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga
sendiri maupun ditempat umum dan juga di dalam masyarakat dan
negara.

4) Berbagai kekerasan terhadap perempuan terjadi sebagai akibat dari


perbedaan peran gender yang tidak seimbang.

b. Contoh-contoh kekerasan (fisik maupun mental psikologis)

1) Istri menghina/mencela kemampuan seksual atau kegagalan karier


suami.

2) Perempuan dan anak-anak dijadikan sandera dalam suatu konflik


sosial/ethnis atau antar negara.

3) Istri tidak boleh bekerja oleh suami setelah menikah.

4) Istri tidak boleh mengikuti segala macam pelatihan dan kesempatan-


kesempatan meningkatkan SDMnya.

5) Istri tidak boleh mengikuti kegiatan sosial di luar rumah.

6) Suami membatasi uang belanja dan memonitor pengeluarannya secara


ketat.

7) Suami memukul dan menendang istri.

8) Orangtua memukul dan menghajar anaknya.


20

5. Beban Kerja

a. Pengertian

1) Beban kerja adalah peran dan tanggung jawab seseorang dalam


melakukan berbagai jenis kegiatan sehari-hari.

2) Beban kerja ganda yang sangat memberatkan seseorang adalah


sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dalam
suatu rumah tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan
dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh
perempuan.

3) Beban kerja ganda ini seringkali dipandang dari sudut budaya sebagai
bentuk pengabdian dan pengorbanan yang mulia (altruism) yang nanti
di akherat mendapatkan balasan yang setimpal. Namun demikian
harus ada suatu batas dari pengorbanan ini, karena pengorbanan yang
tanpa batas berarti menjurus kepada ketidakadilan.

b. Contoh-contoh beban kerja

1) Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir


90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang
bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga
masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Dengan demikian
perempuan melakukan beban ganda yang memberatkan (double
burden).

2) Seorang ibu dan anak perempuannya mempunyai tugas untuk


menyiapkan makanan dan menyediakannya di atas meja, kemudian
merapikan kembali sampai mencuci piring-piring yang kotor.

3) Seorang bapak dan anak laki-laki setelah selesai makan, mereka akan
meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk
mengangkat piring kotor yang mereka pakai. Apabila yang mencuci
isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap
menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya.

C. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat
terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan
kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan
situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat
universal. Jadi konsep kesetaraan adalah konsep filosofis yang bersifat kualitatif,
tidak selalu bermakna kuantitatif.
21

1. Pengertian

a. Kesetaraan gender: kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati


status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan
secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala
bidang kehidupan.

b. Keadilan gender: suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki


melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-
hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.

2. Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender

a. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber
daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama
memperoleh informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan
karir bagi PNS laki-laki dan perempuan.

b. Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam


proses pengambilan keputusan. Contoh: memberikan peluang yang sama
antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta dalam menentukan pilihan
pendidikan di dalam rumah tangga; melibatkan calon pejabat struktural
baik dari pegawai laki-laki maupun perempuan yang berkompetensi dan
memenuhi syarat ”Fit an Proper Test” secara obyektif dan transparan.

c. Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada


sumber daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama
bagi PNS laki-laki dan perempuan dalam penguasaan terhadap sumber
daya (misalnya: sumberdaya materi maupun non materi daerah) dan
mempunyai kontrol yang mandiri dalam menentukan apakah PNS mau
meningkatkan jabatan struktural menuju jenjang yang lebih tinggi.

d. Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi


perempuan dan laki-laki. Contoh: Program pendidikan dan latihan (Diklat)
harus memberikan manfaat yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, maka Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan,


dalam mensosialisasikan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan penerapannya di
Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Pluralistis

Yaitu menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis),


karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan dan keragaman
yang perlu dipertahankan di dalam Pengarusutamaan Gender tanpa harus
mempertentangkan keragaman tersebut.
22

2. Bukan pendekatan konflik

Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang
selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.

3. Melalui proses sosialisasi dan advokasi

Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan
penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG
tidak semudah membalikkan telapak tangan atau ibarat memakan ”cabe” begitu
digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan
melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.

4. Menjunjung Nilai HAM dan Demokratisasi

Yaitu pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan


dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa
dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung nilai-nilai
Hak Azazi Manusia dan demokratis, sehingga akan diterima oleh lapisan
masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan.

D. Latihan

1. Apa perbedaan pengertian gender dan jenis kelamin?


2. Berikan contoh-contoh konsep kodrati/patut dan bukan kodrati/patut!
3. Apa yang dimaksud dengan ketidakadilan gender? Berikan contoh-contohnya.
4. Apa yang dimaksud dengan kesetaraan dan keadilan gender? Berikan contoh-
contohnya.

E. Rangkuman

Jenis kelamin merupakan perbedaan organ biologis, kodrati Tuhan, tidak dapat
berubah, tidak dapat dipertukarkan, dan berlaku sepanjang zaman dan di mana saja
karenanya bersifat mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan peran dan cara
bagaimana anak laki-laki dan perempuan dibesarkan, diajari berperilaku, dan
diharapkan oleh (masyarakat budayanya) sejak ia dilahirkan.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi kesenjangan dan


ketimpangan atau tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan
gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan
sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa
perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki.

Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu meliputi:


23

1. Marjinalisasi atau peminggiran perempuan, yaitu proses pemiskinan yang


merupakan proses, sikap, perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang
berakibat pada penyisihan/pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki.

2. Sub-ordinasi, yaitu suatu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap
lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya, sehingga ada
jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengarkan suaranya,
bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya.

3. Pandangan stereotype adalah suatu pelabelan atau penandaan yang sering kali
bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu.

4. Kekerasan atau violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologi seseorang.

5. Beban kerja adalah peran dan tanggung jawab seseorang dalam melakukan
berbagai jenis kegiatan sehari-hari yang sangat memberatkan seseorang adalah
sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan
beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan.

Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat
terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan
kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan
situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat
universal.

Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender berupa:

1. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber
daya pembangunan.
2. Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses
pengambilan keputusan.
3. Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada
sumber daya pembangunan.
4. Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi
perempuan dan laki-laki.

Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam mensosialisasikan


Pengarusutamaan Gender (PUG) dan penerapannya di Indonesia mengenal prinsip-
prinsip pluralistik, bukan pendekatan konflik, melalui proses sosialisasi dan
advokasi, dan menjunjung nilai HAM dan Demokrasi.
BAB IV
TEORI GENDER 2 3

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu: menjelaskan


berbagai macam teori dan aliran gender seperti teori nurture dan nature.

A. Teori Nurture

Menurut teori Nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya
adalah bentukan masyakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan
kelas borjuis, dan perempuan sebagai proletar.

Perjuangan untuk persamaan hak ini dipelopori oleh kaum feminis internasional
yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50:50 (fifty-fifty),
konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan sempurna
secara kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik
dari nilai agama maupun budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis
berjuang dengan menggunakan pendekatan sosial konflik, yaitu konsep yang
diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818 – 1883) dan Machiavvelli (1469 – 1527)
dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep
dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan keluarga adalah wadah temapt
pemaksaan, suami sebagai pemiliki dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen
beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku
diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai
kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi
kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan
penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan.

Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut
masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian).
Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality)
dalam segala aktifitas masyarakat seperti di DPR, militer, manajer, menteri,
gubernur, pilot, dan pimpinan partai politik.

2
Disarikan dari Bunga Rampai: Panduan dan Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional. Kementerian Pemberdayaan Perempuan-RI, UNFPA, dan BKKBN. 2004
3
Disarikan dari Megawangi (1999).

24
25

B. Teori Nature

Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrati,
sehingga harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi
dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang
berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada tugas yang
memang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan secara kodrat alamiahnya.

Dalam proses pengembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa


kelemahan teori nurture di atas, lalu beralih ke teori nature. Pendekatan nurture
dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga
dan bermasyarakat.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri
(instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan karena
manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional.
Manusia baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai
dengan fiungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas
(division of labor) begitupula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan
antara suami istri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi ibu
rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan
(anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi dan kewajiban yang
berbeda dalam mencapai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai
tujuan.

Talcott Parsons (1902 – 1979) dan Parsons & Bales berpendapat bahwa keluarga
adalah sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk
saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga
semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan
pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi
pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini
dimulai sejak dini melalui Pola Pendidikan dan Pengasuhan anak dalam keluarga.

Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran,
asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesempatan (komitmen) antara
suami isteri dalam keluarga atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan masyarakat.

1. Teori Equilibrium (Keseimbangan)

Teori keseimbangan (equilibrium) menekankan pada konsep kemitraan dan


keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini
tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena
keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk mewujudkan
gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar
diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara
seimbang. Hubungan di antara kedua elemen tersebut bukan saling
26

bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama


lain.

R.H. Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor


biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah
realita kehidupan manusia.

Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi dikotomis, bukan pula


struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna
membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan
sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan
dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.

2. Teori Struktural - Fungsionalis

Teori ini muncul di tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori ini
mengemukakan tentang bagaimana memandang masyarakat sebagai sebuah
sistem yang saling berkaitan. Teori ini mengakui adanya keanekaragaman
dalam kehidupan sosial.

Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang dilandaskan pada
konsensus nilai-nilai agar terjadi adanya interrelasi yang demi sesuatu yang
dinamakan harmoni, stabilitas dan keseimbangan (equilibrium). Sistem ini
mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai, sehingga fungsi dan struktur
seseorang dalam sistem menentukan tercapainya stabilitas atau harmoni
tersebut. Ini berlaku untuk semua sistem sosial: agama, pendidikan, struktur
politik, sampai rumah tangga, dalam hal ini termasuk mengenai gender.
Sosialisasi fungsi struktur tersebut dilakukan dengan institusionalisasi, melalui
morning, atau norma-norma yang disosialisasikan.

3. Teori Konflik Sosial

Teori ini meyakinkan bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh
konflik. Konflik ini timbul karena adanya kepentingan (interest) dan kekuasaan
(power). Bila salah satu kepentingan yang memiliki kekuasaan memenangkan
konflik, maka ia akan menjadi dominan dan melanggengkan sistem sosial yang
telah terbentuk.

Teori ini sangat sinis terhadap kekuasaan, kemapanan, sifat borjuis, sistem
kapitalis, dan semua hal yang memiliki strata dan struktur. Teori ini juga
memandang institusionalisasi sebagai sistem yang melembagakan pemaksaan.
Istilah mereka adalah imperatively coordinate association, yaitu pemaksaan
koordinasi relasi sosial dalam sebuah sistem. Dalam hal ini termasuk juga
hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.
27

C. Latihan

1. Apa yang disebut teori nurture?


2. Apa yang disebut teori nature?
3. Sebutkan aliran-aliran gender yang berpihak pada teori nature.

D. Rangkuman

Secara garis besar ada 2 diskursus dalam menjelaskan teori gender, yaitu yang
mempertahankan nature dan yang mempertahankan nurture. Teori Nurture
memperlihatkan adanya perbedaan perempuan dan laki-laki yang pada hakekatnya
adalah bentukan masyakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan
perempuan dan laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas
borjuis, dan perempuan sebagai proletar.

Teori yang mempertahankan nature memperlihatkan adanya perbedaan perempuan


dan laki-laki adalah kodrati, sehingga harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis
itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki
peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi
ada tugas yang memang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan secara kodrat
alamiahnya. Beberapa teori yang mempertahankan nature adalah teori
keseimbangan, teori struktural fungsional, dan teori konflik sosial.
BAB V
ISU-ISU GENDER DAN CONTOH-CONTOHNYA

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu :


1. Menjelaskan isu-isu peran gender.
2. Menganalisa secara sederhana mengenai kasus-kasus gender.

A. Isu-Isu Peran Gender

Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang
meletakkan kaum perempuan pada tatanan sub-ordinat. Sebagai contoh untuk
pekerja di sektor formal di lingkungan birokrat:

” Apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian
keluar negeri harus mendapat ijin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan
pergi ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat ijin dari istri”.

