Eselon II
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul diklatnya
melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh empat) modul
jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based training.
Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang cukup
panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil dari
berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah yang
menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai media,
bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor, perguruan
tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan tenaga ahli
dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung dalam
anggota Technical Review Panel (TRP).
Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini
telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para
pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.
i
Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan modul
diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan
bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang
merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari diklat
yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan tugas
dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai
sumber daya di daerahnya masing-masing.
Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan kebijakan
nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik kepada
masyarakat dapat terwujud secara nyata.
ii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH
iii
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan
SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum
serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat
oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang
dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi
Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.
Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya
telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot
test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi
dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri.
Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena
merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain
untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di
daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah melibatkan
pejabat daerah sebagai narasumber.
iv
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A. Deskripsi Singkat ......................................................................................... 1
B. Hasil Belajar................................................................................................. 4
C. Indikator Hasil Belajar................................................................................. 4
D. Pokok Bahasan............................................................................................. 4
v
BAB V ISU-ISU GENDER DAN CONTOH-CONTOHNYA................................. 28
A. Isu-Isu Peran Gender.................................................................................. 28
B. Contoh Kasus Gender ................................................................................ 31
C. Latihan ....................................................................................................... 40
D. Rangkuman ................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandai awal mulainya
perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat
menarik perhatian dunia baik di tingkat global maupun di Indonesia. Perubahan
tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan
keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan
(prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke
pendekatan kemanusian (people centered development) dalam suasana yang lebih
demokratis dan terbuka.
Seiring dengan era globalisasi total, maka isu kesetaraan gender menjadi isu global
yang sangat relevan menyangkut keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan
perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari
delapan tujuan global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu: (1)
Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) Mewujudkan pendidikan dasar, (3)
Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Mengurangi
angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit lainnya, (7) Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, dan (8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.
1
2
Ketergantungan antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan dasar dari prinsip
kemitraan dan keharmonisan, meskipun dalam kenyataannya sering terjadi
perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak
kekerasan dari satu pihak ke pihak lain. Perilaku yang tidak setara ini merupakan
hasil akumulasi dan ekses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat yang
berlangsung selama berabad-abad. Untuk itu perlu ada perubahan mind-set dari
semua pihak untuk menyamakan pandangan tentang persepsi gender.
2. Setiap warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan perlindungan, kesempatan berusaha, kesempatan mendapatkan
pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan VISI
Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 diarahkan untuk mencapai:
a. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman,
bersatu, rukun dan damai.
b. Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi
hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, dan
c. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja
dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi
pembangunan yang berkelanjutan.
5. Gender merupakan suatu konsep berkaitan dengan peran antara laki-laki dan
perempuan (baik anak cacat/normal maupun anak berdasarkan
perkembangannya apakah balita, anak, remaja, dewasa, atau lansia).
9. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu suatu pemahaman dan kesadaran dari
seluruh lapisan masyarakat dan juga dari seluruh aparatur negara di dalam
memahami akar permasalahan. Untuk itu perubahan mind-set dalam
pemahaman konsep gender dan pentingnya peran gender dalam pembangunan
suatu negara harus dimulai dari sekarang.
4
Dengan demikian konsep dan teori gender dalam menjelaskan kedudukan, peran,
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam dimensi kesetaraan dan
keadilan menjadi sangat relevan untuk dipelajari oleh para pejabat daerah. Modul ini
diawali dari pengertian konsep dan teori gender bagi para pengambil kebijakan.
B. Hasil Belajar
D. Pokok Bahasan
2. Konsep Gender
a. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin.
b. Istilah-istilah Ketidakadilan Gender.
5
3. Teori Gender
a. Teori Nurture.
b. Teori Nature.
BAB II
URAIAN SEJARAH PERJUANGAN PEREMPUAN1
Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas
nama kestabilan Negara. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga)
sebagai organisasi mandiri yang sudah dibentuk sejak 1957, diselipkan di bawah
asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma Wanita”, yaitu
perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah
tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota
masyarakat yang berguna. Semua kewajiban itu dilakukan dalam konteks cara
pandang sesuai dengan “kodrat wanita”.