Kondisi semacam itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan
terperangkap, karena seharusnya ia dapat pergi untuk meningkatkan kualitas
SDMnya untuk kemudian dapat menempati posisi penting sebagai pimpinan di
kemudian hari. Namun karena suaminya tidak mengijinkan istrinya pergi untuk
tugas belajar ke luar kota bahkan ke luar negeri, maka kesempatan yang mungkin
hanya sekali dalam seumur hidup itu akan hilang, dan perempuan tersebut tidak
pernah mendapat kesempatan menjadi pimpinan.

Pembatasan serupa juga dialami oleh perempuan pada saat meminjam kredit ke
bank, dimana dibutuhkan ijin dan tanda tangan dari suaminya, namun kalau suami
meminjam kredit bank, tidak dibutuhkan ijin dan tanda tangan istrinya. Padahal
menurut data di seluruh dunia, secara umum tingkat pengembalian kredit dari
nasabah perempuan jauh lebih tinggi dari nasabah laki-laki. Jadi, kasarnya, nasabah
perempuan lebih jujur dan bertanggungjawab dalam mengembalikan pinjaman
dibandingkan dengan nasabah laki-laki.

Berikut ini menjelaskan tentang isu-isu peran gender dalam masyarakat secara
umum:

1. Perempuan adalah simbol dari eksistensi harmonisasi rumahtangga,


keterjaminan kualitas SDM anak (kognitif, budi pekerti dan perilaku sosial),
dan keterjaminan pengaturan rumah dan ketersediaan pangan keluarga.

2. Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan


kepemilikan aset, penentuan pendidikan anak, peminjaman kredit dan hal-hal
yang berhubungan dengan pekerjaan suami adalah lemah. Posisi perempuan
dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaannya sendiri
juga lemah.

28
29

3. Posisi perempuan dalam pembagian kerja juga lemah. Perempuan cenderung


menerima dan berkompromi dengan suami dan keluarga besar untuk diberikan
posisi dalam aspek domestik sesuai dengan anjuran budaya. Namun demikian,
pengambilan keputusan dalam pekerjaan domestik seperti masak, dekorasi
rumah, penataan rumah adalah dominan karena masih merupakan domain
perempuan.

4. Posisi perempuan dalam manajemen keuangan keluarga (Perencanaan,


penggunaan dan pengendalian keuangan) adalah lemah. Memang sudah diakui
ada sebagian perempuan yang mempunyai posisi kuat dalam manajemen
keuangan keluarga. Namun masih banyak perempuan yang tidak mempunyai
posisi kuat. Biasanya perempuan yang tidak kuat posisinya adalah perempuan
yang tidak bekerja dan pendidikannya rendah.

5. Pada umumnya rata-rata lama pendidikan yang ditempuh perempuan adalah


lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh
laki-laki.

6. Posisi perempuan dalam melindungi kesehatan Reproduksi juga lemah. Hal ini
tercermin dari banyaknya konseptor keluarga berencana (KB) masih
didominasi oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Isu-isu gender di lingkungan Pemerintah Daerah di Indonesia adalah:

1. Masih terjadi kesenjangan gender di Pemerintahan Daerah dengan kondisi


proporsi partisipasi laki-laki menjadi PNS jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi perempuan.

2. Masih terjadi kesenjangan gender di Pemerintahan Daerah dengan kondisi


proporsi pejabat struktural dan fungsional laki-laki jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi perempuan (contoh data Kabupaten Bogor tahun
2004 pejabat Golongan IV a 78,95% laki-laki dan 21,05% perempuan).

3. Masih ditemui peraturan-peraturan daerah yang masih netral gender dan belum
responsif gender.

4. Masih banyak ditemui kondisi perempuan yang tidak mau menggunakan


kesempatan untuk meningkatkan jenjang karirnya karena masih cenderung
untuk tidak mau mengambil resiko budaya.
30

NORMA DAN BUDAYA POSISI DAN PERAN PEREMPUAN


MASYARAKAT (DOMAIN PEREMPUAN)

Ibu rumah tangga atau “orang belakang”


Peran dominan pada aspek domestik
Posisi tawar dalam pengambilan keputusan lemah
Kurang mempunyai kontrol terhadap sumberdaya
keluarga (aset/ material)
FUNGSINYA Peran ganda yang melelahkan
Sebagai Panduan
Hidup
bermasyarakat SEOLAH-OLAH ADA TEMBOK PEMISAH YANG
Sebagai Penunjuk PROSES TEBAL DAN KOKOH ANTARA PERAN DAN
Arah Berperilaku PEMBENTUKAN POSISI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
sehari-hari dan Berdasarkan
identitas komitmen masyarakat
diri/kelompok
POSISI DAN PERAN LAKI-LAKI
Ada “reward” dan
Sebagai Pelindung “punishment” (DOMAIN LAKI-LAKI)
dari pengaruh luar Sebagai bentuk dari
Sebagai Hukum solidaritas dan Kepala keluarga atau “orang nomor satu”
Adat baik tertulis eksistensi masyarakat Peran dominan pada aspek publik
maupun tidak
tertulis Penentu utama dalam pengambilan keputusan
keluarga
Mempunyai kontrol kuat terhadap sumberdaya
keluarga (aset/ material)
Terhindar dari peran ganda yang melelahkan

Gambar 1.1. Posisi dan Peran Laki-laki dan Perempuan Menurut Konteks Budaya
31

Konsekuensi dari Posisi Perempuan dalam Konteks budaya adalah:

1. Karena perempuan disimbolkan sebagai eksistensi harmonisasi rumahtangga,


maka kalau ada konflik rumahtangga yang akhirnya berujung pada perceraian,
maka yang pertama kali disalahkan adalah perempuan, karena perempuan
dinilai tidak dapat mengayomi rumahtangganya sehingga tidak dapat
menciptakan harmonisasi keluarga. Seandainya secara kebetulan
perempuannya bekerja dan kebetulan perempuan tersebut berprestasi, maka
semakin kuatlah “punishment” dari budaya terhadap perbuatan perempuan
akibat bekerja sehingga lupa akan “kodrati sebagai istri”.

2. Karena perempuan disimbolkan sebagai pembentuk SDM anak (kognitif, budi


pekerti dan perilaku sosial), maka kalau ada kejadian apakah anaknya terkena
narkoba, menghamili anak orang lain atau dihamili anak orang lain, atau anak
tidak naik kelas, ataupun anak terkena suatu penyakit, maka yang pertama kali
disalahkan adalah perempuan, karena perempuan dinilai tidak dapat mendidik
anak-anaknya menjadi anak yang “bageur, cageur dan pinter”. Seandainya
secara kebetulan perempuannya bekerja dan kebetulan perempuan tersebut
berprestasi, maka semakin kuatlah “punishment” dari budaya terhadap
perbuatan perempuan akibat bekerja sehingga lupa akan “kodrati sebagai ibu
dari anak-anak”.

3. Karena perempuan disimbolkan sebagai penjaga dan perawat rumah, maka


kalau rumah itu kotor, bau, tidak terawat dan tidak ada makanan, maka yang
pertama kali disalahkan adalah perempuan, karena perempuan dinilai tidak
dapat mengelola rumah, padahal pengelolaan rumah tidak terlepas dari biaya
perawatan yang juga merupakan tanggung jawab laki-laki sebagai pemimpin
keluarga.

B. Contoh Kasus Gender

1. Kasus 1: Perempuan Masih Tertinggal?

Dalam rangka Otonomi Daerah, tumbuh, terbina dan berkembangnya institusi


masyarakat sebagai pelaksana pembangunan nasional perlu perhatian serius
dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang adil dan makmur. Era otonomi
daerah juga membawa dampak terhadap perubahan etos kerja dan kondisi PNS
di Kabupaten/ Kota menuju akuntabilitas dan profesional.

Seiring dengan era otonomi daerah adalah sederetan produk-produk hukum


yang mengatur seluruh kinerja pemerintah daerah, diantaranya adalah
ditetapkannya INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada pejabat
negara, termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG
guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif
gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-
32

masing. Diperjelas lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam


Negeri (Kepmendagri) Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan di Daerah yang menginstruksikan
setiap institusi pemerintah melaksanakan PUG dengan cara memasukkan
dimensi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh tahapan kegiatan:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakannya.

Landasan hukum yang lain adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 26 ayat (1) yang pada intinya
mengenai salah satu tugas Kepala Daerah yaitu untuk melaksanakan
pemberdayaan perempuan; dan Pasal 150 ayat (3) butir (d), pada intinya
menyatakan bahwa dalam perumusan dan pelaksanaan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah yang harus melibatkan partisipasi masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut setiap daerah sibuk menyusun berbagai


Rencana Peraturan Daerah (RAPERDA) untuk mewujudkan kemakmuran
daerahnya. Propinsi X sedang menyusun Raperda dengan keadaan jumlah
penduduk perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-
laki. Proporsi jumlah penduduk di desa dan di kota rata-rata adalah 47,7 persen
laki-laki dan 50,3 persen perempuan. Umumnya penduduk laki-laki yang
berumur 15 tahun keatas bekerja atau mencari pekerjaan dengan merantau ke
luar kota. Dengan demikian mudah dimengerti bahwa baik laki-laki maupun
perempuan banyak yang tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasar.

Seiring dengan masalah tersebut, jumlah PNS perempuan di semua kabupaten/


kota rata-rata adalah setengah dari jumlah PNS laki-laki. PNS perempuan
mendominasi Golongan I dan II, sedangkan Golongan III dan IV didominasi
oleh PNS laki-laki. Maksimal, PNS perempuan yang menduduki jabatan
struktural adalah dari pejabat Eselon III, itupun hanya beberapa orang saja
dalam suatu kabupaten/kota. Belum ada perempuan yang menduduki jabatan
Eselon II, apalagi Eselon I, padahal ditemui sejumlah perempuan di Propinsi X
yang sebenarnya sangat potensial dan energetik. Kelompok perempuan ini
membutuhkan pembimbingan dan dorongan moral untuk mau meningkatkan
karirnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian relasi gender dalam
aspek profesionalisme belum terwujud secara seimbang dan setara.

Tugas:

a. Apa tindakan Bappeda terhadap RAPERDA tersebut berkenaan dengan isu


gender dalam kepegawaian?

b. Silahkan analisis faktor-faktor dalam akses, partisipasi dan kontrol


terhadap informasi kepegawaian.

Kunci Jawaban:

a. Proporsi penduduk perempuan (50,3%) sedikit lebih banyak dibandingkan


dengan proporsi penduduk laki-laki (47,7%).
33

b. Permasalahan Gender/ Isu Gender:

1) Isu gender yang ditemukan dalam kasus ini adalah adanya


kesenjangan gender dalam jabatan publik pemerintahan di tingkat
Kabupaten/ Kota dengan kondisi kuantitas perempuan yang menjadi
PNS adalah setengah dari laki-laki; perempuan mendominasi tingkat
PNS golongan rendah dan laki-laki mendominasi tingkat PNS
golongan tinggi. Dengan demikian relasi gender dalam aspek
profesionalisme belum terwujud secara seimbang dan setara.