1
Disarikan dari KPP 2001 & 2004
6
7
Periode Reformasi
Pada periode Habibie, satu hal yang perlu dicatat adalah pembentukan Komisi
Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan, atau yang lebih dikenal
dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada Tahun 1999 lewat
Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan
kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedi
kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam perkembangannya hingga sekarang,
Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan
pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
(HAM).
terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat
hasil pembangunan. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah
dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun
hasilnya masih belum memadai. Kesempatan kerja perempuan belum membaik,
beban kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir
pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di
dalam dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan
struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang korelasi sosial yang setara
dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang
menyangkut kehidupan keluarga.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women. Salah satu
kesepakatan Nairobi adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk
mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di
berbagai bidang kehidupan.
Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
merekomendasikan bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik sehingga dipergunakan pendekatan
gender yang dikenal dengan Gender And Development (GAD).
ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia
tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. World Conference on Women
Beijing menyepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan status dan
peranan perempuan dalam pembangunan yang dimulai dari perumusan kebijakan,
pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil-hasil pembangunan (Beijing Platform
for Action).
9
D. Latihan
E. Rangkuman
Di Era Orde Baru (Orba), pada Tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan
Wanita dalam kabinet. Legitimasi terhadap itu berjalan mulus lewat jargon
“Kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki”, yang tercantum wacana “Peranan
wanita dalam pembangunan” dalam setiap Repelita produk Orde Baru. Hanya saja,
kebijakan ini ternyata menimbulkan efek yang lebih berat pada perempuan
Indonesia berupa beban ganda. Tahun 1974, Undang-Undang tentang Perkawinan
akhirnya disahkan, mengakhiri pasang-surut perdebatan selama puluhan tahun sejak
gagasannya dicetuskan oleh gerakan perempuan pada masa kolonial.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, dengan nama
World Conference On Result Of Ten Years Women Movement yang menjelaskan
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Women.
Selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for
Women (UNIFEM), untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai
kegiatan kesetaraan gender, namun hasilnya kurang memadai. Kemudian dari
berbagai studi, tema WID (Women in Development) atau perempuan dalam
pembangunan diubah menjadi WAD (Women and Development) atau perempuan
dan pembangunan. Pada perkembangan selanjutnya studi Anderson dan Moser
12
ICPD di Cairo tahun 1994, dan selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia
tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang
perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani (Beijing Platform for Action).
Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali
tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia
perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang
dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis
diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini
digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas
adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat
berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender
sebenarnya menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial yang ada
yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan
perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.
13
14
4 Peran reproduksi kesehatan berlaku Peran sosial bergantung pada masa dan
sepanjang masa. keadaan.
6 Peran reproduksi kesehatan berlaku bagi Peran sosial berbeda antara satu kelas/
semua kelas/strata sosial. strata sosial dengan strata lainnya.
7 Peran reproduksi kesehatan ditentukan Peran sosial bukan kodrat Tuhan tapi
oleh Tuhan atau kodrat. buatan manusia.
15
Tabel 1.3 Aktivitas yang Boleh Dilakukan dan Tidak Boleh Dilakukan oleh
Perempuan dan Laki-laki
Perempuan Laki-Laki
Tidak Tidak
No Uraian Boleh/ Boleh/
Boleh/ Tdk Boleh/ Tdk
Patut Patut
Patut Patut
1. Memasak V V
2. Menceraikan V V
3. Memukul/Menampar V V
4. Mengasuh Anak V V
5. Belanja ke Pasar V V
6. Bekerja di Sektor Publik V V
7. Menjadi Pemimpin V V
8. Menjaga Bayi V V
9. Memaki/menghina V V
10. Meminjam uang ke Bank V V
16
+ =
a. Pengertian
b. Contoh-contoh Marjinalisasi
2. Sub-Ordinasi
a. Pengertian
b. Contoh-contoh Sub-Ordinat
3. Pandangan Stereotype
a. Pengertian
b. Contoh-contoh Stereotype
4. Kekerasan
a. Pengertian
5. Beban Kerja
a. Pengertian
3) Beban kerja ganda ini seringkali dipandang dari sudut budaya sebagai
bentuk pengabdian dan pengorbanan yang mulia (altruism) yang nanti
di akherat mendapatkan balasan yang setimpal. Namun demikian
harus ada suatu batas dari pengorbanan ini, karena pengorbanan yang
tanpa batas berarti menjurus kepada ketidakadilan.