2) Informasi dan data yang mendukung isu gender di atas adalah:


a) Jumlah PNS perempuan adalah setengah dari jumlah PNS laki-
laki.
b) PNS perempuan mendominasi Golongan I dan II.
c) PNS Golongan III dan IV didominasi oleh PNS laki-laki.
d) Maksimal, PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural
adalah dari pejabat Eselon III, itupun hanya beberapa orang saja
dalam suatu kabupaten/ kota.
e) Belum ada perempuan yang menduduki jabatan Eselon II,
apalagi Eselon I, padahal ditemui sejumlah perempuan yang
sebenarnya sangat potensial dan energetik.

c. Solusi kebijakan yang responsif gender:

1) Perlu adanya komitmen baik secara tertulis maupun tidak tertulis


mengenai “affirmative action” terhadap masalah kesenjangan gender
dalam jabatan publik pemerintahan.

2) Affirmative action ini disesuaikan dengan kondisi tahapan sosial,


ekonomi, dan budaya masyarakat sebagai berikut:
a) Perlu perubahan mind-set dari para pejabat daerah tentang
persamaan persepsi gender dan pentingnya peran gender dalam
pembangunan daerah.
b) Kelompok perempuan perlu mendapatkan pembimbingan dan
dorongan moral untuk mau meningkatkan karirnya ke jenjang
yang lebih tinggi dari pemerintah daerah.
c) Berdasarkan kesepakatan, perlu dibuat suatu rancangan peraturan
daerah (Raperda) yang mengatur adanya persentase minimum
adanya pejabat perempuan yang kompeten menduduki jabatan
publik di pemerintahan (mulai dari minimum 10%, 20%, dst).
d) Raperda yang dikeluarkan disepakati, kemudian dijadikan
Peraturan Daerah (Perda) dan dilaksanakan secara konsekuen
oleh semua institusi pemerintah daerah.
e) Perda tersebut dijadikan landasan dalam menyusun Capacity
Building Action Plan (CBAP).
34

f) CBAP yang memasukkan pertimbangan peran dan masalah


gender, kemudian membuat suatu program dengan tujuan
menurunkan tingkat kesenjangan gender dengan melibatkan
semua pihak baik representasi laki-laki maupun perempuan,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi,
maka program seperti inilah yang disebut sebagai kebijakan
Pengarusutamaan Gender (PUG).
d. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan kebijakan yang
responsif gender:
1) Melakukan sosialisasi, advokasi dengan mengedepankan prinsip-
prinsip pluralistik, dan bukan pendekatan konflik, dengan tetap
menjunjung nilai HAM dan Demokrasi.
2) Melakukan pendekatan budaya dan personal kepada semua pihak
yang terlibat (semua stakeholder) dengan mengintegrasikan tujuan
bersama dalam pembangunan daerah.

2. Kasus 2 : Dilema Pemilihan Kepala Bagian (Nama dan Cerita Fiktif)

Bapak Drs. Sukarna menduduki suatu posisi pada suatu Dinas X di Kabupaten
Y, Propinsi Z. Bapak Sukarna adalah seorang pimpinan yang bijaksana dan
senang belajar hal-hal yang baru, dan sudah mendapat training
Pengarusutamaan Gender di tingkat nasional.

Dalam rangka menjalankan kebijakan yang berwawasan gender di wilayah


kerjanya, Bapak Sukarna mempraktekkan konsep-konsep gender di kantornya.
Sehubungan dengan praktek gender, maka tugas yang harus dilakukan dalam
jangka waktu mendesak adalah memilih seorang kepala bagian (Kabag) sebagai
bawahannya. Beberapa tahapan penyaringan calon kepala bagian telah
dilaksanakan sesuai dengan SOP (Standard Operation Procedure) dengan
mengedepankan transparansi, akuntabiliti, dan profesional.

Dari 8 calon yang memenuhi syarat pada tahapan pertama, 2 calon adalah
perempuan dan 6 calon adalah laki-laki. Sampailah pada tahapan terakhir
dimana hanya terdiri atas dua calon, yaitu seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Beberapa analisa “Fit and Proper Test” yang intinya mengevaluasi
kompetensi dan kelayakan didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Calon pertama adalah Ibu Dra Lestari, mempunyai kompetensi di bidang


kepegawaian dan manajemen yang sangat handal; personalitas stabil dan
cukup berdedikasi dengan kemampuan komunikasi interpersonal yang
sangat baik. Bu Lestari terkenal sangat pandai dan kreatif serta mempunyai
jaringan yang luas dengan LSM di tingkat Kabupaten, propinsi, bahkan
tingkat nasional. Sebagai catatan kelemahannya adalah bahwa Ibu Lestari
masih mempunyai anak kembar balita yang sering sakit-sakitan, sehingga
Bu Lestari sering ijin tidak masuk karena keperluan keluarga. Disamping
itu, Bu Lestari sering menolak untuk ditugaskan ke luar daerah, apalagi
kalau harus menginap beberapa hari. Jadi, Pak Sukarna punya kesangsian
35

pada Bu Lestari atas komitmen pada tugasnya seandainya terpilih menjadi


kepala bagian.

b. Calon kedua adalah Bapak Drs Udinsyah, mempunyai kompetensi di


bidang ekonomi dan manajemen yang standar saja; personalitas agak
temperamental, dan cukup berdedikasi serta disiplin. Pengalaman sebagai
kepala seksi membuat Pak Udin sangat berpengalaman karena sering
bertugas ke luar daerah. Sebagai catatan kelemahannya adalah bahwa
Bapak Udin mempunyai sifat yang sangat otoriter, kurang peka terhadap
bawahan, dan terkesan mendominasi.

Tugas:

a. Tolong di baca kasus di atas dengan seksama.


b. Bagaimana pendapat anda tentang sosok Bu Lestari?
c. Bagaimana pendapat anda tentang sosok Pak Udin?
d. Identifikasi masalah kepentingan dan isu gender dalam kasus di atas.
e. Apa tindakan Drs. Sukarna dalam menghadapi dilema pemilihan kepala
bagian yang berwawasan gender?.

Kunci Jawaban:

a. Permasalahan Gender/Isu Gender:

1) Isu gender yang ditemukan dalam kasus ini adalah adanya


pertimbangan pemilihan jabatan yang selalu bias gender, di mana
posisi perempuan lebih dikaitkan dengan peran domestik sebagai ibu
dan istri, sedangkan posisi laki-laki hanya dikaitkan dengan
kepribadiannya saja dan tidak dikaitkan dengan perannya sebagai
ayah atau suami. Setiap pertimbangan pemilihan jabatan, dimana
salah satu calonnya adalah perempuan, maka selalu dianalisis
bagaimana peran perempuan dalam keluarganya, berapa anaknya, dan
sebagainya. Pelabelan terhadap perempuan sebagai ibu rumah tangga
(kebetulan mempunyai anak kembar yang masih balita) dan sebagai
pencari nafkah tambahan, menghasilkan stereotipe adanya
ketidakyakinan terhadap profesionalisme perempuan dalam
menjalankan amanah sebagai pemimpin di sektor publik.

2) Informasi dan data yang mendukung isu gender di atas adalah:


a) Kelemahan Ibu Dra Lestari adalah mempunyai anak kembar balita
yang sering sakit-sakitan, sehingga sering ijin tidak masuk karena
keperluan keluarga. Disamping itu, Bu Lestari sering menolak
untuk ditugaskan ke luar daerah, apalagi kalau harus menginap
beberapa hari. Jadi, Pak Sukarna punya kesangsian pada Bu
Lestari atas komitmen pada tugasnya seandainya terpilih menjadi
kepala bagian.
b) Kelemahan Bapak Drs Udinsyah adalah mempunyai sifat yang
sangat otoriter, kurang peka terhadap bawahan, dan terkesan
mendominasi.
36

3) Kelebihan kedua calon adalah:


a) Kelebihan Ibu Dra Lestari adalah mempunyai kompetensi di
bidang kepegawaian dan manajemen yang sangat handal;
personalitas stabil dan cukup berdedikasi dengan kemampuan
komunikasi interpersonal yang sangat baik. Bu Lestari terkenal
sangat pandai dan kreatif serta mempunyai jaringan yang luas
dengan LSM di tingkat kabupaten, propinsi, bahkan tingkat
nasional.
b) Kelebihan Bapak Drs Udinsyah adalah mempunyai kompetensi
di bidang ekonomi dan manajemen yang standar saja;
personalitas agak temperamental, dan cukup berdedikasi serta
disiplin. Pengalaman sebagai kepala seksi membuat Pak Udin
sangat berpengalaman karena sering bertugas ke luar daerah.

b. Solusi kebijakan yang responsif gender:


1) Perlu adanya perubahan mind-set pada semua pejabat di daerah,
bahwa jangan bias terhadap gender dalam pemilihan pejabat daerah.
Dalam hal ini Bapak Sukarna punya kesangsian pada Bu Lestari atas
komitmen pada tugasnya seandainya terpilih menjadi kepala bagian
karena sebelumnya sering menolak tugas ke luar daerah dan saat ini
masih mempunyai anak kembar yang masih balita.
2) Perubahan mind-set ini harus didasarkan pada unsur keadilan dengan
meningkatkan kepercayaan pada kemampuan profesionalisme laki-
laki maupun perempuan.
3) Perlu adanya pertimbangan khusus mengingat adanya kesenjangan
gender dalam posisi jabatan publik di pemerintahan. Komitmen baik
secara tertulis maupun tidak tertulis mengenai “affirmative action”
terhadap kesenjangan gender ini.
4) Keputusan yang perlu dipertimbangkan oleh Bapak Sukarna adalah:
a) Perlu memberi kesempatan kepada Ibu Dra Lestari untuk menjadi
Kepala Bagian di instansinya dengan terlebih dahulu melakukan
pendekatan personal baik kepada Bu Lestari maupun kepada
suaminya agar dapat memanfaatkan kesempatan emas ini untuk
meningkatkan karir Bu Lestari.
b) Ada semacam pertimbangan khusus bagi Kepala Bagian
perempuan untuk dapat menyesuaikan jam kerja, dalam artian
dapat melakukan kerja lembur di rumah, dan dimotivasi untuk
dapat melakukan tugas ke luar daerah seoptimal mungkin.
c) Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk menduduki
jabatan di pemerintahan harus dipertimbangkan dan disertai
dengan pendampingan/pembinaan serta pertimbangan khusus
(mengingat masih tingginya kesenjangan gender), namun
demikian keputusan dikembalikan kepada perempuan yang
bersangkutan.
37

3. Kasus 3: Hak dan Kewajiban Perempuan (Nama dalam Cerita Ini Fiktif)

Bu Cinthya, SE adalah sosok yang energik, pintar, cerdas, kreatif, dan supel
dalam pergaulan. Bu Tia, begitu panggilannya, adalah figur yang sangat
bertanggung jawab pada tugas yang diamanatkan kepadanya. Pengalaman
menjadi PNS selama 25 tahun ditambah lagi dengan kemampuan Bahasa
Inggris yang sangat bagus (Skor International TOEFL terakhirnya adalah 575)
menjadikan diri Bu Cinthya mendapat promosi untuk menjadi Eselon II di
wilayah kerjanya. Namun demikian, masalah yang dihadapi adalah harus
mengikuti pendidikan SPAMA selama kurang lebih 1,5 bulan di Ibu Kota
Provinsi.

Terjadi pertentangan batin pada diri Bu Tia mengenai hak dan kewajibannya
sebagai perempuan. Pertimbangan antara keluarga dan karir menjadi semacam
buah ”simalakama” baginya, ”kalau dimakan, ibunya mati, kalau tidak
dimakan, bapaknya yang mati”. Ingin sekali dalam dirinya untuk mendapatkan
jabatan sebagai Eselon II, karena dirinya merasa layak dan kompeten untuk
menduduki jabatan yang prestisius itu. Apalagi bagi seorang perempuan di
daerahnya, pejabat Eselon II yang perempuan baru satu orang, dan akan
menjadi 2 orang kalau dirinya mengambil kesempatan promosi jabatan ini.