3) Seorang bapak dan anak laki-laki setelah selesai makan, mereka akan
meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk
mengangkat piring kotor yang mereka pakai. Apabila yang mencuci
isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap
menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat
terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan
kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan
situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat
universal. Jadi konsep kesetaraan adalah konsep filosofis yang bersifat kualitatif,
tidak selalu bermakna kuantitatif.
21
1. Pengertian
a. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber
daya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama
memperoleh informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan
karir bagi PNS laki-laki dan perempuan.
1. Pluralistis
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang
selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.
Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan
penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG
tidak semudah membalikkan telapak tangan atau ibarat memakan ”cabe” begitu
digigit terasa pedas. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan
melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.
D. Latihan
E. Rangkuman
Jenis kelamin merupakan perbedaan organ biologis, kodrati Tuhan, tidak dapat
berubah, tidak dapat dipertukarkan, dan berlaku sepanjang zaman dan di mana saja
karenanya bersifat mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan peran dan cara
bagaimana anak laki-laki dan perempuan dibesarkan, diajari berperilaku, dan
diharapkan oleh (masyarakat budayanya) sejak ia dilahirkan.
2. Sub-ordinasi, yaitu suatu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap
lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya, sehingga ada
jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengarkan suaranya,
bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya.
3. Pandangan stereotype adalah suatu pelabelan atau penandaan yang sering kali
bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu.
4. Kekerasan atau violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologi seseorang.
5. Beban kerja adalah peran dan tanggung jawab seseorang dalam melakukan
berbagai jenis kegiatan sehari-hari yang sangat memberatkan seseorang adalah
sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan
beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat
terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan
kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan
situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat
universal.
1. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber
daya pembangunan.
2. Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses
pengambilan keputusan.
3. Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada
sumber daya pembangunan.
4. Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi
perempuan dan laki-laki.
A. Teori Nurture
Menurut teori Nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya
adalah bentukan masyakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan
kelas borjuis, dan perempuan sebagai proletar.
Perjuangan untuk persamaan hak ini dipelopori oleh kaum feminis internasional
yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50:50 (fifty-fifty),
konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan sempurna
secara kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik
dari nilai agama maupun budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis
berjuang dengan menggunakan pendekatan sosial konflik, yaitu konsep yang
diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818 – 1883) dan Machiavvelli (1469 – 1527)
dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep
dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan keluarga adalah wadah temapt
pemaksaan, suami sebagai pemiliki dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen
beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku
diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai
kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi
kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan
penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan.
Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut
masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian).
Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality)
dalam segala aktifitas masyarakat seperti di DPR, militer, manajer, menteri,
gubernur, pilot, dan pimpinan partai politik.
2
Disarikan dari Bunga Rampai: Panduan dan Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional. Kementerian Pemberdayaan Perempuan-RI, UNFPA, dan BKKBN. 2004
3
Disarikan dari Megawangi (1999).
24
25
B. Teori Nature
Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrati,
sehingga harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi
dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang
berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada tugas yang
memang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan secara kodrat alamiahnya.
Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri
(instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan karena
manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional.
Manusia baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai
dengan fiungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas
(division of labor) begitupula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan
antara suami istri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi ibu
rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan
(anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi dan kewajiban yang
berbeda dalam mencapai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai
tujuan.
Talcott Parsons (1902 – 1979) dan Parsons & Bales berpendapat bahwa keluarga
adalah sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk
saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga
semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan
pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi
pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini
dimulai sejak dini melalui Pola Pendidikan dan Pengasuhan anak dalam keluarga.
Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran,
asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesempatan (komitmen) antara
suami isteri dalam keluarga atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan masyarakat.
Teori ini muncul di tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori ini
mengemukakan tentang bagaimana memandang masyarakat sebagai sebuah
sistem yang saling berkaitan. Teori ini mengakui adanya keanekaragaman
dalam kehidupan sosial.
Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang dilandaskan pada
konsensus nilai-nilai agar terjadi adanya interrelasi yang demi sesuatu yang
dinamakan harmoni, stabilitas dan keseimbangan (equilibrium). Sistem ini
mensyaratkan aktor dalam jumlah memadai, sehingga fungsi dan struktur
seseorang dalam sistem menentukan tercapainya stabilitas atau harmoni
tersebut. Ini berlaku untuk semua sistem sosial: agama, pendidikan, struktur
politik, sampai rumah tangga, dalam hal ini termasuk mengenai gender.
Sosialisasi fungsi struktur tersebut dilakukan dengan institusionalisasi, melalui
morning, atau norma-norma yang disosialisasikan.
Teori ini meyakinkan bahwa inti perubahan dalam sistem sosial dimotori oleh
konflik. Konflik ini timbul karena adanya kepentingan (interest) dan kekuasaan
(power). Bila salah satu kepentingan yang memiliki kekuasaan memenangkan
konflik, maka ia akan menjadi dominan dan melanggengkan sistem sosial yang
telah terbentuk.
Teori ini sangat sinis terhadap kekuasaan, kemapanan, sifat borjuis, sistem
kapitalis, dan semua hal yang memiliki strata dan struktur. Teori ini juga
memandang institusionalisasi sebagai sistem yang melembagakan pemaksaan.
Istilah mereka adalah imperatively coordinate association, yaitu pemaksaan
koordinasi relasi sosial dalam sebuah sistem. Dalam hal ini termasuk juga
hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.
27
C. Latihan
D. Rangkuman
Secara garis besar ada 2 diskursus dalam menjelaskan teori gender, yaitu yang
mempertahankan nature dan yang mempertahankan nurture. Teori Nurture
memperlihatkan adanya perbedaan perempuan dan laki-laki yang pada hakekatnya
adalah bentukan masyakat melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan
perempuan dan laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas
borjuis, dan perempuan sebagai proletar.
Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang
meletakkan kaum perempuan pada tatanan sub-ordinat. Sebagai contoh untuk
pekerja di sektor formal di lingkungan birokrat:
” Apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian
keluar negeri harus mendapat ijin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan
pergi ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat ijin dari istri”.
Kondisi semacam itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan
terperangkap, karena seharusnya ia dapat pergi untuk meningkatkan kualitas
SDMnya untuk kemudian dapat menempati posisi penting sebagai pimpinan di
kemudian hari. Namun karena suaminya tidak mengijinkan istrinya pergi untuk
tugas belajar ke luar kota bahkan ke luar negeri, maka kesempatan yang mungkin
hanya sekali dalam seumur hidup itu akan hilang, dan perempuan tersebut tidak
pernah mendapat kesempatan menjadi pimpinan.
Pembatasan serupa juga dialami oleh perempuan pada saat meminjam kredit ke
bank, dimana dibutuhkan ijin dan tanda tangan dari suaminya, namun kalau suami
meminjam kredit bank, tidak dibutuhkan ijin dan tanda tangan istrinya. Padahal
menurut data di seluruh dunia, secara umum tingkat pengembalian kredit dari
nasabah perempuan jauh lebih tinggi dari nasabah laki-laki. Jadi, kasarnya, nasabah
perempuan lebih jujur dan bertanggungjawab dalam mengembalikan pinjaman
dibandingkan dengan nasabah laki-laki.
Berikut ini menjelaskan tentang isu-isu peran gender dalam masyarakat secara
umum:
28
29
6. Posisi perempuan dalam melindungi kesehatan Reproduksi juga lemah. Hal ini
tercermin dari banyaknya konseptor keluarga berencana (KB) masih
didominasi oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
3. Masih ditemui peraturan-peraturan daerah yang masih netral gender dan belum
responsif gender.
Gambar 1.1. Posisi dan Peran Laki-laki dan Perempuan Menurut Konteks Budaya
31
Tugas:
Kunci Jawaban:
Bapak Drs. Sukarna menduduki suatu posisi pada suatu Dinas X di Kabupaten
Y, Propinsi Z. Bapak Sukarna adalah seorang pimpinan yang bijaksana dan
senang belajar hal-hal yang baru, dan sudah mendapat training
Pengarusutamaan Gender di tingkat nasional.
Dari 8 calon yang memenuhi syarat pada tahapan pertama, 2 calon adalah
perempuan dan 6 calon adalah laki-laki. Sampailah pada tahapan terakhir
dimana hanya terdiri atas dua calon, yaitu seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Beberapa analisa “Fit and Proper Test” yang intinya mengevaluasi
kompetensi dan kelayakan didapatkan hasil sebagai berikut:
Tugas:
Kunci Jawaban:
3. Kasus 3: Hak dan Kewajiban Perempuan (Nama dalam Cerita Ini Fiktif)
Bu Cinthya, SE adalah sosok yang energik, pintar, cerdas, kreatif, dan supel
dalam pergaulan. Bu Tia, begitu panggilannya, adalah figur yang sangat
bertanggung jawab pada tugas yang diamanatkan kepadanya. Pengalaman
menjadi PNS selama 25 tahun ditambah lagi dengan kemampuan Bahasa
Inggris yang sangat bagus (Skor International TOEFL terakhirnya adalah 575)
menjadikan diri Bu Cinthya mendapat promosi untuk menjadi Eselon II di
wilayah kerjanya. Namun demikian, masalah yang dihadapi adalah harus
mengikuti pendidikan SPAMA selama kurang lebih 1,5 bulan di Ibu Kota
Provinsi.
Terjadi pertentangan batin pada diri Bu Tia mengenai hak dan kewajibannya
sebagai perempuan. Pertimbangan antara keluarga dan karir menjadi semacam
buah ”simalakama” baginya, ”kalau dimakan, ibunya mati, kalau tidak
dimakan, bapaknya yang mati”. Ingin sekali dalam dirinya untuk mendapatkan
jabatan sebagai Eselon II, karena dirinya merasa layak dan kompeten untuk
menduduki jabatan yang prestisius itu. Apalagi bagi seorang perempuan di
daerahnya, pejabat Eselon II yang perempuan baru satu orang, dan akan
menjadi 2 orang kalau dirinya mengambil kesempatan promosi jabatan ini.
Tugas:
Kunci Jawaban:
Pada Pelatihan ”X” PNS di Jakarta tercatat hanya 4 orang peserta perempuan
yang dari jumlah 35 peserta. Pada awalnya, ditargetkan ada 6 peserta
perempuan, namun ada 2 orang perempuan yang terpaksa mengundurkan diri.
Satu peserta perempuan gagal hadir karena suaminya tidak mengizinkan,
sedangkan peserta perempuan yang satu lagi tidak hadir karena ditunjuk
sebagai anggota panitia ”HUT-Kantornya” sebagai ketua seksi konsumsi.
Keempat peserta perempuan tersebut terdiri atas Ibu Ani dari Jakarta, Ibu Titi
dari Jawa Tengah, Ibu Umi dari Yogyakarta, dan Ibu Siti dari Bandung.
Sedangkan peserta pria kebanyakan 75% dari luar jawa.
a. Ibu Ani berumur 41 tahun, memiliki 5 orang anak, 2 orang sudah bekerja
di Pertamina beserta suaminya. Pangkat anaknya lebih tinggi dari
menantunya. Namun bila cucu sakit atau mendapatkan perawatan rumah
sakit harus dengan fasilitas suaminya. Anak wanitanya tersebut meskipun
dengan pangkat lebih tinggi dianggap lajang.
b. Ibu Titi berumur 31 tahun, baru menikah, suaminya mendukung penuh
karir isterinya.
c. Ibu Siti berumur 29 tahun, punya 2 orang anak, yang kecil baru berumur 3
bulan.
d. Ibu Umi 35 tahun, masih lajang. Pelatihan ”X” merupakan pelatihan untuk
pengembangan karir. Pelatihan ”X” merupakan yang ke-17 kalinya. Baru 2
angkatan yang menyertakan wanita agak banyak, dimana sebelumnya
hanya satu-dua orang saja.
Pelatihan baru berjalan satu minggu, Ibu Siti terpaksa gugur karena ia punya
bayi yang harus diberi ASI. Suaminya tidak sanggup mengurusnya, dan panitia
tak mengizinkan peserta membawa balita.
40
Tugas:
Kunci Jawaban:
C. Latihan
D. Rangkuman
A. Daftar Buku
42
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.