Namun demikian, pertimbangan meninggalkan keluarganya selama 1,5 bulan


menjadikan dirinya enggan untuk mengambil kesempatan itu. Tidaklah
mungkin bagi dirinya untuk berpikir egois demi karir, karena harus
meninggalkan kewajiban sebagai ibu dari dua anaknya, apalagi anaknya
menginjak usia remaja yang sangat perlu untuk diawasi dan didampingi.
Belum lagi mempertimbangkan pendapat suaminya dan mertua perempuannya
yang pasti akan menentang keberangkatannya.

Pertimbangan lainnya yang sangat memberatkan baginya adalah, tuntutan


komitmen yang sangat tinggi dan resiko yang harus dihadapi sangat berat
seandainya dirinya menjabat sebagai Eselon II. Sudah dapat dipastikan bahwa
dirinya akan sangat sibuk dengan amanat pekerjaan yang semakin besar, tugas
keluar kota yang semakin sering, dan pekerjaan lembur yang semakin banyak
serta memasuki dunia maskulin yang semakin kompetitif.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, didukung oleh hasil diskusi


dengan suaminya, maka Bu Tia memutuskan untuk tidak mengambil
kesempatan langka yang diberikan kepadanya untuk menjadi pejabat Eselon II.
Dia tidak bersedia untuk dicalonkan menjadi pejabat Eselon II. Dirinya juga
mengubur habis-habis tentang keinginannya untuk menjadi Eselon II di
kemudian hari. Sepertinya, keputusan karir Bu Tia adalah ingin tetap menjadi
Eselon 3 sampai masa pensiunnya.

Tugas:

a. Tolong dibaca kasus di atas dengan seksama.


b. Bagaimana pendapat anda tentang sosok Bu Cinthya?
c. Adakah kontruksi sosial budaya dalam kasus Bu Cinthya?
38

d. Identifikasi masalah kepentingan dan isu gender dalam kasus di atas.


e. Apa tindakan Bu Cinthya cukup bijaksana dipandang dari konsep
kesetaraan dan keadilan gender?
f. Benarkah wanita karir itu ciri perempuan berkualitas?

Kunci Jawaban:

a. Permasalahan Gender/ Isu Gender:


1) Isu gender yang ditemukan dalam kasus ini adalah adanya
kesenjangan gender dalam pejabat di pemerintahan dan pertimbangan
perempuan dalam memprioritaskan kepentingan keluarganya
dibandingkan dengan kepentingan karirnya.

2) Informasi dan data yang mendukung isu gender di atas adalah:


a) Pejabat Eselon II di daerah tersebut baru satu orang.
b) Bu Cinthya ingin sekali mendapatkan jabatan sebagai Eselon II,
karena dirinya merasa layak dan kompeten untuk menduduki
jabatan yang prestisius itu.
c) Namun demikian, pertimbangan meninggalkan keluarganya
selama 1,5 bulan untuk SPAMA menjadikan dirinya enggan
untuk mengambil kesempatan itu. Tidaklah mungkin bagi dirinya
untuk berpikir egois demi karir. Belum lagi mempertimbangkan
pendapat suaminya dan mertua perempuannya yang pasti akan
menentang keberangkatannya.
d) Pertimbangan lainnya yang sangat memberatkan baginya adalah,
tuntutan komitmen yang sangat tinggi dan resiko yang harus
dihadapi sangat berat seandainya dirinya menjabat sebagai
Eselon II. Sudah dapat dipastikan bahwa dirinya akan sangat
sibuk dengan amanat pekerjaan yang semakin besar, tugas keluar
kota yang semakin sering, dan pekerjaan lembur yang semakin
banyak serta memasuki dunia maskulin yang semakin kompetitif.
e) Bu Cinthya memutuskan untuk tidak bersedia dicalonkan
menjadi pejabat Eselon II. Dirinya juga mengubur habis-habis
tentang keinginannya untuk menjadi Eselon II di kemudian hari.
Sepertinya, keputusan karir Bu Tia adalah ingin tetap menjadi
Eselon III sampai masa pensiunnya.

3) Potensi profesional yang seharusnya layak untuk diperjuangkan


adalah:
Bu Cinthya, SE adalah sosok yang energik, pintar, cerdas, kreatif, dan
supel dalam pergaulan; figur yang sangat bertanggung jawab pada
tugas yang diamanatkan kepadanya; pengalaman menjadi PNS selama
25 tahun ditambah lagi dengan kemampuan Bahasa Inggris yang
sangat bagus (Skor International TOEFL terakhirnya adalah 575).
39

b. Solusi yang responsif gender:


1) Bu Cinthya perlu memberi kesempatan kepada dirinya untuk
meningkatkan karirnya, tanpa harus merasa bersalah seperti merasa
egois demi karir. Masih ada cara bagi Bu Cinthya untuk merubah
mind-setnya, yaitu bahwa meningkatkan karir bukan berarti
meninggalkan keluarganya. Sepertinya belenggu budaya masih
menjadikan sosok Bu Cinthya yang sudah intelek menjadi seseorang
yang “masih terbelakang”.
2) Atasan Bu Cinthya perlu melakukan pendekatan personal dan
profesional kepada Bu Cinthya dan keluarganya agar
mempertimbangkan keputusannya dan melakukan pendampingan
dalam memotivasi karir perempuan.

4. Kasus 4: Pelatihan ”X”

Pada Pelatihan ”X” PNS di Jakarta tercatat hanya 4 orang peserta perempuan
yang dari jumlah 35 peserta. Pada awalnya, ditargetkan ada 6 peserta
perempuan, namun ada 2 orang perempuan yang terpaksa mengundurkan diri.
Satu peserta perempuan gagal hadir karena suaminya tidak mengizinkan,
sedangkan peserta perempuan yang satu lagi tidak hadir karena ditunjuk
sebagai anggota panitia ”HUT-Kantornya” sebagai ketua seksi konsumsi.

Keempat peserta perempuan tersebut terdiri atas Ibu Ani dari Jakarta, Ibu Titi
dari Jawa Tengah, Ibu Umi dari Yogyakarta, dan Ibu Siti dari Bandung.
Sedangkan peserta pria kebanyakan 75% dari luar jawa.

Profil Peserta Wanita:

a. Ibu Ani berumur 41 tahun, memiliki 5 orang anak, 2 orang sudah bekerja
di Pertamina beserta suaminya. Pangkat anaknya lebih tinggi dari
menantunya. Namun bila cucu sakit atau mendapatkan perawatan rumah
sakit harus dengan fasilitas suaminya. Anak wanitanya tersebut meskipun
dengan pangkat lebih tinggi dianggap lajang.
b. Ibu Titi berumur 31 tahun, baru menikah, suaminya mendukung penuh
karir isterinya.
c. Ibu Siti berumur 29 tahun, punya 2 orang anak, yang kecil baru berumur 3
bulan.
d. Ibu Umi 35 tahun, masih lajang. Pelatihan ”X” merupakan pelatihan untuk
pengembangan karir. Pelatihan ”X” merupakan yang ke-17 kalinya. Baru 2
angkatan yang menyertakan wanita agak banyak, dimana sebelumnya
hanya satu-dua orang saja.

Pelatihan baru berjalan satu minggu, Ibu Siti terpaksa gugur karena ia punya
bayi yang harus diberi ASI. Suaminya tidak sanggup mengurusnya, dan panitia
tak mengizinkan peserta membawa balita.
40

Seluruh fasilitator pelatihan adalah laki-laki. Sedangkan seluruh peserta


perempuan adalah sangat aktif, bahkan Ibu Ani dan Ibu Titik termasuk 5
terbaik dari peserta pelatihan.

Tugas:

a. Adakah isu gender dalam cerita di atas? Coba identifikasikan (secara


individual).
b. Menurut Anda kesenjangan gender apa yang ada dalam cerita di atas?
Mengapa?

Kunci Jawaban:

a. Permasalahan Gender/Isu Gender:


1) Isu gender yang ditemukan dalam kasus ini adalah adanya kendala
bagi perempuan dalam mengikuti pelatihan di luar daerah karena
keluarga tidak mengijinkan, atau ada masalah keluarga.
2) Informasi dan data yang mendukung isu gender di atas adalah:
a) Dua orang perempuan terpaksa mengundurkan diri. Satu peserta
perempuan gagal hadir karena suaminya tidak mengizinkan,
sedangkan peserta perempuan yang satu lagi tidak hadir karena
ditunjuk sebagai anggota panitia ”HUT-Kantornya” sebagai
ketua seksi konsumsi.
b) Pelatihan baru berjalan satu minggu, ibu Siti terpaksa gugur
karena ia punya bayi yang harus diberi ASI. Suaminya tidak
sanggup mengurusnya, dan panitia tak mengizinkan peserta
membawa balita.

b. Solusi kebijakan yang responsif gender:


1) Perlu membuat suatu kuaota peserta perempuan minimal 30 persen
dari keseluruhan peserta agar panitia penyelenggara benar-benar
berusaha untuk mencari dan memberi kesempatan perempuan dalam
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya.
2) Perlu ada himbauan dan motivasi bagi para perempuan untuk selalu
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dan memanfaatkan
kesempatan yang diberikan kepada perempuan.

C. Latihan

1. Apa isu-isu gender yang terjadi di Indonesia.


2. Analisis kasus di atas.

D. Rangkuman

Beberapa isu gender yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah:


41

1. Masih terjadi kesenjangan gender di Pemerintahan Daerah dengan kondisi


proporsi partisipasi laki-laki menjadi PNS jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi perempuan.
2. Masih terjadi kesenjangan gender di Pemerintahan Daerah dengan kondisi
proporsi pejabat struktural dan fungsional laki-laki jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi perempuan (contoh data Kabupaten Bogor tahun
2004 pejabat golongan IV a 78,95% laki-laki dan 21,05% perempuan).
3. Masih ditemui peraturan-peraturan daerah yang masih netral gender dan belum
responsif gender.
4. Masih banyak ditemui kondisi perempuan yang tidak mau menggunakan
kesempatan untuk meningkatkan jenjang karirnya karena masih cenderung
untuk tidak mau mengambil resiko budaya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Buku

BKKBN. 2000. Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender


(PUG) Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan 2000. Jakarta: Pusat
Pelatihan Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.

BKKBN. 2000. Kumpulan bahan pembelajaran pelatihan Pengarusutamaan Gender


(PUG) Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan. Jakarta: Pusat
Pelatihan Gender dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN.

Darahim, A. 2000. Kesetaraan gender dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat:


Tinjauan Sosial Budaya dan Agama. Jakarta: BKKBN.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP). 2001. Pemantapan Kesepakatan


Mekanisme Operasional Pengarusutamaan Gender Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak dalam Pembangunan Nasional dan Daerah: Bagian I dan
II. Rakernas Pemberdayaan PP & KPA.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan(KPP). 2004. Bunga Rampai: Panduan dan


Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan
UNFPA.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2005. Bahan Pembelajaran


Pengarusutamaan Gender. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan
RI, BKKBN, dan UNFPA.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2000. Materi Pokok Bagi Penyusunan


Pedoman Umum Penyadaran Gender Draf 3: Tim Pokja Peranserta Masyarakat,
Jakarta.

Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi


Gender. Jakarta: Mizan.

Puspitawati, H. 2006. Pengaruh Faktor keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah


Terhadap kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota
Bogor. Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

B. Daftar Peraturan Perundang-Undangan

INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam


Pembangunan Nasional.

42
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai